Home / Fantasi / Selubung Memori / Chapter 431 - Chapter 440

All Chapters of Selubung Memori: Chapter 431 - Chapter 440

595 Chapters

430. MEMORI PENDAR PUTIH #17

Jenderal terus mencari Helvin.Nihil.Jenderal juga menyadari ada hal aneh dari penglihatannya. Dia mulai sedikit kehilangan orientasi. Seperti rabun, tetapi juga seperti gelap. Dia memeriksakan itu ke Dokter Gelda. Tentu saja Dokter Gelda sudah mencoba banyak cara. Mulai dari perawatan mata, obat mata, sampai apa pun, tetapi tidak terlihat ada perkembangan apa pun. Dokter Gelda mengira masalahnya ada di area yang tidak bisa dia jangkau, jadi dia memanggil kandidat persiapan yang kemampuannya dia banggakan.“Rhea, bisakah kau membuat selnya beregenerasi?” tanya Dokter Gelda.Anak perempuan itu melakukannya, mengalirkan energinya ke Jenderal. Itu berlangsung cukup singkat sampai Rhea berkata, “Aku sudah mencoba.”Namun, Jenderal bilang, “Masih gelap.”Dari sana, tampaknya Dokter Gelda memahami sesuatu. Dia meminta Rhea keluar, lalu memastikan tidak ada siapa-siapa di klinik selain mereka.“Deng
last updateLast Updated : 2024-01-12
Read more

431. MEMORI PENDAR PUTIH #18

Di rentang sebelum Bibi pulang, Bibi yang menjaga Ibu sampai Reila lahir.Dalam suatu kesempatan, ketika Ibu sudah tidak diperbolehkan melakukan aktivitas berat, kecuali tetap di gerhanya, Bibi memberitahu sesuatu padanya.“Aku bermimpi.”“Tentang putramu?”“Sejenis itu, tapi ini bukan dia. Aku didatangi Ratu Arwah.”Ibu masih saja terkejut setelah bertahun-tahun selalu mendengar fakta yang menakjubkan dari Bibi. Ibu lagi-lagi menganga sampai berkedip-kedip.“Katanya aku ibunya, jadi aku berhak tahu,” kata Bibi. “Aku belum bilang ke ayahnya, entah dia bermimpi hal yang sama atau tidak, tapi aku punya firasat dia hanya mengunjungiku. Aku tahu ini aneh. Dia Ratu Arwah. Selama ini kita mencari keberadaannya, tapi tiba-tiba dia mendatangi mimpiku. Kami ada di semacam hutan dengan api unggun. Aku duduk di batang basah, lalu—”“Tunggu,” sela Ibu. “Ratu Arwah
last updateLast Updated : 2024-01-14
Read more

432. MEMORI PENDAR PUTIH #19

Bibi mempersiapkan semua keberangkatan Ibu.“Dengar, Lembah Palapa tidak seperti di sini. Kau butuh uang kalau berniat melakukan apa pun. Tapi jangan lupa juga kau harus menawar harga. Kadang ada orang sinting yang pasang harga tidak masuk akal. Kau harus berani. Mereka butuh uang darimu, jadi kau harus paksa mereka sampai di harga paling masuk akal. Lalu udara Lembah Palapa itu kotor, jadi usahakan suruh Forlan dan Reila pakai masker. Anak-anak di sana kurang ajar, Forlan dan Reila pasti dimusuhi, jadi pastikan kau selalu membawa mereka ke fasilitas. Dan aku tahu kau berniat memasukkan mereka ke sekolah. Sekali lagi kuingatkan—bahkan berkali-kali: mereka sangat berbakat membenci pemilik keganjilan. Jangan biarkan Forlan sekolah di sana.”Bibi terus mengoceh ketika tangannya memasukkan barang-barang ke satu koper. Koper itu tidak akan dibawa ke Lembah Palapa. Ibu akan menyimpannya di deposit. Barang-barangnya akan disimpan. Gerhanya akan kosong. Kalau
last updateLast Updated : 2024-01-16
Read more

433. MEMORI PENDAR PUTIH #20

Di akhir hayatnya, Bibi berkata pada Jenderal, “Aku bahagia.”Benarkah Bibi bahagia?Citra itu berakhir di kematian Bibi. Tidak ada citra berikutnya. Sebenarnya aku berharap ada citra penjelasan yang membuatku mengerti mengapa Bibi bangkit sebagai arwah pendar putih. Namun, ketika Bibi menutup mata dan mengembuskan napas terakhirnya, citra itu juga berakhir. Perlahan, kabut memudar. Apa yang ada di hadapanku berubah tidak lagi dipenuhi kabut. Hanya ada medan naik alam liar.Kara dan Jenderal terlihat di depanku. Berjalan dalam hening.Aku menarik napas panjang, mengendalikan diri sebaik mungkin.Aku menutup semua citra. Dadaku bergejolak, mendorong sesuatu di dalam pelupuk mata. Tidak. Aku harus mengendalikan diri. Aku tidak bisa kalau tiba-tiba menangis tanpa sebab. Mereka tidak tahu aku melakukan apa.Jadi, aku mengembuskan napas, menengadah melihat langit. Pagi sudah tiba lagi. Hawanya agak dingin. Embun pagi masih terasa. Hut
last updateLast Updated : 2024-01-18
Read more

434. GUA BAWAH TANAH #1

Tiga hari sejak keberangkatan misi, kami akhirnya tiba di gua tujuan.Kara langsung memberi saran untuk menyebar, tetapi aku tidak bergerak. Di diskusi pertama kami sebelum sampai pintu gua, aku bilang pada mereka dengan nada yang lebih mantap dari bayanganku. “Aku berjaga dari luar.”Kali ini Jenderal tidak membantah seperti ketika aku meminta Lavi terlibat. Kara juga membisu, menatapku begitu pedih. Di pelupuk mataku masih ada bekas air mata. Mataku pasti sembap. Sorotku juga masih lumayan kaku. Dadaku sudah lumayan lega, tetapi masih ada getaran tersisa. Rasanya tidak ada yang benar-benar bisa membuatku pulih. Benakku kosong—rasanya sangat hampa.“Jenderal?” tanya Kara.“Lakukan sesukamu,” ucap Jenderal.Maka ketika mereka melakukan pencarian di dalam gua, aku hanya duduk di pintu masuk gua. Ada sungai yang beraliran lebih tenang dibanding ketika misi pertamaku. Kara awalnya melarang aku duduk sendirian
last updateLast Updated : 2024-01-20
Read more

435. GUA BAWAH TANAH #2

Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di gua itu. Tidak ada petunjuk berarti.Ketika kami keluar dari gua, sekali lagi kubilang pada mereka. “Kalau Kara dan Jenderal berkenan mencari lagi lebih lanjut, aku tidak keberatan menemani, tapi kalau punya pilihan, sejujurnya aku pilih mencari posisi Padang Anushka.”“Kita tidak bisa berpencar,” protes Kara.“Rasanya percuma kalau kita berjalan tiga hari penuh tapi tidak mendapat petunjuk seperti ini. Sebenarnya sejak awal aku juga ragu mengambil misi ini. Dulu, sewaktu kecil, aku tahu kalau Bibi juga sudah sejak lama mengikhlaskan kepergian putranya. Dan jujur saja, aku tidak punya motivasi selain Bibi dalam misi ini. Saat gagasan masa kecilku bangkit lagi, dengan segala hormat, maaf, aku merasa sudah menghambat pergerakan misi.”Kara terdiam.“Kurasa,” ujarku, “sudah sejak lama Bibi ingin menghentikan pencarian.”“Tidak apa, Nak.&rd
last updateLast Updated : 2024-01-22
Read more

436. AIR MATA #1

Empat hari setelah keberangkatan, misi pencarian kami berakhir.Sudah berhari-hari aku tidak terhubung dengan Lavi. Tampaknya jalur kami terputus karena benakku kacau. Sulit juga bagiku merasakan keberadaannya meski aku merasa itu hanya berlaku satu arah. Aku tidak bisa memikirkannya karena saat ini hampir semua sudut di kepalaku berisi segala hal tentang Bibi.Pagi menjelang siang, Padang Anushka mewujud.Kabut tipis itu. Jembatan penghubung itu.Kami melangkah masuk. Jenderal yang paling depan. Lalu Kara. Aku yang paling belakang. Kami melewati jembatan perbatasan. Aku melihat bongkahan batu yang dihantam air. Suaranya selalu sangat keras, menutup suara apa pun.Tidak ada yang menyambut, kecuali Mister. Tentu saja. Kami tidak pernah memberitahu Padang Anushka kalau kembali. Tak ada yang menyadari kedatangan kami, kecuali sang penjaga Padang Anushka.Ketika kami tiba di bukit perbatasan, Mister sudah menunggu.“Selamat datang k
last updateLast Updated : 2024-01-24
Read more

437. AIR MATA #2

“Yah, aku sedang latihan. Makanya tidak bisa merasakan posisimu,” terang Lavi. “Aku juga sulit terhubung denganmu, jadi kupikir ada sesuatu terjadi. Serius tidak ada pertempuran setelah kita berpisah?”Ketika kami berjalan ke gerha, aku tidak mau menceritakannya keras-keras, jadi aku menceritakannya di kepalanya—betapa aku mengingat segala tentang masa laluku bersama Bibi Nadya. Di titik itu, Lavi sudah hampir berkomentar, tetapi aku lebih cepat mengatakan kalau ternyata masa laluku tidak sebaik yang kubayangkan. Lalu aku tidak berniat menceritakan semuanya saat ini. Kuceritakan saja apa yang membuatku berduka. Aku tidak cerita masa muda Ibu dan Bibi. Aku hanya bilang, “Dia sudah seperti ibu keduaku.” Dan Lavi mengerti.“Apa yang kau lakukan setelah ini?” tanyanya.“Tidur,” jawabku, jujur. “Aku belum tidur dari semalam. Mungkin kembali sebentar. Menyapa Fal dan Reila. Lalu ke klinik. Menjeng
last updateLast Updated : 2024-01-26
Read more

438. AIR MATA #3

Langit masih gelap. Kabut juga lumayan tebal. Suasananya lembap. Dingin, benar-benar menusuk. Dan sepi. Tak terdengar suara apa-apa. Rasanya membuatku bisa merenung sampai tenggelam.Pagi-pagi buta, aku menghabiskan waktu di depan batu nisan Bibi.Hanya duduk. Tidak melakukan apa-apa.Atau sebenarnya melakukan sesuatu, tetapi rangkaiannya panjang.Jadi, ketika setidaknya jam malam sudah habis, aku membawa puluhan ikat bunga melewati jalur Telaga, menyeberangi danau pedih itu, lalu sampai di wilayah pemakaman. Di sanalah aku bertemu Jenderal. Dia tidak berdiri di suatu batu nisan. Dia hanya berjalan kembali dari sana. Dan kalau berpikir kami, setidaknya, saling tegur sapa atau apalah—tidak, kami tidak menegur sapa. Jenderal hanya langsung melewatiku. Begitu juga denganku. Hanya langsung melewatinya.Entah. Setelah mengetahui semuanya, rasanya kurang nyaman saat berada di sekitarnya. Kurasa gagasan awalku benar. Harusnya aku tidak melihat masa
last updateLast Updated : 2024-01-28
Read more

439. AIR MATA #4

Kami mengobrol di bawah pohon rindang. Matahari di tempat ini hangat. Bibi datang membawakan minuman. Kupikirkan aku tidak boleh minum sesuatu di tempat ini, tetapi ternyata boleh-boleh saja. Bibi bahkan menawarkan tambah kalau perlu. “Daripada kau kehausan, lebih baik diminum saja, kan?”Bibi duduk di dekatku, mengusap pelupuk mataku. Tidak ada air mata lagi, tetapi Bibi tetap mengusapnya. “Sejujurnya, Bibi senang kau menangis.”“Bukannya aku cengeng?” gumamku.“Tangisanmu selama ini tidak pernah berarti ketakutan. Tangisanmu selalu berarti kasih sayang. Hanya dari itu, Bibi tahu seberapa kuat perasaanmu pada Bibi. Setiap kau menangis, Bibi bersyukur. Rasanya malah menghangatkan.”“Begitu, ya?” Sejujurnya, aku malu—tetapi tidak bisa mengatakan itu.“Senang sekali punya dirimu yang menyayangi Bibi.”Ketika Bibi tersenyum, mau tak mau aku ikut tersenyum.&ldq
last updateLast Updated : 2024-01-30
Read more
PREV
1
...
4243444546
...
60
DMCA.com Protection Status