Bibi mempersiapkan semua keberangkatan Ibu.
“Dengar, Lembah Palapa tidak seperti di sini. Kau butuh uang kalau berniat melakukan apa pun. Tapi jangan lupa juga kau harus menawar harga. Kadang ada orang sinting yang pasang harga tidak masuk akal. Kau harus berani. Mereka butuh uang darimu, jadi kau harus paksa mereka sampai di harga paling masuk akal. Lalu udara Lembah Palapa itu kotor, jadi usahakan suruh Forlan dan Reila pakai masker. Anak-anak di sana kurang ajar, Forlan dan Reila pasti dimusuhi, jadi pastikan kau selalu membawa mereka ke fasilitas. Dan aku tahu kau berniat memasukkan mereka ke sekolah. Sekali lagi kuingatkan—bahkan berkali-kali: mereka sangat berbakat membenci pemilik keganjilan. Jangan biarkan Forlan sekolah di sana.”
Bibi terus mengoceh ketika tangannya memasukkan barang-barang ke satu koper. Koper itu tidak akan dibawa ke Lembah Palapa. Ibu akan menyimpannya di deposit. Barang-barangnya akan disimpan. Gerhanya akan kosong. Kalau
Di akhir hayatnya, Bibi berkata pada Jenderal, “Aku bahagia.”Benarkah Bibi bahagia?Citra itu berakhir di kematian Bibi. Tidak ada citra berikutnya. Sebenarnya aku berharap ada citra penjelasan yang membuatku mengerti mengapa Bibi bangkit sebagai arwah pendar putih. Namun, ketika Bibi menutup mata dan mengembuskan napas terakhirnya, citra itu juga berakhir. Perlahan, kabut memudar. Apa yang ada di hadapanku berubah tidak lagi dipenuhi kabut. Hanya ada medan naik alam liar.Kara dan Jenderal terlihat di depanku. Berjalan dalam hening.Aku menarik napas panjang, mengendalikan diri sebaik mungkin.Aku menutup semua citra. Dadaku bergejolak, mendorong sesuatu di dalam pelupuk mata. Tidak. Aku harus mengendalikan diri. Aku tidak bisa kalau tiba-tiba menangis tanpa sebab. Mereka tidak tahu aku melakukan apa.Jadi, aku mengembuskan napas, menengadah melihat langit. Pagi sudah tiba lagi. Hawanya agak dingin. Embun pagi masih terasa. Hut
Tiga hari sejak keberangkatan misi, kami akhirnya tiba di gua tujuan.Kara langsung memberi saran untuk menyebar, tetapi aku tidak bergerak. Di diskusi pertama kami sebelum sampai pintu gua, aku bilang pada mereka dengan nada yang lebih mantap dari bayanganku. “Aku berjaga dari luar.”Kali ini Jenderal tidak membantah seperti ketika aku meminta Lavi terlibat. Kara juga membisu, menatapku begitu pedih. Di pelupuk mataku masih ada bekas air mata. Mataku pasti sembap. Sorotku juga masih lumayan kaku. Dadaku sudah lumayan lega, tetapi masih ada getaran tersisa. Rasanya tidak ada yang benar-benar bisa membuatku pulih. Benakku kosong—rasanya sangat hampa.“Jenderal?” tanya Kara.“Lakukan sesukamu,” ucap Jenderal.Maka ketika mereka melakukan pencarian di dalam gua, aku hanya duduk di pintu masuk gua. Ada sungai yang beraliran lebih tenang dibanding ketika misi pertamaku. Kara awalnya melarang aku duduk sendirian
Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di gua itu. Tidak ada petunjuk berarti.Ketika kami keluar dari gua, sekali lagi kubilang pada mereka. “Kalau Kara dan Jenderal berkenan mencari lagi lebih lanjut, aku tidak keberatan menemani, tapi kalau punya pilihan, sejujurnya aku pilih mencari posisi Padang Anushka.”“Kita tidak bisa berpencar,” protes Kara.“Rasanya percuma kalau kita berjalan tiga hari penuh tapi tidak mendapat petunjuk seperti ini. Sebenarnya sejak awal aku juga ragu mengambil misi ini. Dulu, sewaktu kecil, aku tahu kalau Bibi juga sudah sejak lama mengikhlaskan kepergian putranya. Dan jujur saja, aku tidak punya motivasi selain Bibi dalam misi ini. Saat gagasan masa kecilku bangkit lagi, dengan segala hormat, maaf, aku merasa sudah menghambat pergerakan misi.”Kara terdiam.“Kurasa,” ujarku, “sudah sejak lama Bibi ingin menghentikan pencarian.”“Tidak apa, Nak.&rd
Empat hari setelah keberangkatan, misi pencarian kami berakhir.Sudah berhari-hari aku tidak terhubung dengan Lavi. Tampaknya jalur kami terputus karena benakku kacau. Sulit juga bagiku merasakan keberadaannya meski aku merasa itu hanya berlaku satu arah. Aku tidak bisa memikirkannya karena saat ini hampir semua sudut di kepalaku berisi segala hal tentang Bibi.Pagi menjelang siang, Padang Anushka mewujud.Kabut tipis itu. Jembatan penghubung itu.Kami melangkah masuk. Jenderal yang paling depan. Lalu Kara. Aku yang paling belakang. Kami melewati jembatan perbatasan. Aku melihat bongkahan batu yang dihantam air. Suaranya selalu sangat keras, menutup suara apa pun.Tidak ada yang menyambut, kecuali Mister. Tentu saja. Kami tidak pernah memberitahu Padang Anushka kalau kembali. Tak ada yang menyadari kedatangan kami, kecuali sang penjaga Padang Anushka.Ketika kami tiba di bukit perbatasan, Mister sudah menunggu.“Selamat datang k
“Yah, aku sedang latihan. Makanya tidak bisa merasakan posisimu,” terang Lavi. “Aku juga sulit terhubung denganmu, jadi kupikir ada sesuatu terjadi. Serius tidak ada pertempuran setelah kita berpisah?”Ketika kami berjalan ke gerha, aku tidak mau menceritakannya keras-keras, jadi aku menceritakannya di kepalanya—betapa aku mengingat segala tentang masa laluku bersama Bibi Nadya. Di titik itu, Lavi sudah hampir berkomentar, tetapi aku lebih cepat mengatakan kalau ternyata masa laluku tidak sebaik yang kubayangkan. Lalu aku tidak berniat menceritakan semuanya saat ini. Kuceritakan saja apa yang membuatku berduka. Aku tidak cerita masa muda Ibu dan Bibi. Aku hanya bilang, “Dia sudah seperti ibu keduaku.” Dan Lavi mengerti.“Apa yang kau lakukan setelah ini?” tanyanya.“Tidur,” jawabku, jujur. “Aku belum tidur dari semalam. Mungkin kembali sebentar. Menyapa Fal dan Reila. Lalu ke klinik. Menjeng
Langit masih gelap. Kabut juga lumayan tebal. Suasananya lembap. Dingin, benar-benar menusuk. Dan sepi. Tak terdengar suara apa-apa. Rasanya membuatku bisa merenung sampai tenggelam.Pagi-pagi buta, aku menghabiskan waktu di depan batu nisan Bibi.Hanya duduk. Tidak melakukan apa-apa.Atau sebenarnya melakukan sesuatu, tetapi rangkaiannya panjang.Jadi, ketika setidaknya jam malam sudah habis, aku membawa puluhan ikat bunga melewati jalur Telaga, menyeberangi danau pedih itu, lalu sampai di wilayah pemakaman. Di sanalah aku bertemu Jenderal. Dia tidak berdiri di suatu batu nisan. Dia hanya berjalan kembali dari sana. Dan kalau berpikir kami, setidaknya, saling tegur sapa atau apalah—tidak, kami tidak menegur sapa. Jenderal hanya langsung melewatiku. Begitu juga denganku. Hanya langsung melewatinya.Entah. Setelah mengetahui semuanya, rasanya kurang nyaman saat berada di sekitarnya. Kurasa gagasan awalku benar. Harusnya aku tidak melihat masa
Kami mengobrol di bawah pohon rindang. Matahari di tempat ini hangat. Bibi datang membawakan minuman. Kupikirkan aku tidak boleh minum sesuatu di tempat ini, tetapi ternyata boleh-boleh saja. Bibi bahkan menawarkan tambah kalau perlu. “Daripada kau kehausan, lebih baik diminum saja, kan?”Bibi duduk di dekatku, mengusap pelupuk mataku. Tidak ada air mata lagi, tetapi Bibi tetap mengusapnya. “Sejujurnya, Bibi senang kau menangis.”“Bukannya aku cengeng?” gumamku.“Tangisanmu selama ini tidak pernah berarti ketakutan. Tangisanmu selalu berarti kasih sayang. Hanya dari itu, Bibi tahu seberapa kuat perasaanmu pada Bibi. Setiap kau menangis, Bibi bersyukur. Rasanya malah menghangatkan.”“Begitu, ya?” Sejujurnya, aku malu—tetapi tidak bisa mengatakan itu.“Senang sekali punya dirimu yang menyayangi Bibi.”Ketika Bibi tersenyum, mau tak mau aku ikut tersenyum.&ldq
Aku benar-benar menghabiskan waktu di sana sampai detik terakhir.“Nanti Bibi yang mengunjungimu,” katanya. “Jangan sering kemari.”“Ada larangannya?”“Forlan, perbatasan diciptakan untuk mengurung arwah sepertiku. Manusia tidak semestinya berinteraksi dengan arwah. Pada dasarnya, batas waktu ada karena manusia dan arwah perlu pembatas. Bibi juga harus bekerja. Bibi akan datang saat bisa ke sana. Kembalilah.”Bibi mengantarku sampai ke lift. Namun, tak bisa terlalu dekat. Sekitar dua puluh meter, Bibi berhenti. “Bibi hanya bisa mengantarmu sampai sini.”Aku mengerti maksudnya, jadi ketika aku sudah di dalam lift, Bibi langsung melambaikan tangannya—membuatku teringat kenangan pedih yang semestinya tak kuingat. Aku tidak mau menangis lagi, jadi aku tersenyum, balas melambaikan tangan. Dunia perbatasan ini juga dibalut kabut tipis, membuatnya kelewat mirip dengan detik-detik itu. Bahka
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak