Empat hari setelah keberangkatan, misi pencarian kami berakhir.
Sudah berhari-hari aku tidak terhubung dengan Lavi. Tampaknya jalur kami terputus karena benakku kacau. Sulit juga bagiku merasakan keberadaannya meski aku merasa itu hanya berlaku satu arah. Aku tidak bisa memikirkannya karena saat ini hampir semua sudut di kepalaku berisi segala hal tentang Bibi.
Pagi menjelang siang, Padang Anushka mewujud.
Kabut tipis itu. Jembatan penghubung itu.
Kami melangkah masuk. Jenderal yang paling depan. Lalu Kara. Aku yang paling belakang. Kami melewati jembatan perbatasan. Aku melihat bongkahan batu yang dihantam air. Suaranya selalu sangat keras, menutup suara apa pun.
Tidak ada yang menyambut, kecuali Mister. Tentu saja. Kami tidak pernah memberitahu Padang Anushka kalau kembali. Tak ada yang menyadari kedatangan kami, kecuali sang penjaga Padang Anushka.
Ketika kami tiba di bukit perbatasan, Mister sudah menunggu.
“Selamat datang k
“Yah, aku sedang latihan. Makanya tidak bisa merasakan posisimu,” terang Lavi. “Aku juga sulit terhubung denganmu, jadi kupikir ada sesuatu terjadi. Serius tidak ada pertempuran setelah kita berpisah?”Ketika kami berjalan ke gerha, aku tidak mau menceritakannya keras-keras, jadi aku menceritakannya di kepalanya—betapa aku mengingat segala tentang masa laluku bersama Bibi Nadya. Di titik itu, Lavi sudah hampir berkomentar, tetapi aku lebih cepat mengatakan kalau ternyata masa laluku tidak sebaik yang kubayangkan. Lalu aku tidak berniat menceritakan semuanya saat ini. Kuceritakan saja apa yang membuatku berduka. Aku tidak cerita masa muda Ibu dan Bibi. Aku hanya bilang, “Dia sudah seperti ibu keduaku.” Dan Lavi mengerti.“Apa yang kau lakukan setelah ini?” tanyanya.“Tidur,” jawabku, jujur. “Aku belum tidur dari semalam. Mungkin kembali sebentar. Menyapa Fal dan Reila. Lalu ke klinik. Menjeng
Langit masih gelap. Kabut juga lumayan tebal. Suasananya lembap. Dingin, benar-benar menusuk. Dan sepi. Tak terdengar suara apa-apa. Rasanya membuatku bisa merenung sampai tenggelam.Pagi-pagi buta, aku menghabiskan waktu di depan batu nisan Bibi.Hanya duduk. Tidak melakukan apa-apa.Atau sebenarnya melakukan sesuatu, tetapi rangkaiannya panjang.Jadi, ketika setidaknya jam malam sudah habis, aku membawa puluhan ikat bunga melewati jalur Telaga, menyeberangi danau pedih itu, lalu sampai di wilayah pemakaman. Di sanalah aku bertemu Jenderal. Dia tidak berdiri di suatu batu nisan. Dia hanya berjalan kembali dari sana. Dan kalau berpikir kami, setidaknya, saling tegur sapa atau apalah—tidak, kami tidak menegur sapa. Jenderal hanya langsung melewatiku. Begitu juga denganku. Hanya langsung melewatinya.Entah. Setelah mengetahui semuanya, rasanya kurang nyaman saat berada di sekitarnya. Kurasa gagasan awalku benar. Harusnya aku tidak melihat masa
Kami mengobrol di bawah pohon rindang. Matahari di tempat ini hangat. Bibi datang membawakan minuman. Kupikirkan aku tidak boleh minum sesuatu di tempat ini, tetapi ternyata boleh-boleh saja. Bibi bahkan menawarkan tambah kalau perlu. “Daripada kau kehausan, lebih baik diminum saja, kan?”Bibi duduk di dekatku, mengusap pelupuk mataku. Tidak ada air mata lagi, tetapi Bibi tetap mengusapnya. “Sejujurnya, Bibi senang kau menangis.”“Bukannya aku cengeng?” gumamku.“Tangisanmu selama ini tidak pernah berarti ketakutan. Tangisanmu selalu berarti kasih sayang. Hanya dari itu, Bibi tahu seberapa kuat perasaanmu pada Bibi. Setiap kau menangis, Bibi bersyukur. Rasanya malah menghangatkan.”“Begitu, ya?” Sejujurnya, aku malu—tetapi tidak bisa mengatakan itu.“Senang sekali punya dirimu yang menyayangi Bibi.”Ketika Bibi tersenyum, mau tak mau aku ikut tersenyum.&ldq
Aku benar-benar menghabiskan waktu di sana sampai detik terakhir.“Nanti Bibi yang mengunjungimu,” katanya. “Jangan sering kemari.”“Ada larangannya?”“Forlan, perbatasan diciptakan untuk mengurung arwah sepertiku. Manusia tidak semestinya berinteraksi dengan arwah. Pada dasarnya, batas waktu ada karena manusia dan arwah perlu pembatas. Bibi juga harus bekerja. Bibi akan datang saat bisa ke sana. Kembalilah.”Bibi mengantarku sampai ke lift. Namun, tak bisa terlalu dekat. Sekitar dua puluh meter, Bibi berhenti. “Bibi hanya bisa mengantarmu sampai sini.”Aku mengerti maksudnya, jadi ketika aku sudah di dalam lift, Bibi langsung melambaikan tangannya—membuatku teringat kenangan pedih yang semestinya tak kuingat. Aku tidak mau menangis lagi, jadi aku tersenyum, balas melambaikan tangan. Dunia perbatasan ini juga dibalut kabut tipis, membuatnya kelewat mirip dengan detik-detik itu. Bahka
“Perlu kuakui sudah lama kalian tidak bertengkar di dekat klinik,” sambut Isha, saat kami memasuki klinik. Tara dan Moli tertawa kecil di belakang.“Memangnya terdengar, ya?” tanya Lavi, agak merona.“Tidak terlalu. Tapi cukup ribut.”“Mana anggota barumu?” tanyaku.“Di dalam. Dengan Dokter Gelda. Niko bangun beberapa jam yang lalu, jadi mereka memeriksa situasinya. Hanna berpengalaman dengan trauma. Sebenarnya dia tidak terlalu suka menangani orang dengan trauma, tapi dia tidak menyangkal kalau punya cara membantunya. Sungguh, kedatangan Hanna sangat membantu tim medis. Aku yakin belum pernah bertemu orang bertalenta super yang menyadari talentanya sendiri daripada orang lain.”Aku bisa bayangkan itu pada Hanna. Terlepas dari yang terjadi pada masa lalunya yang dipenuhi perundung, dia memang bertalenta.“Irene ingin bertemu denganmu,” kata Tara, padaku. “Kamarnya
Dokter Gelda ingin bicara denganku, tetapi Lavi melarang keras.Ketika Lavi disibukkan Dokter Gelda, Hanna menghampiriku. “Aku senang kau kembali. Kalau kau merasa tidak baik, datanglah ke tim medis.”“Kau benar-benar sudah menyatu,” aku memujinya.“Katanya kau sering terluka, jadi jangan ragu datang padaku.”Aku berterima kasih, tetapi sebaiknya dia melupakan konsep itu.Pada akhirnya, urusan Lavi dengan Dokter Gelda selesai dengan gagasan Dokter Gelda: “Aku akan mengajakmu bicara setelah Lavi mengizinkanmu. Agak aneh, tapi aku menyetujuinya. Untuk saat ini, dia yang lebih mengerti kondisimu.”“Maaf membuat Dokter kerepotan,” kataku.“Mendengarmu sering minta maaf saja sudah memperkuat gagasan Lavi.”“Kau butuh teman mengobrol, Forlan?” tanya Tara.“Lavi bisa menghabisiku kalau aku mengajak bicara orang lain saat dia saja belum ben
Aku terbangun kembali ketika tengah malam.Kuputuskan keluar kamar, mendapati gerhaku gelap.Kurasakan Reila dan Fal di ruangannya, tertidur. Pita keluar bersamaku. Dia langsung menghampiri kotak makan yang sudah terisi sebelum masuk ruanganku. Aku menghampirinya juga, mengangkat kotak makan itu, membawanya keluar ke beranda belakang. Kali ini Pita tidak mengeong. Hanya mengikutiku.Ketika aku duduk dan dia mulai makan, aku mengusap bulunya.“Kata Isha, kucing itu salah satu hewan yang mampu merasakan kesedihan. Aku tidak merasa rautku sedih, tapi kau barangkali mengerti lebih dariku. Lavi pasti juga seperti itu. Pita, aku ini tidak tahu diuntung, ya, padahal Lavi memerhatikanku, tapi aku tidak mau dengar.”Pita mengeong.“Aku tidak mengerti bahasamu. Aku bukan Nadir, tapi kuanggap kau tadi mengumpat. Nada suaramu sama seperti saat aku tidur menindihmu. Penuh benci.”Dia mengeong lagi. Aku berusaha memahaminya
Kalau kemarin pagi-pagi buta aku sudah di pemakaman, hari ini aku sudah di gerha Lavi, menatap wajahnya yang tertidur dari jarak kurang sejengkal.Jangan tanya caraku masuk, yang penting aku sudah di sini.Aku ingin membangunkannya dengan cara inovatif, tetapi ideku sedikit—terutama karena aku sudah tergoda menciumnya. Beruntungnya, aku meleset. Aku mencium pipinya—kuharap aku melakukannya dengan penuh perasaan, dan kurasa itu cukup berhasil. Lavi terbangun. Pipinya bergerak, jadi aku menarik diri, dengan lembut mengusap kepalanya hingga matanya terbuka.“Hai,” sambutku, “selamat—” Aku agak tidak yakin. “—fajar.”“Hm,” dia tersenyum, membuka kecil matanya, “meleset?”“Matamu belum terbuka saja sudah bisa meledek, ya.”“Sekarang jangan meleset.”Jadi, aku menciumnya. Kali ini tidak meleset. Dan lagi-lagi Lavi tidak mau membiarkan