Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 436. AIR MATA #1

Share

436. AIR MATA #1

last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-24 13:00:33

Empat hari setelah keberangkatan, misi pencarian kami berakhir.

Sudah berhari-hari aku tidak terhubung dengan Lavi. Tampaknya jalur kami terputus karena benakku kacau. Sulit juga bagiku merasakan keberadaannya meski aku merasa itu hanya berlaku satu arah. Aku tidak bisa memikirkannya karena saat ini hampir semua sudut di kepalaku berisi segala hal tentang Bibi.

Pagi menjelang siang, Padang Anushka mewujud.

Kabut tipis itu. Jembatan penghubung itu.

Kami melangkah masuk. Jenderal yang paling depan. Lalu Kara. Aku yang paling belakang. Kami melewati jembatan perbatasan. Aku melihat bongkahan batu yang dihantam air. Suaranya selalu sangat keras, menutup suara apa pun.

Tidak ada yang menyambut, kecuali Mister. Tentu saja. Kami tidak pernah memberitahu Padang Anushka kalau kembali. Tak ada yang menyadari kedatangan kami, kecuali sang penjaga Padang Anushka.

Ketika kami tiba di bukit perbatasan, Mister sudah menunggu.

“Selamat datang k

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   437. AIR MATA #2

    “Yah, aku sedang latihan. Makanya tidak bisa merasakan posisimu,” terang Lavi. “Aku juga sulit terhubung denganmu, jadi kupikir ada sesuatu terjadi. Serius tidak ada pertempuran setelah kita berpisah?”Ketika kami berjalan ke gerha, aku tidak mau menceritakannya keras-keras, jadi aku menceritakannya di kepalanya—betapa aku mengingat segala tentang masa laluku bersama Bibi Nadya. Di titik itu, Lavi sudah hampir berkomentar, tetapi aku lebih cepat mengatakan kalau ternyata masa laluku tidak sebaik yang kubayangkan. Lalu aku tidak berniat menceritakan semuanya saat ini. Kuceritakan saja apa yang membuatku berduka. Aku tidak cerita masa muda Ibu dan Bibi. Aku hanya bilang, “Dia sudah seperti ibu keduaku.” Dan Lavi mengerti.“Apa yang kau lakukan setelah ini?” tanyanya.“Tidur,” jawabku, jujur. “Aku belum tidur dari semalam. Mungkin kembali sebentar. Menyapa Fal dan Reila. Lalu ke klinik. Menjeng

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-26
  • Selubung Memori   438. AIR MATA #3

    Langit masih gelap. Kabut juga lumayan tebal. Suasananya lembap. Dingin, benar-benar menusuk. Dan sepi. Tak terdengar suara apa-apa. Rasanya membuatku bisa merenung sampai tenggelam.Pagi-pagi buta, aku menghabiskan waktu di depan batu nisan Bibi.Hanya duduk. Tidak melakukan apa-apa.Atau sebenarnya melakukan sesuatu, tetapi rangkaiannya panjang.Jadi, ketika setidaknya jam malam sudah habis, aku membawa puluhan ikat bunga melewati jalur Telaga, menyeberangi danau pedih itu, lalu sampai di wilayah pemakaman. Di sanalah aku bertemu Jenderal. Dia tidak berdiri di suatu batu nisan. Dia hanya berjalan kembali dari sana. Dan kalau berpikir kami, setidaknya, saling tegur sapa atau apalah—tidak, kami tidak menegur sapa. Jenderal hanya langsung melewatiku. Begitu juga denganku. Hanya langsung melewatinya.Entah. Setelah mengetahui semuanya, rasanya kurang nyaman saat berada di sekitarnya. Kurasa gagasan awalku benar. Harusnya aku tidak melihat masa

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-28
  • Selubung Memori   439. AIR MATA #4

    Kami mengobrol di bawah pohon rindang. Matahari di tempat ini hangat. Bibi datang membawakan minuman. Kupikirkan aku tidak boleh minum sesuatu di tempat ini, tetapi ternyata boleh-boleh saja. Bibi bahkan menawarkan tambah kalau perlu. “Daripada kau kehausan, lebih baik diminum saja, kan?”Bibi duduk di dekatku, mengusap pelupuk mataku. Tidak ada air mata lagi, tetapi Bibi tetap mengusapnya. “Sejujurnya, Bibi senang kau menangis.”“Bukannya aku cengeng?” gumamku.“Tangisanmu selama ini tidak pernah berarti ketakutan. Tangisanmu selalu berarti kasih sayang. Hanya dari itu, Bibi tahu seberapa kuat perasaanmu pada Bibi. Setiap kau menangis, Bibi bersyukur. Rasanya malah menghangatkan.”“Begitu, ya?” Sejujurnya, aku malu—tetapi tidak bisa mengatakan itu.“Senang sekali punya dirimu yang menyayangi Bibi.”Ketika Bibi tersenyum, mau tak mau aku ikut tersenyum.&ldq

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-30
  • Selubung Memori   440. AIR MATA #5

    Aku benar-benar menghabiskan waktu di sana sampai detik terakhir.“Nanti Bibi yang mengunjungimu,” katanya. “Jangan sering kemari.”“Ada larangannya?”“Forlan, perbatasan diciptakan untuk mengurung arwah sepertiku. Manusia tidak semestinya berinteraksi dengan arwah. Pada dasarnya, batas waktu ada karena manusia dan arwah perlu pembatas. Bibi juga harus bekerja. Bibi akan datang saat bisa ke sana. Kembalilah.”Bibi mengantarku sampai ke lift. Namun, tak bisa terlalu dekat. Sekitar dua puluh meter, Bibi berhenti. “Bibi hanya bisa mengantarmu sampai sini.”Aku mengerti maksudnya, jadi ketika aku sudah di dalam lift, Bibi langsung melambaikan tangannya—membuatku teringat kenangan pedih yang semestinya tak kuingat. Aku tidak mau menangis lagi, jadi aku tersenyum, balas melambaikan tangan. Dunia perbatasan ini juga dibalut kabut tipis, membuatnya kelewat mirip dengan detik-detik itu. Bahka

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01
  • Selubung Memori   441. AIR MATA #6

    “Perlu kuakui sudah lama kalian tidak bertengkar di dekat klinik,” sambut Isha, saat kami memasuki klinik. Tara dan Moli tertawa kecil di belakang.“Memangnya terdengar, ya?” tanya Lavi, agak merona.“Tidak terlalu. Tapi cukup ribut.”“Mana anggota barumu?” tanyaku.“Di dalam. Dengan Dokter Gelda. Niko bangun beberapa jam yang lalu, jadi mereka memeriksa situasinya. Hanna berpengalaman dengan trauma. Sebenarnya dia tidak terlalu suka menangani orang dengan trauma, tapi dia tidak menyangkal kalau punya cara membantunya. Sungguh, kedatangan Hanna sangat membantu tim medis. Aku yakin belum pernah bertemu orang bertalenta super yang menyadari talentanya sendiri daripada orang lain.”Aku bisa bayangkan itu pada Hanna. Terlepas dari yang terjadi pada masa lalunya yang dipenuhi perundung, dia memang bertalenta.“Irene ingin bertemu denganmu,” kata Tara, padaku. “Kamarnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-03
  • Selubung Memori   442. AIR MATA #7

    Dokter Gelda ingin bicara denganku, tetapi Lavi melarang keras.Ketika Lavi disibukkan Dokter Gelda, Hanna menghampiriku. “Aku senang kau kembali. Kalau kau merasa tidak baik, datanglah ke tim medis.”“Kau benar-benar sudah menyatu,” aku memujinya.“Katanya kau sering terluka, jadi jangan ragu datang padaku.”Aku berterima kasih, tetapi sebaiknya dia melupakan konsep itu.Pada akhirnya, urusan Lavi dengan Dokter Gelda selesai dengan gagasan Dokter Gelda: “Aku akan mengajakmu bicara setelah Lavi mengizinkanmu. Agak aneh, tapi aku menyetujuinya. Untuk saat ini, dia yang lebih mengerti kondisimu.”“Maaf membuat Dokter kerepotan,” kataku.“Mendengarmu sering minta maaf saja sudah memperkuat gagasan Lavi.”“Kau butuh teman mengobrol, Forlan?” tanya Tara.“Lavi bisa menghabisiku kalau aku mengajak bicara orang lain saat dia saja belum ben

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-05
  • Selubung Memori   443. TAPAK TILAS #1

    Aku terbangun kembali ketika tengah malam.Kuputuskan keluar kamar, mendapati gerhaku gelap.Kurasakan Reila dan Fal di ruangannya, tertidur. Pita keluar bersamaku. Dia langsung menghampiri kotak makan yang sudah terisi sebelum masuk ruanganku. Aku menghampirinya juga, mengangkat kotak makan itu, membawanya keluar ke beranda belakang. Kali ini Pita tidak mengeong. Hanya mengikutiku.Ketika aku duduk dan dia mulai makan, aku mengusap bulunya.“Kata Isha, kucing itu salah satu hewan yang mampu merasakan kesedihan. Aku tidak merasa rautku sedih, tapi kau barangkali mengerti lebih dariku. Lavi pasti juga seperti itu. Pita, aku ini tidak tahu diuntung, ya, padahal Lavi memerhatikanku, tapi aku tidak mau dengar.”Pita mengeong.“Aku tidak mengerti bahasamu. Aku bukan Nadir, tapi kuanggap kau tadi mengumpat. Nada suaramu sama seperti saat aku tidur menindihmu. Penuh benci.”Dia mengeong lagi. Aku berusaha memahaminya

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-07
  • Selubung Memori   444. TAPAK TILAS #2

    Kalau kemarin pagi-pagi buta aku sudah di pemakaman, hari ini aku sudah di gerha Lavi, menatap wajahnya yang tertidur dari jarak kurang sejengkal.Jangan tanya caraku masuk, yang penting aku sudah di sini.Aku ingin membangunkannya dengan cara inovatif, tetapi ideku sedikit—terutama karena aku sudah tergoda menciumnya. Beruntungnya, aku meleset. Aku mencium pipinya—kuharap aku melakukannya dengan penuh perasaan, dan kurasa itu cukup berhasil. Lavi terbangun. Pipinya bergerak, jadi aku menarik diri, dengan lembut mengusap kepalanya hingga matanya terbuka.“Hai,” sambutku, “selamat—” Aku agak tidak yakin. “—fajar.”“Hm,” dia tersenyum, membuka kecil matanya, “meleset?”“Matamu belum terbuka saja sudah bisa meledek, ya.”“Sekarang jangan meleset.”Jadi, aku menciumnya. Kali ini tidak meleset. Dan lagi-lagi Lavi tidak mau membiarkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-09

Bab terbaru

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status