“Perlu kuakui sudah lama kalian tidak bertengkar di dekat klinik,” sambut Isha, saat kami memasuki klinik. Tara dan Moli tertawa kecil di belakang.
“Memangnya terdengar, ya?” tanya Lavi, agak merona.
“Tidak terlalu. Tapi cukup ribut.”
“Mana anggota barumu?” tanyaku.
“Di dalam. Dengan Dokter Gelda. Niko bangun beberapa jam yang lalu, jadi mereka memeriksa situasinya. Hanna berpengalaman dengan trauma. Sebenarnya dia tidak terlalu suka menangani orang dengan trauma, tapi dia tidak menyangkal kalau punya cara membantunya. Sungguh, kedatangan Hanna sangat membantu tim medis. Aku yakin belum pernah bertemu orang bertalenta super yang menyadari talentanya sendiri daripada orang lain.”
Aku bisa bayangkan itu pada Hanna. Terlepas dari yang terjadi pada masa lalunya yang dipenuhi perundung, dia memang bertalenta.
“Irene ingin bertemu denganmu,” kata Tara, padaku. “Kamarnya
Dokter Gelda ingin bicara denganku, tetapi Lavi melarang keras.Ketika Lavi disibukkan Dokter Gelda, Hanna menghampiriku. “Aku senang kau kembali. Kalau kau merasa tidak baik, datanglah ke tim medis.”“Kau benar-benar sudah menyatu,” aku memujinya.“Katanya kau sering terluka, jadi jangan ragu datang padaku.”Aku berterima kasih, tetapi sebaiknya dia melupakan konsep itu.Pada akhirnya, urusan Lavi dengan Dokter Gelda selesai dengan gagasan Dokter Gelda: “Aku akan mengajakmu bicara setelah Lavi mengizinkanmu. Agak aneh, tapi aku menyetujuinya. Untuk saat ini, dia yang lebih mengerti kondisimu.”“Maaf membuat Dokter kerepotan,” kataku.“Mendengarmu sering minta maaf saja sudah memperkuat gagasan Lavi.”“Kau butuh teman mengobrol, Forlan?” tanya Tara.“Lavi bisa menghabisiku kalau aku mengajak bicara orang lain saat dia saja belum ben
Aku terbangun kembali ketika tengah malam.Kuputuskan keluar kamar, mendapati gerhaku gelap.Kurasakan Reila dan Fal di ruangannya, tertidur. Pita keluar bersamaku. Dia langsung menghampiri kotak makan yang sudah terisi sebelum masuk ruanganku. Aku menghampirinya juga, mengangkat kotak makan itu, membawanya keluar ke beranda belakang. Kali ini Pita tidak mengeong. Hanya mengikutiku.Ketika aku duduk dan dia mulai makan, aku mengusap bulunya.“Kata Isha, kucing itu salah satu hewan yang mampu merasakan kesedihan. Aku tidak merasa rautku sedih, tapi kau barangkali mengerti lebih dariku. Lavi pasti juga seperti itu. Pita, aku ini tidak tahu diuntung, ya, padahal Lavi memerhatikanku, tapi aku tidak mau dengar.”Pita mengeong.“Aku tidak mengerti bahasamu. Aku bukan Nadir, tapi kuanggap kau tadi mengumpat. Nada suaramu sama seperti saat aku tidur menindihmu. Penuh benci.”Dia mengeong lagi. Aku berusaha memahaminya
Kalau kemarin pagi-pagi buta aku sudah di pemakaman, hari ini aku sudah di gerha Lavi, menatap wajahnya yang tertidur dari jarak kurang sejengkal.Jangan tanya caraku masuk, yang penting aku sudah di sini.Aku ingin membangunkannya dengan cara inovatif, tetapi ideku sedikit—terutama karena aku sudah tergoda menciumnya. Beruntungnya, aku meleset. Aku mencium pipinya—kuharap aku melakukannya dengan penuh perasaan, dan kurasa itu cukup berhasil. Lavi terbangun. Pipinya bergerak, jadi aku menarik diri, dengan lembut mengusap kepalanya hingga matanya terbuka.“Hai,” sambutku, “selamat—” Aku agak tidak yakin. “—fajar.”“Hm,” dia tersenyum, membuka kecil matanya, “meleset?”“Matamu belum terbuka saja sudah bisa meledek, ya.”“Sekarang jangan meleset.”Jadi, aku menciumnya. Kali ini tidak meleset. Dan lagi-lagi Lavi tidak mau membiarkan
Kami mengajak Fal ketika ke ladang bunga.Sebenarnya Fal juga sudah mencoba meraihku ketika aku bersedih. Hanya saja, semua tidak berujung baik. Ketika aku mengurung diri di kamar, Reila cerita kalau Fal berusaha membuka paksa pintu—katanya ingin memaksaku keluar. Dan Pita juga bersamaku, jadi Fal kehilangan dua orang yang menemaninya bermain. Dia mengobrak-abrik gagang pintu—aku tidak yakin apa yang sebenarnya ingin diucapkan Reila, tetapi kubayangkan Fal mengguncang gagang pintu berulang kali berharap itu terbuka—dan dia juga hampir menjerit. Bahkan Fal sudah menangis. Reila berhasil menenangkannya, mengatakan kalau aku butuh waktu, dan saat itu Pita sedang berusaha menenangkanku. Fal masih tidak terima. Pada akhirnya, bala bantuan datang. Tara mengambil alih Fal. Dia membelokkan perhatian Fal dengan membawanya pergi ke Profesor Merla. Lalu dia tertidur di sana, dibawa pulang oleh Tara sebelum jam malam karena mungkin saja aku sudah terbangun. Ternyata tid
Fal lanjut ke klinik ketika aku dan Lavi berbelok ke Balai Dewan. Kubilang, “Kami mau kerja. Nanti kita main lagi.” Dan dia menurut.Kami masuk ke ruangan tim peneliti, mendapati musik sangat keras sedang memenuhi ruangan. Jesse duduk santai di kursinya, membaca buku. Nuel bernyanyi sumbang, Asva tampaknya asyik sendiri dengan penyumbat telinga, Sani dan Nora mendiskusikan sesuatu. Arkha mengetik, yang dengan cepat langsung berseri-seri ketika melihat Lavi masuk ruangan. Sungguh, ruangan itu sepertinya menjadi lebih besar tanpa sepengetahuanku. Meski bertambah tiga orang, ruangan tidak kelihatan sesak. Justru rasanya lebih bercorak. Sekarang ruangan memiliki ventilasi—satu-satunya teknologi alami yang selama ini mereka hindari.Nuel langsung mematikan musik ketika menyadari kami masuk. “Oh, halo. Lama tidak lihat kalian berkunjung kemari.”Jesse juga akhirnya sadar, berbalik. “Wah, Bocah Alam.”“Hai, Jesse,&
Setidaknya, aku langsung latihan dengan Lavi setelah obrolan panjang.Dan setelah puas kalah membidik target dengan Lavi, aku memintanya ikut geng idiot memancing. Aku harus ambil ikan untuk Reila, dan secara teknis, Lavi pernah bilang kalau ingin ikut tongkrongan idiot. Itu membuat Lavi berseri-seri—mengatakan kalau dia juga ingin nongkrong bareng.“Kali ini aku takkan pisah kano denganmu,” kata Lavi.“Aku memang tidak mau ada penumpang lain di kano kita.”Maka aku dan Yasha menyeret kano ke pinggir danau. Cuacanya lumayan janggal—masih cukup mendung, dan Haswin dengan polos berkata, “Mungkin kita bisa sampai Pulau Pendiri kalau memancing sekarang,” yang sejujurnya sanggup mengundang celaan Dalton, tetapi entah bagaimana kami tetap lanjut. Lavi bahkan punya gagasan membawa lima jus jeruk, sebagai bentuk perayaan kami.“Kau satu kano dengan siapa?” tanya Dalton, padaku.“Kau m
Besoknya, aku baru teringat lagi janjiku dengan Bibi. Jadi, aku berniat mulai memberitahu Lavi semua hal yang perlu dia mengerti tentang arwah.Saat itu sedang hujan deras. Kami terpaksa mengakhiri latihan kami di hutan belakang Padang Anushka. Kami berlatih merebut batu dengan kemampuan. Cukup sengit, tetapi tiba-tiba hujan turun, dan aku tidak mau berlatih saat hujan. Lavi mau lanjut menuntut, “Kau pasti sengaja menurunkan hujan karena mau kalah!” Padahal di antara kami, dia yang sudah cukup kepayahan. Kami bertempur satu sama lain sejak selesai jam sarapan sampai hampir sore. Non stop. Jelas saja kami lelah. Hal beruntungnya, pemenang belum ditentukan karena hujan menghentikan kami.Jadi, setelah berhasil mengguyur diriku sendiri dan wangi Lavi semerbak di setiap helai yang kupakai, aku meluruskan kaki di bawah sofa ruang tengah Lavi. Kehangatan karpet bulu menenangkanku. Aku meletakkan kepala di sofa, melihat langit-langit, merasakan tubuhku mulai kemba
Irene dan Niko sudah mengenal Fal.Tentu saja. Fal selalu bermain bersama Tara dan tim medis—belakangan Fal juga semakin dekat dengan Hanna, jadi Fal akan mengenal para pasien di klinik lebih dulu dari para penghuni. Itu mengizinkan Fal mengulik lebih dalam soal Irene dan Niko—yang Fal bilang padaku adalah, “Mereka seperti ketakutan.”Pada akhirnya, aku juga berkenalan dengan Niko. Pemuda pendiam yang rambutnya baru dirapikan. Di lengannya tersisa bekas luka—yang menurut Isha: “Jauh lebih banyak di punggung.” Dan itu juga tergambar di wajahnya seolah ada beban yang tidak bisa terangkat. Matanya kelihatan seperti sehabis menangis. Dan dengan yakin Isha bilang padaku juga. “Dulu dia tidak begini. Dulu Niko memang pendiam, tapi dia pekerja keras. Dia bicara seperlunya, tapi juga asyik. Dia mengerti tentang kebun. Kadang membantu tim stok, tapi dia anggota tim penyerang. Dan dia ahli tombak. Dia nomor satu di jamannya.”
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t