Fal lanjut ke klinik ketika aku dan Lavi berbelok ke Balai Dewan. Kubilang, “Kami mau kerja. Nanti kita main lagi.” Dan dia menurut.
Kami masuk ke ruangan tim peneliti, mendapati musik sangat keras sedang memenuhi ruangan. Jesse duduk santai di kursinya, membaca buku. Nuel bernyanyi sumbang, Asva tampaknya asyik sendiri dengan penyumbat telinga, Sani dan Nora mendiskusikan sesuatu. Arkha mengetik, yang dengan cepat langsung berseri-seri ketika melihat Lavi masuk ruangan. Sungguh, ruangan itu sepertinya menjadi lebih besar tanpa sepengetahuanku. Meski bertambah tiga orang, ruangan tidak kelihatan sesak. Justru rasanya lebih bercorak. Sekarang ruangan memiliki ventilasi—satu-satunya teknologi alami yang selama ini mereka hindari.
Nuel langsung mematikan musik ketika menyadari kami masuk. “Oh, halo. Lama tidak lihat kalian berkunjung kemari.”
Jesse juga akhirnya sadar, berbalik. “Wah, Bocah Alam.”
“Hai, Jesse,&
Setidaknya, aku langsung latihan dengan Lavi setelah obrolan panjang.Dan setelah puas kalah membidik target dengan Lavi, aku memintanya ikut geng idiot memancing. Aku harus ambil ikan untuk Reila, dan secara teknis, Lavi pernah bilang kalau ingin ikut tongkrongan idiot. Itu membuat Lavi berseri-seri—mengatakan kalau dia juga ingin nongkrong bareng.“Kali ini aku takkan pisah kano denganmu,” kata Lavi.“Aku memang tidak mau ada penumpang lain di kano kita.”Maka aku dan Yasha menyeret kano ke pinggir danau. Cuacanya lumayan janggal—masih cukup mendung, dan Haswin dengan polos berkata, “Mungkin kita bisa sampai Pulau Pendiri kalau memancing sekarang,” yang sejujurnya sanggup mengundang celaan Dalton, tetapi entah bagaimana kami tetap lanjut. Lavi bahkan punya gagasan membawa lima jus jeruk, sebagai bentuk perayaan kami.“Kau satu kano dengan siapa?” tanya Dalton, padaku.“Kau m
Besoknya, aku baru teringat lagi janjiku dengan Bibi. Jadi, aku berniat mulai memberitahu Lavi semua hal yang perlu dia mengerti tentang arwah.Saat itu sedang hujan deras. Kami terpaksa mengakhiri latihan kami di hutan belakang Padang Anushka. Kami berlatih merebut batu dengan kemampuan. Cukup sengit, tetapi tiba-tiba hujan turun, dan aku tidak mau berlatih saat hujan. Lavi mau lanjut menuntut, “Kau pasti sengaja menurunkan hujan karena mau kalah!” Padahal di antara kami, dia yang sudah cukup kepayahan. Kami bertempur satu sama lain sejak selesai jam sarapan sampai hampir sore. Non stop. Jelas saja kami lelah. Hal beruntungnya, pemenang belum ditentukan karena hujan menghentikan kami.Jadi, setelah berhasil mengguyur diriku sendiri dan wangi Lavi semerbak di setiap helai yang kupakai, aku meluruskan kaki di bawah sofa ruang tengah Lavi. Kehangatan karpet bulu menenangkanku. Aku meletakkan kepala di sofa, melihat langit-langit, merasakan tubuhku mulai kemba
Irene dan Niko sudah mengenal Fal.Tentu saja. Fal selalu bermain bersama Tara dan tim medis—belakangan Fal juga semakin dekat dengan Hanna, jadi Fal akan mengenal para pasien di klinik lebih dulu dari para penghuni. Itu mengizinkan Fal mengulik lebih dalam soal Irene dan Niko—yang Fal bilang padaku adalah, “Mereka seperti ketakutan.”Pada akhirnya, aku juga berkenalan dengan Niko. Pemuda pendiam yang rambutnya baru dirapikan. Di lengannya tersisa bekas luka—yang menurut Isha: “Jauh lebih banyak di punggung.” Dan itu juga tergambar di wajahnya seolah ada beban yang tidak bisa terangkat. Matanya kelihatan seperti sehabis menangis. Dan dengan yakin Isha bilang padaku juga. “Dulu dia tidak begini. Dulu Niko memang pendiam, tapi dia pekerja keras. Dia bicara seperlunya, tapi juga asyik. Dia mengerti tentang kebun. Kadang membantu tim stok, tapi dia anggota tim penyerang. Dan dia ahli tombak. Dia nomor satu di jamannya.”
Rapat Dewan yang dibicarakan akhirnya datang, dan bisa kupastikan itu tipe perundingan paling berbeda yang pernah kualami sepanjang di Padang Anushka.Ada tiga keanehan.Pertama, Rapat Dewan dimulai setelah jam sarapan. Sebenarnya itu bukan hal aneh. Namun, entah bagaimana caranya Lavi tidak tahu sampai dia terkejut saat Dhiena tiba-tiba mengetuk gerhanya sambil menuntut, “Kau ditunggu! Mau sampai kapan kau mengurung diri dari Rapat Dewan?!”“Huh? Rapat Dewan? Bukannya malam?”“Sekarang!”Dia bergegas mengambil jubahnya, meninggalkan makanan yang masih sisa di mejanya, lalu berbisik padaku, “Aku tidak tahu ada Rapat Dewan, harusnya dia tidak marah begitu. Aku tidak salah, kan?”Kedua, Rapat Dewan tidak menghentikan kegiatan para penghuni. Biasanya penghuni dilarang keluar markas tim, tetapi kali ini dibebaskan. Lagi-lagi itu bukan hal aneh—itu pernah terjadi. Kara, Nadir, Profesor Merla&m
Dokter Gelda juga berterima kasih padaku, lalu bilang, “Pastikan kau tetap di dekat mereka. Mungkin salah satu faktor utama mengapa mereka mau keluar hari ini juga karena keberadaanmu bersama mereka.”Para dewan kembali ke Rapat Dewan. Lavi beranjak dengan berkata, “Kau pasti dipanggil ke Rapat Dewan, jadi persiapkan dirimu, oke?”“Jangan panggil aku terlalu cepat,” gerutuku.Lavi mengedipkan satu mata, tidak benar-benar membalas.Jadi, ternyata cukup banyak juga yang mengikuti perjalanan Irene dan Niko ke wilayah belakang Padang Anushka. Dari tim medis ada Tara dan Hanna. Anggap Fal juga tim medis. Lalu aku, Mika, Dalton, Yasha. Moli sebenarnya ingin ikut, tetapi dia kebagian jaga klinik. Aku bertanya-tanya bagaimana Tara mengumpulkan penghuni secepat itu.“Aku ke Rapat Dewan,” jawabnya. “Moli memberitahu penghuni. Harusnya kau tanya Moli bagaimana caranya secepat itu mengumpulkan semua orang.&
Aku tidak punya kegiatan yang perlu kulakukan. Dalton mengajakku lanjut bermain kartu di ruangan rawat Irene, tetapi aku tidak berminat. Selama Irene bisa kembali ke klinik, tugasku berakhir. Mika sebenarnya memperingatiku. “Aku kaget kau berpikir seperti itu,” katanya. “Sejak kapan kau jadi mesin pesuruh begitu?”“Memangnya kau ikut?” todongku.“Tidak.” Dia terkekeh. “Iya, maaf. Aku tipe yang butuh energi kalau habis bercengkerama lama dengan manusia.”“Dia temanmu.”“Temanku ini manusia.”Fal ikut Dalton. Reila belum kembali sejak dipanggil. Sepertinya dia benar-benar dilibatkan Rapat Dewan. Aku malas melakukan apa pun. Jadi, aku berbaring di gerha, memejamkan mata begitu saja.Kuharap aku tidak bermimpi aneh-aneh, tetapi terlanjur.Tidak sulit untuk mengerti apa yang kulihat.Awalnya mataku memandang langit. Langit malam. Tidak ada bintang da
Kalau boleh jujur, sebenarnya tidak ada kabar baik dalam perubahan sistem. Satu-satunya yang kelihatan gembira—hanya Lavi.“Sekarang kita punya topik yang bisa dibicarakan saat rapat tim!” katanya, begitu antusias. “Markas kita bisa benar-benar berguna. Aku tidak sabar berunding dengan kalian—oh! Aku juga tidak sabar berangkat denganmu!”“Tali sepatumu lepas,” adalah satu-satunya komentarku.Sehari setelah Rapat Dewan, geng idiot berkumpul lagi.Topiknya sudah jelas: ladang bunga dan area rehabilitasi.Kupikir Lavi ingin ikut, tetapi dia memilih pergi. “Aku harus bicara dengan Jesse. Sekarang peran tim penyerang hampir mengambil semua tugas tim peneliti. Kudengar semalam ada yang menawarkan diri berangkat misi.”“Bukannya aku harus menemanimu?”“Harusnya begitu.” Namun, dia tersenyum. “Kali ini biar aku yang berpikir. Aku tak bisa banyak membantu
Ladang bunga itu wilayah terluas setelah padang rumput.Sejujurnya pemandangan di ladang bunga selalu membuatku terpukau. Aku membayangkan Bibi bisa mengatur semua perkembangan bunga di ladang kelewat luas—itu luar biasa. Beberapa bunga kini sudah tidak terawat, tetapi di tangan Bibi, dulu ladang bunga pasti sangat indah untuk dipandang. Jadi, semestinya gagasan itu mutlak: kami tidak boleh menyentuh area yang ditanami bunga.Bentuk ladang bunga sendiri sangat teratur. Dari jalur masuk, ada jalan yang terbuat dari tanah halus, membelah ladang bunga ke kiri dan kanan—membentuk jalur lurus ke ujung yang berbatasan langsung dengan tebing danau. Gubuk Bibi ada di pinggir jalan menuju danau, jadi, secara teknis, gubuknya berada di tengah-tengah pekarangan bunga. Setelah pintu masuk ladang bunga, jalur juga bercabang. Satu jalur ke danau. Satu jalur ke mercusuar. Dari ladang bunga, mercusuar terlihat begitu jelas—tentu saja. Mercusuar dibangun di sebelah la