Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 442. AIR MATA #7

Share

442. AIR MATA #7

last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-05 13:00:52

Dokter Gelda ingin bicara denganku, tetapi Lavi melarang keras.

Ketika Lavi disibukkan Dokter Gelda, Hanna menghampiriku. “Aku senang kau kembali. Kalau kau merasa tidak baik, datanglah ke tim medis.”

“Kau benar-benar sudah menyatu,” aku memujinya.

“Katanya kau sering terluka, jadi jangan ragu datang padaku.”

Aku berterima kasih, tetapi sebaiknya dia melupakan konsep itu.

Pada akhirnya, urusan Lavi dengan Dokter Gelda selesai dengan gagasan Dokter Gelda: “Aku akan mengajakmu bicara setelah Lavi mengizinkanmu. Agak aneh, tapi aku menyetujuinya. Untuk saat ini, dia yang lebih mengerti kondisimu.”

“Maaf membuat Dokter kerepotan,” kataku.

“Mendengarmu sering minta maaf saja sudah memperkuat gagasan Lavi.”

“Kau butuh teman mengobrol, Forlan?” tanya Tara.

“Lavi bisa menghabisiku kalau aku mengajak bicara orang lain saat dia saja belum ben

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   443. TAPAK TILAS #1

    Aku terbangun kembali ketika tengah malam.Kuputuskan keluar kamar, mendapati gerhaku gelap.Kurasakan Reila dan Fal di ruangannya, tertidur. Pita keluar bersamaku. Dia langsung menghampiri kotak makan yang sudah terisi sebelum masuk ruanganku. Aku menghampirinya juga, mengangkat kotak makan itu, membawanya keluar ke beranda belakang. Kali ini Pita tidak mengeong. Hanya mengikutiku.Ketika aku duduk dan dia mulai makan, aku mengusap bulunya.“Kata Isha, kucing itu salah satu hewan yang mampu merasakan kesedihan. Aku tidak merasa rautku sedih, tapi kau barangkali mengerti lebih dariku. Lavi pasti juga seperti itu. Pita, aku ini tidak tahu diuntung, ya, padahal Lavi memerhatikanku, tapi aku tidak mau dengar.”Pita mengeong.“Aku tidak mengerti bahasamu. Aku bukan Nadir, tapi kuanggap kau tadi mengumpat. Nada suaramu sama seperti saat aku tidur menindihmu. Penuh benci.”Dia mengeong lagi. Aku berusaha memahaminya

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-07
  • Selubung Memori   444. TAPAK TILAS #2

    Kalau kemarin pagi-pagi buta aku sudah di pemakaman, hari ini aku sudah di gerha Lavi, menatap wajahnya yang tertidur dari jarak kurang sejengkal.Jangan tanya caraku masuk, yang penting aku sudah di sini.Aku ingin membangunkannya dengan cara inovatif, tetapi ideku sedikit—terutama karena aku sudah tergoda menciumnya. Beruntungnya, aku meleset. Aku mencium pipinya—kuharap aku melakukannya dengan penuh perasaan, dan kurasa itu cukup berhasil. Lavi terbangun. Pipinya bergerak, jadi aku menarik diri, dengan lembut mengusap kepalanya hingga matanya terbuka.“Hai,” sambutku, “selamat—” Aku agak tidak yakin. “—fajar.”“Hm,” dia tersenyum, membuka kecil matanya, “meleset?”“Matamu belum terbuka saja sudah bisa meledek, ya.”“Sekarang jangan meleset.”Jadi, aku menciumnya. Kali ini tidak meleset. Dan lagi-lagi Lavi tidak mau membiarkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-09
  • Selubung Memori   445. TAPAK TILAS #3

    Kami mengajak Fal ketika ke ladang bunga.Sebenarnya Fal juga sudah mencoba meraihku ketika aku bersedih. Hanya saja, semua tidak berujung baik. Ketika aku mengurung diri di kamar, Reila cerita kalau Fal berusaha membuka paksa pintu—katanya ingin memaksaku keluar. Dan Pita juga bersamaku, jadi Fal kehilangan dua orang yang menemaninya bermain. Dia mengobrak-abrik gagang pintu—aku tidak yakin apa yang sebenarnya ingin diucapkan Reila, tetapi kubayangkan Fal mengguncang gagang pintu berulang kali berharap itu terbuka—dan dia juga hampir menjerit. Bahkan Fal sudah menangis. Reila berhasil menenangkannya, mengatakan kalau aku butuh waktu, dan saat itu Pita sedang berusaha menenangkanku. Fal masih tidak terima. Pada akhirnya, bala bantuan datang. Tara mengambil alih Fal. Dia membelokkan perhatian Fal dengan membawanya pergi ke Profesor Merla. Lalu dia tertidur di sana, dibawa pulang oleh Tara sebelum jam malam karena mungkin saja aku sudah terbangun. Ternyata tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-11
  • Selubung Memori   446. PESTA KANO #1

    Fal lanjut ke klinik ketika aku dan Lavi berbelok ke Balai Dewan. Kubilang, “Kami mau kerja. Nanti kita main lagi.” Dan dia menurut.Kami masuk ke ruangan tim peneliti, mendapati musik sangat keras sedang memenuhi ruangan. Jesse duduk santai di kursinya, membaca buku. Nuel bernyanyi sumbang, Asva tampaknya asyik sendiri dengan penyumbat telinga, Sani dan Nora mendiskusikan sesuatu. Arkha mengetik, yang dengan cepat langsung berseri-seri ketika melihat Lavi masuk ruangan. Sungguh, ruangan itu sepertinya menjadi lebih besar tanpa sepengetahuanku. Meski bertambah tiga orang, ruangan tidak kelihatan sesak. Justru rasanya lebih bercorak. Sekarang ruangan memiliki ventilasi—satu-satunya teknologi alami yang selama ini mereka hindari.Nuel langsung mematikan musik ketika menyadari kami masuk. “Oh, halo. Lama tidak lihat kalian berkunjung kemari.”Jesse juga akhirnya sadar, berbalik. “Wah, Bocah Alam.”“Hai, Jesse,&

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-15
  • Selubung Memori   447. PESTA KANO #2

    Setidaknya, aku langsung latihan dengan Lavi setelah obrolan panjang.Dan setelah puas kalah membidik target dengan Lavi, aku memintanya ikut geng idiot memancing. Aku harus ambil ikan untuk Reila, dan secara teknis, Lavi pernah bilang kalau ingin ikut tongkrongan idiot. Itu membuat Lavi berseri-seri—mengatakan kalau dia juga ingin nongkrong bareng.“Kali ini aku takkan pisah kano denganmu,” kata Lavi.“Aku memang tidak mau ada penumpang lain di kano kita.”Maka aku dan Yasha menyeret kano ke pinggir danau. Cuacanya lumayan janggal—masih cukup mendung, dan Haswin dengan polos berkata, “Mungkin kita bisa sampai Pulau Pendiri kalau memancing sekarang,” yang sejujurnya sanggup mengundang celaan Dalton, tetapi entah bagaimana kami tetap lanjut. Lavi bahkan punya gagasan membawa lima jus jeruk, sebagai bentuk perayaan kami.“Kau satu kano dengan siapa?” tanya Dalton, padaku.“Kau m

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-17
  • Selubung Memori   448. PESTA KANO #3

    Besoknya, aku baru teringat lagi janjiku dengan Bibi. Jadi, aku berniat mulai memberitahu Lavi semua hal yang perlu dia mengerti tentang arwah.Saat itu sedang hujan deras. Kami terpaksa mengakhiri latihan kami di hutan belakang Padang Anushka. Kami berlatih merebut batu dengan kemampuan. Cukup sengit, tetapi tiba-tiba hujan turun, dan aku tidak mau berlatih saat hujan. Lavi mau lanjut menuntut, “Kau pasti sengaja menurunkan hujan karena mau kalah!” Padahal di antara kami, dia yang sudah cukup kepayahan. Kami bertempur satu sama lain sejak selesai jam sarapan sampai hampir sore. Non stop. Jelas saja kami lelah. Hal beruntungnya, pemenang belum ditentukan karena hujan menghentikan kami.Jadi, setelah berhasil mengguyur diriku sendiri dan wangi Lavi semerbak di setiap helai yang kupakai, aku meluruskan kaki di bawah sofa ruang tengah Lavi. Kehangatan karpet bulu menenangkanku. Aku meletakkan kepala di sofa, melihat langit-langit, merasakan tubuhku mulai kemba

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-19
  • Selubung Memori   449. PESTA KANO #4

    Irene dan Niko sudah mengenal Fal.Tentu saja. Fal selalu bermain bersama Tara dan tim medis—belakangan Fal juga semakin dekat dengan Hanna, jadi Fal akan mengenal para pasien di klinik lebih dulu dari para penghuni. Itu mengizinkan Fal mengulik lebih dalam soal Irene dan Niko—yang Fal bilang padaku adalah, “Mereka seperti ketakutan.”Pada akhirnya, aku juga berkenalan dengan Niko. Pemuda pendiam yang rambutnya baru dirapikan. Di lengannya tersisa bekas luka—yang menurut Isha: “Jauh lebih banyak di punggung.” Dan itu juga tergambar di wajahnya seolah ada beban yang tidak bisa terangkat. Matanya kelihatan seperti sehabis menangis. Dan dengan yakin Isha bilang padaku juga. “Dulu dia tidak begini. Dulu Niko memang pendiam, tapi dia pekerja keras. Dia bicara seperlunya, tapi juga asyik. Dia mengerti tentang kebun. Kadang membantu tim stok, tapi dia anggota tim penyerang. Dan dia ahli tombak. Dia nomor satu di jamannya.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • Selubung Memori   450. PANJI PATROLI #1

    Rapat Dewan yang dibicarakan akhirnya datang, dan bisa kupastikan itu tipe perundingan paling berbeda yang pernah kualami sepanjang di Padang Anushka.Ada tiga keanehan.Pertama, Rapat Dewan dimulai setelah jam sarapan. Sebenarnya itu bukan hal aneh. Namun, entah bagaimana caranya Lavi tidak tahu sampai dia terkejut saat Dhiena tiba-tiba mengetuk gerhanya sambil menuntut, “Kau ditunggu! Mau sampai kapan kau mengurung diri dari Rapat Dewan?!”“Huh? Rapat Dewan? Bukannya malam?”“Sekarang!”Dia bergegas mengambil jubahnya, meninggalkan makanan yang masih sisa di mejanya, lalu berbisik padaku, “Aku tidak tahu ada Rapat Dewan, harusnya dia tidak marah begitu. Aku tidak salah, kan?”Kedua, Rapat Dewan tidak menghentikan kegiatan para penghuni. Biasanya penghuni dilarang keluar markas tim, tetapi kali ini dibebaskan. Lagi-lagi itu bukan hal aneh—itu pernah terjadi. Kara, Nadir, Profesor Merla&m

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-23

Bab terbaru

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status