Di akhir hayatnya, Bibi berkata pada Jenderal, “Aku bahagia.”
Benarkah Bibi bahagia?
Citra itu berakhir di kematian Bibi. Tidak ada citra berikutnya. Sebenarnya aku berharap ada citra penjelasan yang membuatku mengerti mengapa Bibi bangkit sebagai arwah pendar putih. Namun, ketika Bibi menutup mata dan mengembuskan napas terakhirnya, citra itu juga berakhir. Perlahan, kabut memudar. Apa yang ada di hadapanku berubah tidak lagi dipenuhi kabut. Hanya ada medan naik alam liar.
Kara dan Jenderal terlihat di depanku. Berjalan dalam hening.
Aku menarik napas panjang, mengendalikan diri sebaik mungkin.
Aku menutup semua citra. Dadaku bergejolak, mendorong sesuatu di dalam pelupuk mata. Tidak. Aku harus mengendalikan diri. Aku tidak bisa kalau tiba-tiba menangis tanpa sebab. Mereka tidak tahu aku melakukan apa.
Jadi, aku mengembuskan napas, menengadah melihat langit. Pagi sudah tiba lagi. Hawanya agak dingin. Embun pagi masih terasa. Hut
Tiga hari sejak keberangkatan misi, kami akhirnya tiba di gua tujuan.Kara langsung memberi saran untuk menyebar, tetapi aku tidak bergerak. Di diskusi pertama kami sebelum sampai pintu gua, aku bilang pada mereka dengan nada yang lebih mantap dari bayanganku. “Aku berjaga dari luar.”Kali ini Jenderal tidak membantah seperti ketika aku meminta Lavi terlibat. Kara juga membisu, menatapku begitu pedih. Di pelupuk mataku masih ada bekas air mata. Mataku pasti sembap. Sorotku juga masih lumayan kaku. Dadaku sudah lumayan lega, tetapi masih ada getaran tersisa. Rasanya tidak ada yang benar-benar bisa membuatku pulih. Benakku kosong—rasanya sangat hampa.“Jenderal?” tanya Kara.“Lakukan sesukamu,” ucap Jenderal.Maka ketika mereka melakukan pencarian di dalam gua, aku hanya duduk di pintu masuk gua. Ada sungai yang beraliran lebih tenang dibanding ketika misi pertamaku. Kara awalnya melarang aku duduk sendirian
Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di gua itu. Tidak ada petunjuk berarti.Ketika kami keluar dari gua, sekali lagi kubilang pada mereka. “Kalau Kara dan Jenderal berkenan mencari lagi lebih lanjut, aku tidak keberatan menemani, tapi kalau punya pilihan, sejujurnya aku pilih mencari posisi Padang Anushka.”“Kita tidak bisa berpencar,” protes Kara.“Rasanya percuma kalau kita berjalan tiga hari penuh tapi tidak mendapat petunjuk seperti ini. Sebenarnya sejak awal aku juga ragu mengambil misi ini. Dulu, sewaktu kecil, aku tahu kalau Bibi juga sudah sejak lama mengikhlaskan kepergian putranya. Dan jujur saja, aku tidak punya motivasi selain Bibi dalam misi ini. Saat gagasan masa kecilku bangkit lagi, dengan segala hormat, maaf, aku merasa sudah menghambat pergerakan misi.”Kara terdiam.“Kurasa,” ujarku, “sudah sejak lama Bibi ingin menghentikan pencarian.”“Tidak apa, Nak.&rd
Empat hari setelah keberangkatan, misi pencarian kami berakhir.Sudah berhari-hari aku tidak terhubung dengan Lavi. Tampaknya jalur kami terputus karena benakku kacau. Sulit juga bagiku merasakan keberadaannya meski aku merasa itu hanya berlaku satu arah. Aku tidak bisa memikirkannya karena saat ini hampir semua sudut di kepalaku berisi segala hal tentang Bibi.Pagi menjelang siang, Padang Anushka mewujud.Kabut tipis itu. Jembatan penghubung itu.Kami melangkah masuk. Jenderal yang paling depan. Lalu Kara. Aku yang paling belakang. Kami melewati jembatan perbatasan. Aku melihat bongkahan batu yang dihantam air. Suaranya selalu sangat keras, menutup suara apa pun.Tidak ada yang menyambut, kecuali Mister. Tentu saja. Kami tidak pernah memberitahu Padang Anushka kalau kembali. Tak ada yang menyadari kedatangan kami, kecuali sang penjaga Padang Anushka.Ketika kami tiba di bukit perbatasan, Mister sudah menunggu.“Selamat datang k
“Yah, aku sedang latihan. Makanya tidak bisa merasakan posisimu,” terang Lavi. “Aku juga sulit terhubung denganmu, jadi kupikir ada sesuatu terjadi. Serius tidak ada pertempuran setelah kita berpisah?”Ketika kami berjalan ke gerha, aku tidak mau menceritakannya keras-keras, jadi aku menceritakannya di kepalanya—betapa aku mengingat segala tentang masa laluku bersama Bibi Nadya. Di titik itu, Lavi sudah hampir berkomentar, tetapi aku lebih cepat mengatakan kalau ternyata masa laluku tidak sebaik yang kubayangkan. Lalu aku tidak berniat menceritakan semuanya saat ini. Kuceritakan saja apa yang membuatku berduka. Aku tidak cerita masa muda Ibu dan Bibi. Aku hanya bilang, “Dia sudah seperti ibu keduaku.” Dan Lavi mengerti.“Apa yang kau lakukan setelah ini?” tanyanya.“Tidur,” jawabku, jujur. “Aku belum tidur dari semalam. Mungkin kembali sebentar. Menyapa Fal dan Reila. Lalu ke klinik. Menjeng
Langit masih gelap. Kabut juga lumayan tebal. Suasananya lembap. Dingin, benar-benar menusuk. Dan sepi. Tak terdengar suara apa-apa. Rasanya membuatku bisa merenung sampai tenggelam.Pagi-pagi buta, aku menghabiskan waktu di depan batu nisan Bibi.Hanya duduk. Tidak melakukan apa-apa.Atau sebenarnya melakukan sesuatu, tetapi rangkaiannya panjang.Jadi, ketika setidaknya jam malam sudah habis, aku membawa puluhan ikat bunga melewati jalur Telaga, menyeberangi danau pedih itu, lalu sampai di wilayah pemakaman. Di sanalah aku bertemu Jenderal. Dia tidak berdiri di suatu batu nisan. Dia hanya berjalan kembali dari sana. Dan kalau berpikir kami, setidaknya, saling tegur sapa atau apalah—tidak, kami tidak menegur sapa. Jenderal hanya langsung melewatiku. Begitu juga denganku. Hanya langsung melewatinya.Entah. Setelah mengetahui semuanya, rasanya kurang nyaman saat berada di sekitarnya. Kurasa gagasan awalku benar. Harusnya aku tidak melihat masa
Kami mengobrol di bawah pohon rindang. Matahari di tempat ini hangat. Bibi datang membawakan minuman. Kupikirkan aku tidak boleh minum sesuatu di tempat ini, tetapi ternyata boleh-boleh saja. Bibi bahkan menawarkan tambah kalau perlu. “Daripada kau kehausan, lebih baik diminum saja, kan?”Bibi duduk di dekatku, mengusap pelupuk mataku. Tidak ada air mata lagi, tetapi Bibi tetap mengusapnya. “Sejujurnya, Bibi senang kau menangis.”“Bukannya aku cengeng?” gumamku.“Tangisanmu selama ini tidak pernah berarti ketakutan. Tangisanmu selalu berarti kasih sayang. Hanya dari itu, Bibi tahu seberapa kuat perasaanmu pada Bibi. Setiap kau menangis, Bibi bersyukur. Rasanya malah menghangatkan.”“Begitu, ya?” Sejujurnya, aku malu—tetapi tidak bisa mengatakan itu.“Senang sekali punya dirimu yang menyayangi Bibi.”Ketika Bibi tersenyum, mau tak mau aku ikut tersenyum.&ldq
Aku benar-benar menghabiskan waktu di sana sampai detik terakhir.“Nanti Bibi yang mengunjungimu,” katanya. “Jangan sering kemari.”“Ada larangannya?”“Forlan, perbatasan diciptakan untuk mengurung arwah sepertiku. Manusia tidak semestinya berinteraksi dengan arwah. Pada dasarnya, batas waktu ada karena manusia dan arwah perlu pembatas. Bibi juga harus bekerja. Bibi akan datang saat bisa ke sana. Kembalilah.”Bibi mengantarku sampai ke lift. Namun, tak bisa terlalu dekat. Sekitar dua puluh meter, Bibi berhenti. “Bibi hanya bisa mengantarmu sampai sini.”Aku mengerti maksudnya, jadi ketika aku sudah di dalam lift, Bibi langsung melambaikan tangannya—membuatku teringat kenangan pedih yang semestinya tak kuingat. Aku tidak mau menangis lagi, jadi aku tersenyum, balas melambaikan tangan. Dunia perbatasan ini juga dibalut kabut tipis, membuatnya kelewat mirip dengan detik-detik itu. Bahka
“Perlu kuakui sudah lama kalian tidak bertengkar di dekat klinik,” sambut Isha, saat kami memasuki klinik. Tara dan Moli tertawa kecil di belakang.“Memangnya terdengar, ya?” tanya Lavi, agak merona.“Tidak terlalu. Tapi cukup ribut.”“Mana anggota barumu?” tanyaku.“Di dalam. Dengan Dokter Gelda. Niko bangun beberapa jam yang lalu, jadi mereka memeriksa situasinya. Hanna berpengalaman dengan trauma. Sebenarnya dia tidak terlalu suka menangani orang dengan trauma, tapi dia tidak menyangkal kalau punya cara membantunya. Sungguh, kedatangan Hanna sangat membantu tim medis. Aku yakin belum pernah bertemu orang bertalenta super yang menyadari talentanya sendiri daripada orang lain.”Aku bisa bayangkan itu pada Hanna. Terlepas dari yang terjadi pada masa lalunya yang dipenuhi perundung, dia memang bertalenta.“Irene ingin bertemu denganmu,” kata Tara, padaku. “Kamarnya
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t