Home / Romansa / Dokter Tampan Pemikat Wanita / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Dokter Tampan Pemikat Wanita: Chapter 21 - Chapter 30

111 Chapters

Perjodohan

Dari luar, rumah Ayah terlihat dicat warna krem berpadu cokelat tanah. Dilengkapi batuan kecokelatan dan air mancur di pertengahan kolam kecil berisi ikan mas koki.Belum lagi pot-pot putih dengan berbagai tanaman hias di depan rumah. Hiasan bernuansa logam sesekali ditemukan pada dinding dalam rumah yang didominasi warna putih. Khas Ayah sekali.Kepercayaan tentang keseimbangan unsur itu memang sering kudengar. Tentang logam, air, api, dan tanah. Kalau enggak salah sih gitu. Tapi, apa harus?Entahlah. Kepercayaan tiap orang kan beda.Aku sendiri masih belum jelas dalam mengenali Tuhan mana yang diikuti. Dalam keluarga besar Ayah mempercayai banyak dewa, tetapi agama yang dianut menguatkan trinitas.Para pria berseragam yang mengawal sepanjang perjalanan tadi meninggalkan kami di ruang depan yang kupikir khusus untuk tamu.Sofa-sofa tebal dari kulit solid memang empuk. Namun, pria tua yang selalu kutemui hanya dalam pesta itu mengurungkan niatku berlama-lama duduk.Alih-alih bersalaman
last updateLast Updated : 2021-07-08
Read more

Adik Perempuan

Mobil bak yang kuparkir di samping pedestrian langsung memperlihatkan sosok kedua perempuan yang kukenal. Mereka duduk dalam gazebo bertiang merah dengan hiasan bebatuan pada tiang bawahnya.Kuhela napas kuat-kuat setelah turun dari kendaraan roda empat yang sangat menguji kesabaran. Kecepatan terbatas dan rentan mogok.Aku jadi curiga kenapa enggak ada pengejar setelah kami keluar dari kawasan perumahan elite. Apalagi jarak yang ditempuh cukup jauh menuju lokasi taman yang dikirimkan Aya. Sekitar lebih dari setengah jam perjalanan.Lumayan buat saling mengorek informasi dari Abi, suami Jessie. Hanya enggak nyangka kalau mereka menikah karena digerebek warga saat melarikan diri di pinggiran kampung."Wah, ternyata Pak Irawan punya anak lain," seloroh Abi ketika mendengar ceritaku tentang Ayah di sepanjang perjalanan.Bisa saja kupukul dia di tempat karena candaan yang sama sekali enggak lucu mengenai tingkat percaya dirinya yang terlalu tinggi gegara urusan banyak wanita yang mengantri
last updateLast Updated : 2021-07-09
Read more

Sederhana

"Seriusan harus bersihin ginian?" tanya Aya yang masih berkutat dengan sapu di tangannya. Bukan buat bersihin debu, tapi mendorong sampah-sampah yang bertebaran ke sudut ruangan.Gila! Suaminya Jessie memberi kami tumpangan di tempat yang enggak pernah keurus?“Selamat datang di penginapan kami, Mas Abra. Dinikmatin aja, yak? Kalau mau ngopi sama mi instan, langsung ke bawah aja. Jangan lupa bayar di kasir,” kata pemuda bernama Abi itu sebelum meninggalkan kami berdua di ruangan yang masih satu gedung dengan mini market pinggir jalan.Cengiran jailnya enggak bakal kulupain. Dasar adik ipar durhaka!"Namanya juga gratisan, Ya." Jendela yang baru kubuka lumayan membawa angin segar, beserta polusi yang dibawa kendaraan besar di luaran. "Udah, yang penting ada tempat buat tiduran."Aku kira cuma di daerah aja yang penuh dengan polusi karena banyak jalan berlubang. Ternyata di kota besar juga punya masalah asap dan debu yang ... bisa dibilang enggak terekspos media.Kuturunkan kasur yang be
last updateLast Updated : 2021-07-09
Read more

Risak

Kutarik kerah dari kaus makhluk enggak tahu diri yang muncul dadakan di belakangku dan Aya. Cengiran di wajah Elzar membuatku harus menahan dalam-dalam keinginan membunuhnya."Lo ngapain ke sini?" Kulayangkan pertanyaan setelah melihat sekeliling, cukup jauh dari Aya yang masih bersandar di badan patung naga."Tempat umum? Hei! Gue kebetulan jalan doang sama temen-temen gue." Gerakan alis kanan Elzar yang naik bisa diartikan sebagai tantangan. Dia selalu melakukannya saat menjumpai hal menarik, diiringi seringai yang terkesan jahat di mataku. "Atau lo takut gue ngedeketin Aya?""Brengsek!" Peganganku pada kerahnya terlepas. Berbalik selangkah, lalu mengepalkan tangan hingga buku-buku tangan menghantam tembok di samping Elzar. "Gue udah bilang sama lo buat jauhin Aya."Penekanan kata dari bibirku spontan mengubah raut wajahnya. Mata melotot itu berganti, seolah terkejut atau menyiratkan ketakutan. Terutama karena punggungnya dadakan menegak lurus, bersandar pada dinding di belakangnya.
last updateLast Updated : 2021-07-09
Read more

Fantasi

Aku baru tahu kalau makan pedas itu bisa menyamarkan air mata. Wajah sendu Aya ketika menangis tertutupi dengan desisan setiap suapan berselimut saus kacang pedas dari bungkusan plastik di tangannya berhasil masuk mulut."Enggak jadi," katanya.Apa coba yang ada dalam pikiran perempuan kalau mau bilang sesuatu terus berubah jadi enggak? Entar kalau enggak ditanggapin, responnya malah dikatain enggak peka, enggak pengertian, dan berakhir, "Aku benci kamu."Enggak gitu juga. Kuharap Aya enggak kayak deretan mantan yang lain, dan dia emang beda, untuk urusan perhatian khususnya. Atau ... hanya aku yang ngerasa hubungan kami terlalu cepat?Aku mengikat bungkusan berisi sisa pentol. Masih bisa dimakan nanti. Lidahku sudah enggak kuat makan pedas banyak-banyak. "Cerita entar kalau udah siap."Perutku sudah lumayan, meski ya makanan pedas sangat tidak disarankan setelah tekanan paksa. Bakal ada perhitungan buat si makhluk mesum macam Elzar nanti. Kuregangkan tubuh dengan meluruskan kaki dan l
last updateLast Updated : 2021-07-10
Read more

Spekulasi

"Siapa yang diundang, Ca?" tanyaku sambil memperhatikan tampilan wajah dari meja rias di kamar Caca. Hasil tangan ajaib Caca berhasil menyamarkan lebam di permukaan kulit."Pakai ini?" Gadis itu menyodorkan satu stel tuksedo serba gelap. Lebih tepatnya memaksa kedua tanganku buat megang benda yang kayaknya bakal ngehabisin gajiku sebagai dokter di instansi milik pemerintah kalau beli sendiri."Biru tua?"Pertanyaanku lagi-lagi enggak dijawab. Caca mengambil lagi setelannya dan digantung pada hook di dekat kami. Satu per satu bagian dilepaskan dari penggantungnya; jas, kemeja, dan celana panjang.Caca melepaskan jubah mandi dari tubuhku, menyisakan celana dalam yang menutupi benda paling penting dalam hidup seorang lelaki.Risi, "Malu, Ca." Tanganku menutupi si jago yang ternyata menegang di balik kain merah muda bermotif temannya makhluk spons kuning."Kamu sering grepe-grepe, tapi enggak mau dipegang balik. Ternyata isinya Patrick." Dia tergelak. Jangan lupakan kebiasaan tawanya. Caca
last updateLast Updated : 2021-07-10
Read more

Tender

"Pengusaha milenial?"Beberapa orang di dekatku berdiri menertawakan kalimat tanya yang lebih terdengar seperti meremehkan. Penampilan mereka terlihat glamor dengan pakaian-pakaian yang jelas sekali di luar jangkauan.Eh, yang kukenakan juga sangat jauh di luar jangkauan kalau enggak ketemu Caca.Aya sesekali melirik jemariku yang memegangi tangannya atau clutch biru di genggaman lainnya. Terlihat memaksa senyum setiap bertemu tatap.Akhirnya dia setuju membantuku berpura-pura. "Untuk terakhir kali," katanya. Mungkin bakal ada pertimbangan lain setelah acara, tapi Aya sudah jauh lebih baik saat berjalan di sisiku.Kutelisik ruang terbuka yang disediakan pihak hotel untuk acara sia-sia di sepanjang pinggiran kolam renang. Pesta yang Caca bilang sebagai salah satu ajang investasi bisnis terselubung, ternyata enggak lebih dari pamer kekayaan."Kita buat ikan-ikan kecil itu mainin pasar, tangkapan besarnya tetap milik pemain lama.""Up aja biayanya. Nelayan enggak nyari pengganjal perut do
last updateLast Updated : 2021-07-10
Read more

Anak?

Kuhadapi mesin kopi yang masih menggiling otomatis sebelum mengucurkan air hitamnya pada kedua cangkir yang tersedia. "Espresso? Latte? Abra enggak punya cokelat panas di sini kalau mau dibuatin Mocha," tanyaku sekadar basa-basi.Pria tua yang menunggu di meja makan tampak memegangi kedua sisi kepalanya. Tanpa jawaban, dua cangkir kopi hitam tanpa susu berpindah ke hadapannya."Tanpa gula. Kalau mau manis, ada di stoples." Kugeser tempat bungkusan gula yang disediakan pihak hotel. Brown sugar jadi pilihanku jika memang tersedia di kafe atau resto. Manisnya beda."Abra—""Kenapa harus datang ke sini?" Panggilannya kusela dengan pertanyaan. Terdengar enggak sopan, tapi, aku memang enggak lagi ngeharapin dia melihatku kalau hanya jadi penambal masalah.Jari-jarinya yang kuingat di masa lalu besar dan kekar, ternyata telah berganti keriput. Rambut putih dan kantung mata Ayah terlalu kentara.Aku belum menyadari sosoknya yang menua di setiap pertemuan. Mungkin, karena aku terlalu banyak men
last updateLast Updated : 2021-07-10
Read more

Romantis

"Enggak jadi ngambil libur lama, Mas?" Lelaki yang kukenal sebagai rekan selama bekerja di rumah sakit memasuki ruangan. Dia mengambil bangku di meja lain yang ditandai papan namanya. Agus Mulyono."Sayang sama kerjaan di sini." Aku berbalik, memutar bangku menghadap keberadaannya sambil menggeser-geser layar ponsel yang gelap. Enggak dinyalakan."Kerjaan kok disayangin? Cewek yang sering ke datengin ke mana, Mas? Putus lagi?"Praduga yang bisa dipertimbangkan. Mas Anan juga nanya hal yang sama sebelumnya dan terang-terangan nanyain nomor kontak Aya. Kan rese."Gimana, ya?" Aku menggaruk tengkuk yang sebenarnya enggak gatal sama sekali. "Belum, sih. Cuma belum ada dihubungin lagi.""Berantem?""Iya, sih.""Didatengin atuh, Mas."Aku bersandar pada bangku kebesaran yang tebalnya sudah enggak sesuai dengan postur punggung. Penyangganya berderit setiap digunakan berputar. “Mas Agus tahu gimana biar dimaafin doi?” tanyaku tanpa melihat lawan bicara yang mulai senyap.Kayaknya Mas Agus sibu
last updateLast Updated : 2021-07-11
Read more

Telat

Menunggu di depan rumah Aya itu berisiko jadi tontonan para tetangga. Meski dikasih tahu berkali-kali kalau tidak ada orang di rumah, nyatanya aku masih betah duduk di dipan samping pintu masuk utama kontrakan Aya sambil menanggapi tawaran Mas Agus buat jadi rekannya dalam permainan daring.“Masih belum ketemu?” Padahal Mas Agus sudah tanya berkali-kali di sela pertarungan.Mungkin, hanya di permainan ini aja bisa ketemu Mas Agus. Bawa senjata laras panjang dan jadi sniper itu menyenangkan. Bidikan jarak jauh dari balik barak yang melindungi keseluruhan tubuh.Ah, pegel juga menggantungkan kaki. Aku bersila, menaikkan kaki ke dipan setelah melepas sepatu sambil menjawab, “Telepon juga enggak diangkat, Mas.”“Betah nunggu?” tanya rekan lain yang juga berada dalam satu tim.Ternyata mereka malah betah mengorek informasi pribadiku daripada membicarakan strategi yang sebenarnya lebih pada permainan acak. Naluri bertahan hidup dalam game lebih ngefek kalau dalam permainan bebas.“Ya, tunggu
last updateLast Updated : 2021-07-11
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status