Semua Bab Dokter Tampan Pemikat Wanita: Bab 31 - Bab 40

111 Bab

Norma

“Jadi telat, kan!” Aya memeriksa layar ponselnya setelah aku baru keluar dari kamar mandi. Dia tampak sudah berganti pakaian meski rambut basahnya masih beralaskan handuk di pundak. "Mama kamu kirimin foto jadwal. Eh, kamunya datang malah bikin mandi."“Ya, gimana?" Aku segera mengenakan pakaian dan memindahkan handuk ke kepala, mengusap rambut yang baru beberapa hari lalu dipotong jauh lebih pendek. "Berapa hari coba enggak ketemu? Kamu mau mengabaikanku?”Handuk yang sama, kugunakan pada rambut panjang Aya, menepukkannya berkali-kali sementara empunya rambut terus berpindah hanya untuk menyiapkan kopi dan mi rebus di meja makan."Makan dulu, Bra!" ajak Aya setelah mengambil alih handuk dari tanganku untuk digelung tinggi di puncak kepalanya. Dia mengangsurkan mangkuk kosong ke hadapanku begitu aku duduk di salah satu kursi."Rasa apa kali ini?" Kutunjukkan rasa antusias dengan mengambil sendiri garpu dari keranjang kecil dekat panci mi yang sepertinya menampung lebih dari dua bungkus
Baca selengkapnya

Ayam

“Memang tadi yang dibahas apa aja?” Mama masih terus bertanya meski tangannya sibuk meracik banyak bumbu dalam pinggan di atas kompor.“Cuma perkenalan.” Kukeluarkan beberapa botol jus jeruk setelah memastikan tanggal kedaluarsa kemasan, sementara Aya sudah berkutat dengan sayuran yang harus dipotong di meja kabinet samping wastafel.“Iya?”“Mama dulu gimana?” Aku mendekat, lebih tepatnya mengamati dengan berdiri di antara mereka.Para wanita yang memasak itu terlihat seksi. Apron yang diberikan Mama dengan motif kartun anak perempuan dan buah stroberi ke Aya justru membuatnya tampak lebih menggemaskan.“Dulu? Tiga puluh tahun lalu masih pembekalan mengenai tanggung jawab istri dan suami.”Mama mengalihkan perhatianku dengan menceritakan persiapan pernikahannya dengan Ayah. Benar, tiga puluh tahun lalu. Berarti ada jeda kekosongan selama dua tahun. Artinya, aku bukan anak hasil pernikahan terpaksa.Kuputar segel botol jus di tangan, bersandar pada pinggiran kabinet sambil meneguk sari
Baca selengkapnya

Profesionalitas

"Aya suka yang mana?" tanya Mama sambil menyodorkan beberapa katalog yang ditinggalkan temannya saat berkunjung ke rumah tadi.Aku tahu? Tentu aja. Seharian aku di rumah buat istirahat biar nanti malam enggak mabuk sif. Terus ... Aya datang karena panggilan Mama. Kenapa enggak di rumah Aya aja, sih, diskusinya?"Sederhana aja, Ma." Semenjak disajikan teh, Aya hanya memegangi cangkirnya sambil memperhatikan setiap lembar katalog yang Mama buka.Banyak pilihan. Aku juga sempat lihat beberapa, tapi belum ada yang minta pendapatku selama duduk pada sofa terpisah dari mereka.Antusias? Enggak terlalu. Menurutku, pernikahan itu memang sakral dan sifatnya pribadi. Seperti kata Aya, sederhana."Pernikahan cuma sekali seumur hidup loh, Ya."Racunnya para orang tua, nih. Terus, karena pernikahan sekali seumur hidup, harus besar-besaran?"Memang Mama nikahnya pakai acara besar?" celetukku seraya mengambil salah satu katalog yang menampilkan contoh desain tempat acara sepaket dengan pakaian pengan
Baca selengkapnya

Janjiku

"Lo bisa cari rumah sakit yang lebih mahal dari ini." Aku berkali-kali menutup mulut setiap menghadapi sosok pemuda seumuran denganku di lorong depan IGD. Membelakanginya sesekali dan gagal menghantamkan amarah ke wajahnya.Bukan karena ada masalah di antara kami, tetapi jika melihatnya, aku terus dihadapkan kekecewaan terhadap diri sendiri mengingat pertaruhan kami. Bagaimana jika Aya tahu?Apalagi kejadian di Surabaya cukup menambah jarak panas di antara kami. Ancamannya, juga pembicaraan-pembicaraan Elzar yang menurutku enggak mungkin Aya lakukan pasca trauma."Ada aturannya kalau nyokap gue harus cari rumah sakit lain?" Elzar menjauh, tepatnya menghadapi pilar penyangga lorong terdekat. Sikunya menopang kepala di sana. Lirih terdengar, "Gue juga enggak nyangka nyokap bakal kolaps."Apa harus menyingkirkan ego dulu di saat begini? "Masalah di rumah?""Kapan sih hidup kita enggak bermasalah?" Elzar balik bertanya.Kapan enggak bermasalah? Enggak pernah kayaknya. Anak-anak dari pernik
Baca selengkapnya

Kenyataan

"Kode biru, Pak."Aku segera menandatangani surat persetujuan pemindahan pasien yang selesai ditangani dan beralih pada panggilan Nanda di ranjang lainnya.Pria tua yang kuingat sebagai Pak Raden, bapaknya Aya, terbaring di sana bersama alat bantu pernapasan dalam keadaan tidak sadarkan diri.Stetoskop dari saku segera kugunakan untuk mengecek hitungan detak jantung berdasarkan detik dari arloji di tangan kananku. Lemah. Cenderung hilang beberapa kali.Jemariku bergerak menyentuh jalan napasnya yang lambat. Harusnya masih bisa dipacu."Bapak kenapa, Ya?" tanyaku pada gadis yang menyertai si bapak.Kulit wajah Aya sudah merah, basah dengan air mata yang terlihat beberapa kali diusap. "Pak Amir bilang Bapak pingsan di toko."Monitor menunjukkan lemahnya detak jantung Bapak. Aku sampai harus menekan pertengahan dadanya berkali-kali dengan cepat, berharap tampilan monitor berubah.Napasku mulai terengah. Enggak bakal kuat kalau begini. Setiap terlambat menekan, tekanan jantungnya langsung
Baca selengkapnya

Pernyataan

Brukkk!!!Aku enggak peduli masih dalam kawasan rumah sakit atau di luar. Masih mengenakan jas putih atau enggak. Yang jelas, ketemu Elzar di koridor saat emosi meledak seolah mencabut kewarasan dari otakku dan akhirnya menendang perut yang selalu dibanggakannya."Gue enggak nyangka lo bakal berulangkali nyakitin Aya! Lo belum puas dengan masa lalu?" Kepalan tangan kiriku lebih dulu mencium tulang hidungnya.Elzar mundur ke belakang tiang penyangga sambil mengusap darah yang keluar dari lubang hidungnya. Buku jariku berusaha mengejar wajahnya, tetapi berkali-kali gagal dan mengenai lapisan beton di sepanjang koridor. Kupegangi lutut sekaligus mengambil napas sebanyak mungkin sementara lawan masih bisa berkacak pinggang menertawakanku."Puas? Gue masih suka rasanya. Dulu atau sekarang. Pelacur lo yang polos itu ternyata bisa lebih lihai bermain di ranjang."Kuraih kerah kemeja hitamnya dengan cepat tanpa memberi kesempatan berontak. Elzar dalam kuasaku terjebak. Punggungnya mengenai din
Baca selengkapnya

Permintaan

Bodohnya, aku malah berlari di sepanjang koridor melalui belakang ruang IGD hanya untuk menemui Aya, memeluk aromanya yang sangat mampu menarik pemikiran gila dan egois di kepalaku. "Gimana Bapak, Ya?"Aya menunjuk pintu bertanda ICCU di belakang punggungnya setelah memberi jarak dengan melepaskan pelukanku. "Tadi sesak. Sekarang masih belum sadar." Punggung tangannya terus mengusap pipi yang basah."Aya, aku enggak bawa tisu atau sapu tangan, tapi kamu bisa pakai...." Kusodorkan bagian dada kaus yang kukenakan dan ternyata langsung ditariknya untuk mengusap lelehan yang keluar dari hidungnya.Enggak cuma sekali. Enggak ngitung juga berkali-kali dia membasahi kausku. Kupikir masih bisa ditutupi dengan menutup ritsleting jaket nanti.Melihat lendir transparan yang Aya tinggalkan, aku bergidik dan segera menarik ritsleting jaket kelabuku. Salahnya lagi, harusnya aku biarin dia ngelap ingus pakai jaketku aja. Jadi jaket bisa dilepas. Kalau ngelapis, cuciannya jadi dobel. Ah, kayak aku aja
Baca selengkapnya

Permintaan Bapak

Kulepaskan jaket terluar, lalu kaus yang melapisi tubuh. Sepagi ini, kena pendingin ruangan? Uh, rasanya menusuk kulit melalui pori-pori.Jemari panjang Aya tampak bergerilya di permukaan meja, perlahan ... mengetuk-ngetuk. Bola matanya memutar sekali karena terus menghadapi pertanyaan dari rekan kerja yang memergoki kami saling berpagut di belakang pintu."Masih langgeng? Jadi nikah beneran?" Tuh, kan. Mas Agus masih aja nanya. Biarpun tangannya repot sama perang senjata di dunia maya, lambe-nya masih bisa kepo."Um ..., tanya Aya. Masih mau enggak dianya sama saya?" Aku mengambil salah satu kaus dari laci. Warna putih dengan logo seperti akar kuadrat, salah satu merek terkenal yang lagi in di kalangan anak muda."Mbak Aya?" Mas Agus menghadap tempat dudukku yang Aya tempati. Sepertinya dia berhenti bermain dan meletakkan ponselnya di meja."Eng ..., enggak tahu."Aku mengulum bibir, menahan gelak karena Aya dadakan menoleh setelah terpaku melihatku memasang kaus."Suka?" Kuisyaratkan
Baca selengkapnya

Pemberkatan Dadakan

"Abra?" Aya menatap penuh harap padaku untuk mendekat.Kuacak kedua sisi rambut sebelum menghampirinya, mengambil tangan renta Bapak yang lain dari samping ranjang yang dikosongkan para petugas medis untukku.Aku bahkan sudah enggak ingat ke mana sandal sebelah kanan ketika mulai menjejak lantai keramik di ruangan. Alhasil, aku benar-benar biarkan kaki tanpa alas. Nanggung.Sambil melihat Aya, aku menanggapi panggilan Pak Raden dengan bertanya, "Ya, Bapak?"Tampaknya selang bantu pernapasan Bapak baru dilepas. Beliau terlihat sulit berbicara bahkan aku sampai perlu mendekatkan telinga ke dekat bibirnya.Suara serak terputus itu seolah bilang, "Bapak mau melihat kalian menikah sebelum Bapak pergi."Syukurnya Mas Anan tidak melakukan trakeostomi, prosedur melubangi leher untuk memasukkan selang melalui trakea agar bisa tetap bernapas. Kalau iya, mungkin suara Bapak benar-benar hilang.Apa tadi kata Bapak? Menikah? Pergi?Kami bahkan sempat menyatakan ingin pisah, tapi para orang tua sepe
Baca selengkapnya

Bapak Pulang

Jemari Aya masih dalam peganganku setelah cincin yang Mama bawakan tersemat. Cincin emas putih sebagai pengganti cincin sebelumnya. Tidak ada ciuman atau sapa setelah pemberkatan, melainkan kepanikan petugas medis ketika harus memeriksa helaan napas yang tersisa dari senyuman Bapak.Ini akibat ide gila dari Mas Anan yang memindahkan brankar Bapak ke koridor transit hanya untuk menyaksikan pernikahan kilat aku dan Aya. Kemudian Mama datang membawakan perlengkapan komuni dan kain selendang untuk menutup puncak kepala Aya saat pengucapan janji penyerahan diri di depan pastor yang tiba. Aku sendiri hanya bermodalkan kemeja lengan panjang dan celana drill hasil minjam Mas Agus yang kebetulan bertemu di koridor.Soal Mas Anan, orang yang dulunya kupikir selalu mengencani mantanku, ternyata mau memberi jalan untuk hubungan yang baik. Dia bahkan langsung memeriksa keadaan Bapak yang menutup mata perlahan setelah sakramen pernikahan, lalu menyatakan waktu, tanggal dan jam, wafatnya Pak Raden.B
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status