Bodohnya, aku malah berlari di sepanjang koridor melalui belakang ruang IGD hanya untuk menemui Aya, memeluk aromanya yang sangat mampu menarik pemikiran gila dan egois di kepalaku. "Gimana Bapak, Ya?"Aya menunjuk pintu bertanda ICCU di belakang punggungnya setelah memberi jarak dengan melepaskan pelukanku. "Tadi sesak. Sekarang masih belum sadar." Punggung tangannya terus mengusap pipi yang basah."Aya, aku enggak bawa tisu atau sapu tangan, tapi kamu bisa pakai...." Kusodorkan bagian dada kaus yang kukenakan dan ternyata langsung ditariknya untuk mengusap lelehan yang keluar dari hidungnya.Enggak cuma sekali. Enggak ngitung juga berkali-kali dia membasahi kausku. Kupikir masih bisa ditutupi dengan menutup ritsleting jaket nanti.Melihat lendir transparan yang Aya tinggalkan, aku bergidik dan segera menarik ritsleting jaket kelabuku. Salahnya lagi, harusnya aku biarin dia ngelap ingus pakai jaketku aja. Jadi jaket bisa dilepas. Kalau ngelapis, cuciannya jadi dobel. Ah, kayak aku aja
Kulepaskan jaket terluar, lalu kaus yang melapisi tubuh. Sepagi ini, kena pendingin ruangan? Uh, rasanya menusuk kulit melalui pori-pori.Jemari panjang Aya tampak bergerilya di permukaan meja, perlahan ... mengetuk-ngetuk. Bola matanya memutar sekali karena terus menghadapi pertanyaan dari rekan kerja yang memergoki kami saling berpagut di belakang pintu."Masih langgeng? Jadi nikah beneran?" Tuh, kan. Mas Agus masih aja nanya. Biarpun tangannya repot sama perang senjata di dunia maya, lambe-nya masih bisa kepo."Um ..., tanya Aya. Masih mau enggak dianya sama saya?" Aku mengambil salah satu kaus dari laci. Warna putih dengan logo seperti akar kuadrat, salah satu merek terkenal yang lagi in di kalangan anak muda."Mbak Aya?" Mas Agus menghadap tempat dudukku yang Aya tempati. Sepertinya dia berhenti bermain dan meletakkan ponselnya di meja."Eng ..., enggak tahu."Aku mengulum bibir, menahan gelak karena Aya dadakan menoleh setelah terpaku melihatku memasang kaus."Suka?" Kuisyaratkan
"Abra?" Aya menatap penuh harap padaku untuk mendekat.Kuacak kedua sisi rambut sebelum menghampirinya, mengambil tangan renta Bapak yang lain dari samping ranjang yang dikosongkan para petugas medis untukku.Aku bahkan sudah enggak ingat ke mana sandal sebelah kanan ketika mulai menjejak lantai keramik di ruangan. Alhasil, aku benar-benar biarkan kaki tanpa alas. Nanggung.Sambil melihat Aya, aku menanggapi panggilan Pak Raden dengan bertanya, "Ya, Bapak?"Tampaknya selang bantu pernapasan Bapak baru dilepas. Beliau terlihat sulit berbicara bahkan aku sampai perlu mendekatkan telinga ke dekat bibirnya.Suara serak terputus itu seolah bilang, "Bapak mau melihat kalian menikah sebelum Bapak pergi."Syukurnya Mas Anan tidak melakukan trakeostomi, prosedur melubangi leher untuk memasukkan selang melalui trakea agar bisa tetap bernapas. Kalau iya, mungkin suara Bapak benar-benar hilang.Apa tadi kata Bapak? Menikah? Pergi?Kami bahkan sempat menyatakan ingin pisah, tapi para orang tua sepe
Jemari Aya masih dalam peganganku setelah cincin yang Mama bawakan tersemat. Cincin emas putih sebagai pengganti cincin sebelumnya. Tidak ada ciuman atau sapa setelah pemberkatan, melainkan kepanikan petugas medis ketika harus memeriksa helaan napas yang tersisa dari senyuman Bapak.Ini akibat ide gila dari Mas Anan yang memindahkan brankar Bapak ke koridor transit hanya untuk menyaksikan pernikahan kilat aku dan Aya. Kemudian Mama datang membawakan perlengkapan komuni dan kain selendang untuk menutup puncak kepala Aya saat pengucapan janji penyerahan diri di depan pastor yang tiba. Aku sendiri hanya bermodalkan kemeja lengan panjang dan celana drill hasil minjam Mas Agus yang kebetulan bertemu di koridor.Soal Mas Anan, orang yang dulunya kupikir selalu mengencani mantanku, ternyata mau memberi jalan untuk hubungan yang baik. Dia bahkan langsung memeriksa keadaan Bapak yang menutup mata perlahan setelah sakramen pernikahan, lalu menyatakan waktu, tanggal dan jam, wafatnya Pak Raden.B
Kubelokkan setang motor Aya memasuki area parkir tanpa pagar di depan rumah dominasi putih. Rumah dua lantai yang kutempati bersama Mama sejak bisa menghasilkan uang sendiri. Sejak usia dua puluh dua rasanya, ketika aku mulai ikut magang di beberapa rumah sakit karena rekomendasi salah satu dosen.Aku memarkir motor sport hitam milik Aya dekat dinding dan sempat berpikir lagi mengenai pemberian yang Elzar bahas sebelumnya. Siapa yang berbohong? Aya atau Elzar?"Masuk duluan," pintaku saat membuka helm dan menoleh ke Aya yang sepertinya masih betah terdiam memegangi jasku. Ralat, jasnya Mas Agus yang masih kupinjam.Bisa kulihat Mama membuka pintu rumah dan menunggu menantunya di ambang pintu. Ini ternyata jauh lebih mudah daripada menerima perjodohan dari Ayah. Melihat Mama mendapatkan pilihannya, itu terasa jauh lebih berharga.Ya, aku mengangguk sesaat sebelum turun. Kedua mataku berkedip saat mendongak, menahan panas yang memenuhi kelopak. Sepintas, melihat langit semakin gelap bers
"Perlu kusiapkan sesuatu?" Aya mengusapkan kain handuk di kepalaku setelah aku keluar dari kamar mandi dan duduk di kasur menghadapinya.Kemejaku ternyata masih lebar di tubuh Aya yang memiliki tinggi hampir menyamaiku dan mampu menutupi dirinya yang belum mengenakan apa pun di balik itu dengan baik.Tampak kamar tidak lagi seberantakan beberapa menit sebelumnya. Seenggaknya pakaian tidak lagi bertebaran meski seprai sudah tidak karuan bentuknya."Enggak perlu."Kutelisik perubahan raut wajahnya dari diam hingga memaksakan senyum yang berkesan datar ketika merasa diperhatikan. Sembab di kelopak mata Aya sangat terlihat.Punggung tanganku dipeganginya hingga menyentuh rahang. Dia terpejam, lalu menghidu setiap jari yang menjauh.Aroma percintaan masih begitu kuat menguar di permukaan kasur yang basah karena pakaianku setelah hujan."Ada yang salah, Bra?"Ada. Kamu. Kenapa aku harus merasa sakit karenamu?Urung kuucap. Sebelum Aya menarikku mendekatinya, membuka bibir untuk sambutan yang
Aku masih belum tenang menunggu Aya di depan kamar mandi. Dia berkeras untuk menggunakannya pagi ini juga setelah bangun tidur.Semalam?Enggak ada pengulangan kejadian kemarin. Pemaksaan sebelumnya saja membuatku ingat tudingan para aktivis yang menyebutkan pemerkosaan pada istri sendiri sebagai bentuk kekerasan seksual.Aku memilih berjaga dekat peti mati yang diletakkan di ruang depan. Bapaknya Aya yang terlihat tenang dari penutup peti yang sengaja dibuka sebagian menemaniku di sepanjang malam meski tak membalas setiap kisah yang kubicarakan. Tentang Aya di masa SMA yang cenderung taat aturan dan fokus belajar hingga tak peduli dengan pergaulan di sekitarnya.Aku jadi mencerna setiap interaksi canggung masa remaja bersama Aya dulu ketika harus menghadapi Bapak yang membisu dalam peti semalam.Serem?Enggak. Sudah sering ketemu jenazah waktu awal koas dan dapet tugas memeriksa beberapa korban pembunuhan yang telah membusuk."Bagaimana hasilnya?"Pertanyaanku keluar begitu saja setel
"Ayo pulang, Ya!" Ajakanku ternyata diabaikan. Aya masih betah menebar bunga di sepanjang gundukan tanah di hadapannya, mengacak, lalu menebar ulang.Kupikir, menggodanya sebelum turun menemui peti mati Bapak bisa mengurangi kesedihannya. Namun, jiwa histerisnya kembali mencuat di tengah para tamu yang bisa dihitung dengan jari. Aku sampai perlu memeganginya di sepanjang upacara pemakaman.Kebanyakan yang datang hanya mengucap belasungkawa, lalu pergi.Kematian ....Orang sebaik Bapak enggak terlalu dikenal. Atau mungkin karena kebaikannya hanya untuk orang terdekat? Yang kuingat hanya para penggosip di tukang sayur dekat rumah Aya dan pemuda tetangga Aya yang menegur saat aku ke sana dulu."Manusia hanya mengingat kebaikan ketika seseorang berada dalam puncak kejayaan, Bra. Enggak banyak yang bakal ingat kebaikannya setelah terpuruk," kata Aya, menjawab pertanyaan dalam pikiranku setelah semua pelayat pergi dari kompleks pemakaman.Ada benarnya. Mati ketika sedang jaya pun bukan hanya
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken