"Kode biru, Pak."Aku segera menandatangani surat persetujuan pemindahan pasien yang selesai ditangani dan beralih pada panggilan Nanda di ranjang lainnya.Pria tua yang kuingat sebagai Pak Raden, bapaknya Aya, terbaring di sana bersama alat bantu pernapasan dalam keadaan tidak sadarkan diri.Stetoskop dari saku segera kugunakan untuk mengecek hitungan detak jantung berdasarkan detik dari arloji di tangan kananku. Lemah. Cenderung hilang beberapa kali.Jemariku bergerak menyentuh jalan napasnya yang lambat. Harusnya masih bisa dipacu."Bapak kenapa, Ya?" tanyaku pada gadis yang menyertai si bapak.Kulit wajah Aya sudah merah, basah dengan air mata yang terlihat beberapa kali diusap. "Pak Amir bilang Bapak pingsan di toko."Monitor menunjukkan lemahnya detak jantung Bapak. Aku sampai harus menekan pertengahan dadanya berkali-kali dengan cepat, berharap tampilan monitor berubah.Napasku mulai terengah. Enggak bakal kuat kalau begini. Setiap terlambat menekan, tekanan jantungnya langsung
Brukkk!!!Aku enggak peduli masih dalam kawasan rumah sakit atau di luar. Masih mengenakan jas putih atau enggak. Yang jelas, ketemu Elzar di koridor saat emosi meledak seolah mencabut kewarasan dari otakku dan akhirnya menendang perut yang selalu dibanggakannya."Gue enggak nyangka lo bakal berulangkali nyakitin Aya! Lo belum puas dengan masa lalu?" Kepalan tangan kiriku lebih dulu mencium tulang hidungnya.Elzar mundur ke belakang tiang penyangga sambil mengusap darah yang keluar dari lubang hidungnya. Buku jariku berusaha mengejar wajahnya, tetapi berkali-kali gagal dan mengenai lapisan beton di sepanjang koridor. Kupegangi lutut sekaligus mengambil napas sebanyak mungkin sementara lawan masih bisa berkacak pinggang menertawakanku."Puas? Gue masih suka rasanya. Dulu atau sekarang. Pelacur lo yang polos itu ternyata bisa lebih lihai bermain di ranjang."Kuraih kerah kemeja hitamnya dengan cepat tanpa memberi kesempatan berontak. Elzar dalam kuasaku terjebak. Punggungnya mengenai din
Bodohnya, aku malah berlari di sepanjang koridor melalui belakang ruang IGD hanya untuk menemui Aya, memeluk aromanya yang sangat mampu menarik pemikiran gila dan egois di kepalaku. "Gimana Bapak, Ya?"Aya menunjuk pintu bertanda ICCU di belakang punggungnya setelah memberi jarak dengan melepaskan pelukanku. "Tadi sesak. Sekarang masih belum sadar." Punggung tangannya terus mengusap pipi yang basah."Aya, aku enggak bawa tisu atau sapu tangan, tapi kamu bisa pakai...." Kusodorkan bagian dada kaus yang kukenakan dan ternyata langsung ditariknya untuk mengusap lelehan yang keluar dari hidungnya.Enggak cuma sekali. Enggak ngitung juga berkali-kali dia membasahi kausku. Kupikir masih bisa ditutupi dengan menutup ritsleting jaket nanti.Melihat lendir transparan yang Aya tinggalkan, aku bergidik dan segera menarik ritsleting jaket kelabuku. Salahnya lagi, harusnya aku biarin dia ngelap ingus pakai jaketku aja. Jadi jaket bisa dilepas. Kalau ngelapis, cuciannya jadi dobel. Ah, kayak aku aja
Kulepaskan jaket terluar, lalu kaus yang melapisi tubuh. Sepagi ini, kena pendingin ruangan? Uh, rasanya menusuk kulit melalui pori-pori.Jemari panjang Aya tampak bergerilya di permukaan meja, perlahan ... mengetuk-ngetuk. Bola matanya memutar sekali karena terus menghadapi pertanyaan dari rekan kerja yang memergoki kami saling berpagut di belakang pintu."Masih langgeng? Jadi nikah beneran?" Tuh, kan. Mas Agus masih aja nanya. Biarpun tangannya repot sama perang senjata di dunia maya, lambe-nya masih bisa kepo."Um ..., tanya Aya. Masih mau enggak dianya sama saya?" Aku mengambil salah satu kaus dari laci. Warna putih dengan logo seperti akar kuadrat, salah satu merek terkenal yang lagi in di kalangan anak muda."Mbak Aya?" Mas Agus menghadap tempat dudukku yang Aya tempati. Sepertinya dia berhenti bermain dan meletakkan ponselnya di meja."Eng ..., enggak tahu."Aku mengulum bibir, menahan gelak karena Aya dadakan menoleh setelah terpaku melihatku memasang kaus."Suka?" Kuisyaratkan
"Abra?" Aya menatap penuh harap padaku untuk mendekat.Kuacak kedua sisi rambut sebelum menghampirinya, mengambil tangan renta Bapak yang lain dari samping ranjang yang dikosongkan para petugas medis untukku.Aku bahkan sudah enggak ingat ke mana sandal sebelah kanan ketika mulai menjejak lantai keramik di ruangan. Alhasil, aku benar-benar biarkan kaki tanpa alas. Nanggung.Sambil melihat Aya, aku menanggapi panggilan Pak Raden dengan bertanya, "Ya, Bapak?"Tampaknya selang bantu pernapasan Bapak baru dilepas. Beliau terlihat sulit berbicara bahkan aku sampai perlu mendekatkan telinga ke dekat bibirnya.Suara serak terputus itu seolah bilang, "Bapak mau melihat kalian menikah sebelum Bapak pergi."Syukurnya Mas Anan tidak melakukan trakeostomi, prosedur melubangi leher untuk memasukkan selang melalui trakea agar bisa tetap bernapas. Kalau iya, mungkin suara Bapak benar-benar hilang.Apa tadi kata Bapak? Menikah? Pergi?Kami bahkan sempat menyatakan ingin pisah, tapi para orang tua sepe
Jemari Aya masih dalam peganganku setelah cincin yang Mama bawakan tersemat. Cincin emas putih sebagai pengganti cincin sebelumnya. Tidak ada ciuman atau sapa setelah pemberkatan, melainkan kepanikan petugas medis ketika harus memeriksa helaan napas yang tersisa dari senyuman Bapak.Ini akibat ide gila dari Mas Anan yang memindahkan brankar Bapak ke koridor transit hanya untuk menyaksikan pernikahan kilat aku dan Aya. Kemudian Mama datang membawakan perlengkapan komuni dan kain selendang untuk menutup puncak kepala Aya saat pengucapan janji penyerahan diri di depan pastor yang tiba. Aku sendiri hanya bermodalkan kemeja lengan panjang dan celana drill hasil minjam Mas Agus yang kebetulan bertemu di koridor.Soal Mas Anan, orang yang dulunya kupikir selalu mengencani mantanku, ternyata mau memberi jalan untuk hubungan yang baik. Dia bahkan langsung memeriksa keadaan Bapak yang menutup mata perlahan setelah sakramen pernikahan, lalu menyatakan waktu, tanggal dan jam, wafatnya Pak Raden.B
Kubelokkan setang motor Aya memasuki area parkir tanpa pagar di depan rumah dominasi putih. Rumah dua lantai yang kutempati bersama Mama sejak bisa menghasilkan uang sendiri. Sejak usia dua puluh dua rasanya, ketika aku mulai ikut magang di beberapa rumah sakit karena rekomendasi salah satu dosen.Aku memarkir motor sport hitam milik Aya dekat dinding dan sempat berpikir lagi mengenai pemberian yang Elzar bahas sebelumnya. Siapa yang berbohong? Aya atau Elzar?"Masuk duluan," pintaku saat membuka helm dan menoleh ke Aya yang sepertinya masih betah terdiam memegangi jasku. Ralat, jasnya Mas Agus yang masih kupinjam.Bisa kulihat Mama membuka pintu rumah dan menunggu menantunya di ambang pintu. Ini ternyata jauh lebih mudah daripada menerima perjodohan dari Ayah. Melihat Mama mendapatkan pilihannya, itu terasa jauh lebih berharga.Ya, aku mengangguk sesaat sebelum turun. Kedua mataku berkedip saat mendongak, menahan panas yang memenuhi kelopak. Sepintas, melihat langit semakin gelap bers
"Perlu kusiapkan sesuatu?" Aya mengusapkan kain handuk di kepalaku setelah aku keluar dari kamar mandi dan duduk di kasur menghadapinya.Kemejaku ternyata masih lebar di tubuh Aya yang memiliki tinggi hampir menyamaiku dan mampu menutupi dirinya yang belum mengenakan apa pun di balik itu dengan baik.Tampak kamar tidak lagi seberantakan beberapa menit sebelumnya. Seenggaknya pakaian tidak lagi bertebaran meski seprai sudah tidak karuan bentuknya."Enggak perlu."Kutelisik perubahan raut wajahnya dari diam hingga memaksakan senyum yang berkesan datar ketika merasa diperhatikan. Sembab di kelopak mata Aya sangat terlihat.Punggung tanganku dipeganginya hingga menyentuh rahang. Dia terpejam, lalu menghidu setiap jari yang menjauh.Aroma percintaan masih begitu kuat menguar di permukaan kasur yang basah karena pakaianku setelah hujan."Ada yang salah, Bra?"Ada. Kamu. Kenapa aku harus merasa sakit karenamu?Urung kuucap. Sebelum Aya menarikku mendekatinya, membuka bibir untuk sambutan yang