Home / Romansa / Dokter Tampan Pemikat Wanita / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Dokter Tampan Pemikat Wanita: Chapter 11 - Chapter 20

111 Chapters

Jodoh

"Bra! Aku bilang bakal bayar ke kamu, tapi enggak bisa sekarang." Aya memegang kepala sabuk pengamannya, belum lagi dimasukkan dalam sambungan di bangku penumpang. Dia menunduk sebelum melihatku menyerahkan tas plastik berisi beberapa jenis botol cairan obat injeksi dalam kotak beserta nota pembelian."Aku enggak bilang sekarang. Aku cuma ngasih kamu pilihan." Kututup pintu mobil. Berdiam diri sejenak dan menghela napas panjang.Daftar obat yang diserahkan Aya tidak mudah didapat, juga tidak bisa sembarang beli. Penggantinya memang banyak, tapi bakal menunggu keputusan dari dokter yang mengampu prosedur pengobatan lagi. "Bapakmu kehilangan kesadaran sampai harus menerima injeksi?"Aya mengangguk pelan. Bibir bawahnya dimajukan hingga menutup bibir atas. Jari-jarinya memainkan pegangan tas plastik, semakin keras sampai harus kupegangi."Ya Tuhan. Aya?" Kumajukan diri hingga lebih dekat di depan Aya, berusaha menatap kedua mata kelamnya dengan menarik naik dagu Aya. Lingkar gelap di seke
last updateLast Updated : 2021-07-05
Read more

Camer

"Kamu itu nyadar enggak sih, Bra?" Tatapan sendu itu berganti sorot tajam ketika telunjuk Aya naik menyusuri sisi kiri wajahku. "Aku berkali-kali berusaha menghindar, kamunya malah selalu datang di saat aku enggak punya pilihan."Suara Aya yang terdengar serak, menggairahkan. Wajahnya mendekat, memberi napas hangat yang menggoda. Lalu, cengkeraman di leher membuatku tersentak. Dia menekan tepat di saluran napas hingga aku harus berusaha tetap tenang. Kepanikan hanya mempercepat habisnya oksigen dalam aliran darah.Gelas di tangan jatuh, pecah di dekat pijakan."Tuhan bener, dong," ucapku tanpa lepaskan pandangan tepat pada kedua titik matanya."Bener?""Kalau kamu memang cocok jadi jodohku."Aya melepaskan cengkeramannya dengan mendorongku hingga menabrak pagar pembatas. Syukur masih selamat, enggak jatuh atau ....Hanya kebayang ketinggian dari lantai tiga bangunan besar nan luas. Aku bergidik ngeri. Mungkin enggak bakal ketahuan kalau ada yang mati membusuk."Gila!" Sindiran Aya meng
last updateLast Updated : 2021-07-05
Read more

Rasa

"Cewek yang dijodohin sama kamu?" tanya Aya saat aku masih berkutat dengan obeng kembang untuk membuka setiap baut yang terpasang pada benda kotak berbahan plastik.Ukurannya seperti televisi layar datar saat pertama kali keluar, hanya saja tidak ada layar kecuali disambungkan pada monitor terpisah. Kotak ini memiliki slot pemutar disket dan cakram. Kabel yang mungkin dipasangkan pada slot belakangnya masih berukuran besar."Caca?" Kusebutkan nama gadis yang seringkali dipertanyakan Aya. Mungkin dia enggak ingat."Yang waktu itu dandanin aku, kan?"Jadi ngerasa diinterogasi terus-terusan. Meski Aya sibuk dengan bongkar-pasang komputer dan laptop di meja utama, otaknya seolah bisa memikirkan hal lain yang enggak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan."Iya.""Kamu akrab sama dia. Kenapa enggak jadian beneran aja?"Bolehkah aku ngerasa percaya diri kali ini? Kayak nemu kecemburuan dalam intonasi bicaranya.Kupastikan jumlah baut dalam kotak penyimpanan yang Aya berikan sebelumnya lalu mend
last updateLast Updated : 2021-07-06
Read more

Rencana

"Ada tamu, Kanaya?"Suara berat yang terdengar diiringi batuk mendekat. Aya mendadak mendorongku. Kalau enggak nguasai diri, mungkin saja aku bakal menjatuhkan lemari pembatas karena panik. Untungnya, Pak Raden melihatku seperti baru keluar dari dapur."Eh, Bapak." Aya lebih dulu menyapa dan menarik kursi untuk duduk bapaknya. Senyumannya seolah dipaksakan, terlihat dari bagaimana mata besarnya melotot padaku beberapa kali."Tadi ngetok, tapi pintu enggak ditutup. Kalian lagi nyiapin makanan?" Bapaknya Aya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dari kukusan."Makan, Pak." Kusodorkan panci berisi sayur ke dekatnya.Perlengkapan di rumah Aya tidak seperti d/i tempat Mama yang membedakan segala jenis hidangan berdasarkan ukuran. Semua seadanya, pakai yang ada aja."Pak dokter, kan?" Pak Raden menoleh padaku, menyambut dengan senyum keramahan. Lengkung yang terbentuk di matanya menyorotkan ketulusan ketika mempersilakan. "Ayo, makan juga."Kutarik kursi berbeda dari kayu tanpa sandara
last updateLast Updated : 2021-07-06
Read more

Tuai

“Aku menang lagi. Jangan lupa. Siapin surat-surat pengalihan kepemilikan. Ditunggu.”Kukirimkan sederet kalimat pesan ke kontak Elzar beserta bukti kebersamaanku dengan Aya yang masih terlelap. Kausnya kuturunkan hingga menutupi kulit yang sempat memberi hangat bagi indra penciumanku.Tak ingin mengusik, kurapikan tampilan Aya yang masih betah menutup mata di hamparan kasur tipisnya. Sekali kecupan kudaratkan di puncak kepalanya sebelum beranjak, membenahi kaus dan celana panjangku yang kusut karena pergumulan singkat.Aku masih ingat penolakan yang kembali terjadi sebelum penyatuan. Kata “sakit” di sana membuatku harus terus meyakinkannya dengan belai dan janji yang mungkin sulit dipenuhi.“Mau ke mana, Bra?” Pertanyaan yang sama sering kudapatkan dari pasangan sebelumnya setiap sang gadis membuka mata karena tidak menemukan tubuhku di sisi.Gejolak hasrat yang membara itu nikmatnya hanya sesaat. Setelah tuntas, enggak tahu lagi harus bagaimana setelahnya. Aya benar, rasa penasaranku
last updateLast Updated : 2021-07-06
Read more

Belum

“Hei, Bra!”Kaki kananku diturunkan dari susunan kursi hingga menabrak lantai. Ingin tahu oknumnya, tapi terlalu silau menghadapi cahaya yang memenuhi ruangan ketika menurunkan lengan yang menutupi mata. Aku kembali terpejam meski tahu suara si pemanggil yang sangat familier.“Ngapain manggil namaku kayak dalemanmu, Ya?”Kaki kiriku menyentuh bantalan lembut yang bersandar di kursi seiring sengatan yang neyerang paha kananku.“Itu mulut udah dicuci bersih belum? Masih nutup mata aja, ngomongnya udah kotor banget.”Aku refleks duduk, menghadapi aroma manisnya tanpa perlu membuka mata. “Barusan sikatan pake sianida.” Kedua tanganku langsung melingkar di pinggangnya dan menyandarkan kepala di bahu Aya.“Gila!” Bahkan dia menggeleng pun terasa.Aku menyipit, membuka penglihatan perlahan hingga jelas sosok yang kutempeli. “Ke sini pakai apa?”Rambut panjang Aya tergerai, terlihat lebih terang dari sweter hitamnya. Mungkinkah dia menutupi tanda yang enggak sengaja kutinggalkan?“Mobilmu.” Ay
last updateLast Updated : 2021-07-07
Read more

Milikku

“Aku cuma kebayang …. Gimana kalau misalnya aku yang mati sendirian di ranjang rumah sakit. Tanpa keluarga.”Jemari panjang Aya terasa memilah helaian rambutku yang sepertinya sudah mampu menutupi pandangan jika diurai ke depan. Suaranya tidak terdengar, tetapi bisa kulihat raut bekunya dari pantulan cermin yang menjadi pintu lemariku secara penuh di seberang ranjang. Jemari dari tangan kirinya kuangkat naik menjelajahi udara di depan wajah hingga lengan membentuk garis lurus.“Selama ini aku melihat keluarga yang nangis, kecewa, bahkan mengumpat dokter yang dianggap enggak mampu menyelamatkan nyawa pasien. Padahal kami berusaha semaksimal mungkin.”Kepalaku masih betah berpangku perutnya. Hangat. Berbanding terbalik dengan pendingin ruangan yang digunakan untuk menghilangkan peluh di tubuh.“Kami bukan Tuhan yang dengan menjentikkan jari saja bisa memberi jiwa pada tubuh mati.”Aku masih betah bercerita. Mungkin, hanya saat bersamanya kurasakan kenyamanan. Seperti sepuluh tahun lalu,
last updateLast Updated : 2021-07-07
Read more

Nikah?

"Mama bilang apa tadi sebelum pergi, Abra?" Wanita yang kulihat di depan pintu kamar hampir mengetuk pintu langsung melayangkan omelan panjang menyangkut makan siang di luar."Ya Tuhan, Ma. Sorry, Abra beneran lupa." Aku mengusap tengkuk sambil melirik Aya yang masih mengumpulkan pakaiannya.Hanya berharap Mama tetap berada di luar kamar. Mau nutup pintu, Mama sudah lihat aku mau keluar. Kutahan daun pintu seraya memaksakan senyuman sementara Mama masih mengoceh."Mama udah telepon kamu berkali-kali, tapi—"Ucapan Mama terhenti ketika memaksa masuk. Aku sudah mengusap wajah dengan kasar sambil membelakangi, menendang-nendang dinding pelan sambil bersiul, tahu pemandangan seperti apa yang bakal Mama saksikan."Aya masih di sini?""Sore, Tante." Suara serak Aya menyambut."Kalian ngapain?"Pembicaraan mereka terdengar pelan, tentu aku enggak berani berbalik. Apalagi suara benda jatuh di belakang. Gelas kaca pecah?"Abra? Abra jawab Mama!"Daun telingaku ditarik hingga menghadap ranjang.
last updateLast Updated : 2021-07-07
Read more

Rencana

"Ngajuin izin berapa lama, Mas Abra?" tanya Pak Agus saat melihatku meletakkan amplop surat di buku besar presensi kerja."Semingguan, Pak." Kedua tanganku masuk dalam saku jas ketika menghampirinya, menyamakan langkah di koridor menuju ruangan dokter. "Adikku mau nikah, Pak.""Wah, Mas Abra ternyata punya saudara.""Saudari, sih. Beda ibu." Kepalaku menggeleng, menunduk sekali dan menggulirkan senyum dengan menaikkan ujung kanan bibir. "Secara nyata, belum pernah ketemu."Rekan sejawatku sejak bertugas di IGD itu menepuk bahuku sebelum memisahkan diri di depan ruang yang dituju. Dia berbelok ke arah lain setelah berpamitan dan mengucap, "Moga lancar, Mas."Sempat kuaminkan, tetapi kemunculan Aya yang duduk di bangku kerjaku dalam ruangan menarik perhatian. Ingin menerkamnya kalau saja enggak ingat pesan Mama terakhir kali.Ah, aku jadi paham alasan Pak Agus pergi.Jemari kurus Aya menekan tiap tuts kibor laptop tanpa melepaskan penglihatan dari layar."Ngapain?" tanyaku setelah mendar
last updateLast Updated : 2021-07-08
Read more

Nyawa

Tahu rasanya meminjam lagi dari orang lain?Bepergian pun rasanya seperti diingatkan dan dikejar-kejar. Yah, meski enggak bakal ditagih juga kalau yang ngasih pinjam kayak Caca. Uang kayak enggak berdigit dalam sakunya."Ambil yang mana, Bra?"Aya menutup ritsleting jaket sambil menghampiriku di lorong showroom rental motor. Dia mengikat asal rambut panjangnya di belakang.Setengah jam dari bandara menggunakan taksi cukup menambah kusut wajahnya yang hampir tidak tersentuh riasan selain pelembab. Tau dandanan itu juga karena beberapa kali harus mengikutiku menghadiri acara yang Ayah adakan.Aku masih ingat saat pertama kali Caca menyapukan perona di pipi Aya. Gadis itu terbatuk berkali-kali. Lucu."Yang mana?" Aya mengulang pertanyaannya.Kami berpikir menyewa kendaraan biar bisa leluasa sejak menginjak Surabaya dan sempat berdebat panjang mengenai penggunaan roda dua atau empat. Dan ... Aya menang. Kondisi keuangan memang membatasi perjalanan kami biar lebih banyak berhemat."Terserah
last updateLast Updated : 2021-07-08
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status