“Hei, Bra!”Kaki kananku diturunkan dari susunan kursi hingga menabrak lantai. Ingin tahu oknumnya, tapi terlalu silau menghadapi cahaya yang memenuhi ruangan ketika menurunkan lengan yang menutupi mata. Aku kembali terpejam meski tahu suara si pemanggil yang sangat familier.“Ngapain manggil namaku kayak dalemanmu, Ya?”Kaki kiriku menyentuh bantalan lembut yang bersandar di kursi seiring sengatan yang neyerang paha kananku.“Itu mulut udah dicuci bersih belum? Masih nutup mata aja, ngomongnya udah kotor banget.”Aku refleks duduk, menghadapi aroma manisnya tanpa perlu membuka mata. “Barusan sikatan pake sianida.” Kedua tanganku langsung melingkar di pinggangnya dan menyandarkan kepala di bahu Aya.“Gila!” Bahkan dia menggeleng pun terasa.Aku menyipit, membuka penglihatan perlahan hingga jelas sosok yang kutempeli. “Ke sini pakai apa?”Rambut panjang Aya tergerai, terlihat lebih terang dari sweter hitamnya. Mungkinkah dia menutupi tanda yang enggak sengaja kutinggalkan?“Mobilmu.” Ay
“Aku cuma kebayang …. Gimana kalau misalnya aku yang mati sendirian di ranjang rumah sakit. Tanpa keluarga.”Jemari panjang Aya terasa memilah helaian rambutku yang sepertinya sudah mampu menutupi pandangan jika diurai ke depan. Suaranya tidak terdengar, tetapi bisa kulihat raut bekunya dari pantulan cermin yang menjadi pintu lemariku secara penuh di seberang ranjang. Jemari dari tangan kirinya kuangkat naik menjelajahi udara di depan wajah hingga lengan membentuk garis lurus.“Selama ini aku melihat keluarga yang nangis, kecewa, bahkan mengumpat dokter yang dianggap enggak mampu menyelamatkan nyawa pasien. Padahal kami berusaha semaksimal mungkin.”Kepalaku masih betah berpangku perutnya. Hangat. Berbanding terbalik dengan pendingin ruangan yang digunakan untuk menghilangkan peluh di tubuh.“Kami bukan Tuhan yang dengan menjentikkan jari saja bisa memberi jiwa pada tubuh mati.”Aku masih betah bercerita. Mungkin, hanya saat bersamanya kurasakan kenyamanan. Seperti sepuluh tahun lalu,
"Mama bilang apa tadi sebelum pergi, Abra?" Wanita yang kulihat di depan pintu kamar hampir mengetuk pintu langsung melayangkan omelan panjang menyangkut makan siang di luar."Ya Tuhan, Ma. Sorry, Abra beneran lupa." Aku mengusap tengkuk sambil melirik Aya yang masih mengumpulkan pakaiannya.Hanya berharap Mama tetap berada di luar kamar. Mau nutup pintu, Mama sudah lihat aku mau keluar. Kutahan daun pintu seraya memaksakan senyuman sementara Mama masih mengoceh."Mama udah telepon kamu berkali-kali, tapi—"Ucapan Mama terhenti ketika memaksa masuk. Aku sudah mengusap wajah dengan kasar sambil membelakangi, menendang-nendang dinding pelan sambil bersiul, tahu pemandangan seperti apa yang bakal Mama saksikan."Aya masih di sini?""Sore, Tante." Suara serak Aya menyambut."Kalian ngapain?"Pembicaraan mereka terdengar pelan, tentu aku enggak berani berbalik. Apalagi suara benda jatuh di belakang. Gelas kaca pecah?"Abra? Abra jawab Mama!"Daun telingaku ditarik hingga menghadap ranjang.
"Ngajuin izin berapa lama, Mas Abra?" tanya Pak Agus saat melihatku meletakkan amplop surat di buku besar presensi kerja."Semingguan, Pak." Kedua tanganku masuk dalam saku jas ketika menghampirinya, menyamakan langkah di koridor menuju ruangan dokter. "Adikku mau nikah, Pak.""Wah, Mas Abra ternyata punya saudara.""Saudari, sih. Beda ibu." Kepalaku menggeleng, menunduk sekali dan menggulirkan senyum dengan menaikkan ujung kanan bibir. "Secara nyata, belum pernah ketemu."Rekan sejawatku sejak bertugas di IGD itu menepuk bahuku sebelum memisahkan diri di depan ruang yang dituju. Dia berbelok ke arah lain setelah berpamitan dan mengucap, "Moga lancar, Mas."Sempat kuaminkan, tetapi kemunculan Aya yang duduk di bangku kerjaku dalam ruangan menarik perhatian. Ingin menerkamnya kalau saja enggak ingat pesan Mama terakhir kali.Ah, aku jadi paham alasan Pak Agus pergi.Jemari kurus Aya menekan tiap tuts kibor laptop tanpa melepaskan penglihatan dari layar."Ngapain?" tanyaku setelah mendar
Tahu rasanya meminjam lagi dari orang lain?Bepergian pun rasanya seperti diingatkan dan dikejar-kejar. Yah, meski enggak bakal ditagih juga kalau yang ngasih pinjam kayak Caca. Uang kayak enggak berdigit dalam sakunya."Ambil yang mana, Bra?"Aya menutup ritsleting jaket sambil menghampiriku di lorong showroom rental motor. Dia mengikat asal rambut panjangnya di belakang.Setengah jam dari bandara menggunakan taksi cukup menambah kusut wajahnya yang hampir tidak tersentuh riasan selain pelembab. Tau dandanan itu juga karena beberapa kali harus mengikutiku menghadiri acara yang Ayah adakan.Aku masih ingat saat pertama kali Caca menyapukan perona di pipi Aya. Gadis itu terbatuk berkali-kali. Lucu."Yang mana?" Aya mengulang pertanyaannya.Kami berpikir menyewa kendaraan biar bisa leluasa sejak menginjak Surabaya dan sempat berdebat panjang mengenai penggunaan roda dua atau empat. Dan ... Aya menang. Kondisi keuangan memang membatasi perjalanan kami biar lebih banyak berhemat."Terserah
Dari luar, rumah Ayah terlihat dicat warna krem berpadu cokelat tanah. Dilengkapi batuan kecokelatan dan air mancur di pertengahan kolam kecil berisi ikan mas koki.Belum lagi pot-pot putih dengan berbagai tanaman hias di depan rumah. Hiasan bernuansa logam sesekali ditemukan pada dinding dalam rumah yang didominasi warna putih. Khas Ayah sekali.Kepercayaan tentang keseimbangan unsur itu memang sering kudengar. Tentang logam, air, api, dan tanah. Kalau enggak salah sih gitu. Tapi, apa harus?Entahlah. Kepercayaan tiap orang kan beda.Aku sendiri masih belum jelas dalam mengenali Tuhan mana yang diikuti. Dalam keluarga besar Ayah mempercayai banyak dewa, tetapi agama yang dianut menguatkan trinitas.Para pria berseragam yang mengawal sepanjang perjalanan tadi meninggalkan kami di ruang depan yang kupikir khusus untuk tamu.Sofa-sofa tebal dari kulit solid memang empuk. Namun, pria tua yang selalu kutemui hanya dalam pesta itu mengurungkan niatku berlama-lama duduk.Alih-alih bersalaman
Mobil bak yang kuparkir di samping pedestrian langsung memperlihatkan sosok kedua perempuan yang kukenal. Mereka duduk dalam gazebo bertiang merah dengan hiasan bebatuan pada tiang bawahnya.Kuhela napas kuat-kuat setelah turun dari kendaraan roda empat yang sangat menguji kesabaran. Kecepatan terbatas dan rentan mogok.Aku jadi curiga kenapa enggak ada pengejar setelah kami keluar dari kawasan perumahan elite. Apalagi jarak yang ditempuh cukup jauh menuju lokasi taman yang dikirimkan Aya. Sekitar lebih dari setengah jam perjalanan.Lumayan buat saling mengorek informasi dari Abi, suami Jessie. Hanya enggak nyangka kalau mereka menikah karena digerebek warga saat melarikan diri di pinggiran kampung."Wah, ternyata Pak Irawan punya anak lain," seloroh Abi ketika mendengar ceritaku tentang Ayah di sepanjang perjalanan.Bisa saja kupukul dia di tempat karena candaan yang sama sekali enggak lucu mengenai tingkat percaya dirinya yang terlalu tinggi gegara urusan banyak wanita yang mengantri
"Seriusan harus bersihin ginian?" tanya Aya yang masih berkutat dengan sapu di tangannya. Bukan buat bersihin debu, tapi mendorong sampah-sampah yang bertebaran ke sudut ruangan.Gila! Suaminya Jessie memberi kami tumpangan di tempat yang enggak pernah keurus?“Selamat datang di penginapan kami, Mas Abra. Dinikmatin aja, yak? Kalau mau ngopi sama mi instan, langsung ke bawah aja. Jangan lupa bayar di kasir,” kata pemuda bernama Abi itu sebelum meninggalkan kami berdua di ruangan yang masih satu gedung dengan mini market pinggir jalan.Cengiran jailnya enggak bakal kulupain. Dasar adik ipar durhaka!"Namanya juga gratisan, Ya." Jendela yang baru kubuka lumayan membawa angin segar, beserta polusi yang dibawa kendaraan besar di luaran. "Udah, yang penting ada tempat buat tiduran."Aku kira cuma di daerah aja yang penuh dengan polusi karena banyak jalan berlubang. Ternyata di kota besar juga punya masalah asap dan debu yang ... bisa dibilang enggak terekspos media.Kuturunkan kasur yang be
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken