Mobil bak yang kuparkir di samping pedestrian langsung memperlihatkan sosok kedua perempuan yang kukenal. Mereka duduk dalam gazebo bertiang merah dengan hiasan bebatuan pada tiang bawahnya.Kuhela napas kuat-kuat setelah turun dari kendaraan roda empat yang sangat menguji kesabaran. Kecepatan terbatas dan rentan mogok.Aku jadi curiga kenapa enggak ada pengejar setelah kami keluar dari kawasan perumahan elite. Apalagi jarak yang ditempuh cukup jauh menuju lokasi taman yang dikirimkan Aya. Sekitar lebih dari setengah jam perjalanan.Lumayan buat saling mengorek informasi dari Abi, suami Jessie. Hanya enggak nyangka kalau mereka menikah karena digerebek warga saat melarikan diri di pinggiran kampung."Wah, ternyata Pak Irawan punya anak lain," seloroh Abi ketika mendengar ceritaku tentang Ayah di sepanjang perjalanan.Bisa saja kupukul dia di tempat karena candaan yang sama sekali enggak lucu mengenai tingkat percaya dirinya yang terlalu tinggi gegara urusan banyak wanita yang mengantri
"Seriusan harus bersihin ginian?" tanya Aya yang masih berkutat dengan sapu di tangannya. Bukan buat bersihin debu, tapi mendorong sampah-sampah yang bertebaran ke sudut ruangan.Gila! Suaminya Jessie memberi kami tumpangan di tempat yang enggak pernah keurus?“Selamat datang di penginapan kami, Mas Abra. Dinikmatin aja, yak? Kalau mau ngopi sama mi instan, langsung ke bawah aja. Jangan lupa bayar di kasir,” kata pemuda bernama Abi itu sebelum meninggalkan kami berdua di ruangan yang masih satu gedung dengan mini market pinggir jalan.Cengiran jailnya enggak bakal kulupain. Dasar adik ipar durhaka!"Namanya juga gratisan, Ya." Jendela yang baru kubuka lumayan membawa angin segar, beserta polusi yang dibawa kendaraan besar di luaran. "Udah, yang penting ada tempat buat tiduran."Aku kira cuma di daerah aja yang penuh dengan polusi karena banyak jalan berlubang. Ternyata di kota besar juga punya masalah asap dan debu yang ... bisa dibilang enggak terekspos media.Kuturunkan kasur yang be
Kutarik kerah dari kaus makhluk enggak tahu diri yang muncul dadakan di belakangku dan Aya. Cengiran di wajah Elzar membuatku harus menahan dalam-dalam keinginan membunuhnya."Lo ngapain ke sini?" Kulayangkan pertanyaan setelah melihat sekeliling, cukup jauh dari Aya yang masih bersandar di badan patung naga."Tempat umum? Hei! Gue kebetulan jalan doang sama temen-temen gue." Gerakan alis kanan Elzar yang naik bisa diartikan sebagai tantangan. Dia selalu melakukannya saat menjumpai hal menarik, diiringi seringai yang terkesan jahat di mataku. "Atau lo takut gue ngedeketin Aya?""Brengsek!" Peganganku pada kerahnya terlepas. Berbalik selangkah, lalu mengepalkan tangan hingga buku-buku tangan menghantam tembok di samping Elzar. "Gue udah bilang sama lo buat jauhin Aya."Penekanan kata dari bibirku spontan mengubah raut wajahnya. Mata melotot itu berganti, seolah terkejut atau menyiratkan ketakutan. Terutama karena punggungnya dadakan menegak lurus, bersandar pada dinding di belakangnya.
Aku baru tahu kalau makan pedas itu bisa menyamarkan air mata. Wajah sendu Aya ketika menangis tertutupi dengan desisan setiap suapan berselimut saus kacang pedas dari bungkusan plastik di tangannya berhasil masuk mulut."Enggak jadi," katanya.Apa coba yang ada dalam pikiran perempuan kalau mau bilang sesuatu terus berubah jadi enggak? Entar kalau enggak ditanggapin, responnya malah dikatain enggak peka, enggak pengertian, dan berakhir, "Aku benci kamu."Enggak gitu juga. Kuharap Aya enggak kayak deretan mantan yang lain, dan dia emang beda, untuk urusan perhatian khususnya. Atau ... hanya aku yang ngerasa hubungan kami terlalu cepat?Aku mengikat bungkusan berisi sisa pentol. Masih bisa dimakan nanti. Lidahku sudah enggak kuat makan pedas banyak-banyak. "Cerita entar kalau udah siap."Perutku sudah lumayan, meski ya makanan pedas sangat tidak disarankan setelah tekanan paksa. Bakal ada perhitungan buat si makhluk mesum macam Elzar nanti. Kuregangkan tubuh dengan meluruskan kaki dan l
"Siapa yang diundang, Ca?" tanyaku sambil memperhatikan tampilan wajah dari meja rias di kamar Caca. Hasil tangan ajaib Caca berhasil menyamarkan lebam di permukaan kulit."Pakai ini?" Gadis itu menyodorkan satu stel tuksedo serba gelap. Lebih tepatnya memaksa kedua tanganku buat megang benda yang kayaknya bakal ngehabisin gajiku sebagai dokter di instansi milik pemerintah kalau beli sendiri."Biru tua?"Pertanyaanku lagi-lagi enggak dijawab. Caca mengambil lagi setelannya dan digantung pada hook di dekat kami. Satu per satu bagian dilepaskan dari penggantungnya; jas, kemeja, dan celana panjang.Caca melepaskan jubah mandi dari tubuhku, menyisakan celana dalam yang menutupi benda paling penting dalam hidup seorang lelaki.Risi, "Malu, Ca." Tanganku menutupi si jago yang ternyata menegang di balik kain merah muda bermotif temannya makhluk spons kuning."Kamu sering grepe-grepe, tapi enggak mau dipegang balik. Ternyata isinya Patrick." Dia tergelak. Jangan lupakan kebiasaan tawanya. Caca
"Pengusaha milenial?"Beberapa orang di dekatku berdiri menertawakan kalimat tanya yang lebih terdengar seperti meremehkan. Penampilan mereka terlihat glamor dengan pakaian-pakaian yang jelas sekali di luar jangkauan.Eh, yang kukenakan juga sangat jauh di luar jangkauan kalau enggak ketemu Caca.Aya sesekali melirik jemariku yang memegangi tangannya atau clutch biru di genggaman lainnya. Terlihat memaksa senyum setiap bertemu tatap.Akhirnya dia setuju membantuku berpura-pura. "Untuk terakhir kali," katanya. Mungkin bakal ada pertimbangan lain setelah acara, tapi Aya sudah jauh lebih baik saat berjalan di sisiku.Kutelisik ruang terbuka yang disediakan pihak hotel untuk acara sia-sia di sepanjang pinggiran kolam renang. Pesta yang Caca bilang sebagai salah satu ajang investasi bisnis terselubung, ternyata enggak lebih dari pamer kekayaan."Kita buat ikan-ikan kecil itu mainin pasar, tangkapan besarnya tetap milik pemain lama.""Up aja biayanya. Nelayan enggak nyari pengganjal perut do
Kuhadapi mesin kopi yang masih menggiling otomatis sebelum mengucurkan air hitamnya pada kedua cangkir yang tersedia. "Espresso? Latte? Abra enggak punya cokelat panas di sini kalau mau dibuatin Mocha," tanyaku sekadar basa-basi.Pria tua yang menunggu di meja makan tampak memegangi kedua sisi kepalanya. Tanpa jawaban, dua cangkir kopi hitam tanpa susu berpindah ke hadapannya."Tanpa gula. Kalau mau manis, ada di stoples." Kugeser tempat bungkusan gula yang disediakan pihak hotel. Brown sugar jadi pilihanku jika memang tersedia di kafe atau resto. Manisnya beda."Abra—""Kenapa harus datang ke sini?" Panggilannya kusela dengan pertanyaan. Terdengar enggak sopan, tapi, aku memang enggak lagi ngeharapin dia melihatku kalau hanya jadi penambal masalah.Jari-jarinya yang kuingat di masa lalu besar dan kekar, ternyata telah berganti keriput. Rambut putih dan kantung mata Ayah terlalu kentara.Aku belum menyadari sosoknya yang menua di setiap pertemuan. Mungkin, karena aku terlalu banyak men
"Enggak jadi ngambil libur lama, Mas?" Lelaki yang kukenal sebagai rekan selama bekerja di rumah sakit memasuki ruangan. Dia mengambil bangku di meja lain yang ditandai papan namanya. Agus Mulyono."Sayang sama kerjaan di sini." Aku berbalik, memutar bangku menghadap keberadaannya sambil menggeser-geser layar ponsel yang gelap. Enggak dinyalakan."Kerjaan kok disayangin? Cewek yang sering ke datengin ke mana, Mas? Putus lagi?"Praduga yang bisa dipertimbangkan. Mas Anan juga nanya hal yang sama sebelumnya dan terang-terangan nanyain nomor kontak Aya. Kan rese."Gimana, ya?" Aku menggaruk tengkuk yang sebenarnya enggak gatal sama sekali. "Belum, sih. Cuma belum ada dihubungin lagi.""Berantem?""Iya, sih.""Didatengin atuh, Mas."Aku bersandar pada bangku kebesaran yang tebalnya sudah enggak sesuai dengan postur punggung. Penyangganya berderit setiap digunakan berputar. “Mas Agus tahu gimana biar dimaafin doi?” tanyaku tanpa melihat lawan bicara yang mulai senyap.Kayaknya Mas Agus sibu
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken