Aku baru tahu kalau makan pedas itu bisa menyamarkan air mata. Wajah sendu Aya ketika menangis tertutupi dengan desisan setiap suapan berselimut saus kacang pedas dari bungkusan plastik di tangannya berhasil masuk mulut."Enggak jadi," katanya.Apa coba yang ada dalam pikiran perempuan kalau mau bilang sesuatu terus berubah jadi enggak? Entar kalau enggak ditanggapin, responnya malah dikatain enggak peka, enggak pengertian, dan berakhir, "Aku benci kamu."Enggak gitu juga. Kuharap Aya enggak kayak deretan mantan yang lain, dan dia emang beda, untuk urusan perhatian khususnya. Atau ... hanya aku yang ngerasa hubungan kami terlalu cepat?Aku mengikat bungkusan berisi sisa pentol. Masih bisa dimakan nanti. Lidahku sudah enggak kuat makan pedas banyak-banyak. "Cerita entar kalau udah siap."Perutku sudah lumayan, meski ya makanan pedas sangat tidak disarankan setelah tekanan paksa. Bakal ada perhitungan buat si makhluk mesum macam Elzar nanti. Kuregangkan tubuh dengan meluruskan kaki dan l
"Siapa yang diundang, Ca?" tanyaku sambil memperhatikan tampilan wajah dari meja rias di kamar Caca. Hasil tangan ajaib Caca berhasil menyamarkan lebam di permukaan kulit."Pakai ini?" Gadis itu menyodorkan satu stel tuksedo serba gelap. Lebih tepatnya memaksa kedua tanganku buat megang benda yang kayaknya bakal ngehabisin gajiku sebagai dokter di instansi milik pemerintah kalau beli sendiri."Biru tua?"Pertanyaanku lagi-lagi enggak dijawab. Caca mengambil lagi setelannya dan digantung pada hook di dekat kami. Satu per satu bagian dilepaskan dari penggantungnya; jas, kemeja, dan celana panjang.Caca melepaskan jubah mandi dari tubuhku, menyisakan celana dalam yang menutupi benda paling penting dalam hidup seorang lelaki.Risi, "Malu, Ca." Tanganku menutupi si jago yang ternyata menegang di balik kain merah muda bermotif temannya makhluk spons kuning."Kamu sering grepe-grepe, tapi enggak mau dipegang balik. Ternyata isinya Patrick." Dia tergelak. Jangan lupakan kebiasaan tawanya. Caca
"Pengusaha milenial?"Beberapa orang di dekatku berdiri menertawakan kalimat tanya yang lebih terdengar seperti meremehkan. Penampilan mereka terlihat glamor dengan pakaian-pakaian yang jelas sekali di luar jangkauan.Eh, yang kukenakan juga sangat jauh di luar jangkauan kalau enggak ketemu Caca.Aya sesekali melirik jemariku yang memegangi tangannya atau clutch biru di genggaman lainnya. Terlihat memaksa senyum setiap bertemu tatap.Akhirnya dia setuju membantuku berpura-pura. "Untuk terakhir kali," katanya. Mungkin bakal ada pertimbangan lain setelah acara, tapi Aya sudah jauh lebih baik saat berjalan di sisiku.Kutelisik ruang terbuka yang disediakan pihak hotel untuk acara sia-sia di sepanjang pinggiran kolam renang. Pesta yang Caca bilang sebagai salah satu ajang investasi bisnis terselubung, ternyata enggak lebih dari pamer kekayaan."Kita buat ikan-ikan kecil itu mainin pasar, tangkapan besarnya tetap milik pemain lama.""Up aja biayanya. Nelayan enggak nyari pengganjal perut do
Kuhadapi mesin kopi yang masih menggiling otomatis sebelum mengucurkan air hitamnya pada kedua cangkir yang tersedia. "Espresso? Latte? Abra enggak punya cokelat panas di sini kalau mau dibuatin Mocha," tanyaku sekadar basa-basi.Pria tua yang menunggu di meja makan tampak memegangi kedua sisi kepalanya. Tanpa jawaban, dua cangkir kopi hitam tanpa susu berpindah ke hadapannya."Tanpa gula. Kalau mau manis, ada di stoples." Kugeser tempat bungkusan gula yang disediakan pihak hotel. Brown sugar jadi pilihanku jika memang tersedia di kafe atau resto. Manisnya beda."Abra—""Kenapa harus datang ke sini?" Panggilannya kusela dengan pertanyaan. Terdengar enggak sopan, tapi, aku memang enggak lagi ngeharapin dia melihatku kalau hanya jadi penambal masalah.Jari-jarinya yang kuingat di masa lalu besar dan kekar, ternyata telah berganti keriput. Rambut putih dan kantung mata Ayah terlalu kentara.Aku belum menyadari sosoknya yang menua di setiap pertemuan. Mungkin, karena aku terlalu banyak men
"Enggak jadi ngambil libur lama, Mas?" Lelaki yang kukenal sebagai rekan selama bekerja di rumah sakit memasuki ruangan. Dia mengambil bangku di meja lain yang ditandai papan namanya. Agus Mulyono."Sayang sama kerjaan di sini." Aku berbalik, memutar bangku menghadap keberadaannya sambil menggeser-geser layar ponsel yang gelap. Enggak dinyalakan."Kerjaan kok disayangin? Cewek yang sering ke datengin ke mana, Mas? Putus lagi?"Praduga yang bisa dipertimbangkan. Mas Anan juga nanya hal yang sama sebelumnya dan terang-terangan nanyain nomor kontak Aya. Kan rese."Gimana, ya?" Aku menggaruk tengkuk yang sebenarnya enggak gatal sama sekali. "Belum, sih. Cuma belum ada dihubungin lagi.""Berantem?""Iya, sih.""Didatengin atuh, Mas."Aku bersandar pada bangku kebesaran yang tebalnya sudah enggak sesuai dengan postur punggung. Penyangganya berderit setiap digunakan berputar. “Mas Agus tahu gimana biar dimaafin doi?” tanyaku tanpa melihat lawan bicara yang mulai senyap.Kayaknya Mas Agus sibu
Menunggu di depan rumah Aya itu berisiko jadi tontonan para tetangga. Meski dikasih tahu berkali-kali kalau tidak ada orang di rumah, nyatanya aku masih betah duduk di dipan samping pintu masuk utama kontrakan Aya sambil menanggapi tawaran Mas Agus buat jadi rekannya dalam permainan daring.“Masih belum ketemu?” Padahal Mas Agus sudah tanya berkali-kali di sela pertarungan.Mungkin, hanya di permainan ini aja bisa ketemu Mas Agus. Bawa senjata laras panjang dan jadi sniper itu menyenangkan. Bidikan jarak jauh dari balik barak yang melindungi keseluruhan tubuh.Ah, pegel juga menggantungkan kaki. Aku bersila, menaikkan kaki ke dipan setelah melepas sepatu sambil menjawab, “Telepon juga enggak diangkat, Mas.”“Betah nunggu?” tanya rekan lain yang juga berada dalam satu tim.Ternyata mereka malah betah mengorek informasi pribadiku daripada membicarakan strategi yang sebenarnya lebih pada permainan acak. Naluri bertahan hidup dalam game lebih ngefek kalau dalam permainan bebas.“Ya, tunggu
“Jadi telat, kan!” Aya memeriksa layar ponselnya setelah aku baru keluar dari kamar mandi. Dia tampak sudah berganti pakaian meski rambut basahnya masih beralaskan handuk di pundak. "Mama kamu kirimin foto jadwal. Eh, kamunya datang malah bikin mandi."“Ya, gimana?" Aku segera mengenakan pakaian dan memindahkan handuk ke kepala, mengusap rambut yang baru beberapa hari lalu dipotong jauh lebih pendek. "Berapa hari coba enggak ketemu? Kamu mau mengabaikanku?”Handuk yang sama, kugunakan pada rambut panjang Aya, menepukkannya berkali-kali sementara empunya rambut terus berpindah hanya untuk menyiapkan kopi dan mi rebus di meja makan."Makan dulu, Bra!" ajak Aya setelah mengambil alih handuk dari tanganku untuk digelung tinggi di puncak kepalanya. Dia mengangsurkan mangkuk kosong ke hadapanku begitu aku duduk di salah satu kursi."Rasa apa kali ini?" Kutunjukkan rasa antusias dengan mengambil sendiri garpu dari keranjang kecil dekat panci mi yang sepertinya menampung lebih dari dua bungkus
“Memang tadi yang dibahas apa aja?” Mama masih terus bertanya meski tangannya sibuk meracik banyak bumbu dalam pinggan di atas kompor.“Cuma perkenalan.” Kukeluarkan beberapa botol jus jeruk setelah memastikan tanggal kedaluarsa kemasan, sementara Aya sudah berkutat dengan sayuran yang harus dipotong di meja kabinet samping wastafel.“Iya?”“Mama dulu gimana?” Aku mendekat, lebih tepatnya mengamati dengan berdiri di antara mereka.Para wanita yang memasak itu terlihat seksi. Apron yang diberikan Mama dengan motif kartun anak perempuan dan buah stroberi ke Aya justru membuatnya tampak lebih menggemaskan.“Dulu? Tiga puluh tahun lalu masih pembekalan mengenai tanggung jawab istri dan suami.”Mama mengalihkan perhatianku dengan menceritakan persiapan pernikahannya dengan Ayah. Benar, tiga puluh tahun lalu. Berarti ada jeda kekosongan selama dua tahun. Artinya, aku bukan anak hasil pernikahan terpaksa.Kuputar segel botol jus di tangan, bersandar pada pinggiran kabinet sambil meneguk sari