Menunggu di depan rumah Aya itu berisiko jadi tontonan para tetangga. Meski dikasih tahu berkali-kali kalau tidak ada orang di rumah, nyatanya aku masih betah duduk di dipan samping pintu masuk utama kontrakan Aya sambil menanggapi tawaran Mas Agus buat jadi rekannya dalam permainan daring.“Masih belum ketemu?” Padahal Mas Agus sudah tanya berkali-kali di sela pertarungan.Mungkin, hanya di permainan ini aja bisa ketemu Mas Agus. Bawa senjata laras panjang dan jadi sniper itu menyenangkan. Bidikan jarak jauh dari balik barak yang melindungi keseluruhan tubuh.Ah, pegel juga menggantungkan kaki. Aku bersila, menaikkan kaki ke dipan setelah melepas sepatu sambil menjawab, “Telepon juga enggak diangkat, Mas.”“Betah nunggu?” tanya rekan lain yang juga berada dalam satu tim.Ternyata mereka malah betah mengorek informasi pribadiku daripada membicarakan strategi yang sebenarnya lebih pada permainan acak. Naluri bertahan hidup dalam game lebih ngefek kalau dalam permainan bebas.“Ya, tunggu
“Jadi telat, kan!” Aya memeriksa layar ponselnya setelah aku baru keluar dari kamar mandi. Dia tampak sudah berganti pakaian meski rambut basahnya masih beralaskan handuk di pundak. "Mama kamu kirimin foto jadwal. Eh, kamunya datang malah bikin mandi."“Ya, gimana?" Aku segera mengenakan pakaian dan memindahkan handuk ke kepala, mengusap rambut yang baru beberapa hari lalu dipotong jauh lebih pendek. "Berapa hari coba enggak ketemu? Kamu mau mengabaikanku?”Handuk yang sama, kugunakan pada rambut panjang Aya, menepukkannya berkali-kali sementara empunya rambut terus berpindah hanya untuk menyiapkan kopi dan mi rebus di meja makan."Makan dulu, Bra!" ajak Aya setelah mengambil alih handuk dari tanganku untuk digelung tinggi di puncak kepalanya. Dia mengangsurkan mangkuk kosong ke hadapanku begitu aku duduk di salah satu kursi."Rasa apa kali ini?" Kutunjukkan rasa antusias dengan mengambil sendiri garpu dari keranjang kecil dekat panci mi yang sepertinya menampung lebih dari dua bungkus
“Memang tadi yang dibahas apa aja?” Mama masih terus bertanya meski tangannya sibuk meracik banyak bumbu dalam pinggan di atas kompor.“Cuma perkenalan.” Kukeluarkan beberapa botol jus jeruk setelah memastikan tanggal kedaluarsa kemasan, sementara Aya sudah berkutat dengan sayuran yang harus dipotong di meja kabinet samping wastafel.“Iya?”“Mama dulu gimana?” Aku mendekat, lebih tepatnya mengamati dengan berdiri di antara mereka.Para wanita yang memasak itu terlihat seksi. Apron yang diberikan Mama dengan motif kartun anak perempuan dan buah stroberi ke Aya justru membuatnya tampak lebih menggemaskan.“Dulu? Tiga puluh tahun lalu masih pembekalan mengenai tanggung jawab istri dan suami.”Mama mengalihkan perhatianku dengan menceritakan persiapan pernikahannya dengan Ayah. Benar, tiga puluh tahun lalu. Berarti ada jeda kekosongan selama dua tahun. Artinya, aku bukan anak hasil pernikahan terpaksa.Kuputar segel botol jus di tangan, bersandar pada pinggiran kabinet sambil meneguk sari
"Aya suka yang mana?" tanya Mama sambil menyodorkan beberapa katalog yang ditinggalkan temannya saat berkunjung ke rumah tadi.Aku tahu? Tentu aja. Seharian aku di rumah buat istirahat biar nanti malam enggak mabuk sif. Terus ... Aya datang karena panggilan Mama. Kenapa enggak di rumah Aya aja, sih, diskusinya?"Sederhana aja, Ma." Semenjak disajikan teh, Aya hanya memegangi cangkirnya sambil memperhatikan setiap lembar katalog yang Mama buka.Banyak pilihan. Aku juga sempat lihat beberapa, tapi belum ada yang minta pendapatku selama duduk pada sofa terpisah dari mereka.Antusias? Enggak terlalu. Menurutku, pernikahan itu memang sakral dan sifatnya pribadi. Seperti kata Aya, sederhana."Pernikahan cuma sekali seumur hidup loh, Ya."Racunnya para orang tua, nih. Terus, karena pernikahan sekali seumur hidup, harus besar-besaran?"Memang Mama nikahnya pakai acara besar?" celetukku seraya mengambil salah satu katalog yang menampilkan contoh desain tempat acara sepaket dengan pakaian pengan
"Lo bisa cari rumah sakit yang lebih mahal dari ini." Aku berkali-kali menutup mulut setiap menghadapi sosok pemuda seumuran denganku di lorong depan IGD. Membelakanginya sesekali dan gagal menghantamkan amarah ke wajahnya.Bukan karena ada masalah di antara kami, tetapi jika melihatnya, aku terus dihadapkan kekecewaan terhadap diri sendiri mengingat pertaruhan kami. Bagaimana jika Aya tahu?Apalagi kejadian di Surabaya cukup menambah jarak panas di antara kami. Ancamannya, juga pembicaraan-pembicaraan Elzar yang menurutku enggak mungkin Aya lakukan pasca trauma."Ada aturannya kalau nyokap gue harus cari rumah sakit lain?" Elzar menjauh, tepatnya menghadapi pilar penyangga lorong terdekat. Sikunya menopang kepala di sana. Lirih terdengar, "Gue juga enggak nyangka nyokap bakal kolaps."Apa harus menyingkirkan ego dulu di saat begini? "Masalah di rumah?""Kapan sih hidup kita enggak bermasalah?" Elzar balik bertanya.Kapan enggak bermasalah? Enggak pernah kayaknya. Anak-anak dari pernik
"Kode biru, Pak."Aku segera menandatangani surat persetujuan pemindahan pasien yang selesai ditangani dan beralih pada panggilan Nanda di ranjang lainnya.Pria tua yang kuingat sebagai Pak Raden, bapaknya Aya, terbaring di sana bersama alat bantu pernapasan dalam keadaan tidak sadarkan diri.Stetoskop dari saku segera kugunakan untuk mengecek hitungan detak jantung berdasarkan detik dari arloji di tangan kananku. Lemah. Cenderung hilang beberapa kali.Jemariku bergerak menyentuh jalan napasnya yang lambat. Harusnya masih bisa dipacu."Bapak kenapa, Ya?" tanyaku pada gadis yang menyertai si bapak.Kulit wajah Aya sudah merah, basah dengan air mata yang terlihat beberapa kali diusap. "Pak Amir bilang Bapak pingsan di toko."Monitor menunjukkan lemahnya detak jantung Bapak. Aku sampai harus menekan pertengahan dadanya berkali-kali dengan cepat, berharap tampilan monitor berubah.Napasku mulai terengah. Enggak bakal kuat kalau begini. Setiap terlambat menekan, tekanan jantungnya langsung
Brukkk!!!Aku enggak peduli masih dalam kawasan rumah sakit atau di luar. Masih mengenakan jas putih atau enggak. Yang jelas, ketemu Elzar di koridor saat emosi meledak seolah mencabut kewarasan dari otakku dan akhirnya menendang perut yang selalu dibanggakannya."Gue enggak nyangka lo bakal berulangkali nyakitin Aya! Lo belum puas dengan masa lalu?" Kepalan tangan kiriku lebih dulu mencium tulang hidungnya.Elzar mundur ke belakang tiang penyangga sambil mengusap darah yang keluar dari lubang hidungnya. Buku jariku berusaha mengejar wajahnya, tetapi berkali-kali gagal dan mengenai lapisan beton di sepanjang koridor. Kupegangi lutut sekaligus mengambil napas sebanyak mungkin sementara lawan masih bisa berkacak pinggang menertawakanku."Puas? Gue masih suka rasanya. Dulu atau sekarang. Pelacur lo yang polos itu ternyata bisa lebih lihai bermain di ranjang."Kuraih kerah kemeja hitamnya dengan cepat tanpa memberi kesempatan berontak. Elzar dalam kuasaku terjebak. Punggungnya mengenai din
Bodohnya, aku malah berlari di sepanjang koridor melalui belakang ruang IGD hanya untuk menemui Aya, memeluk aromanya yang sangat mampu menarik pemikiran gila dan egois di kepalaku. "Gimana Bapak, Ya?"Aya menunjuk pintu bertanda ICCU di belakang punggungnya setelah memberi jarak dengan melepaskan pelukanku. "Tadi sesak. Sekarang masih belum sadar." Punggung tangannya terus mengusap pipi yang basah."Aya, aku enggak bawa tisu atau sapu tangan, tapi kamu bisa pakai...." Kusodorkan bagian dada kaus yang kukenakan dan ternyata langsung ditariknya untuk mengusap lelehan yang keluar dari hidungnya.Enggak cuma sekali. Enggak ngitung juga berkali-kali dia membasahi kausku. Kupikir masih bisa ditutupi dengan menutup ritsleting jaket nanti.Melihat lendir transparan yang Aya tinggalkan, aku bergidik dan segera menarik ritsleting jaket kelabuku. Salahnya lagi, harusnya aku biarin dia ngelap ingus pakai jaketku aja. Jadi jaket bisa dilepas. Kalau ngelapis, cuciannya jadi dobel. Ah, kayak aku aja
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken