Share

Jodoh

Author: Aldrich Candra
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56
"Bra! Aku bilang bakal bayar ke kamu, tapi enggak bisa sekarang." Aya memegang kepala sabuk pengamannya, belum lagi dimasukkan dalam sambungan di bangku penumpang. Dia menunduk sebelum melihatku menyerahkan tas plastik berisi beberapa jenis botol cairan obat injeksi dalam kotak beserta nota pembelian.

"Aku enggak bilang sekarang. Aku cuma ngasih kamu pilihan." Kututup pintu mobil. Berdiam diri sejenak dan menghela napas panjang.

Daftar obat yang diserahkan Aya tidak mudah didapat, juga tidak bisa sembarang beli. Penggantinya memang banyak, tapi bakal menunggu keputusan dari dokter yang mengampu prosedur pengobatan lagi. "Bapakmu kehilangan kesadaran sampai harus menerima injeksi?"

Aya mengangguk pelan. Bibir bawahnya dimajukan hingga menutup bibir atas. Jari-jarinya memainkan pegangan tas plastik, semakin keras sampai harus kupegangi.

"Ya Tuhan. Aya?" Kumajukan diri hingga lebih dekat di depan Aya, berusaha menatap kedua mata kelamnya dengan menarik naik dagu Aya. Lingkar gelap di seke
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Camer

    "Kamu itu nyadar enggak sih, Bra?" Tatapan sendu itu berganti sorot tajam ketika telunjuk Aya naik menyusuri sisi kiri wajahku. "Aku berkali-kali berusaha menghindar, kamunya malah selalu datang di saat aku enggak punya pilihan."Suara Aya yang terdengar serak, menggairahkan. Wajahnya mendekat, memberi napas hangat yang menggoda. Lalu, cengkeraman di leher membuatku tersentak. Dia menekan tepat di saluran napas hingga aku harus berusaha tetap tenang. Kepanikan hanya mempercepat habisnya oksigen dalam aliran darah.Gelas di tangan jatuh, pecah di dekat pijakan."Tuhan bener, dong," ucapku tanpa lepaskan pandangan tepat pada kedua titik matanya."Bener?""Kalau kamu memang cocok jadi jodohku."Aya melepaskan cengkeramannya dengan mendorongku hingga menabrak pagar pembatas. Syukur masih selamat, enggak jatuh atau ....Hanya kebayang ketinggian dari lantai tiga bangunan besar nan luas. Aku bergidik ngeri. Mungkin enggak bakal ketahuan kalau ada yang mati membusuk."Gila!" Sindiran Aya meng

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Rasa

    "Cewek yang dijodohin sama kamu?" tanya Aya saat aku masih berkutat dengan obeng kembang untuk membuka setiap baut yang terpasang pada benda kotak berbahan plastik.Ukurannya seperti televisi layar datar saat pertama kali keluar, hanya saja tidak ada layar kecuali disambungkan pada monitor terpisah. Kotak ini memiliki slot pemutar disket dan cakram. Kabel yang mungkin dipasangkan pada slot belakangnya masih berukuran besar."Caca?" Kusebutkan nama gadis yang seringkali dipertanyakan Aya. Mungkin dia enggak ingat."Yang waktu itu dandanin aku, kan?"Jadi ngerasa diinterogasi terus-terusan. Meski Aya sibuk dengan bongkar-pasang komputer dan laptop di meja utama, otaknya seolah bisa memikirkan hal lain yang enggak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan."Iya.""Kamu akrab sama dia. Kenapa enggak jadian beneran aja?"Bolehkah aku ngerasa percaya diri kali ini? Kayak nemu kecemburuan dalam intonasi bicaranya.Kupastikan jumlah baut dalam kotak penyimpanan yang Aya berikan sebelumnya lalu mend

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Rencana

    "Ada tamu, Kanaya?"Suara berat yang terdengar diiringi batuk mendekat. Aya mendadak mendorongku. Kalau enggak nguasai diri, mungkin saja aku bakal menjatuhkan lemari pembatas karena panik. Untungnya, Pak Raden melihatku seperti baru keluar dari dapur."Eh, Bapak." Aya lebih dulu menyapa dan menarik kursi untuk duduk bapaknya. Senyumannya seolah dipaksakan, terlihat dari bagaimana mata besarnya melotot padaku beberapa kali."Tadi ngetok, tapi pintu enggak ditutup. Kalian lagi nyiapin makanan?" Bapaknya Aya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dari kukusan."Makan, Pak." Kusodorkan panci berisi sayur ke dekatnya.Perlengkapan di rumah Aya tidak seperti d/i tempat Mama yang membedakan segala jenis hidangan berdasarkan ukuran. Semua seadanya, pakai yang ada aja."Pak dokter, kan?" Pak Raden menoleh padaku, menyambut dengan senyum keramahan. Lengkung yang terbentuk di matanya menyorotkan ketulusan ketika mempersilakan. "Ayo, makan juga."Kutarik kursi berbeda dari kayu tanpa sandara

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Tuai

    “Aku menang lagi. Jangan lupa. Siapin surat-surat pengalihan kepemilikan. Ditunggu.”Kukirimkan sederet kalimat pesan ke kontak Elzar beserta bukti kebersamaanku dengan Aya yang masih terlelap. Kausnya kuturunkan hingga menutupi kulit yang sempat memberi hangat bagi indra penciumanku.Tak ingin mengusik, kurapikan tampilan Aya yang masih betah menutup mata di hamparan kasur tipisnya. Sekali kecupan kudaratkan di puncak kepalanya sebelum beranjak, membenahi kaus dan celana panjangku yang kusut karena pergumulan singkat.Aku masih ingat penolakan yang kembali terjadi sebelum penyatuan. Kata “sakit” di sana membuatku harus terus meyakinkannya dengan belai dan janji yang mungkin sulit dipenuhi.“Mau ke mana, Bra?” Pertanyaan yang sama sering kudapatkan dari pasangan sebelumnya setiap sang gadis membuka mata karena tidak menemukan tubuhku di sisi.Gejolak hasrat yang membara itu nikmatnya hanya sesaat. Setelah tuntas, enggak tahu lagi harus bagaimana setelahnya. Aya benar, rasa penasaranku

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Belum

    “Hei, Bra!”Kaki kananku diturunkan dari susunan kursi hingga menabrak lantai. Ingin tahu oknumnya, tapi terlalu silau menghadapi cahaya yang memenuhi ruangan ketika menurunkan lengan yang menutupi mata. Aku kembali terpejam meski tahu suara si pemanggil yang sangat familier.“Ngapain manggil namaku kayak dalemanmu, Ya?”Kaki kiriku menyentuh bantalan lembut yang bersandar di kursi seiring sengatan yang neyerang paha kananku.“Itu mulut udah dicuci bersih belum? Masih nutup mata aja, ngomongnya udah kotor banget.”Aku refleks duduk, menghadapi aroma manisnya tanpa perlu membuka mata. “Barusan sikatan pake sianida.” Kedua tanganku langsung melingkar di pinggangnya dan menyandarkan kepala di bahu Aya.“Gila!” Bahkan dia menggeleng pun terasa.Aku menyipit, membuka penglihatan perlahan hingga jelas sosok yang kutempeli. “Ke sini pakai apa?”Rambut panjang Aya tergerai, terlihat lebih terang dari sweter hitamnya. Mungkinkah dia menutupi tanda yang enggak sengaja kutinggalkan?“Mobilmu.” Ay

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Milikku

    “Aku cuma kebayang …. Gimana kalau misalnya aku yang mati sendirian di ranjang rumah sakit. Tanpa keluarga.”Jemari panjang Aya terasa memilah helaian rambutku yang sepertinya sudah mampu menutupi pandangan jika diurai ke depan. Suaranya tidak terdengar, tetapi bisa kulihat raut bekunya dari pantulan cermin yang menjadi pintu lemariku secara penuh di seberang ranjang. Jemari dari tangan kirinya kuangkat naik menjelajahi udara di depan wajah hingga lengan membentuk garis lurus.“Selama ini aku melihat keluarga yang nangis, kecewa, bahkan mengumpat dokter yang dianggap enggak mampu menyelamatkan nyawa pasien. Padahal kami berusaha semaksimal mungkin.”Kepalaku masih betah berpangku perutnya. Hangat. Berbanding terbalik dengan pendingin ruangan yang digunakan untuk menghilangkan peluh di tubuh.“Kami bukan Tuhan yang dengan menjentikkan jari saja bisa memberi jiwa pada tubuh mati.”Aku masih betah bercerita. Mungkin, hanya saat bersamanya kurasakan kenyamanan. Seperti sepuluh tahun lalu,

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Nikah?

    "Mama bilang apa tadi sebelum pergi, Abra?" Wanita yang kulihat di depan pintu kamar hampir mengetuk pintu langsung melayangkan omelan panjang menyangkut makan siang di luar."Ya Tuhan, Ma. Sorry, Abra beneran lupa." Aku mengusap tengkuk sambil melirik Aya yang masih mengumpulkan pakaiannya.Hanya berharap Mama tetap berada di luar kamar. Mau nutup pintu, Mama sudah lihat aku mau keluar. Kutahan daun pintu seraya memaksakan senyuman sementara Mama masih mengoceh."Mama udah telepon kamu berkali-kali, tapi—"Ucapan Mama terhenti ketika memaksa masuk. Aku sudah mengusap wajah dengan kasar sambil membelakangi, menendang-nendang dinding pelan sambil bersiul, tahu pemandangan seperti apa yang bakal Mama saksikan."Aya masih di sini?""Sore, Tante." Suara serak Aya menyambut."Kalian ngapain?"Pembicaraan mereka terdengar pelan, tentu aku enggak berani berbalik. Apalagi suara benda jatuh di belakang. Gelas kaca pecah?"Abra? Abra jawab Mama!"Daun telingaku ditarik hingga menghadap ranjang.

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Rencana

    "Ngajuin izin berapa lama, Mas Abra?" tanya Pak Agus saat melihatku meletakkan amplop surat di buku besar presensi kerja."Semingguan, Pak." Kedua tanganku masuk dalam saku jas ketika menghampirinya, menyamakan langkah di koridor menuju ruangan dokter. "Adikku mau nikah, Pak.""Wah, Mas Abra ternyata punya saudara.""Saudari, sih. Beda ibu." Kepalaku menggeleng, menunduk sekali dan menggulirkan senyum dengan menaikkan ujung kanan bibir. "Secara nyata, belum pernah ketemu."Rekan sejawatku sejak bertugas di IGD itu menepuk bahuku sebelum memisahkan diri di depan ruang yang dituju. Dia berbelok ke arah lain setelah berpamitan dan mengucap, "Moga lancar, Mas."Sempat kuaminkan, tetapi kemunculan Aya yang duduk di bangku kerjaku dalam ruangan menarik perhatian. Ingin menerkamnya kalau saja enggak ingat pesan Mama terakhir kali.Ah, aku jadi paham alasan Pak Agus pergi.Jemari kurus Aya menekan tiap tuts kibor laptop tanpa melepaskan penglihatan dari layar."Ngapain?" tanyaku setelah mendar

Latest chapter

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Dijemput Malaikat

    "Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Sadar Diri

    Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Komunikasi Lagi

    Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Penguntit

    "Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Insiden Kafe

    "Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Perselingkuhan Abra

    Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Mengakui Kesalahan

    Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Bertemu Kematian

    "Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."

  • Dokter Tampan Pemikat Wanita   Rasa Bersalah

    Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken

DMCA.com Protection Status