Semua Bab REVENGE: DENDAM CINTA ELAN: Bab 1 - Bab 10

71 Bab

Bab 1

Mataku mengedari seluruh isi ruangan, kamar lelaki ini lebih luas dibanding kamarku. Lelaki yang telah lama ku kenal, yang kini berlabel sebagai suamiku. Oh Tuhan, mimpi apa aku hari ini, aku seorang gadis yang bersuami, apa artinya aku bukan gadis lagi? Padahal nilai ujian nasionalku saja belum keluar. Aku belum berani beranjak dari balik pintu. Sedangkan lelaki itu sudah melepas jasnya, tak peduli tentang kehadiranku. Sejujurnya aku tertarik mencuri pandang pada tubuhnya yang idaman para gadis itu. Aku pun kerap melirik-lirik perut roti sobeknya saat ia berenang dengan kakakku. Maklum hubungan persepupuan kami kian dekat saat kakakku sudah menikahi adiknya dan ia menanti waktu untuk mempersuntingku. Lalu kini susunan perut sempurna itu disuguhkan di hadapan kedua mataku? Hanya kedua mataku.. Sepertinya ini rezeki dari Tuhan? Toh Aku tidak berdosa jika memantenginya terus-terusan, aduh kotor otakku! Suamiku adalah kakak
Baca selengkapnya

Bab 2

Gadis berseragam SMA itu turun dari ojek online, berlari kecil lalu berhenti sebentar untuk memastikan nama tempat yang akan dimasukinya, sebuah restoran Jepang yang sudah terkenal. Ia tergopoh-gopoh, segera masuk ke dalam mencari meja yang dituju. Dina berdiri sejenak sebelum mengambil duduk di depan lelaki yang menikmati secangkir latte. Ia kemudian memilih duduk berhadapan, terpisah meja, sesaat setelah Elan meletakkan cangkirnya. "Su.. Sudah lama?" Dina gugup memulai pembicaraan. "Ada perlu apa meminta bertemu?" Tak berniat menjawab basa basi Dina, Elan to the point. Dina segera membuka isi tas punggungnya, mencari secarik kertas yang menentukan nasibnya. Kemudian menyodorkan kertas yang berisi perjanjian pranikah itu pada Elan. "Sebulan lagi kita menikah, setelah aku ujian nasional. Kita sama-sama tahu aku menik
Baca selengkapnya

Bab 3

Tubuhku melorot di balik pintu kamar. Ke mana semua orang? Mengapa tak ada satu pun yang bisa menolongku? Kak Raka, satu-satunya harapanku ternyata lebih memilih istrinya dari pada aku. Ku remas bagian dada bajuku, menahan segala kepelikan hidup yang seolah baru dimulai. Semua baru dimulai, lalu kapan berhenti? Sedangkan aku sudah kehilangan segalanya. Ku kira kesepakatan itu cukup tapi.. Aku bodoh! Bodoh sekali! Ku edarkan pandanganku di seluruh ruangan mencekam ini. Seumur hidup tak akan terlupa di mana aku diperlakukan sangat rendah oleh orang lain, yang tak lain suamiku sendiri. Tok tok tok Aku beranjak dari balik pintu, membukakan ketukan lemah itu karena ku yakin lelaki kasar itu tidak akan mengetuk selembut ini. Kak Asya yang ku lihat. Ia membawa nampan berisi makanan, ku rasa untukku. Aku berjalan ke sisi ranjang, lalu duduk di tepinya. Kak A
Baca selengkapnya

Bab 4

Asya bersandar punggung ranjang sembari masih sesenggukan. Ia terpukul atas segala penuturan dan tuduhan Dina. Merasa bersalah telah menjadi sumber masalah. Raka mengusap air matanya perlahan. Lembut penuh kasih sayang. "Sayang.. Kalau kamu banyak pikiran begini kasihan mereka.. Lupakan yang Dina ucapkan, dia hanya sedang emosi." Raka membelai punggung tangan istrinya, mengecupnya hingga terasa basah. Ia tidak mau istrinya tertekan oleh hal-hal yang mengganggu pikirannya. "Kak Raka harus bantu Dina hiks.. Dia sudah banyak berkorban untuk kita, dan semua.. Semua gara-gara aku lemah hiks.." Raka mengangkat wajah Asya. Tersenyum menenangkan. Ia mengecup bibir istrinya lembut, hanya mengecup bibir sensual istrinya yang selalu membangkitkan gairah. "Siapa bilang istriku lemah? Dina belum tahu saja kalau istriku sangat kuat hmm.., buktinya kuat menghadapiku, kuat juga jadi calon ibu
Baca selengkapnya

Bab 5

Elan berlari ke balkon kamarnya, nafasnya mengendur kala menemukan tubuh Dina duduk meringkuk di sudut dalam balkon, di dekat pintu. Ia memejamkan mata sejenak, lega. Pikirannya sudah terlanjur kacau membayangkan Dina akan loncat dari balkon untuk mengakhiri hidupnya. Ternyata gadis ini tidak selemah itu. Elan mendekati Dina yang termenung, melamun tak tahu di mana arah matanya berlabuh. Ia mengulurkan tangan. "Ayo masuk.." Ajak Elan datar. Dina merendahkan pandangan, respons tak nyaman pada lelaki yang berdiri congkak di depannya. "Ada yang ingin aku bicarakan." Dina masih diam. Ia tak tertarik. Balkon ini lebih menjanjikan kenyamanan daripada di dalam kamar yang mencekam. "Ini tentang perceraian." Dina mengangkat wajahnya, tapi menahan diri untuk melihat wajah lelaki itu. Ia tertarik kemudian berdiri dan mengekori Elan yang masuk ke dalam kamar. Perasaannya tak tenang, hanya bisa berdoa semoga Elan mengabulkan permintaannya.
Baca selengkapnya

Bab 6

Elan memarkir jeep-nya di depan sekolah Dina. Menanti gadis yang tak kunjung muncul dalam gelisah. Jangan-jangan gadis itu sudah pulang karena terlalu lama menantinya. Nomor ponsel Dina tak bisa dihubungi, w******pnya juga centang satu. Elan yang mulai gusar, memilih turun dari mobil, bersandar moncong mobilnya sembari menengok ke arah gerbang sekolah. Menyeleksi wajah-wajah muda yang terpukau padanya. Elan menggaruk dagunya tak sabar. Ia memutuskan menuju pos satpam untuk menanyakan posisi Dina, masih di sekolah atau sudah pulang. Lupa Pak satpam bukanlah face detector. Tak pernah ia menanti seorang gadis hingga seresah ini hanya untuk mengajaknya makan siang. Baru selangkah meninggalkan titiknya, Elan menemukan gerombolan bocah SMA yang baru keluar. Salah satu bola mata mereka bahkan sudah mendeteksi kehadirannya. Pemilik bola mata itu mengatakan sesuatu pada kawan-kawannya lalu mendekati Elan dengan raut masam.
Baca selengkapnya

Bab 7

Elan mempersilahkan Dina masuk ke apartemennya lebih dulu. Dina berjalan gamang di depan Elan, alat geraknya dibuat ragu-ragu harus bertindak bagaimana. Elan baru saja membagi peluk hangat. Membujuknya pulang bersama, meskipun tak ada kata yang terucap lagi sepanjang jalan tadi. "Mandilah.. Ingin makan apa? Aku akan pesan via ojek online." Dina berbalik, mengangkat wajahnya. Gugup. Ada ketegangan. "Eng.. Apapun." Jawab Dina singkat. "Asal bukan tempe?" Elan memasang ekspresi tanya dengan senyum manisnya. Yah, senyum manis yang hampir tak pernah Dina temui. Dina membalas senyum itu. Damai. Ah suasana terasa hangat padahal tubuh mereka kedinginan karena basah kuyup oleh hujan. "Ya, apapun asal bukan tempe. Kamu.. Sudah hafal emm.." Jawab Dina seraya membalik badannya. "Tunggu!" Dina membalik tubuhnya bersemangat. Seperti belum ingin berpisah jarak dengan tubuh yang barusan mendekapnya dengan nyaman.
Baca selengkapnya

Bab 8

Suhu di kamar Dina turun karena sensor mendeteksi pergulatan panas yang semakin menggelora. Elan masih menggenggam tangan istrinya, mencekalnya di dinding karena sempat mengelak tangannya untuk masuk ke paha. Ia kemudian menjilati selangka Dina sambil sesekali mencucupnya. Dina hanya memejamkan mata sembari menggigit bibir dalamnya, menarung alisnya merasa kenikmatan menjalar dari bagian yang dicucup oleh Elan. Ia baru bisa menikmati sentuhan Elan, setelah sebelumnya terlalu sibuk mempertahankan diri. Elan kembali mengalungkan kedua tangan Dina ke lehernya, lalu mengusap paha mulusnya naik turun. Gerakan yang sangat membangkitkan libido hingga Dina melenguh tanpa sadar. Jemari Elan semakin aktif, naik, mengusap perut Dina dari balik baju, naik, menyusup, kemudian.. Dina tersentak saat telunjuk Elan berhasil menyusup, memencet puncak bukitnya. Ada rasa geli yang mencekal. Ia tersadar, lalu segera membuang tangan Elan. "Cukup! Engh.." El
Baca selengkapnya

Bab 9

"Apa, yang kamu, lakukan, semalam?" Dada Dina naik turun karena kesal. "Tidak ada.. Selain.." Elan sengaja menyetop penuturannya. "Selain apa?? Katakan selain apa??" Dina marah. Elan mengekeh, puas sekali melihat wajah Dina yang sebal. Sukses mengerjai istrinya hingga geregetan. Ia segera mendekatinya di ranjang. "Hanya mengusap sedikit Bocah.." Dina kesal lalu memukuli Elan dengan bantal. Membabi buta saking muaknya. Ia merasa dibodohi lelaki itu. Seenaknya menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya tanpa permisi. "Brengsek! Brengsek! Apa yang kamu usap hah?? Brengsek!" "Hey.. Hey.. Hanya mengusap lenganmu.." Dina mengendurkan gerakan dengan nafas memburu. Tanda bahwa emosi masih mendiami pikirannya. Ekspresinya menunjukkan kecurigaan bahwa Elan berbohong. "Juga mengecup bahumu sedikit." Wajah Dina memerah marah kembali. Tangannya meremas bantal bersiap menyerang. Elan semakin gema
Baca selengkapnya

Bab 10

Wajah Asya mengerut merasa bersalah. Ia menatap Raka takut, bingung pula apa yang harus dilakukannya. Bibirnya naik turun gundah. Mmuch! Raka mengecupnya gemas. "Adik kecil barusan lihat apa hayo?" Goda Raka agar Asya lebih tenang. "Iihh Kakak, aku maluu, tadi Kak Elan iihhh.." Asya menutup matanya dengan telapak tangan. Raka tersenyum lebar menyaksikan tingkah istrinya, yang sedang dipangku miring di sofa. Tubuhnya semakin berisi memasuki usia kandungan enam bulan, tapi sikap dan sifatnya semakin manja. "Kenapa mesti malu Sayang? Kan kita juga sering begituan.." "Tapi nanti aku harus bagaimana kalau bertemu mereka Kak? Aku ganggu mereka tadi kan.." Asya memainkan kancing Raka merasa bersalah. Raka mengusap perut istrinya. Membisikkan sesuatu agar didengar Asya. "Para junior Papa, Mama barusan nakal, lihat orang ena-ena." Asya spontan melepas tangannya, memukuli dada Raka kesal. M
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status