Gadis berseragam SMA itu turun dari ojek online, berlari kecil lalu berhenti sebentar untuk memastikan nama tempat yang akan dimasukinya, sebuah restoran Jepang yang sudah terkenal. Ia tergopoh-gopoh, segera masuk ke dalam mencari meja yang dituju.
Dina berdiri sejenak sebelum mengambil duduk di depan lelaki yang menikmati secangkir latte. Ia kemudian memilih duduk berhadapan, terpisah meja, sesaat setelah Elan meletakkan cangkirnya.
"Su.. Sudah lama?" Dina gugup memulai pembicaraan.
"Ada perlu apa meminta bertemu?" Tak berniat menjawab basa basi Dina, Elan to the point.
Dina segera membuka isi tas punggungnya, mencari secarik kertas yang menentukan nasibnya. Kemudian menyodorkan kertas yang berisi perjanjian pranikah itu pada Elan.
"Sebulan lagi kita menikah, setelah aku ujian nasional. Kita sama-sama tahu aku menikah demi kebahagiaan kakakku dan kak Asya, tapi yang orang tua kita tahu kita menikah karena saling mencintai. Mencegah hal-hal buruk terjadi, aku membuat perjanjian ini."
Kalimat Dina sangat tertata, seperti sudah dilatih ratusan kali sebelumnya. Elan menyadari itu.
"Bolpoin?" Elan memasang wajah tanpa ekspresi, tidak bisa ditebak isi pikirannya.
Dina segera memberi Elan sebuah bolpoin sesuai permintaan. Elan mengayunkan jarinya untuk menandatangani kertas bermeterai itu tanpa perlu dibaca.
"Tidak dibaca?" Dina heran juga khawatir jika Elan tak paham. "Intinya, jangan pernah menyentuhku sampai aku siap."
Elan mengembalikan lembar perjanjian mereka. Tentu kali ini meterainya sudah ternoda goresan tinta. Ini benar-benar perjanjian.
Dina mencermati tanda tangan Elan, tanda persetujuan. Ia tersenyum puas.
"Terima kasih setuju tidak menyentuhku sampai waktu yang tidak ditentukan, sampai aku siap."
"Ada lagi?" Tanya Elan dengan wajah cool.
Dina menggeleng.
"Pesanlah makanan, aku yang bayar."
"Emm.. Baiklah.." Tak ada salahnya pikir Dina.
Elan mengawasi Dina yang sibuk melahap makanan khas Jepang di meja mereka. Terlihat tidak sabaran.
"Kak Elan tidak makan?" Tanya Dina sembari mendongak sebentar, mengalihkan pandangan dari makanan.
"Tidak lapar." Jawab Elan singkat sembari merogoh ponselnya dari saku celana.
Dina kembali menyantap makanannya. Lahap.
"Ada barang yang ingin kamu beli?"
Dina kembali berpikir, apa semua calon suami itu memanjakan calon istrinya begini? Ia memutar bola matanya perlahan. Tak ada salahnya merogoh kocek Elan, dia pengusaha muda yang tajir.
"Ada." Jawab Dina sok tak butuh.
"Apa?"
"Sepatu dan tas."
"Mau beli sendiri atau ditemani?"
"Terserah.."
Elan menyodorkan kartu kredit berlogo emas di dekat Dina.
"Gunakan sepuasmu, aku pergi dulu."
Bahagiakan dirimu selagi masih bisa bahagia Bocah.
Elan menyingkir dari hadapan Dina yang berbinar sembari mengunyah makanannya pelan. Unlimited credit card? Tambang emas masa kini, pikirnya.
***
Aku mengerjapkan mata, melihat ke arah jam dinding, sekitar pukul satu dini hari. Rupanya ada isakan yang membangunkan tidurku, tepatnya di belakangku. Ah ya aku lupa sudah membalaskan dendamku, memperkosa adik Raka.
Sebenarnya apa ini bisa dibilang memperkosa? Dia istriku, kewajibannya melayaniku. Mimpi bahagianya sudah sampai di titik ini, berhenti. Selanjutnya dia hanya akan merasakan kepedihan seperti yang adikku rasakan.
"Tidak tidur?" Tanyaku sembari mencium rambut belakangnya.
Tubuhnya beringsut semakin meringkuk karena sentuhanku. Aku tahu dia takut, mungkin juga jijik kepadaku tapi sengaja ku lakukan untuk menyiksanya.
"Apa yang harus ditangisi Sweety? Keperawananmu tidak akan kembali. Kamu lebih beruntung dari Asya, dia diperkosa sebelum menikah, berulang kali dengan kasar oleh kakakmu. Sedangkan kamu, aku menikahimu dulu."
Semakin banyak ku kecupi rambutnya, semakin rapat isakannya. Tanganku mulai menyusup ke bagian depan tubuhnya, mencari dua bola padat yang menjadi mainan baruku. Tentu saja dia memberontak. Dia sadar sedang dalam keadaan genting. Aku mulai menginginkannya lagi.
"Jangaaann... Huaaa.. Jangaannn.."
Dina berusaha menyingkirkan tanganku yang semakin kuat meremas dadanya. Tangisannya pecah. Segera ku gapit kedua kakinya. Masih ku remasi dadanya tanpa terpengaruh gerakannnya sedikitpun. Ku hisapi tengkuk dan lehernya. Sungguh aku sudah bernafsu lagi.
Jariku turun mencari bagian yang ku nodai malam ini, memainkan milik bocah ini tapi ia justru menangis semakin menjadi.
"Aakkk.. Sakiittt.. Jangan sentuh! Itu sakiiitt.."
"Nanti akan enak Sweety.. Semakin kamu menolak semakin aku bernafsu.."
"AAAKKKK..." Jeritnya saat ku masukkan jariku ke liangnya.
Aku menelentangkan tubuhnya, menindihnya, menjilati kemudian menghisapi. Ia berusaha mendorong kepalaku, membuatku semakin rakus menguasai dadanya. Sebuah desahan kecil lolos dari bibirnya.
"Aku anggap itu sinyal kesiapanmu."
"Jangan lakukan lagi, sakit sekali rasanya hiks.."
Aku tak peduli, tubuh kami masih sama-sana telanjang, segera ku terobos surgawi istriku. Rasanya sangat hangat dan rapat. Nikmat sekali milik perawan.
"Aaaakkkk... Periiihh.. Huaaa..."
Aku mengentak pinggangku dan amblas sudah senjataku. Segera ku gerakkan naik turun. Suaranya menghilang, ia hanya menggigit bibir bawahnya erat-erat, matanya terpejam dalam menikmati sakit, air matanya meleleh.
Aku tahu Dina sangat kesakitan, dia belum merasakan nikmatnya bercinta tapi aku juga tidak bisa menahan diri, semakin cepat, lebih cepat dan terasa semakin nikmat.
Ku turunkan wajahku ingin merasakan rongga mulutnya, siapa tahu ini bisa membuatnya sedikit menikmati gerakanku. Ku tarik tangannya yang sedari tadi meremas selimut ke punggungku. Dia meremas setengah mencakar.
Aku tidak peduli sakitnya, yang kurasakan bibirnya melemah, sepertinya dia mulai menikmati. Semakin dalam ku lilit lidahnya. Ah ini benar-benar nikmat.
Lambat laun dia melemah. Aku bisa merasakan cakarannya yang tak lagi mencengkeram. Bocah ini menikmati. Semakin cepat aku bergerak hingga tak lama kemudian kurasakan tubuhnya menegang, lalu ada kedutan yang memijat senjataku.
Tangannya turun dari punggungku dengan lemah.
"Kamu menyukai pelepasanmu Sweety?"
Dina hanya berkedip pelan, lemah kehabisan tenaga. Segera kuputar tubuhnya, enak saja dia mau meninggalkanku tidur. Aku mengenalkannya pada doggy style. Tangannya yang lemah tak kuat menyangga, ia hanya tersungkur di kasur dalam posisi menungging dan tak henti ku pompa dari belakang.
Setengah jam berlalu. Tubuh gadis ini hanya tersentak-sentak tak bertenaga saat semakin ku tarik pinggangnya bersamaan dengan hujamanku. Ini benar-benar nikmat, paling nikmat sepanjang hubungan intimku dengan wanita lain.
"Eegh.. Engh.. Aakk.. Aakk.." lirih Dina bersuara setiap kali tubuh kami saling bertubrukan.
"Aku sampai Daisy.."
Aku tak peduli, ku siram rahimnya dengan benihku. Jika dia hamil toh aku suaminya, lalu anggap saja nasibnya tak jauh beda dengan adikku.
Aku menghempas tubuh di belakangnya. Kasihan, dia tak ada daya, berkedip pun susah. Aku merangkulnya, mengarahkan tangannya untuk memelukku. Dalam kapasitasnya yang low energy tak akan mampu mengelak. Balas dendamku terbalas dengan sempurna. Tak ada salahnya memberi sentuhan iba untuk gadis ini.
Ku rapatkan rengkuhanku, ku belai rambutnya. Entah mengapa perlu sejauh ini, aku merasa kasihan saja gadis sekecil ini telah ku sakiti, tapi aku juga tak menjamin tak melakukannya lagi.
Matanya terpejam, ku kecup keningnya, lalu kusimpan kepalanya di dadaku. Aku merasakan air matanya membasahi dadaku.
Maafkan aku.
***
"Kamu tidak bangun Bocah?" Suara Elan yang berkacak pinggang di tepi ranjang terdengar lantang.
Dina kaget, susah payah membuka mata yang lengket karena sembab, bengkak. Nafasnya memburu, masih ada sisa-sisa ketakutan. Ia meremas selimut di dadanya saat menyadari Elan berada di dekatnya.
"Mandilah.. Keluargaku biasa sarapan bersama."
Dina melengos sinis saat Elan mendekati wajahnya. Muak. Benci.
"Biar Mamaku bisa sarapan dengan menantu barunya, ah juga biar kakakmu mengenali wajah sembab adiknya hahaha.. Aku tidak sabar melihat ekspresi Raka."
Kekehan Elan terdengar sangat menyeramkan di telinga Dina. Jahat. Ia hanya obyek balas dendam. Hidupnya tak berarti lagi.
"Mau ku gendong ke kamar mandi Sweety?"
Muak sekali Dina mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Elan. Namun ia juga merasakan selangkangannya nyeri. Sekuat tenaga ia turun dari ranjang, dengan langkah tertatih menahan perih di kewanitaannya. Semalaman ia dijajah habis-habisan oleh suaminya, tanpa peduli apapun, hanya demi kepuasannya semata.
"Ah ya aku lupa.."
Suara Elan menghentikan langkah Dina di depan pintu kamar mandi. Lelaki itu sedang memakai tshirt nya dengan santai.
"Terima kasih untuk keperawananmu, rasanya lumayan lah.." nada Elan sangat merendahkan.
Wajah Dina mengerut, sakit, emosi yang seperti tak bisa ditahan tapi ia tak mampu melawan. Serendah itukah dirinya di hadapan Elan? Mengapa lelaki itu begitu kejam dengan bahasanya? Bisa-bisanya ia mengatakan rasa sebuah keperawanan sama seperti memuji rasa makanan.
Dina memilih diam, menahan diri, kemudian masuk ke kamar mandi. Di sana ia menjerit, menyesali semua yang telah terjadi. Bersimpuh di bawah guyuran shower meratapi nasibnya, juga sakitnya.
***
Elan menuruni tangga dengan semringah. Aura pengantin baru rupanya dihisap sempurna olehnya. Bagaimana tidak, istrinya justru menampakkan keadaan sebaliknya. Dina menuruni tangga dengan hati-hati, menahan sakit di kewanitaannya yang tak kunjung hilang, bahkan terasa sangat basah dan tak nyaman. Sesekali Elan mencoba menggandengnya tapi buru-buru ditampik juga dihindari. Ada rasa jijik untuk bersentuhan dengan suaminya.
Dari jauh Raka yang sedang bersenda gurau dengan istrinya mengalihkan perhatian saat Elan membuka kursi untuk Dina. Gadis itu hanya menunduk, menyembunyikan segalanya dari kakaknya. Sedangkan Elan sibuk menebar senyum kepuasan, terutama saat matanya bertemu lurus dengan mata Raka.
Lihat adikmu Raka.. Aku mendapatkannya!!
Senyum kemenangan Elan semakin lebar kala Raka menunjukkan perubahan ekspresi. Dari bahagia menjadi tercengang. Elan semakin ingin memuaskan batinnya.
"Sayang.. Tidak ingin menyapa kakakmu hmm?" Tanya Elan sembari menjepit dagu Dina yang dibalas dengan plengosan.
Saat itulah wajah Dina terangkat dan terlihat. Asya menutup bibirnya melihat tingkah dan wajah Dina yang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Matanya kosong, berair, merah, dan bengkak, hidungnya merah dan terdengar basah, bibirnya bergetar menahan tangis. Sesekali butiran air mata itu masih jatuh. Ini mengingatkannya di pagi hari di mana Raka mengajaknya sarapan setelah menodainya.
Asya semakin takut saat melihat kakaknya sedang tersenyum lebar menatap Raka yang mengeratkan bibirnya menahan emosi. Ia meremas paha suaminya. Sebisa mungkin menahan agar tak ada pagi yang panas di meja makan sebelum orang tuanya datang.
"Aku sangat bersemangat hari ini, apa kamu juga adikku, Raka??"
Nada ejekan sangat kental mengisi pertanyaan Elan. Raka merasa harga dirinya dicabik. Ini keterlaluan. Bukankah ia sudah bertanggungjawab untuk adiknya?? Mengapa Elan masih tega menyakiti Dina?
"Maaf Sayang.." Raka meminta izin kepada Asya dengan maafnya.
Raka melepas remasan Asya di pahanya, menghampiri Elan dengan kecepatan ekstra, merenggut kerah tshirt Elan hingga terangkat dadanya.
"Kak Raka!!" Jerit Asya ketakutan.
"Keparat!!" Raka mendorong tubuh Elan hingga terjatuh, terjerembap ke lantai.
Ekspresi Elan tak berubah, sedari tadi masih tertawa penuh kemenangan. Ia tak peduli atas perlakuan Raka padanya. Ia menikmati reaksi Raka dengan puas.
"Bajingan!!" Raka masih merenggut kerah Elan di bawah tindihannya.
"Hey.. Mengapa bajingan teriak bajingan? Kita impas brother, kamu memperkosa adikku, aku juga ah bukan, adikmu lebih beruntung karena aku sudah menikahinya, sudah kewajibannya melayaniku."
BUG!!
"Kak Raka! Jangan!" Asya menjerit mencoba melerai tapi takut untuk mendekat.
"Aku mencintai Asya, sedangkan kamu?? Kamu bedebah!!"
BUG!!
"Kak Raka cukuupp.. Hiks.." Asya menjerit. "Dina bantu aku Din, tolong jangan diam hiks.. Hiks.."
Dina hanya duduk tak tenang di kursinya. Pikirannya kacau dan tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi genting ini. Sejujurnya ia ingin kakaknya memukuli Elan dengan keras, hingga mati pun tak masalah.
Raka membangunkan tubuh Elan yang pasrah, masih dengan tawanya yang sangat merendahkan harga diri Raka. Raka merenggut kembali kerah Elan hingga tubuh mereka dekat dan berimpitan.
"Kamu tahu, rasa adikmu lumayan untuk ukuran seorang perawan." Elan tertawa bangga, memancing emosi Raka.
Emosi Raka meluap, ia mengangkat tangan kanannya ke belakang bersiap menghantam keras pelipis Elan. Namun ada yang menahan. Ia mengentakkan tangan kanannya, berusaha menyingkirkan penghalang.
"Aaakkkh.." Pekik Asya kesakitan.
Asya terjatuh karena tubuhnya tak bisa menjaga keseimbangan saat Raka membuang tangannya. Spontan Raka melepas cengkeramannya di dada Elan, menghampiri istrinya yang mengaduh di lantai sembari memegangi perutnya yang buncit.
Elan ternyata lebih dulu sampai di dekat Asya. Dua lelaki itu mengerumuni Asya, berebut bagian untuk menyelamatkannya.
"Mana yang sakit Sya?" Tanya Elan sembari memegang lengan adiknya.
"Maaf Sayang aku tidak sengaja." Raka mengusap perut Asya.
"Aku tidak apa-apa, tapi tolong jangan bertengkar. Rasanya perutku mulas melihat kalian bertengkar. Semua memang salahku hiks.."
"Asya, jangan bicara begitu, baiklah kakak janji tidak akan bertengkar lagi.."
"Tapi memang salahku, andai aku tidak menikah dengan Kak Raka semua ini tidak perlu terjadi.. Hiks.."
"Sayang.. Kok bicaranya begitu? Kamu menyesal menikah denganku?"
"Tapi Dina jadi.." bantah Asya terputus.
"Ssst.. Jangan bicara apa-apa lagi, aku janji tidak akan bertengkar lagi dengan Elan, kamu tenang ya.." Raka memeluk istrinya, tapi tatapannya masih sinis menghukum Elan yang tersenyum miring.
Dina menelan pil pahit. Tak ada seorang pun di sisinya. Kakaknya, yang ia harap bisa menolongnya pun berakhir menjadi mimpi. Ia harus menanggung bebannya sendiri, hingga ia kembali ke kamar pun tak ada yang menyadarinya. Ia benar-benar sendiri.
***
Tubuhku melorot di balik pintu kamar. Ke mana semua orang? Mengapa tak ada satu pun yang bisa menolongku? Kak Raka, satu-satunya harapanku ternyata lebih memilih istrinya dari pada aku.Ku remas bagian dada bajuku, menahan segala kepelikan hidup yang seolah baru dimulai. Semua baru dimulai, lalu kapan berhenti? Sedangkan aku sudah kehilangan segalanya.Ku kira kesepakatan itu cukup tapi..Aku bodoh! Bodoh sekali! Ku edarkan pandanganku di seluruh ruangan mencekam ini. Seumur hidup tak akan terlupa di mana aku diperlakukan sangat rendah oleh orang lain, yang tak lain suamiku sendiri.Tok tok tokAku beranjak dari balik pintu, membukakan ketukan lemah itu karena ku yakin lelaki kasar itu tidak akan mengetuk selembut ini. Kak Asya yang ku lihat. Ia membawa nampan berisi makanan, ku rasa untukku. Aku berjalan ke sisi ranjang, lalu duduk di tepinya.Kak A
Asya bersandar punggung ranjang sembari masih sesenggukan. Ia terpukul atas segala penuturan dan tuduhan Dina. Merasa bersalah telah menjadi sumber masalah. Raka mengusap air matanya perlahan. Lembut penuh kasih sayang. "Sayang.. Kalau kamu banyak pikiran begini kasihan mereka.. Lupakan yang Dina ucapkan, dia hanya sedang emosi." Raka membelai punggung tangan istrinya, mengecupnya hingga terasa basah. Ia tidak mau istrinya tertekan oleh hal-hal yang mengganggu pikirannya. "Kak Raka harus bantu Dina hiks.. Dia sudah banyak berkorban untuk kita, dan semua.. Semua gara-gara aku lemah hiks.." Raka mengangkat wajah Asya. Tersenyum menenangkan. Ia mengecup bibir istrinya lembut, hanya mengecup bibir sensual istrinya yang selalu membangkitkan gairah. "Siapa bilang istriku lemah? Dina belum tahu saja kalau istriku sangat kuat hmm.., buktinya kuat menghadapiku, kuat juga jadi calon ibu
Elan berlari ke balkon kamarnya, nafasnya mengendur kala menemukan tubuh Dina duduk meringkuk di sudut dalam balkon, di dekat pintu. Ia memejamkan mata sejenak, lega. Pikirannya sudah terlanjur kacau membayangkan Dina akan loncat dari balkon untuk mengakhiri hidupnya. Ternyata gadis ini tidak selemah itu. Elan mendekati Dina yang termenung, melamun tak tahu di mana arah matanya berlabuh. Ia mengulurkan tangan. "Ayo masuk.." Ajak Elan datar. Dina merendahkan pandangan, respons tak nyaman pada lelaki yang berdiri congkak di depannya. "Ada yang ingin aku bicarakan." Dina masih diam. Ia tak tertarik. Balkon ini lebih menjanjikan kenyamanan daripada di dalam kamar yang mencekam. "Ini tentang perceraian." Dina mengangkat wajahnya, tapi menahan diri untuk melihat wajah lelaki itu. Ia tertarik kemudian berdiri dan mengekori Elan yang masuk ke dalam kamar. Perasaannya tak tenang, hanya bisa berdoa semoga Elan mengabulkan permintaannya.
Elan memarkir jeep-nya di depan sekolah Dina. Menanti gadis yang tak kunjung muncul dalam gelisah. Jangan-jangan gadis itu sudah pulang karena terlalu lama menantinya. Nomor ponsel Dina tak bisa dihubungi,w******pnya juga centang satu. Elan yang mulai gusar, memilih turun dari mobil, bersandar moncong mobilnya sembari menengok ke arah gerbang sekolah. Menyeleksi wajah-wajah muda yang terpukau padanya. Elan menggaruk dagunya tak sabar. Ia memutuskan menuju pos satpam untuk menanyakan posisi Dina, masih di sekolah atau sudah pulang. Lupa Pak satpam bukanlahface detector.Tak pernah ia menanti seorang gadis hingga seresah ini hanya untuk mengajaknya makan siang. Baru selangkah meninggalkan titiknya, Elan menemukan gerombolan bocah SMA yang baru keluar. Salah satu bola mata mereka bahkan sudah mendeteksi kehadirannya. Pemilik bola mata itu mengatakan sesuatu pada kawan-kawannya lalu mendekati Elan dengan raut masam.
Elan mempersilahkan Dina masuk ke apartemennya lebih dulu. Dina berjalan gamang di depan Elan, alat geraknya dibuat ragu-ragu harus bertindak bagaimana. Elan baru saja membagi peluk hangat. Membujuknya pulang bersama, meskipun tak ada kata yang terucap lagi sepanjang jalan tadi. "Mandilah.. Ingin makan apa? Aku akan pesan via ojekonline." Dina berbalik, mengangkat wajahnya. Gugup. Ada ketegangan. "Eng.. Apapun." Jawab Dina singkat. "Asal bukan tempe?" Elan memasang ekspresi tanya dengan senyum manisnya. Yah, senyum manis yang hampir tak pernah Dina temui. Dina membalas senyum itu. Damai. Ah suasana terasa hangat padahal tubuh mereka kedinginan karena basah kuyup oleh hujan. "Ya, apapun asal bukan tempe. Kamu.. Sudah hafal emm.." Jawab Dina seraya membalik badannya. "Tunggu!" Dina membalik tubuhnya bersemangat. Seperti belum ingin berpisah jarak dengan tubuh yang barusan mendekapnya dengan nyaman.
Suhu di kamar Dina turun karena sensor mendeteksi pergulatan panas yang semakin menggelora. Elan masih menggenggam tangan istrinya, mencekalnya di dinding karena sempat mengelak tangannya untuk masuk ke paha. Ia kemudian menjilati selangka Dina sambil sesekali mencucupnya. Dina hanya memejamkan mata sembari menggigit bibir dalamnya, menarung alisnya merasa kenikmatan menjalar dari bagian yang dicucup oleh Elan. Ia baru bisa menikmati sentuhan Elan, setelah sebelumnya terlalu sibuk mempertahankan diri. Elan kembali mengalungkan kedua tangan Dina ke lehernya, lalu mengusap paha mulusnya naik turun. Gerakan yang sangat membangkitkan libido hingga Dina melenguh tanpa sadar. Jemari Elan semakin aktif, naik, mengusap perut Dina dari balik baju, naik, menyusup, kemudian.. Dina tersentak saat telunjuk Elan berhasil menyusup, memencet puncak bukitnya. Ada rasa geli yang mencekal. Ia tersadar, lalu segera membuang tangan Elan. "Cukup! Engh.." El
"Apa, yang kamu, lakukan, semalam?" Dada Dina naik turun karena kesal. "Tidak ada.. Selain.." Elan sengaja menyetop penuturannya. "Selain apa?? Katakan selain apa??" Dina marah. Elan mengekeh, puas sekali melihat wajah Dina yang sebal. Sukses mengerjai istrinya hingga geregetan. Ia segera mendekatinya di ranjang. "Hanya mengusap sedikit Bocah.." Dina kesal lalu memukuli Elan dengan bantal. Membabi buta saking muaknya. Ia merasa dibodohi lelaki itu. Seenaknya menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya tanpa permisi. "Brengsek! Brengsek! Apa yang kamu usap hah?? Brengsek!" "Hey.. Hey.. Hanya mengusap lenganmu.." Dina mengendurkan gerakan dengan nafas memburu. Tanda bahwa emosi masih mendiami pikirannya. Ekspresinya menunjukkan kecurigaan bahwa Elan berbohong. "Juga mengecup bahumu sedikit." Wajah Dina memerah marah kembali. Tangannya meremas bantal bersiap menyerang. Elan semakin gema
Wajah Asya mengerut merasa bersalah. Ia menatap Raka takut, bingung pula apa yang harus dilakukannya. Bibirnya naik turun gundah. Mmuch! Raka mengecupnya gemas. "Adik kecil barusan lihat apa hayo?" Goda Raka agar Asya lebih tenang. "Iihh Kakak, aku maluu, tadi Kak Elan iihhh.." Asya menutup matanya dengan telapak tangan. Raka tersenyum lebar menyaksikan tingkah istrinya, yang sedang dipangku miring di sofa. Tubuhnya semakin berisi memasuki usia kandungan enam bulan, tapi sikap dan sifatnya semakin manja. "Kenapa mesti malu Sayang? Kan kita juga sering begituan.." "Tapi nanti aku harus bagaimana kalau bertemu mereka Kak? Aku ganggu mereka tadi kan.." Asya memainkan kancing Raka merasa bersalah. Raka mengusap perut istrinya. Membisikkan sesuatu agar didengar Asya. "Para junior Papa, Mama barusan nakal, lihat orangena-ena." Asya spontan melepas tangannya, memukuli dada Raka kesal. M
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa