Elan berlari ke balkon kamarnya, nafasnya mengendur kala menemukan tubuh Dina duduk meringkuk di sudut dalam balkon, di dekat pintu. Ia memejamkan mata sejenak, lega. Pikirannya sudah terlanjur kacau membayangkan Dina akan loncat dari balkon untuk mengakhiri hidupnya. Ternyata gadis ini tidak selemah itu.
Elan mendekati Dina yang termenung, melamun tak tahu di mana arah matanya berlabuh. Ia mengulurkan tangan.
"Ayo masuk.." Ajak Elan datar.
Dina merendahkan pandangan, respons tak nyaman pada lelaki yang berdiri congkak di depannya.
"Ada yang ingin aku bicarakan."
Dina masih diam. Ia tak tertarik. Balkon ini lebih menjanjikan kenyamanan daripada di dalam kamar yang mencekam.
"Ini tentang perceraian."
Dina mengangkat wajahnya, tapi menahan diri untuk melihat wajah lelaki itu. Ia tertarik kemudian berdiri dan mengekori Elan yang masuk ke dalam kamar. Perasaannya tak tenang, hanya bisa berdoa semoga Elan mengabulkan permintaannya.
"Duduklah.." perintah Elan menunjuk tepi ranjang.
"Ha.. Harus di sini? Bukan di sofa?"
Dina ragu, masih takut jika Elan akan memaksa melayaninya lagi. Ia gugup, meremas bagian dada bajunya melindungi diri.
"Jangan takut, aku tidak akan memperkosamu lagi." Sindir Elan sembari duduk nyaman di atas ranjang terlebih dahulu.
Dina menurut, duduk miring di tepi ranjang, menjaga jarak mereka tak terlalu dekat. Dina berusaha tenang, tak menampakkan kegugupan. Ia ingin tetap terlihat kuat di depan Elan.
"Kamu ingin bercerai?" Tanya Elan sedikit menggerakkan kepalanya ke arah Dina.
"Ya."
"Siap menjadi janda?" Elan bertanya dengan nada merendahkan.
Dina menelan ludahnya. Janda? Status itu tak terpikir sama sekali olehnya. Ia akan menjadi janda. Ah itu urusan belakangan, yang terpenting lepas dari jerat Elan dulu.
"Tidak masalah." Jawab Dina mantap.
"Oke.." Elan mengangkat alisnya. "Aku punya penawaran yang saling menguntungkan."
Dina menoleh tanpa melihat wajah Elan. Tertarik.
"Katakan!"
"Seperti katamu, kita menikah demi orang-orang yang kita sayangi, kamu karena Raka dan aku karena Asya, tapi yang orang tua kita tahu kita menikah karena cinta."
"Lalu?" Dina ketus tapi mulai penasaran.
"Aku tidak mau menyakiti adikku, sebelum memeriksamu tadi Raka sempat mengatakan kalau adikku terpukul karena merasa bersalah padamu, maksudnya karena kamu tampak memprihatinkan seperti ini ckckck, untung Raka bisa menenangkannya.. Asya begitu karena ucapanmu kan? Kamu melampiaskan kemarahan pada adikku hmm?" Elan menaikkan sebelah alisnya jahat, menanti respons Dina dalam seringainya yang kejam.
Dina gemetar karena perbuatannya pada Asya terkuak. Ia terbayangi perlakuan Elan tadi pagi saat tahu dirinya sudah membuat Asya menangis. Akankah kali ini juga?
"Aku anggap jawabanmu 'ya' karena tak ada yang keluar dari bibirmu. Asal kamu tahu, kebahagiaan adikku adalah prioritas, kamu juga tahu aku bahkan rela menikahimu hanya untuk membalas dendam untuknya. Jadi, jangan sekali-kali menyakiti adikku lagi." Ancam Elan menakutkan.
Dina semakin meremas dadanya sendiri. Takut. Bayangan pemerkosaan Elan pagi ini datang lagi sekelebat, menjadikan sakit di kewanitaannya muncul kembali.
"Takut? Jangan takut Sweety, aku tidak akan menyakitimu lagi. Tapi dengarkan dan pikirkan penawaran ku ini baik-baik."
Elan mendekati Dina yang berusaha menjauh.
"Kita jaga pernikahan ini sampai adikku melahirkan, setelah itu terserah padamu. Aku hanya butuh menenangkan pikiran adikku sampai dia melahirkan. Seperti yang kita tahu, Raka sering bilang kehamilan kembar punya risiko dua kali lebih besar. Psikis Asya harus dijaga, aku tidak mau dia stres karena terlalu memikirkan nasib pernikahan kita yang berakhir, karena perasaan bersalahnya. Hanya empat bulan bukan Asya akan melahirkan? Kamu cukup bertahan selama empat bulan hidup bersamaku."
"Kamu pikir aku bodoh? Kenapa aku harus tersiksa hidup bersamamu selama empat bulan hah?" Dina emosi.
"Jangan lupa, kamu punya hutang padaku, jadi selama empat bulan itu aku memberimu waktu melunasinya. Ah satu hal lagi, kamu tidak memikirkan perasaan orang tuamu? Terutama ibumu jika tahu pernikahan anaknya kandas kurang dari seminggu? Aku dengar hipertensinya sering kambuh sejak memikirkan Raka ditolak mentah-mentah oleh ayahku, kira-kira bagaimana dengan status janda yang akan disandang putri kecilnya? Hehe.. Apa aku salah bicara? Kamu tidak akan rugi Sweety, aku sudah memperhitungkan semua.." Elan mencoba menatap Dina yang terus menghindarinya.
"Kamu mengancamku?? Kamu memang brengsek!"
"Mulai sekarang berhentilah memanggilku dengan ucapan kasar begitu Sweety, bisa jadi dalam empat bulan ke depan kata-kata itu berubah menjadi kata 'Sa-yang' hahaha.."
Panas telinga Dina mendengar ucapan Elan di dekat telinganya. Bisa-bisanya dia mengharap rasa sayang tumbuh di hatinya. Tidak sudi!
"Ah ya masih ada satu hal lagi yang menguntungkanmu. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu selama empat bulan itu, kecuali.."
"Kecuali apa?" Sahut Dina cepat, gemas.
"Kecuali kamu yang memintanya." Elan tersenyum mesum.
"Brengsek! Kamu kira aku semurahan itu heh?? Akan kupastikan kamu tidak menyentuh tubuhku lagi."
Elan manggut-manggut sok paham. Senyumannya merendahkan kalimat Dina, seolah kalimat itu mentah.
"Jadi bagaimana? Menerima tawaranku? Kita saling menguntungkan, aku menjaga perasaan dan kesehatan adikku, kamu menjaga perasaan dan kesehatan ibumu. Sudah adil kan?"
"Aku butuh waktu berpikir.."
"Tidak ada satu orang pun yang boleh tahu perjanjian ini, tidak juga Raka. Ini urusan kita berdua Sweety, aku tidak mau pemikiran orang lain mengacaukan kesepakatan kita. Pikirkan sendiri alasanmu padanya mengapa kamu tidak jadi meminta cerai dariku."
Dina berpikir keras. Ia mencoba memikirkan kelemahan penawaran Elan tapi tak mudah. Lelaki itu licik dan sudah memikirkan segala sudut kemungkinan. Ia menjerat karena semua yang dikatakannya tidaklah salah.
"Apa yang menjamin kamu tidak akan macam-macam kepadaku lagi? Maksudku.. Kamu.. Tidak akan menyentuhku lagi."
"Kamu boleh menggugat cerai saat itu juga." Jawab Elan lugas.
Dina tersudut dalam keyakinan. Empat bulan bukan waktu yang singkat untuk hidup bersama lelaki brengsek itu tapi menggugat cerai Elan sekarang akan melukai banyak orang, ibunya, juga kakak iparnya Asya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Elan lakukan jika Asya kenapa-napa karena ia menggugat cerainya sekarang.
"Aku menunggu jawabanmu Sweety.." Tanya Elan memecah lamunan Dina.
"Tenang saja aku akan mencukupi kebutuhan sehari-harimu selama empat bulan itu, dan kamu tidak perlu menggantinya dengan tubuhmu."
Dina bergidik seram. Ah sudahlah pikirannya sudah mati. Mungkin tidak buruk menerima perjanjian ini. Toh dia tetap bisa memutuskan perjanjian jika Elan melanggar, terutama jika Elan berani menyentuhnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan?
"Aku menerimanya."
"Bagus. Aku sudah merekamnya di sini," Elan mengangkat ponsel dari saku pakaiannya. "Perjanjian tanpa materai."
Elan menyunggingkan bibir mengejek. Mengingatkan Dina pada perjanjian lamanya yang menguap begitu saja.
Brengsek dia merendahkan perjanjianku.
"Aku akan mengirim rekamannya di ponselmu, kamu bisa menggunakan itu sebagai bukti penunjang di sidang perceraian, siapa tahu aku tidak kuat dan memperkosamu lagi di tengah jalan." Elan tertawa mengejek sambil berlalu.
"Brengsek!! KAMU!?" Dina berdiri emosi.
Elan berbalik sambil tersenyum.
"Hey ayolah jangan terlalu serius, aku hanya bercanda."
Dina menjatuhkan bokongnya kembali di atas kasur. Mengambil nafas panjang, menenangkan diri agar tak terlalu emosi. Dari jauh ia melihat punggung Elan yang lebar bersandar di kursi kerjanya. Sepertinya sibuk memeriksa beberapa berkas mitra bisnisnya.
Suatu saat kamu akan membayar semuanya Elan..
***
"Apa kamu bilang? Kamu tidak jadi bercerai?"
Dina mengangguk menjawab pertanyaan kakaknya. Ia tersenyum.
"Aku sudah bisa menerima pernikahan ini. Tak ada salahnya Kak. Aku yakin bisa bahagia juga seperti kalian. Ah ya, maafkan aku Kak Asya, aku sedang emosi saat itu, jadi menuduhmu yang bukan-bukan." Dina menggenggam tangan Asya yang duduk di sampingnya.
"Dina.." Asya tersenyum bahagia. "Lupakan.."
"Tapi Din?" Raka mendekati kedua gadis yang disayanginya.
"Kak.. Dina sudah dewasa, dia mungkin bisa merasakan kasih sayang kak Elan juga. Pelan-pelan akan tumbuh cinta." Asya menyela ucapan suaminya. "Aku melihat kak Elan menyuapimu tadi pagi, tulus sekali, aku yakin kalian akan saling mencintai, lalu bahagia sepertiku dengan kak Raka Din."
Dina memaksakan senyumnya. Ibu hamil di hadapannya sangat polos. Seperti cenayang yang sok menebak masa depan. Saling mencintai dengan Elan? Bahagia dengan lelaki keparat itu? Kak Asya sedang mimpi di sore hari!
"Din, kamu tidak sedang berbohong kan?" Raka curiga.
"Kak Raka tidak perlu khawatir. Aku sudah cukup dewasa mengambil keputusan.." Dina tersenyum sembari meninggalkan suami istri itu di taman belakang rumah keluarga Wicak.
Yah.. Dina harus bersandiwara, setidaknya hingga bayi di perut kakak iparnya menghirup oksigen bumi dari hidungnya sendiri.
***
Dina keluar kamar mandi, bingung dengan langkahnya sendiri. Ia tak tahu harus di mana tidur malam ini. Di ranjang sudah ada Elan yang bertelanjang dada dengan laptop di pangkuannya. Hanya sofa satu-satunya tempat yang bisa menyenyakkan tidurnya malam ini.
Elan sama sekali tak peduli Dina akan tidur di mana, meskipun sesekali pandangan mereka bertemu saat Dina mulai merebahkan tubuhnya di sofa, kemudian berusaha memejamkan mata.
"Besok kita kembali ke Jakarta. Banyak pekerjaan yang akan ku urus di kantor baru."
"Oh.. Syukurlah aku juga sudah rindu rumah, juga sekolahku." Dina membuka mata, ada harapan untuk bahagia bisa bertemu ibunya.
"Memangnya masih sekolah?" Elan serius dengan layar laptopnya.
"Banyak hal yang harus diurus sebelum kelulusan."
"Ah ya katamu tadi di rumah? Kita akan pulang ke apartemenku Sweety.." Elan enteng berkata tanpa melepas kontak mata dengan layar laptopnya.
"Apa??" Dina bangkit karena kaget. "Aku tidak mau."
"Hey itu sudah kesepakatan keluarga besar saat aku meminangmu, Asya dan Raka di rumahmu, dan kamu ikut aku. Lagi pula Tante Ranti sudah memindahkan barang-barangmu ke apartemenku. Sepertinya Mamamu menyiapkan kejutan di kamar pengantin kita, tadi sore tante Ranti meneleponku dan bertanya kode pintunya. Hmm.. Apa jadinya kalau Mamamu tahu perjanjian kita."
"Tidak! Aku akan pulang ke rumahku!" Dina ngotot.
"Lalu aku ke apartemenku? Lalu semua tahu kita pisah ranjang?" Mata Elan memeriksa ekspresi Dina dengan santai.
Lagi-lagi Dina dibuat terjepit dan tidak tahu harus bagaimana selain mengikuti kemauan Elan. Baiklah ia harus menerima keadaan tinggal berdua dengan Elan.
***
Jakarta.
Dina menggeliat, merasakan kebebasan tidak lagi tidur sekamar dengan Elan. Sudah tiga hari ini ia terbangun di kamar pribadinya, tentu masih di dalam apartemen mewah milik Elan. Ia tak peduli meskipun kamar Elan jauh lebih luas, yang penting ia bebas menghirup udara tanpa tertekan di kamarnya. Tanpa perlu melihat wajah Elan tiap kali membuka mata.
Hubungan Dina dengan Elan pun membaik. Dina memutuskan untuk pelan-pelan melupakan tragedi malam pertama, lebih memilih menatap masa depan. Kehilangan keperawanan adalah hal lumrah bagi teman-temannya. Dari mereka jugalah Dina tahu malam pertama itu sangat menyakitkan. Lagi pula Elan suaminya, setidaknya ia tak berbuat dosa.
Benar kata Elan, beberapa hari lalu Ranti sudah menyiapkan kamar pengantin untuk mereka, dekorasi bunga-bunga cantik nan indah. Sayangnya Elan justru merasa geli karena menikmati kamar itu sendiri.
Dina keluar kamar dan menemukan Elan sudah duduk di meja makan. Dengan jas hitam dan dasi ungu terlihat sangat gagah perkasa, memesona kaum hawa. Perkasa? Diakui Dina Elan memang perkasa. Terbukti saat dua hari persetubuhan mereka, meskipun tersakiti, Elan masih sempat memuaskannya.
Ya Tuhan pikiran mesum macam apa ini?
Dina memukul kepalanya sendiri karena bisa-bisanya berpikir mesum tentang Elan. Tak dipungkiri, bayangan tubuh Elan saat bergerak di atas tubuhnya terlihat begitu seksi. Ah Dina mesum lagi.
Krucuk krucuk.. Perut Dina keroncongan. Ia menuju meja makan, mendekati Elan, berharap ada makanan di sana.
"Sudah bangun?" Elan menengok sebentar pada Dina di hadapannya lalu melanjutkan membaca koran. "Apa aktivitasmu hari ini?"
"Eumm.." Dina agak kaget karena baru hari ini Elan peduli dengan aktivitasnya. Kemarin-kemarin lelaki itu cuek, tak peduli selain membelikannya makan. "Ke sekolah, mengembalikan buku-buku perpustakaan."
"Oh, aku kira menganggur."
"Kenapa kalau menganggur?"
"Akan ku daftarkan kursus memasak, biar kamu bisa masak makanan sendiri. Ya setidaknya buat makanan untuk dirimu sendiri, jangan hanya numpang makan di rumah ibumu. Asya saja bisa masak segala macam makanan, kenapa kamu tidak?"
Dina kaget. Dari mana Elan tahu kemarin ia pulang ke rumahnya dan makan di sana.
"Mama memberitahumu?"
"Hmm.."
"Kenapa Mama jadi sangat respect padamu, hmph.." Dina kesal.
Elan melipat korannya, menyesap kopinya, lalu menyodorkan sepiring roti selai buatannya kepada Dina.
"Makanlah!"
"Tapi ini sarapanmu.."
"Kamu lebih membutuhkan, perutmu sudah cukup merdu menyanyi dari tadi. Aku berangkat." Elan beranjak dari kursinya, berlalu menuju pintu.
Dina malu bukan kepalang karena bunyi perut laparnya sangat nyaring. Pagi ini Elan menyelamatkan perutnya. Muncul ide untuk berterima kasih pada Elan. Siapa tahu sikap care-nya pagi ini akan berlanjut hingga esok, esoknya lagi hingga empat bulan ke depan.
Ckrik! Dina mengambil gambar roti di depannya, menjadikannya story w******p dengan caption, "Thanks, menyelamatkan perutku pagi ini."
Elan tersenyum saat menemukan story Dina. Ia ingin membalasnya, tapi.. Ah tidak perlu mengikuti cara anak SMA bermedia sosial, tidak penting!
Dina menemukan nama Elan di urutan ketiga viewernya. Entah mengapa hatinya tergelitik, gereget merasa umpannya tak dimakan. Padahal sengaja menulis caption itu untuk tahu respons Elan, tapi lelaki brengsek tetap lelaki brengsek.
***
Di kantor Elan.
Berulang kali lelaki dewasa itu memeriksa w******pnya, bukan menanti gambar bangunan atau tanah yang akan diperjualbelikan, tapi memeriksa story.
Dari tadi pagi ia berulangkali memantengi story w******p istrinya. Pikirannya mungkin sudah gila karena menyempatkan waktu sibuknya untuk membuka tutup aplikasi itu karena hal tidak penting.
Elan tak tahan lagi. Ia membuka room chat Dina, mengirim pesan.
Elan: Suka rasa rotinya?
Dina: Heem, not bad
Elan: Ganti besok buatkan aku
Dina: kalo tdk enak?
Elan: Belajarlah lebih giat
Dina: Tdk janji
Elan: Pemalas
Dina: Aq rajin brengsek
Elan: Sudah kubilang hati2 dg sebutan itu, bisa berubah menjadi 'sayang'
Dina: Membuatq mual T_T
Elan: Kamu hamil?
Dina: Brengsek! Aq mens
Elan: Sayang sekali, kukira berhasil menghamili bicah SMA
Dina: Pedofil! Jangan bahas itu ladi dan jangan bermimpi
Elan: Hahaha kamu masih di sekolah?
Dina: Y
Elan: Pulang jam berapa?
Dina:12an, knp?
Elan: Tunggu aku di sana
Dina: Aq bs pulang sendiri
Elan: Kujemput
Dina: TIDAK PERLU
Elan: Aq lapar, butuh teman makan siang. Mau makan apa?
Dina: ?
Elan: Resto jepang waktu itu?
Dina: ^^ Boleh
Elan: Tunggu aku di gerbang
Dina: Aq menunggumu di tengah jalan Brengsek
Elan: Dasar bocah!
Ditunggu vote dan komentarnya ya say
Elan memarkir jeep-nya di depan sekolah Dina. Menanti gadis yang tak kunjung muncul dalam gelisah. Jangan-jangan gadis itu sudah pulang karena terlalu lama menantinya. Nomor ponsel Dina tak bisa dihubungi,w******pnya juga centang satu. Elan yang mulai gusar, memilih turun dari mobil, bersandar moncong mobilnya sembari menengok ke arah gerbang sekolah. Menyeleksi wajah-wajah muda yang terpukau padanya. Elan menggaruk dagunya tak sabar. Ia memutuskan menuju pos satpam untuk menanyakan posisi Dina, masih di sekolah atau sudah pulang. Lupa Pak satpam bukanlahface detector.Tak pernah ia menanti seorang gadis hingga seresah ini hanya untuk mengajaknya makan siang. Baru selangkah meninggalkan titiknya, Elan menemukan gerombolan bocah SMA yang baru keluar. Salah satu bola mata mereka bahkan sudah mendeteksi kehadirannya. Pemilik bola mata itu mengatakan sesuatu pada kawan-kawannya lalu mendekati Elan dengan raut masam.
Elan mempersilahkan Dina masuk ke apartemennya lebih dulu. Dina berjalan gamang di depan Elan, alat geraknya dibuat ragu-ragu harus bertindak bagaimana. Elan baru saja membagi peluk hangat. Membujuknya pulang bersama, meskipun tak ada kata yang terucap lagi sepanjang jalan tadi. "Mandilah.. Ingin makan apa? Aku akan pesan via ojekonline." Dina berbalik, mengangkat wajahnya. Gugup. Ada ketegangan. "Eng.. Apapun." Jawab Dina singkat. "Asal bukan tempe?" Elan memasang ekspresi tanya dengan senyum manisnya. Yah, senyum manis yang hampir tak pernah Dina temui. Dina membalas senyum itu. Damai. Ah suasana terasa hangat padahal tubuh mereka kedinginan karena basah kuyup oleh hujan. "Ya, apapun asal bukan tempe. Kamu.. Sudah hafal emm.." Jawab Dina seraya membalik badannya. "Tunggu!" Dina membalik tubuhnya bersemangat. Seperti belum ingin berpisah jarak dengan tubuh yang barusan mendekapnya dengan nyaman.
Suhu di kamar Dina turun karena sensor mendeteksi pergulatan panas yang semakin menggelora. Elan masih menggenggam tangan istrinya, mencekalnya di dinding karena sempat mengelak tangannya untuk masuk ke paha. Ia kemudian menjilati selangka Dina sambil sesekali mencucupnya. Dina hanya memejamkan mata sembari menggigit bibir dalamnya, menarung alisnya merasa kenikmatan menjalar dari bagian yang dicucup oleh Elan. Ia baru bisa menikmati sentuhan Elan, setelah sebelumnya terlalu sibuk mempertahankan diri. Elan kembali mengalungkan kedua tangan Dina ke lehernya, lalu mengusap paha mulusnya naik turun. Gerakan yang sangat membangkitkan libido hingga Dina melenguh tanpa sadar. Jemari Elan semakin aktif, naik, mengusap perut Dina dari balik baju, naik, menyusup, kemudian.. Dina tersentak saat telunjuk Elan berhasil menyusup, memencet puncak bukitnya. Ada rasa geli yang mencekal. Ia tersadar, lalu segera membuang tangan Elan. "Cukup! Engh.." El
"Apa, yang kamu, lakukan, semalam?" Dada Dina naik turun karena kesal. "Tidak ada.. Selain.." Elan sengaja menyetop penuturannya. "Selain apa?? Katakan selain apa??" Dina marah. Elan mengekeh, puas sekali melihat wajah Dina yang sebal. Sukses mengerjai istrinya hingga geregetan. Ia segera mendekatinya di ranjang. "Hanya mengusap sedikit Bocah.." Dina kesal lalu memukuli Elan dengan bantal. Membabi buta saking muaknya. Ia merasa dibodohi lelaki itu. Seenaknya menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya tanpa permisi. "Brengsek! Brengsek! Apa yang kamu usap hah?? Brengsek!" "Hey.. Hey.. Hanya mengusap lenganmu.." Dina mengendurkan gerakan dengan nafas memburu. Tanda bahwa emosi masih mendiami pikirannya. Ekspresinya menunjukkan kecurigaan bahwa Elan berbohong. "Juga mengecup bahumu sedikit." Wajah Dina memerah marah kembali. Tangannya meremas bantal bersiap menyerang. Elan semakin gema
Wajah Asya mengerut merasa bersalah. Ia menatap Raka takut, bingung pula apa yang harus dilakukannya. Bibirnya naik turun gundah. Mmuch! Raka mengecupnya gemas. "Adik kecil barusan lihat apa hayo?" Goda Raka agar Asya lebih tenang. "Iihh Kakak, aku maluu, tadi Kak Elan iihhh.." Asya menutup matanya dengan telapak tangan. Raka tersenyum lebar menyaksikan tingkah istrinya, yang sedang dipangku miring di sofa. Tubuhnya semakin berisi memasuki usia kandungan enam bulan, tapi sikap dan sifatnya semakin manja. "Kenapa mesti malu Sayang? Kan kita juga sering begituan.." "Tapi nanti aku harus bagaimana kalau bertemu mereka Kak? Aku ganggu mereka tadi kan.." Asya memainkan kancing Raka merasa bersalah. Raka mengusap perut istrinya. Membisikkan sesuatu agar didengar Asya. "Para junior Papa, Mama barusan nakal, lihat orangena-ena." Asya spontan melepas tangannya, memukuli dada Raka kesal. M
Dilema. Di satu sisi Dina bingung karena uang sakunya tinggal selembar pecahan lima puluh ribu. Di sisi lain ia tak mungkin meminta uang saku pada Elan sedangkan dua hari ini hubungan mereka belum ada perkembangan. Tak ada lagi kedekatan selain waktu makan malam. "Bry! Beri aku pinjaman ya,please.." Dina memelas. "Hmm.." "Kamu hmm hmm saja dari tadi, jawab iya dong Bry.." Dina mulai protes. "Hmm.." "Bilang hmm sekali lagi ku blokir kamu dari daftar sahabat." "Seperti punya sahabat lain saja, harap dipikir sebelum bicara." Bryan menang telak. Dina menghembuskan nafas berat, meletakkan kepalanya miring di meja kantin sekolah. Usahanya sedari tadi sama sekali tidak meluluhkan Bryan, sahabat semata wayangnya, yang sedari tadi fokus dengan layar ponselnya. "Tega kamu Bry.." wajah Dina murung. Bryan menutup layar ponselnya, meletakkannya di meja. Lalu memantengi sahabatnya yang terlihat kacau sedang men
"Bagimu, aku ini apa?" Tanya Dina serius. Elan menghentikan aktivitas mesumnya. Melepaskan ciumannya di leher Dina, mengendurkan kecepatannya dalam meremas. Ia tersenyum, menjatuhkan pandangan jauh ke pegunungan sebagaimana Dina. "Apa itu penting?" "Tentu saja.. Seorang gadis yang sudah diperlakukan sepertiku patut bertanya, kenapa seorang lelaki memperlakukannya demikian. Hanya nafsu? Atau pelampiasan?" "Aku sedang nafsu ingin menjilatmu tapi tidak bisa." Jawab Elan sambil terkekeh. "Itu bukan jawaban yang ku harapkan." Dina mengangguk kecewa. "Kamu mengalihkan pembicaraan dan.. Ah sudahlah.." Dina menekuk wajahnya, menelan kepahitan. Mungkin ia terlalu berharap. Tidak pernah ada yang spesial di mata Elan tentang siapa dirinya. Ia menyingkirkan kedua tangan Elan dari dadanya. Memasukkan kembali dua bola dadanya ke dalam. Mengancing seragamnya cepat, lalu melepas jas Elan dari bagian depan tubuhnya. "Aku ke toilet dulu,
"Kak Elan.." Suara Dina serak sarat gairah. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Elan merasa selangkangannya sangat ketat, tapi gerakan mata Dina yang ragu menyadarkannya akan sesuatu. Ia menarik diri dari tubuh istrinya. Rebah di ranjang mengatur nafas. "Kita baca dongeng saja.." Elan terkekeh sok tenang. Dina menemukan area sensitif Elan menggembung, pertanda lelaki itu sedang sangat menginginkannya. Ia tidak siap, tidak mau, lebih tepatnya belum yakin. Meskipun semenit lalu ia sempat pasrah jika Elan berniat menggaulinya. Dina duduk, mengatur nafasnya pula. Ia tak bisa terus-terusan begini. Berada di sisi Elan akan membuat lelaki itu tersiksa oleh nafsunya yang tidak tuntas. Ia tak mau menyiksa suaminya sementara sudah berkali-kali Elan memuaskannya. "Aku akan tidur di kamar lain.." Dina beringsut. Gadis itu segera menarik diri dari sisi Elan, tak mau keadaan kembali panas. Ia tak ingin Elan merasa diberi harapan palsu. Namun seke
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa