Asya bersandar punggung ranjang sembari masih sesenggukan. Ia terpukul atas segala penuturan dan tuduhan Dina. Merasa bersalah telah menjadi sumber masalah.
Raka mengusap air matanya perlahan. Lembut penuh kasih sayang.
"Sayang.. Kalau kamu banyak pikiran begini kasihan mereka.. Lupakan yang Dina ucapkan, dia hanya sedang emosi."
Raka membelai punggung tangan istrinya, mengecupnya hingga terasa basah. Ia tidak mau istrinya tertekan oleh hal-hal yang mengganggu pikirannya.
"Kak Raka harus bantu Dina hiks.. Dia sudah banyak berkorban untuk kita, dan semua.. Semua gara-gara aku lemah hiks.."
Raka mengangkat wajah Asya. Tersenyum menenangkan. Ia mengecup bibir istrinya lembut, hanya mengecup bibir sensual istrinya yang selalu membangkitkan gairah.
"Siapa bilang istriku lemah? Dina belum tahu saja kalau istriku sangat kuat hmm.., buktinya kuat menghadapiku, kuat juga jadi calon ibu si kembar. Dina sedang emosi Sayang, dia hanya butuh pelampiasan, aku yakin dia tidak bermaksud menyalahkanmu.."
"Tetap saja kasihan Dina Kak, dia tidak mencintai Kak Elan tapi dipaksa berhubungan badan, menghilangkan trauma pemerkosaan bagiku yang mencintaimu saja butuh waktu cukup lama, apalagi Dina.."
Raka mengusap perut istrinya yang buncit, mengalirkan kasih sayang untuk dua jagoannya di perut Asya. Siapa sangka pemerkosaan yang ia lakukan dulu menghadirkan dua calon bayi tampan di rahim Asya.
"Dina tidak mau dekat denganku. Dia pasti sangat membenciku.." Asya menunduk kembali.
"Yang penting kan aku selalu sayang sama kamu Ma.."
"Ma? Jangan panggil begitu Kak, geli ah, mereka belum lahir." Asya malu-malu.
"Mama masih pakai acara malu-malu? Hmm.. Papa kan gemas Sayang.." Raka mengusap paha istrinya setelah tangannya berhasil menyusup dari balik longdress. "Kamu tenang ya, aku pasti melindungi Dina Sayang.."
"Janjiih?" Asya mulai melenguh gelisah saat jari Raka sudah bergerak liar di bawah sana.
"Pasti, semua kakak akan melindungi adiknya, tanpa diminta sekalipun.." Jari Raka mulai rajin keluar masuk.
"Sayang.. Masih pagi Kak.."
"Memangnya biasanya menunggu siang. Nikmatilah seperti biasanya.."
Pagi yang menggairahkan berlanjut hingga ketukan pintu yang berusaha mereka abaikan ternyata tak kunjung berhenti. Raka meninggalkan Asya yang baru saja pelepasan untuk membuka pintu. Sangat tersiksa karena senjatanya belum ada tanda-tanda mendekati ejakulasi.
***
"Kak Raka??"
Dina kaget sekaligus bahagia melihat sosok di hadapannya. Ia segera memeluk Raka erat. Kuat sekali. Raka membalasnya, menciumi rambutnya, dengan sabar menunggu adiknya bicara. Ia butuh penjelasan.
"Aku ingin pulang Kak.. Hiks.. Bawa aku pulang.. Huaahaa.. Aku takut di sini, aku tidak mau lagi di sini Hiks.. Rasanya sakit semua Kak hikss.. Bawa aku pulang.. Aku tidak sanggup menjadi istrinya. Aku ingin bercerai."
"Bercerai?" Raka melepas pelukan adiknya karena kaget.
"Aku tidak mau diperlakukan seperti.. Hiks.. Seperti.. Pelacur."
Raka melepas pelukan adiknya, ada duri di telinga dan hatinya.
"Pelacur?"
Dina mengangguk, sejenak kemudian ketakutan. Ragu untuk melanjutkan setelah melihat sosok Elan memajang wajah tegasnya di dekat pintu bersama Asya.
"Elan memperlakukanmu seperti... pelacur?"
Tangis Dina pecah. Sakit bukan kepalang jika mengingat kalimat Elan. Keperawananmu hanya seharga sepasang sepatu, kejam.
"Aku mau pulang Kak, aku tidak mau di sini lagi, aku takut..." Dina terisak.
Asya yang melihatnya dari jauh turut menangis iba, tapi Elan buru-buru memeluknya wujud permohonan maaf. Demikian juga dengan Raka yang kembali memeluk adiknya erat. Ia bisa merasakan betapa sakit hati adiknya yang biasa kuat, dewasa, dan tangguh bisa dalam keadaan selemah itu. Jika bukan karena perlakuan Elan yang keterlaluan mana mungkin Dina bisa selemah itu. Sekalipun dia sangat ingin menghantam Elan tapi pelukan kepada adiknya jauh di atas segalanya.
"Katakan Dina.. Katakan.."
"Dia jahat Kak! Hiks.. Dia memaksaku melayaninya hikss.. Sakiiitt Kak, terasa sangat sakiitt.."
Raka memejamkan mata, mengetatkan giginya, menyimpan hasrat dendam yang keterlaluan. Inikah karma untuknya? Yang memperkosa Asya, kemudian sekian lama memaksa gadis itu melayani nafsunya, dengan ancaman-ancamannya, dengan tipu dayanya, gadis polos yang telah menjadi istrinya itu pun akhirnya terjerat perlakuan sex-nya yang berdurasi panjang dan sesekali kasar.
"Ini salahku.. Maafkan aku Din.."
Masing-masing kakak beradik saling berpelukan dalam tangis. Suasana terlihat haru meskipun terasa sangat menyakitkan di sisi Dina. Raka pun belum memutuskan akan mulai dari mana menghajar Elan, sedangkan psikis istrinya tak boleh ditimpa masalah.
"Ada apa ini?"
Suara Surya merenggangkan semua pelukan. Baik Dina maupun Asya mengusap air matanya kasar.
Surya semakin penasaran. Ia melihat ke arah putranya, yang lebih dekat dengan posisinya saat ini. Surya butuh penjelasan.
"Tidak ada apa-apa Ma. Dina pingsan karena kelelahan saja."
Surya segera menghampiri Dina di ranjang, merebut posisi Raka yang duduk di sampingnya. Ia khawatir.
"Dina.. Maafkan Tante karena tamunya banyak jadi kamu kelelahan begini Nak.."
Dina tersenyum kecut. Elan, Asya, dan Raka saling berpandangan dalam diam tapi penuh arti.
"Maaf ya tadi Tante tidak bisa menemani sarapan pertama kamu di sini karena harus menemani Om Wicak survei perkebunan dengan buyer."
Dina menggeleng. Sekuat tenaga ia menutup semua rapat-rapat. Baik wanita ini maupun orang tuanya hanya tahu pernikahannya dengan Elan didasari perasaan cinta. Mereka lebih memilih cepat menikahkan Elan dan Dina agar tak terjadi hal buruk seperti Asya yang hamil di luar nikah bersama Raka.
"Tidak apa Tante.. Aku tidak apa-apa."
Surya melihat senampan makanan di meja. Ia yakin itu sarapan untuk Dina.
"Dina belum makan Sayang?" Tanya Surya dengan nada khawatir yang seolah tak butuh jawaban.
Dina hanya diam, menunduk. Ia tidak ingin makan, hanya ingin pulang, memeluk ibunya dengan hangat, ia sangat ingin menangis di sana.
"Elan?" Surya mencari wajah putranya. "Kamu bagaimana sih? Istrimu belum makan.."
Elan mendekati ibunya, salah tingkah tapi tetap dingin. Hanya bola matanya yang tak tenang.
"Duduk!" Perintah Surya pada Elan seraya menunjuk tepi ranjang di sisi Dina.
Elan kikuk. Peran macam apa yang harus ia mainkan dalam drama besutan ibunya sekarang, peran suami penyayang? Suami yang baik? Ah tidak ada satupun yang masuk kriterianya.
Elan masih berdiri kaku meskipun sudah mendekati ranjang. Ia mengusap-usap tengkuknya memberi kenyamanan pada tubuhnya sendiri.
"Duduk Elan.." perintah Surya yang mengambil sepiring nasi di atas nampan.
Elan belum juga duduk. Ia mendapati Dina sedang tertunduk, yakin batin gadis itu sedang berkecamuk. Keduanya sama-sama tak nyaman untuk berdekatan satu sama lain.
"Masih berdiri?!" Nada Surya naik. "Duduk dan suapi istrimu.."
Elan kebingungan saat Surya menyodorkan sepiring sarapan Dina yang mau tak mau harus ia terima. Surya gemas karena putranya tak kunjung bergerak, segera ia dorong lengan Elan untuk duduk di dekat Dina.
Brugg!
Dina meremas selimut merespons kedekatan tubuhnya dengan lelaki yang baru saja menganiaya dirinya dalam persetubuhan. Rasa takut itu ada, muncul, apakah berujung trauma sebagaimana Asya?
"Elan.. Suapi istrimu itu..." Surya mulai gemas.
Elan mengaduk nasinya. Mengangkat sesendok nasi beserta lauk ke arah Dina yang sedang menunduk. Dina tahu rasa makanan itu pahit. Apapun dari tangan Elan akan terasa pahit. Mana mungkin bibirnya menerima sesendok nasi dari tangan yang sama yang sudah menamparnya. Ia menahan tangis agar tak disadari Surya.
Surya menunduk di antara keduanya, mengusap bahu Dina hingga Dina berani mengangkat wajahnya.
Elan semakin menyodorkan sendoknya ke dekat mulut Dina. Terbuka, Dina mau menerima suapan dari Elan..
Surya tersenyum.
"Nah begitu dong pengantin baru, masa sudah sembunyi dibalik Mama lama masih juga malu-malu. Suami menyuapi istri itu dapat pahala loh, bukan cuma yang semalam kalian lakukan saja yang dapat pahala.."
Dina dan Elan kompak menatap Surya, gugup, malu, dan penasaran. Apa Surya tahu pemaksaan tadi malam?
"Kenapa melihat Mama segitunya? Mama juga pernah jadi pengantin baru Elan.. Sudah lanjutkan suapi istrimu, jangan bikin dia kelelahan lagi tanpa diberi makan.." Surya tersipu-sipu.
Asya terenyuh di dalam rangkulan Raka saat melihat Elan menyuapi Dina. Meskipun terlihat kaku dan aneh tapi dalam hati ia berdoa semoga keduanya mendapat kebahagiaan sebagaimana yang ia rasakan dengan Raka. Ia memandang wajah Raka sebentar, lelaki itupun membalasnya dengan senyuman sembari mengusap-usap lengannya. Sejujurnya Raka sangat khawatir pada adiknya.
"Ayo sini pengantin lama keluar dulu, biarkan mereka yang baru berduaan." Surya mengajak menantu dan putrinya bercanda seraya menggiring mereka untuk keluar.
Raka sempat melihat sorot permohonan adiknya sebelum Surya benar-benar menutup pintu kamar Elan dan meninggalkan mereka berdua di sana.
***
Elan masih mengaduk nasinya, menyendoki untuk menyuapi istrinya. Ia menganggap ini adalah tanggungjawabnya sudah membuat Dina pingsan. Kembali ia sodorkan sesendok nasi di hadapan Dina.
Gadis itu menunduk. Tangannya gemetaran. Bibirnya terkatup. Ia takut, ia kembali hanya berdua di ruangan ini dengan Elan. Hanya menunggu waktu Elan akan kembali menyiksanya dengan segala pelecehan.
Tess.. Setetes air mata Dina jatuh. Semakin menunduk. Elan mengurungkan sendoknya, meletakkan piring itu di meja lampu.
"Kamu bisa lanjutkan sendiri." Tutur Elan datar.
Dina tak merespons. Elan belum ingin beranjak. Sesekali ia pandangi Dina yang menunduk dengan tangisnya. Ada kata maaf yang ingin loncat dari bibirnya tapi tidak semudah itu. Aura tegasnya pada Dina tak mengizinkan sepatah kata maaf pun keluar.
Diam. Tenang cukup lama, tak ada suara selain jarum jam dinding, hingga Dina berani memulainya.
"Ceraikan aku.." Dina memberanikan diri memohon tanpa mengangkat wajahnya.
Elan hanya merespons dengan sebuah lirikan. Itupun sebentar.
"Hiks.. Akan ku kembalikan semua uang yang kamu habiskan untuk membelikanku barang-barang mewah. Cepat atau lambat aku akan berusaha membayarnya hiks.. Kamu bisa total semua agar tak ada sepeserpun yang tidak ku bayar."
Elan memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya. Ia baru sadar kalimat yang ia bentak kepada Dina sangatlah kejam. Tapi tak ada maaf dalam bahasa lisan Elan. Tak akan ada.
"Dengan begitu.. Dengan begitu.. Aku tidak perlu mengganti uangmu dengan.. Dengan tubuhku lagi hiks.. Hikss.."
Dina terisak-isak. Elan baru menyadari betapa hancur hati gadis ini. Namun ia lebih memilih diam.
Elan berdiri, membuat Dina mengangkat wajahnya. Ia butuh jawaban, kepastian agar bisa bebas dari lelaki menyeramkan di depannya. Lelaki yang mulut serta perilakunya keji terhadapnya.
"Aku bukan pelacur!" Dina membela diri. "Akan kuganti semua uangmu dengan uang juga, tapi sebelum itu ceraikan aku.."
Elan tak menggubris ucapan Dina. Ia memilih masuk ke kamar mandi. Gerah. Banyak hal yang sudah terjadi pagi ini.
***
Elan menanggalkan pakaiannya, menyisakan celana panjangnya, menyalakan kran pada wastafel dan mencuci mukanya cepat. Nafasnya memburu sembari mengangkat wajahnya untuk bercermin.
"Shit!!"
PYAARRRR..
Kepalan tangan Elan beradu dengan cermin, pecahan kaca membuat punggung telapak tangannya berdarah, tapi tak terasa sakitnya. Elan emosi. Entah pada siapa, juga tak tahu karena apa. Ia hanya ingin marah. Mungkinkah pada dirinya sendiri? Mungkinkah ia perlu sejauh ini?
"Sesuatu yang sudah ku mulai tidak akan pernah ku akhiri Bocah.. Aku akan menahanmu tetap di sisiku, bagaimanapun caranya." Gumam Elan dengan wajah bengis.
Elan keluar kamar mandi dan tak mendapati Dina di ranjang. Panik. Ia bergerak ke arah pintu untuk mencari Dina tapi tunggu.. Pintu balkon kamarnya terbuka, tunggu.. Mungkinkah Dina?? Tidak!
***
vote sama komentarnya ditunggu ya say
Elan berlari ke balkon kamarnya, nafasnya mengendur kala menemukan tubuh Dina duduk meringkuk di sudut dalam balkon, di dekat pintu. Ia memejamkan mata sejenak, lega. Pikirannya sudah terlanjur kacau membayangkan Dina akan loncat dari balkon untuk mengakhiri hidupnya. Ternyata gadis ini tidak selemah itu. Elan mendekati Dina yang termenung, melamun tak tahu di mana arah matanya berlabuh. Ia mengulurkan tangan. "Ayo masuk.." Ajak Elan datar. Dina merendahkan pandangan, respons tak nyaman pada lelaki yang berdiri congkak di depannya. "Ada yang ingin aku bicarakan." Dina masih diam. Ia tak tertarik. Balkon ini lebih menjanjikan kenyamanan daripada di dalam kamar yang mencekam. "Ini tentang perceraian." Dina mengangkat wajahnya, tapi menahan diri untuk melihat wajah lelaki itu. Ia tertarik kemudian berdiri dan mengekori Elan yang masuk ke dalam kamar. Perasaannya tak tenang, hanya bisa berdoa semoga Elan mengabulkan permintaannya.
Elan memarkir jeep-nya di depan sekolah Dina. Menanti gadis yang tak kunjung muncul dalam gelisah. Jangan-jangan gadis itu sudah pulang karena terlalu lama menantinya. Nomor ponsel Dina tak bisa dihubungi,w******pnya juga centang satu. Elan yang mulai gusar, memilih turun dari mobil, bersandar moncong mobilnya sembari menengok ke arah gerbang sekolah. Menyeleksi wajah-wajah muda yang terpukau padanya. Elan menggaruk dagunya tak sabar. Ia memutuskan menuju pos satpam untuk menanyakan posisi Dina, masih di sekolah atau sudah pulang. Lupa Pak satpam bukanlahface detector.Tak pernah ia menanti seorang gadis hingga seresah ini hanya untuk mengajaknya makan siang. Baru selangkah meninggalkan titiknya, Elan menemukan gerombolan bocah SMA yang baru keluar. Salah satu bola mata mereka bahkan sudah mendeteksi kehadirannya. Pemilik bola mata itu mengatakan sesuatu pada kawan-kawannya lalu mendekati Elan dengan raut masam.
Elan mempersilahkan Dina masuk ke apartemennya lebih dulu. Dina berjalan gamang di depan Elan, alat geraknya dibuat ragu-ragu harus bertindak bagaimana. Elan baru saja membagi peluk hangat. Membujuknya pulang bersama, meskipun tak ada kata yang terucap lagi sepanjang jalan tadi. "Mandilah.. Ingin makan apa? Aku akan pesan via ojekonline." Dina berbalik, mengangkat wajahnya. Gugup. Ada ketegangan. "Eng.. Apapun." Jawab Dina singkat. "Asal bukan tempe?" Elan memasang ekspresi tanya dengan senyum manisnya. Yah, senyum manis yang hampir tak pernah Dina temui. Dina membalas senyum itu. Damai. Ah suasana terasa hangat padahal tubuh mereka kedinginan karena basah kuyup oleh hujan. "Ya, apapun asal bukan tempe. Kamu.. Sudah hafal emm.." Jawab Dina seraya membalik badannya. "Tunggu!" Dina membalik tubuhnya bersemangat. Seperti belum ingin berpisah jarak dengan tubuh yang barusan mendekapnya dengan nyaman.
Suhu di kamar Dina turun karena sensor mendeteksi pergulatan panas yang semakin menggelora. Elan masih menggenggam tangan istrinya, mencekalnya di dinding karena sempat mengelak tangannya untuk masuk ke paha. Ia kemudian menjilati selangka Dina sambil sesekali mencucupnya. Dina hanya memejamkan mata sembari menggigit bibir dalamnya, menarung alisnya merasa kenikmatan menjalar dari bagian yang dicucup oleh Elan. Ia baru bisa menikmati sentuhan Elan, setelah sebelumnya terlalu sibuk mempertahankan diri. Elan kembali mengalungkan kedua tangan Dina ke lehernya, lalu mengusap paha mulusnya naik turun. Gerakan yang sangat membangkitkan libido hingga Dina melenguh tanpa sadar. Jemari Elan semakin aktif, naik, mengusap perut Dina dari balik baju, naik, menyusup, kemudian.. Dina tersentak saat telunjuk Elan berhasil menyusup, memencet puncak bukitnya. Ada rasa geli yang mencekal. Ia tersadar, lalu segera membuang tangan Elan. "Cukup! Engh.." El
"Apa, yang kamu, lakukan, semalam?" Dada Dina naik turun karena kesal. "Tidak ada.. Selain.." Elan sengaja menyetop penuturannya. "Selain apa?? Katakan selain apa??" Dina marah. Elan mengekeh, puas sekali melihat wajah Dina yang sebal. Sukses mengerjai istrinya hingga geregetan. Ia segera mendekatinya di ranjang. "Hanya mengusap sedikit Bocah.." Dina kesal lalu memukuli Elan dengan bantal. Membabi buta saking muaknya. Ia merasa dibodohi lelaki itu. Seenaknya menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya tanpa permisi. "Brengsek! Brengsek! Apa yang kamu usap hah?? Brengsek!" "Hey.. Hey.. Hanya mengusap lenganmu.." Dina mengendurkan gerakan dengan nafas memburu. Tanda bahwa emosi masih mendiami pikirannya. Ekspresinya menunjukkan kecurigaan bahwa Elan berbohong. "Juga mengecup bahumu sedikit." Wajah Dina memerah marah kembali. Tangannya meremas bantal bersiap menyerang. Elan semakin gema
Wajah Asya mengerut merasa bersalah. Ia menatap Raka takut, bingung pula apa yang harus dilakukannya. Bibirnya naik turun gundah. Mmuch! Raka mengecupnya gemas. "Adik kecil barusan lihat apa hayo?" Goda Raka agar Asya lebih tenang. "Iihh Kakak, aku maluu, tadi Kak Elan iihhh.." Asya menutup matanya dengan telapak tangan. Raka tersenyum lebar menyaksikan tingkah istrinya, yang sedang dipangku miring di sofa. Tubuhnya semakin berisi memasuki usia kandungan enam bulan, tapi sikap dan sifatnya semakin manja. "Kenapa mesti malu Sayang? Kan kita juga sering begituan.." "Tapi nanti aku harus bagaimana kalau bertemu mereka Kak? Aku ganggu mereka tadi kan.." Asya memainkan kancing Raka merasa bersalah. Raka mengusap perut istrinya. Membisikkan sesuatu agar didengar Asya. "Para junior Papa, Mama barusan nakal, lihat orangena-ena." Asya spontan melepas tangannya, memukuli dada Raka kesal. M
Dilema. Di satu sisi Dina bingung karena uang sakunya tinggal selembar pecahan lima puluh ribu. Di sisi lain ia tak mungkin meminta uang saku pada Elan sedangkan dua hari ini hubungan mereka belum ada perkembangan. Tak ada lagi kedekatan selain waktu makan malam. "Bry! Beri aku pinjaman ya,please.." Dina memelas. "Hmm.." "Kamu hmm hmm saja dari tadi, jawab iya dong Bry.." Dina mulai protes. "Hmm.." "Bilang hmm sekali lagi ku blokir kamu dari daftar sahabat." "Seperti punya sahabat lain saja, harap dipikir sebelum bicara." Bryan menang telak. Dina menghembuskan nafas berat, meletakkan kepalanya miring di meja kantin sekolah. Usahanya sedari tadi sama sekali tidak meluluhkan Bryan, sahabat semata wayangnya, yang sedari tadi fokus dengan layar ponselnya. "Tega kamu Bry.." wajah Dina murung. Bryan menutup layar ponselnya, meletakkannya di meja. Lalu memantengi sahabatnya yang terlihat kacau sedang men
"Bagimu, aku ini apa?" Tanya Dina serius. Elan menghentikan aktivitas mesumnya. Melepaskan ciumannya di leher Dina, mengendurkan kecepatannya dalam meremas. Ia tersenyum, menjatuhkan pandangan jauh ke pegunungan sebagaimana Dina. "Apa itu penting?" "Tentu saja.. Seorang gadis yang sudah diperlakukan sepertiku patut bertanya, kenapa seorang lelaki memperlakukannya demikian. Hanya nafsu? Atau pelampiasan?" "Aku sedang nafsu ingin menjilatmu tapi tidak bisa." Jawab Elan sambil terkekeh. "Itu bukan jawaban yang ku harapkan." Dina mengangguk kecewa. "Kamu mengalihkan pembicaraan dan.. Ah sudahlah.." Dina menekuk wajahnya, menelan kepahitan. Mungkin ia terlalu berharap. Tidak pernah ada yang spesial di mata Elan tentang siapa dirinya. Ia menyingkirkan kedua tangan Elan dari dadanya. Memasukkan kembali dua bola dadanya ke dalam. Mengancing seragamnya cepat, lalu melepas jas Elan dari bagian depan tubuhnya. "Aku ke toilet dulu,
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa