Tubuhku melorot di balik pintu kamar. Ke mana semua orang? Mengapa tak ada satu pun yang bisa menolongku? Kak Raka, satu-satunya harapanku ternyata lebih memilih istrinya dari pada aku.
Ku remas bagian dada bajuku, menahan segala kepelikan hidup yang seolah baru dimulai. Semua baru dimulai, lalu kapan berhenti? Sedangkan aku sudah kehilangan segalanya.
Ku kira kesepakatan itu cukup tapi..
Aku bodoh! Bodoh sekali! Ku edarkan pandanganku di seluruh ruangan mencekam ini. Seumur hidup tak akan terlupa di mana aku diperlakukan sangat rendah oleh orang lain, yang tak lain suamiku sendiri.
Tok tok tok
Aku beranjak dari balik pintu, membukakan ketukan lemah itu karena ku yakin lelaki kasar itu tidak akan mengetuk selembut ini. Kak Asya yang ku lihat. Ia membawa nampan berisi makanan, ku rasa untukku. Aku berjalan ke sisi ranjang, lalu duduk di tepinya.
Kak Asya meletakkan makananku di meja. Ia mendekatiku, entah mengapa aku tak suka dengan kehadirannya. Aku merasa ia adalah sumber masalah.
"Din, sarapan dulu ya.." bujuknya.
Aku hanya diam tak peduli saat ia mengusap lenganku, seperti berusaha menenangkan.
"Aku tidak menyangka Kak Elan akan melanggar janji yang kalian buat.. Aku minta maaf karena semua ini bersumber dariku.."
Ucapannya terasa basi, lalu apa yang bisa dia perbuat untukku? Dia sudah bahagia bersama kakakku dan aku yang menanggung deritanya. Yah aku tahu ini keputusanku tapi entahlah aku muak melihat sikap lemahnya yang seolah dijadikan senjata merebut perhatian semua orang, termasuk perhatianku yang tidak tega melihatnya mengemis tak mau terpisah dari kakakku.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu Din, aku juga pernah mengalami hal ini. Saat itu duniaku terasa runtuh, aku seperti tidak punya masa depan lagi. Tapi percayalah, Tuhan tidak tidur.."
Aku tersenyum mendengar kalimat demi kalimatnya. Semakin lama semakin geli telingaku mendengarnya. Itu semua teori bagi seseorang yang bahagia.
"Din.." Kak Asya menyergah, menyadari senyum sinisku.
"Kita berbeda." Sahutku datar. "Kamu mencintai kakakku, aku tidak mencintai kakakmu. Semua orang membelamu, lembut padamu, tapi kakakmu? Dia kasar, dia merendahkanku bahkan menghina keperawananku yang sudah direnggutnya dengan paksa. Kamu bahagia kan Kak Raka lebih melindungimu daripada aku??"
Aku melihat dahinya mengernyit, lalu matanya mulai berkaca-kaca. Sekali lagi aku tidak peduli, dia juga harus tahu rasanya menjadi diriku yang kesakitan. Aku bahkan tak memanggilnya lebih sopan dari sebelumnya. Hatiku kesal, marah, semua tumpah ruah. Anggap saja kamu pantas menerimanya, kakak iparku.
"Kakakku sangat mencintaimu, saat itu dia bahkan rela melepaskan perasaannya, melepasmu ke Sydney agar kamu tetap bisa menjadi dokter, nyatanya sekarang? Meskipun tidak ke Sydney kamu tetap bisa meraih impianmu, kamu melanjutkan kuliahmu di sini, jangan lupa itu berkat siapa??"
Ada air mata mengalir di pipinya. Lemah.
"Aku hanya akan menjadi obyek balas dendam kakakmu, yang aku sendiri tidak tahu kapan akhirnya, aku bahkan tidak punya lagi bayangan untuk menggapai cita-cita, tapi sekali lagi, jangan pernah lupa bahwa semua kebahagiaan yang kamu dapat, juga semua perhatian yang kamu terima tidak akan pernah terjadi tanpa pengorbananku. Sayangnya aku justru menerima nasib paling sial di antara kalian. Jadi jangan menguasai perhatian kakakku dengan air mata lemahmu itu lagi!"
Aku puas, puas sepuas-puasnya. Dia harus tahu aku muak, aku tak suka. Kak Asya telah merebut segalanya dariku. Dia menangis sembari menutup bibirnya dengan telapak tangan, mungkin tidak menyangka aku sekeras ini.
"Hiks... Aku minta maaf hiks.. Aku minta maaf sudah merusak hidupmu. Hiks.. Aku akan bicara pada Kak Elan, agar dia tidak lagi kejam padamu.."
"Tidak perlu!" Sahutku ketus. "Aku tidak mengharap belas kasihan darimu! Aku tidak selemah dirimu, aku akan lepas dari belenggu kakakmu. Satu hal lagi, jangan pernah mendekatiku lagi, aku tidak suka!"
Tangisannya semakin sesenggukan. Ia berdiri dengan tangis yang belum juga reda. Kesekian kalinya aku tidak peduli. Walaupun dia sedang hamil pun aku tidak peduli.
"Aku akan pergi Din, maafkan semua kesalahanku.. Hiks.."
Pergilah! Kamu sumber malapetaka bagiku.
Kak Asya baru akan membuka pintu untuk keluar, ternyata pintu lebih dulu terbuka. Ada lelaki keji itu di hadapannya.
"Sya, kamu kenapa??" Tanyanya panik pada adiknya yang hanya menutup bibirnya sembari berlalu meninggalkannya.
Ku rasa sekali lagi Kak Asya menciptakan malapetaka untukku.
***
Dari jauh Elan menatap Dina bengis. Ia menyeret kursi dari meja kerjanya, menuju ke depan Dina yang menepi ranjang. Elan menduduki kursinya.
"Kenapa, adikku, menangis?" Tanya Elan menekankan kata demi kata, menguatkan kemarahannya.
Dina acuh tak acuh, seolah tak mendengar ada yang sedang bicara dengannya. Wajahnya berpaling sedari tadi, muak, ketus.
"Hey Bocah?! Selagi aku masih bisa lembut padamu, jawab pertanyaanku!"
Dina masih tak bergerak. Wajahnya pun masih berpaling menantang. Ia merasa tak perlu menjawab pertanyaan Elan dan dengan sengaja membangkang. Lagi pula Dina merasa tak melakukan kesalahan apapun.
"KAMU TULI HAH??"
Dina mulai gusar, tak nyaman dengan bentakan Elan di dekat telinganya. Elan terlihat sangat emosi melihat adiknya dibuat menangis oleh Dina.
Dina berdiri hendak menjauhi Elan tapi sekejap tangan Elan mencengkeram lengannya dengan kuat. Mencekal dengan cekat.
"Aakkk.. Sakiit.." Pekik Dina merasakan lengannya diremas oleh tangan Elan yang besar.
"AKU BELUM SELESAI BICARA! MAU KEMANA KAMU HAH??" Bentak Elan seraya membanting tubuh Dina agar duduk kembali di tepi ranjang.
"Aaakkk.." Dina menjerit kecil, kaget karena tubuhnya dibanting cukup keras.
Elan duduk kembali di kursinya.
"Ternyata kamu suka dikasari?" Elan kembali meremas bahu Dina. "Katakan! Kenapa Asya menangis?"
"Aku tidak tahu!" Jawab Dina culas.
"Hey, kamu sedang menganggapku bodoh?" Elan mendekatkan wajahnya ke wajah Dina, masih mencengkeram lengan Dina kuat-kuat. "Tidak tahu katamu? Setelah membuat adikku menangis sesenggukan lalu kamu bilang tidak tahu? Kenapa kamu lucu sekali Sweety? Sekali lagi ku tanya padamu wahai mainanku, apa yang kamu lakukan pada Asya HAAHH?"
"AKU BUKAN MAINANMU!!!" Dina memberanikan diri membentak, membalas tatapan Elan sangat dekat, sakit hatinya yang mengumpulkan kekuatan itu. "Aku juga tidak merasa melakukan apapun pada adikmu!! DIA MEMANG LEMAH! CENGENG! Jadi lepaskan aku Brengsek!! Aku bukan mainanmu!!"
Elan kaget tapi juga gemas melihat respons Dina seberani itu. Bibirnya menyunggingkan senyum jahat. Dina mulai merinding. Elan selalu terlihat lebih seram dibalik senyumnya.
Senyum Elan kian lembut. Tangannya kini membelai rambut Dina dengan sangat hati-hati seolah tak mau menyakiti. Dina mengelak sentuhan Elan tapi tak sanggup menolak dominasi lelaki di hadapannya.
"Istriku yang cantik ini rupanya belum tahu tata krama pada suaminya, juga adik suaminya."
Dina bergidik. Ia mulai mencium aroma kekejaman di tiap patah kata Elan.
"Lepas!! Jangan sentuh aku!" Bentak Dina ketus, menampel tangan Elan di rambutnya.
"Mau ku ajari tata krama Sweety?"
Kalimat Elan sangatlah lembut tapi kelembutannya justru menusuk gendang telinga Dina. Kalimat itu sudah membayanginya dengan mimpi buruk.
"Lepas!!"
Dina mencoba berdiri untuk lepas dari belenggu Elan tapi apa daya, ia hanya anak ayam kecil dalam cengkeraman elang pemangsa. Elan kembali merobohkannya, menindihnya, menguasai setiap jengkal tubuhnya.
"Sweety.. Sebagai istri, layani suamimu dengan baik, itu tata krama.." Bisik Elan pada Dina yang memalingkan wajah di bawahnya.
"TIDAK SUDI!! Kamu pikir kamu siapa hah??" Dina melawan untuk kesekian kalinya.
"Oh oh oh.. Istriku mulai nakal sekarang.." Elan menjilati leher Dina. Kalimatnya sangat pelan tapi menyakitkan. "Lalu kamu siapa Sweety? Siapa kamu berani membuat adikku menangis? Harga dirinya jauh lebih tinggi daripada mainan murahan sepertimu, kamu menggelikan sekali hahaha.."
Elan membakar telinga Dina dengan tawanya. Emosi jiwanya mengumpul, tak sanggup lagi menahan direndahkan, disebut mainan sudah sangat mengacaukan akal sehatnya sedari tadi.
"Adikmu itu yang murahan!! Dia mau ditiduri kakakku berulang kali, aku bahkan mendengar sendiri desahannya saat disetubuhi kakakku!! Kamu tidak tahu bukan?? Harusnya aku membiarkannya mengemis meminta kakakku menikahinya, bukan malah terjebak dalam pernikahan bersama keparat sepertimu!!"
Plakk!!
"Akkh.." Dina memekik saat tangan besar Elan menampar pipinya. Tercetak merah.
Emosi Elan memuncak di ubun-ubun. Dijepitnya dagu Dina dengan kasar agar kembali menatapnya. Gadis itu bermata merah, berair mata, jatuh sejatuh-jatuhnya ke dasar jurang. Seumur hidup ia tak pernah ditampar. Namun baru dua hari menikah, suaminya telah berani menampar dengan sangat kasar. Sakit.
"Rupanya bibirmu belum juga mengerti tata krama pelacur!! Kamu kira semua barang yang kamu beli dengan kartu kreditku itu gratis?? Keperawananmu hanya seharga sepasang sepatu, dan malam-malam selanjutnya cukup ku bayar dengan tas dan pakaian-pakaian yang saat ini memenuhi isi lemarimu. Kamu pikir aku dengan baik hati memanjakanmu dengan kartu kreditku? Itu semua ada harganya, aku sengaja memancingmu dengan kartu kredit itu dan ternyata benar harga dirimu hanya setimpal dengan uang hahaha.. Kenapa? Menyesal? Bukankah kakakmu tidak mampu membelikannya untukmu?"
Pelacur?? Hati wanita mana yang tidak remuk disebut demikian. Terlebih yang menyebut adalah suaminya.
"Hiks.. Tutup mulutmu! Cukup rendahkan aku! Jangan rendahkan kakakku! Hiks.."
Rasanya hati Dina membeku, menjadi batu dan mati rasa. Jadi ini maksud Elan membelikannya barang-barang mewah, untuk membelinya? Membeli tubuh dan malam-malamnya? Namun Dina lebih tak terima saat dia menghina Raka. Sebiadab apapun kakaknya, selalu memberikan yang terbaik baginya, demi kemandiriannya.
Air mata Dina mengalir tanpa henti, sesak. Kalimat-kalimat Elan memenuhi otaknya, menancap dan akan sukar dihapus. Semua pedas, panas, setara jalapeno yang bertabur bubuk lada.
Elan terdiam menyaksikan gadis di bawahnya terisak-isak. Rasa iba itu muncul lagi. Sudah terlalu sadiskah ia?
"Ceraikan aku.. Aku akan mati jika esok masih bersama manusia keji sepertimu.." Dina berucap dengan miris, lemah dan sesak diguyur air matanya sendiri.
Ini baru hari kedua pernikahan, baru semalam dan sudah ada kata perceraian? Pernikahan apa yang sesingkat ini?
Elan mengeratkan giginya, menggoyangkan rahangnya menahan emosi.
"Cerai katamu?? Aku bahkan baru memulai Sweety.. Masih banyak penderitaan adikku yang harus kamu lewati."
"Kenapa tidak kamu bunuh saja aku sekalian, dengan begitu kakakku akan menderita, dendammu terbalas sudah.." Dina berusaha tenang.
"Kenapa aku harus susah payah membunuhmu kalau memasukimu setiap hari jauh lebih nikmat Sweety, aku tidak perlu membayar lebih untuk gadis-gadis murahan di luar sana.. Jadi mari kita mulai belajar tata krama, supaya kamu tahu bagaimana cara menghadapi suamimu!"
Elan merobek pakaian Dina kasar. Nafsunya berselimut emosi. Ia menelanjangi istrinya yang sekuat tenaga memberontak lalu membagi sedikit foreplay.
Elan melepas tshirt-nya, menurunkan ritsleting celananya, lalu menurunkan celana dalam dan celanannya. Segera ia memiringkan tubuh Dina, mengangkat satu kakinya ke pundak dan memasukkan senjatanya yang berurat.
"Kumohon jangan lakukan ini, sakiiitt.. Hiks.. Sakit sekalii.."
"Tidak ada pelacur yang boleh menolak tuannya!!"
"Aaaakkkk... Aaakkhh.. BAJINGAN KAMU ELAN!! Huahaaaaaa.. Haaaa..."
Elan tak peduli kesiapan milik Dina, ia hanya tahu perlu menuntaskan birahi dan emosinya sendiri. Ia memompa milik Dina yang tak terlalu licin dengan kasar.
"Sakiiitt Elaan.. Aaaakkk..." Dina berusaha meremas paha Elan di perutnya.
"Nikmati saja pelacur!! Ini caraku mengajarimu tata krama!! Damn! Kamu rapat sekali.."
Dina memukuli paha Elan yang bergerak maju mundur, tak tahan rasa sakit yang diderita selangkangannya. Matanya memejam karena rasa sakit itu kian menjadi kian Elan brutal bergerak.
"Hikss.. Aaakkk.. Aakkkk.. Perih sekalii.. Hiks... Hentikan ini Elaan.."
"Yah begitu.. Terus panggil namaku!! Aku tidak bisa berhenti Sweety.. Mainanku nikmat sekali.. Ini akibatnya jika kamu berani menyentuh Asya!!"
Dina tak berani mengucap kalimat apapun lagi selain menahan sakitnya sendiri dengan desah kesakitan. Ia pasrah. Tenaganya telah habis untuk memberontak sedangkan sejak tadi malam tak ada secuil makanan pun masuk ke lambungnya.
Empat puluh lima menit kemudian, Elan masih memompa. Kali ini kembali dari belakang. Gadis itu kian lemah sedang Elan kian cepat menubruk dari belakang.
Pandangan Dina semakin kabur, kedipan matanya sangat lambat, ia merasa semua gelap dan tak lagi merasakan apapun. Ia lemah. Dina kehilangan kesadarannya.
Elan merasa senjatanya membesar, membawa aliran lahar panas yang mengisi rahim Dina. Ia melepaskan. Beberapa semburan melegakan sekujur tubuhnya.
"Damn!! Kamu benar-benar nikmat.."
Dina ambruk saat Elan mencabut miliknya, sibuk membersihkannya dengan tisu kemudian membenahi celananya. Ia mengamati tubuh Dina yang terlelap. Senyuman kemenangan menghiasi wajah tampannya. Senyuman puas yang jahat atas tubuh payah istrinya. Tak ada sedikitpun rasa bersalah di sana.
Tunggu.. Ada yang aneh.
Perasaan Elan tan enak. Ia segera mendekati Dina, menepikan ego untuk tak mengganggu tidurnya. Elan ragu, jangan-jangan..
Dina??
Elan mengguncang bahu istrinya. Tak ada pergerakan selain dari guncangan tangannya. Elan mulai panik, bahu Dina semakin diguncang kuat tapi masih tak ada respons.
Ya Tuhan Dina pingsan?
Elan membenarkan posisi tidur Dina, menelentangkan kemudian menyelimuti.
"Dina bangun Din!" Elan masih berusaha mengguncang kedua lengan Dina. "Dina, bangun!"
Elan mengambil minyak kayu putih di laci, mendekatkan aromanya ke hidung Dina. Nihil. Dina tak bergeming.
"Bagaimana ini?" Elan mondar-mandir di sisi ranjangnya. Kebingungan sembari menjambaki rambutnya.
Otaknya tak sanggup lagi berpikir jernih. Satu-satunya jalan ia harus memanggil Raka. Segera dipakaikannya pakaian Dina, sekenanya, kemudian tergopoh keluar menuju kamar Asya.
Tok tok tok.
Tok tok tok.
Cukup lama pintu kamar Asya terbuka. Elan merasa seluruh tubuhnya gatal karena tak sabar.
Tok tok tok.
Raka membuka pintu, memunculkan kepalanya saja dengan rambut yang acak-acakan. Wajahnya berubah datar saat menemukan wajah Elan di depan pintu kamarnya.
"Mau apa?" Tanya Raka tak enak, merasa terganggu.
Elan kebingungan, salah tingkah, bola matanya berlari kesana kemari gugup juga khawatir. Namun kesan congkak masih tersisa di wajahnya. Ia bingung harus bercerita mulai dari mana.
"Sengaja mengganggu kami huh? Sialan!"
Raka menutup pintu kamarnya karena Elan tak kunjung bicara, tapi Elan menahannya, mendorongnya hingga terlihat isi kamar mereka yang acak-acakan. Beberapa potong pakaian, termasuk underwear tercecer. Elan juga mendapati adiknya berlindung di balik selimut dengan wajah masam karena kaget dan malu. Sementara Raka yang bertelanjang dada mengusap tengkuknya merasa kesialan hidup sedang menderanya.
"Maaf, Sya. Maafkan Kakak. Kakak ada perlu dengan Raka.." Elan menahan lidahnya, masih gugup. "Aku tidak bermaksud mengganggu kalian, tapi tolong periksa adikmu Dina. Sepertinya.. Sepertinya dia pingsan."
"APA??"
Raka memungut kemejanya di lantai lalu menyahut stetoskop di tas kerja. Kedua lelaki itu lari menuju kamar Dina. Asya yang ikut gugup segera turun dari ranjang, memakai pakaian dan mengikuti mereka.
***
Asya masuk kamar Elan saat Raka memeriksa Dina. Langkahnya pelan, tak berani mendekat. Ia masih ingat betul ucapan Dina, tak ingin dekat dengannya.
Asya tak ingin melukai Dina dengan kehadirannya. Bahkan ia berusaha memberi ruang bagi Raka untuk merawat adiknya.
"Sya.." Tiba-tiba Elan merengkuhnya, mengajaknya mendekati Raka. Asya menolak, lebih memilih di dekat pintu tak terlalu tampak oleh Dina.
Raka menutup bagian dada pakaian Dina usai melepas stetoskopnya. Sedari tadi hanya ada suatu kecurigaan di benaknya. Kondisi Dina mengingatkannya pada kondisi Asya terdahulu. Dina kelelahan karena tubuhnya terlalu dipaksa bekerja.
Raka mengetatkan rahang untuk Elan. Ia siap menghujani Elan dengan berbagai bentuk kepalan tangan. Tapi Asya? Ia tak mau istrinya yang sedang hamil khawatir jika terjadi perkelahian di antara mereka lagi.
"Kak.. Toloong.." Dina berucap dalam ketidaksadaran. Pejaman matanya gelisah, kemudian perlahan terbuka.
"Kak Raka??"
Dina kaget sekaligus bahagia melihat sosok di hadapannya. Ia segera memeluk Raka erat. Kuat sekali. Raka membalasnya, menciumi rambutnya, dengan sabar menunggu adiknya bicara. Ia butuh penjelasan.
"Aku ingin pulang Kak.. Hiks.. Bawa aku pulang.. Huaahaa.. Aku takut di sini, aku tidak mau lagi di sini Hiks.. Rasanya sakit semua Kak hikss.. Bawa aku pulang.. Aku tidak sanggup menjadi istrinya. Aku ingin bercerai."
"Bercerai?" Raka melepas pelukan adiknya karena kaget.
"Aku tidak mau diperlakukan seperti ini.. Hiks.. Seperti.. Pelacur."
***
Asya bersandar punggung ranjang sembari masih sesenggukan. Ia terpukul atas segala penuturan dan tuduhan Dina. Merasa bersalah telah menjadi sumber masalah. Raka mengusap air matanya perlahan. Lembut penuh kasih sayang. "Sayang.. Kalau kamu banyak pikiran begini kasihan mereka.. Lupakan yang Dina ucapkan, dia hanya sedang emosi." Raka membelai punggung tangan istrinya, mengecupnya hingga terasa basah. Ia tidak mau istrinya tertekan oleh hal-hal yang mengganggu pikirannya. "Kak Raka harus bantu Dina hiks.. Dia sudah banyak berkorban untuk kita, dan semua.. Semua gara-gara aku lemah hiks.." Raka mengangkat wajah Asya. Tersenyum menenangkan. Ia mengecup bibir istrinya lembut, hanya mengecup bibir sensual istrinya yang selalu membangkitkan gairah. "Siapa bilang istriku lemah? Dina belum tahu saja kalau istriku sangat kuat hmm.., buktinya kuat menghadapiku, kuat juga jadi calon ibu
Elan berlari ke balkon kamarnya, nafasnya mengendur kala menemukan tubuh Dina duduk meringkuk di sudut dalam balkon, di dekat pintu. Ia memejamkan mata sejenak, lega. Pikirannya sudah terlanjur kacau membayangkan Dina akan loncat dari balkon untuk mengakhiri hidupnya. Ternyata gadis ini tidak selemah itu. Elan mendekati Dina yang termenung, melamun tak tahu di mana arah matanya berlabuh. Ia mengulurkan tangan. "Ayo masuk.." Ajak Elan datar. Dina merendahkan pandangan, respons tak nyaman pada lelaki yang berdiri congkak di depannya. "Ada yang ingin aku bicarakan." Dina masih diam. Ia tak tertarik. Balkon ini lebih menjanjikan kenyamanan daripada di dalam kamar yang mencekam. "Ini tentang perceraian." Dina mengangkat wajahnya, tapi menahan diri untuk melihat wajah lelaki itu. Ia tertarik kemudian berdiri dan mengekori Elan yang masuk ke dalam kamar. Perasaannya tak tenang, hanya bisa berdoa semoga Elan mengabulkan permintaannya.
Elan memarkir jeep-nya di depan sekolah Dina. Menanti gadis yang tak kunjung muncul dalam gelisah. Jangan-jangan gadis itu sudah pulang karena terlalu lama menantinya. Nomor ponsel Dina tak bisa dihubungi,w******pnya juga centang satu. Elan yang mulai gusar, memilih turun dari mobil, bersandar moncong mobilnya sembari menengok ke arah gerbang sekolah. Menyeleksi wajah-wajah muda yang terpukau padanya. Elan menggaruk dagunya tak sabar. Ia memutuskan menuju pos satpam untuk menanyakan posisi Dina, masih di sekolah atau sudah pulang. Lupa Pak satpam bukanlahface detector.Tak pernah ia menanti seorang gadis hingga seresah ini hanya untuk mengajaknya makan siang. Baru selangkah meninggalkan titiknya, Elan menemukan gerombolan bocah SMA yang baru keluar. Salah satu bola mata mereka bahkan sudah mendeteksi kehadirannya. Pemilik bola mata itu mengatakan sesuatu pada kawan-kawannya lalu mendekati Elan dengan raut masam.
Elan mempersilahkan Dina masuk ke apartemennya lebih dulu. Dina berjalan gamang di depan Elan, alat geraknya dibuat ragu-ragu harus bertindak bagaimana. Elan baru saja membagi peluk hangat. Membujuknya pulang bersama, meskipun tak ada kata yang terucap lagi sepanjang jalan tadi. "Mandilah.. Ingin makan apa? Aku akan pesan via ojekonline." Dina berbalik, mengangkat wajahnya. Gugup. Ada ketegangan. "Eng.. Apapun." Jawab Dina singkat. "Asal bukan tempe?" Elan memasang ekspresi tanya dengan senyum manisnya. Yah, senyum manis yang hampir tak pernah Dina temui. Dina membalas senyum itu. Damai. Ah suasana terasa hangat padahal tubuh mereka kedinginan karena basah kuyup oleh hujan. "Ya, apapun asal bukan tempe. Kamu.. Sudah hafal emm.." Jawab Dina seraya membalik badannya. "Tunggu!" Dina membalik tubuhnya bersemangat. Seperti belum ingin berpisah jarak dengan tubuh yang barusan mendekapnya dengan nyaman.
Suhu di kamar Dina turun karena sensor mendeteksi pergulatan panas yang semakin menggelora. Elan masih menggenggam tangan istrinya, mencekalnya di dinding karena sempat mengelak tangannya untuk masuk ke paha. Ia kemudian menjilati selangka Dina sambil sesekali mencucupnya. Dina hanya memejamkan mata sembari menggigit bibir dalamnya, menarung alisnya merasa kenikmatan menjalar dari bagian yang dicucup oleh Elan. Ia baru bisa menikmati sentuhan Elan, setelah sebelumnya terlalu sibuk mempertahankan diri. Elan kembali mengalungkan kedua tangan Dina ke lehernya, lalu mengusap paha mulusnya naik turun. Gerakan yang sangat membangkitkan libido hingga Dina melenguh tanpa sadar. Jemari Elan semakin aktif, naik, mengusap perut Dina dari balik baju, naik, menyusup, kemudian.. Dina tersentak saat telunjuk Elan berhasil menyusup, memencet puncak bukitnya. Ada rasa geli yang mencekal. Ia tersadar, lalu segera membuang tangan Elan. "Cukup! Engh.." El
"Apa, yang kamu, lakukan, semalam?" Dada Dina naik turun karena kesal. "Tidak ada.. Selain.." Elan sengaja menyetop penuturannya. "Selain apa?? Katakan selain apa??" Dina marah. Elan mengekeh, puas sekali melihat wajah Dina yang sebal. Sukses mengerjai istrinya hingga geregetan. Ia segera mendekatinya di ranjang. "Hanya mengusap sedikit Bocah.." Dina kesal lalu memukuli Elan dengan bantal. Membabi buta saking muaknya. Ia merasa dibodohi lelaki itu. Seenaknya menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya tanpa permisi. "Brengsek! Brengsek! Apa yang kamu usap hah?? Brengsek!" "Hey.. Hey.. Hanya mengusap lenganmu.." Dina mengendurkan gerakan dengan nafas memburu. Tanda bahwa emosi masih mendiami pikirannya. Ekspresinya menunjukkan kecurigaan bahwa Elan berbohong. "Juga mengecup bahumu sedikit." Wajah Dina memerah marah kembali. Tangannya meremas bantal bersiap menyerang. Elan semakin gema
Wajah Asya mengerut merasa bersalah. Ia menatap Raka takut, bingung pula apa yang harus dilakukannya. Bibirnya naik turun gundah. Mmuch! Raka mengecupnya gemas. "Adik kecil barusan lihat apa hayo?" Goda Raka agar Asya lebih tenang. "Iihh Kakak, aku maluu, tadi Kak Elan iihhh.." Asya menutup matanya dengan telapak tangan. Raka tersenyum lebar menyaksikan tingkah istrinya, yang sedang dipangku miring di sofa. Tubuhnya semakin berisi memasuki usia kandungan enam bulan, tapi sikap dan sifatnya semakin manja. "Kenapa mesti malu Sayang? Kan kita juga sering begituan.." "Tapi nanti aku harus bagaimana kalau bertemu mereka Kak? Aku ganggu mereka tadi kan.." Asya memainkan kancing Raka merasa bersalah. Raka mengusap perut istrinya. Membisikkan sesuatu agar didengar Asya. "Para junior Papa, Mama barusan nakal, lihat orangena-ena." Asya spontan melepas tangannya, memukuli dada Raka kesal. M
Dilema. Di satu sisi Dina bingung karena uang sakunya tinggal selembar pecahan lima puluh ribu. Di sisi lain ia tak mungkin meminta uang saku pada Elan sedangkan dua hari ini hubungan mereka belum ada perkembangan. Tak ada lagi kedekatan selain waktu makan malam. "Bry! Beri aku pinjaman ya,please.." Dina memelas. "Hmm.." "Kamu hmm hmm saja dari tadi, jawab iya dong Bry.." Dina mulai protes. "Hmm.." "Bilang hmm sekali lagi ku blokir kamu dari daftar sahabat." "Seperti punya sahabat lain saja, harap dipikir sebelum bicara." Bryan menang telak. Dina menghembuskan nafas berat, meletakkan kepalanya miring di meja kantin sekolah. Usahanya sedari tadi sama sekali tidak meluluhkan Bryan, sahabat semata wayangnya, yang sedari tadi fokus dengan layar ponselnya. "Tega kamu Bry.." wajah Dina murung. Bryan menutup layar ponselnya, meletakkannya di meja. Lalu memantengi sahabatnya yang terlihat kacau sedang men
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa