Elan memarkir jeep-nya di depan sekolah Dina. Menanti gadis yang tak kunjung muncul dalam gelisah. Jangan-jangan gadis itu sudah pulang karena terlalu lama menantinya.
Nomor ponsel Dina tak bisa dihubungi, w******pnya juga centang satu. Elan yang mulai gusar, memilih turun dari mobil, bersandar moncong mobilnya sembari menengok ke arah gerbang sekolah. Menyeleksi wajah-wajah muda yang terpukau padanya.
Elan menggaruk dagunya tak sabar. Ia memutuskan menuju pos satpam untuk menanyakan posisi Dina, masih di sekolah atau sudah pulang. Lupa Pak satpam bukanlah face detector. Tak pernah ia menanti seorang gadis hingga seresah ini hanya untuk mengajaknya makan siang.
Baru selangkah meninggalkan titiknya, Elan menemukan gerombolan bocah SMA yang baru keluar. Salah satu bola mata mereka bahkan sudah mendeteksi kehadirannya. Pemilik bola mata itu mengatakan sesuatu pada kawan-kawannya lalu mendekati Elan dengan raut masam.
Sesekali Dina menoleh ke belakang dan menyadari bahwa dirinya sedang diperbincangkan oleh kawan-kawannya. Malu atau mau?
"Kenapa harus turun dari mobil?" Tanya Dina mencuri lirikan pada Elan.
"Aku kira kamu sudah pulang." Elan mengernyitkan dahi. "Kenapa murung?"
"Teman-teman pasti menertawakanku.. Kamu tidak perlu datang lagi!"
Elan merendahkan tubuhnya, menyejajarkan wajah mereka hingga mau tak mau bola mata mereka bertemu. Jantung Dina berdetak tak karuan. Tak siap menerima perlakuan.
"Bukankah mereka tahu kamu sudah menikah? Jangan berprasangka buruk. Bagaimana kalau ternyata mereka justru iri padamu? Sejujurnya lelaki sepertiku sangat didamba gadis SMA, tampan, kaya dan proporsional."
"Ish! Memuakkan!"
Dina meninggalkan Elan, menuju pintu mobil dan menyembunyikan senyum bangganya. Ya, sebenarnya ia hanya pura-pura kesal. Ia sengaja berlama-lama berdiri di depan mobil Elan untuk pamer suami sempurnanya di hadapan mereka. Hmm.. Setidaknya itu salah satu keuntungan yang bisa ia dapat sejauh ini.
Selama perjalanan menuju resto tak banyak yang mereka perbincangkan. Dina terlihat lebih kikuk dari biasanya. Rasanya semakin aneh berada di dalam mobil berdua saja dengan Elan.
"Nomormu tidak bisa dihubungi, kenapa?" Elan membuka obrolan.
"Eoh.." Lamunan Dina terpecah.
"Melamun?"
"Eumm.. Apa tadi? Ponselku? Kehabisan baterai, tidak bawa powerbank, tidak bawa charger juga."
"Pakai chargerku di situ.." Elan menunjuk console mobilnya.
"Mana?" Tanya Dina mencari-cari.
"Di situ.." Elan sibuk mengawasi jalan.
"Mana sih?" Dina sedikit kesal karena tak kunjung menemukan.
Elan Memecah konsentrasi antara jalan dan benda yang Dina cari. Tangan kirinya meraba-raba console dan tanpa sengaja menyentuh sebuah kelembutan.
"Ehh.." Dina terperangah, menaikkan bola matanya saat tangannya tersentuh Elan.
Elan pura-pura tak melihat, sibuk mengamati jalan untuk berbelok. Ia justru meremas telapak tangan Dina dalam genggamannya, masih pura-pura tak melakukan apapun.
Dina kikuk, salah tingkah, nafasnya cepat. Kesal. Marah tapi juga merasa aneh, neuronnya tak menyampaikan pesan untuk buru-buru mencabut jemarinya.
"Apa sulit membedakan kabel dan tangan manusia?" Dina geram.
"Oh.. Aku salah pegang ya." Elan menoleh seraya tersenyum menampakkan sikap isengnya, membuat Dina semakin kesal dan melengos ke arah lain.
"Mungkin aku lupa tidak membawa charger."
Elan berkata santai tanpa rasa bersalah. Yah, ia memang sengaja berbohong. Tak pernah ada charger dalam mobilnya.
"Sial!" Dina mengumpat, menyadari dengan mudah jatuh ke jebakan Elan.
Elan tertawa tanpa suara. Sesekali melirik gadis manis di sampingnya, menelitinya dari ujung rambut hingga kaki. Ada satu bagian yang sedari tadi mengganggu pikirannya, paha mulus gadis itu terumbar. Rok yang dipakai terlalu pendek. Rasanya tangannya ingin hinggap dan bekerja di sana.
"Apa semua gadis SMA memakai rok serendah itu?"
Dina sadar dan menarik ujung roknya. Lagi-lagi Elan membuatnya geram dan ingin mengumpat.
"Dasar brengsek! Masih banyak hal yang bisa kamu lihat, kenapa harus melihat pahaku? Kenapa? Terangsang? Itu karena pikiranmu saja yang kotor, mesum!"
"Wah wah wah.. Sudah ku bilang jangan terlalu kasar padaku." Elan santai. "Sebutan itu akan beru.."
"Berubah apa? Jadi sayang? Haloo.. Pak Elan yang terhormat, jangan halu!" Sambar Dina kesal sekali.
Elan hanya tersenyum. Senyum yang penuh arti. Senyum yang tak dimengerti sama sekali oleh Dina.
"Teman laki-lakimu pasti senang setiap hari dapat suguhan paha mulus seperti itu."
"Kamu pikir mereka sepertimu yang mesum akut?" Sangkal Dina.
"Pikiran laki-laki itu sama, tak akan jauh dari selangkangan wanita. Kamu sebagai wanita harus bisa menjaga diri. Yang sudah menjaga diri seperti adikku saja masih kecolongan, apalagi kamu yang mengumbar paha." Elan menggeleng.
Dina sangat geram. Rasanya ingin menapuk bibir Elan yang semakin pedas berbicara. Ia memberanikan diri memandang wajah Elan dengan kemarahan, walau tanpa sedikitpun Elan hiraukan, pura-pura tak melihat lebih tepatnya.
"Marah? Seharusnya aku yang marah. Bagaimanapun aku ini suamimu, kalaupun ada yang boleh melihat pahamu, itu adalah aku. Jadi jangan umbar pahamu lagi, besok belilah seragam baru." Perintah Elan lantang.
Dina tertegun. Tak ada kalimat yang bisa keluar dari bibirnya. Kemarahannya berangsur sirna, menguap perlahan lalu menghilang. Ia sepenuhnya sadar, Elan tak menunjukkan nada ejekan, merendahkan, apalagi candaan. Lelaki itu terlihat serius memintanya membeli rok baru untuk menutup pahanya. Bahkan sesekali terdengar penekanan kemarahan dalam kalimatnya, posesif?
Dina membenahi posisinya yang semula miring menghadap Elan menjadi duduk manis menghadap ke depan. Anteng tapi pikirannya jungkir balik.
"Tapi sebentar lagi sudah tidak terpakai. Paling tinggal sebulan aku ke sekolah, itupun jarang-jarang. Sayang kalau harus beli lagi." Tolak Dina lembut.
"Memangnya harga sebuah rok akan membuatku bangkrut? Kamu bisa berikan ke adik kelasmu kalau sudah tidak terpakai. Asal jangan umbar pahamu lagi begitu, aku tidak suka!"
Lelaki ini, ya Tuhan.. Ucapannya posesif sekali. Memangnya siapa aku? Ya aku tahu aku ini istrinya tapi.. Ah aku harus bagaimana? Apa wajahku merah mendengarnya? Aku malu.
Dina menunduk, menyembunyikan kekaguman yang tidak perlu. Ia akui kali ini ia merasa Elan menjaganya, ada tabuhan kecil di dadanya saat mendengar larangan terakhir kali.
Dina merasa dilindungi oleh kalimat posesif Elan tapi ada rasa penasaran yang menyatroni otaknya. Ia menoleh cepat pada Elan hendak bertanya sekaligus menyangkal.
"Ku belikan cuma-cuma, bukan hutang, juga tidak perlu mengganti dengan tubuhmu."
DEG.
Kurang dari sedetik Dina menarik wajahnya untuk menunduk, lalu menoleh ke arah jendela. Ia tak menyangka, ternyata Elan tulus padanya?
Ada getaran dan debaran. Ada lega dan nafas bahagia. Sepertinya Elan kian baik padanya.
Jadi mengapa aku harus membenci seseorang yang bisa menebak isi pikiranku sebelum aku mengutarakannya?
***
Dina menyumpit beef yakiniku di hadapan mereka, dilanjutkan dengan mencaplok sepotong sushi, lalu menggigit ebi furai. Elan geleng-geleng melihat cara makan Dina yang kemaruk.
"Apa makanan yang tidak kamu sukai?"
"Eoh.." Dina melongo dengan mulut tersumpal makanan. Buru-buru ia mengunyah dan menelan. "Tempe! Alu tidak suka, hambar di lidahku."
"Sombong sekali." Ejek Elan menanggapi.
"Tidak suka ya tidak suka, bukan perkara sombong atau tidak. Lagi pula kenapa tanya begitu?" Dina penasaran, juga keheranan.
"Kalau dipikir-pikir, aku tidak tahu apapun tentangmu. Aku ingin tahu mulai sekarang."
Dina menghindari sorot tajam Elan ke arahnya, mengalihkan pandangannya pada potongan ebi furai yang baru digigitnya. Mengapa tiba-tiba tatapan mata lelaki ini menggetarkan dadanya?
"Untuk apa tahu tentangku? Empat bulan lagi kita akan berpisah." Elak Dina gugup.
"Apa hubungannya? Jangan berpikir terlalu jauh bocah. Aku hanya ingin tahu agar tidak salah ketika membelikanmu makanan, selama kita masih hidup bersama, makanmu masih tanggung jawabku, aku tidak mau disalahkan kalau kamu mati kelaparan.."
"Uhuk!" Dina terbatuk karena rasa malu bertindih kesal. Kepedean.
Bisa-bisanya ia berpikir Elan ingin tahu tentang dirinya, peduli padanya, padahal lelaki itu hanya berusaha tak membuatnya mati kelaparan. Yah sama seperti perutnya yang berdendang tadi pagi.
Dina minum jus plum dengan terburu-buru, melampiaskan gugupnya tapi justru justru tersedak. Elan geleng-geleng karenanya.
"Dasar bocah, minum pun tak bisa pelan-pelan."
Elan menuang air putih di gelasnya, menyodorkannya untuk Dina. Membuat gadis itu menatapnya kebingungan.
"Minum!" Perintah Elan. "Malah bengong?"
Dina menyahutnya, kemudian meminumnya. Ia hanya terdiam kebingungan setelahnya. Sehari ini saja Elan sudah berulang kali membuat degup jantungnya berloncatan tak kenal ritme.
Berhentilah bersikap seperti ini Elan, aku tidak ingin menganggap ini bentuk perhatian.
"Sepertinya kamu sudah tidak takut padaku?"
"Aku?" Dina kaget.
Elan tak menjawab. Ia sibuk menyumpit potongan daging sapi pada mangkuk besar di antara mereka. Melahapnya perlahan.
"Ke, kenapa harus takut?" Dina terbata-bata.
"Tidak takut aku memperkosamu lagi?"
Lagi-lagi Dina dibuat tercengang oleh ucapan Elan. Mengapa lelaki ini menjadi serba penuh misteri? Tak bisa dipahami arah pembicaraan dan pola pikirnya. Dina mengumpulkan keyakinan, ia harus terlihat tegar bagaimanapun caranya.
"Tidak." Jawab Dina pendek.
"Sungguh?"
"Aku rasa seseorang yang memberikanku sarapan dan makan siang hari ini tidak akan setega itu lagi."
"Bagaimana jika sarapan dan makan siang itu rayuan?" Elan mengangkat bola matanya mencari ekspresi Dina.
"Aku tidak mudah dirayu."
Elan tersenyum menghadapi sikap angkuh Dina. Ia pura-pura cuek tak melihat ke arahnya.
"Lagi pula aku bukan tipe perayu."
"Baguslah" Dina mengangkat alisnya.
"Tapi para gadis yang biasa datang ke pelukanku."
"Cih! Kamu pikir aku seperti mereka?" Dina menyunggingkan sebelah bibirnya.
"Mengapa tidak?"
"Dengar! Tidak semua wanita itu sama. Aku tidak semurahan mereka yang dengan mudah jatuh ke pelukanmu."
"Kamu sudah jatuh ke pelukanku, lupa?" Elan menaikkan alisnya.
"Jangan lupa! Kamu memaksaku!"
"Kamu menikmatinya."
Nafas Dina memburu. Emosi pada lelaki di hadapannya yang semakin tak tahu aturan bertutur kata. Ia sudah kehilangan keperawanannya karena pemaksaan dan bisa-bisanya Elan mengatakan hal yang sangat merendahkan.
"Apa aku salah?" Elan menajamkan pernyataannya.
"Seandainya kamu tahu perasaan gadis yang diperkosa itu seperti apa.."
Dina menitikkan air mata. Ia ingin menumpahkan segalanya, semua yang ia rasakan hari itu. Sesak hatinya karena Elan selalu menganggapnya murahan.
Dina mengusap ujung bibirnya dengan tisu, lalu membuangnya kesal ke atas piring. Ia segera menyingkir dari kursinya, meninggalkan Elan sendiri keluar dari tempat itu.
Mata Elan mengikuti arah gerak tubuh Dina yang berjalan cepat ke arah pintu keluar. Ia tetap tenang menghabiskan makanannya. Raut congkaknya tampak jelas sekali. Senyum meremehkan pun masih sempat ia sunggingkan.
***
Kejam! Sebutan yang paling pantas untuk lelaki itu. Menyakiti hati seorang gadis seakan tidak pernah cukup baginya.
Aku membencinya, itu pasti. Dia lelaki yang merampas malam pertamaku, yang seharusnya ku lakukan dengan lelaki yang ku cintai. Bukan dengan lelaki yang hanya menjadikanku obyek balas dendam.
Sekuat tenaga aku melupakan semua. Mengubur kenangan buruk akan perbuatannya. Itu tak pernah mudah bagiku, tapi dia justru terus-terusan menghinaku.
Hari ini aku merasa dibodohi. Ku kira dia sudah berubah. Sikapnya lebih lembut. Perlakuannya pun tak lagi buruk. Tapi kalimat-kalimatnya masih merendahkanku. Menyakitkan.
Harusnya aku tak terlena karena sikapnya. Hanya karena sepotong roti aku begitu mudah ditarik dalam lingkarannya. Aku terlalu lena akan perubahan sikapnya, kurang waspada hingga bisa-bisanya melunak.
Aku berlari kecil dari resto Jepang itu, meninggalkan si brengsek Elan sendiri. Aku tidak tahan dengan kalimat-kalimatnya yang semakin merendahkanku, menyudutkanku. Dia menganggapku sama dengan gadis-gadisnya, yang sukarela jatuh ke pelukannya. Ingin ku tancapkan di ubun-ubunnya bahwa ia yang memperkosaku! Kalaupun aku menikmatinya, itu karena reaksi tubuhku. Bukan kemauanku.
Aku terus berjalan dengan air mata tak henti menetes. Aku hanya ingin menjauh darinya secepat mungkin.
Ciiitt..
Aku kenal mobil siapa yang tiba-tiba berhenti di sampingku. Aku tak peduli dan tetap terbirit-birit tanpa menghiraukan.
"Naiklah!" Perintahnya sembari mengemudi sangat lambat, mengiringiku.
Aku tak berniat meresponsnya sama sekali. Muak! Dia selalu memuakkan.
"Naiklah dan jelaskan kenapa?"
Jelaskan kenapa? Apa ia bodoh? Aku semakin tidak sudi menengoknya.
Tiba-tiba ia menambah kecepatan mobilnya. Memarkir di depan sebuah gerai waralaba. Tidak lama kemudian, dia sudah berdiri di hadapanku, saat aku sibuk mengusap air mata.
"Jangan halangi jalanku!" Usirku ketus.
"Ku antar pulang."
"Tidak perlu!" Jawabku lebih ketus.
"Marah?"
Perlukah dia bertanya tentang kemarahanku? Untuk apa? Menertawakanku? Tapi aku punya harga diri.
"Apa seorang pelacur murahan punya hak untuk marah pada tuannya?" Tanyaku melampiaskan kegeraman. Pertanyaan yang sangat ironi.
Dia diam. Ini kesempatanku menyerangnya dengan segala unek-unek terpendam.
"Aku menjaga kesucianku untuk orang yang kucintai, tapi kamu seenak hati melanggar perjanjian dan merebutnya. Kamu seharusnya bertanya pada adikmu bagaimana perasaan gadis yang diperkosa, kamu tahu? Semua terasa runtuh, tidak punya apa-apa lagi. Apa yang seperti itu kamu sebut murahan? Hiks.."
Aku membentak-bentaknya di tepi jalan. Air mataku pun tak henti mengalir.
"Setiap kali kamu menyebutku murahan, setiap itu juga aku merasa pengorbananku tidak dihargai. Aku sudah rela tidak bahagia demi semua orang, setidaknya jangan membuatku sakit hati. Satu hal lagi! Jangan bangga karena aku sempat menikmati perkosaanmu, itu bukan mauku! Itu reaksi tubuhku. Sedikitpun! Sedetikpun! Aku tidak pernah menginginkanmu!"
"Kamu menyesal memberikan keperawanan untukku?"
"Aku tidak pernah memberikan, tapi kamu merampasnya! Mulai sekarang sampai empat bulan ke depan lebih baik kita tidak perlu banyak bicara, kita jalani hidup masing-masing. Kamu tahu kenapa? Karena semua kalimat yang keluar dari mulutmu hanya menyakitiku."
"Oke."
Keparat! Tanpa merasa bersalah, dengan mudah ia mengatakan persetujuan? Lalu kembali ke mobilnya dan melaju meninggalkanku? Apa yang begitu masih disebut manusia?
***
Dina duduk di taman kota. Ia sudah berhenti menangis, tapi masalah baru muncul. Ke mana ia harus pulang hari ini? Apa ia harus menyerah dan jujur pada orang tuanya? Atau mengatakannya pada Raka? Karena kembali ke apartemen suaminya bukanlah pilihan lagi.
Ya Tuhan aku tidak mau semua orang tahu. Biarkan mereka bahagia agar pengorbananku tidak sia-sia.
Dina berjalan pelan menyusuri trotoar, selangkah demi selangkah tanpa tujuan. Sementara mendung sudah menata diri untuk segera menumpahkan keluh kesahnya. Seolah menanti Dina untuk segera mengambil keputusan, ke mana kakinya dibawa melangkah?
Tik.. Dina menengadah ke atas setelah hidungnya dijatuhi setitik air langit, lalu merentangkan kedua tangannya menyambut hujan.
Bisakah kalian menyucikanku?
Dina terpejam, merasakan air hujan semakin mengguyur wajahnya, lalu membasahi sekujur tubuhnya. Ia berusaha menikmati bersamaan aliran air mata. Berharap hujan mampu mengikis noda kotor di tubuhnya, hingga suci kembali seperti sedia kala. Lama sudah tapi rasanya air hujan tak cukup membasuh noda-noda itu.
Dina memeluk dadanya sendiri ketika merasa bentuk tubuhnya tercetak jelas oleh air. Perlahan ia menyadari bahwa tubuhnya tak lagi terguyur, tapi hujan belum reda, ada kegelapan menaunginya. Ia menyadari sesuatu telah mengatapinya. Bukan payung, tapi sebuah jas hitam.
"Ayo pulang! Aku tidak mau tubuh istriku dinikmati banyak mata." Suara Elan berlomba dengan guyuran hujan.
Dina menelan ludahnya, melangkah ke depan tanpa menghiraukan. Ia tahu itu siapa dan tak sudi menghiraukannya. Sakit hatinya terlanjur dalam.
Tiba tiba tubuh Dina terhuyung ke depan karena ada yang menubruknya dari belakang. Sebuah tangan kekar bak balok kayu mengalung ke lehernya, menyiku dari belakang, sedang perutnya dilingkari tangan lain dari tubuh yang sama.
Lelaki ini..
"Maafkan aku.."
Dina tercekat. Apa yang sebenarnya terjadi? Mimpikah ia kini? Elan memeluknya di bawah guyuran hujan, meminta maaf? Ah ini pasti halusinasi..
"Aku tidak akan mengatakannya lagi lain kali, jadi maafkan aku.."
Bibir Dina tergerak untuk menjawab kalimat ajaib yang keluar dari lelaki di belakangnya. Maaf? Bahasa planet yang tak pernah Elan kenal sebelumnya. Tahukah ia cara menggunakan kata maaf?
"Kamu adalah orang yang pertama kali menamparku hiks.." Dina terisak. "Kamu.."
"Tampar aku lalu pulanglah denganku.."
Lama keduanya terdiam. Dina sangat kebingungan, situasi semacam ini tak pernah ia persiapkan. Padahal Elan sedang menanti reaksinya.
Ah Elan tak sabar. Segera ia balik tubuh Dina lalu mendekapnya dalam dada. Di bawah guyuran hujan yang hampir reda, dua manusia menikmati hangatnya pelukan selepas hujan.
***
vote dan komentarnya ditunggu ya say
Elan mempersilahkan Dina masuk ke apartemennya lebih dulu. Dina berjalan gamang di depan Elan, alat geraknya dibuat ragu-ragu harus bertindak bagaimana. Elan baru saja membagi peluk hangat. Membujuknya pulang bersama, meskipun tak ada kata yang terucap lagi sepanjang jalan tadi. "Mandilah.. Ingin makan apa? Aku akan pesan via ojekonline." Dina berbalik, mengangkat wajahnya. Gugup. Ada ketegangan. "Eng.. Apapun." Jawab Dina singkat. "Asal bukan tempe?" Elan memasang ekspresi tanya dengan senyum manisnya. Yah, senyum manis yang hampir tak pernah Dina temui. Dina membalas senyum itu. Damai. Ah suasana terasa hangat padahal tubuh mereka kedinginan karena basah kuyup oleh hujan. "Ya, apapun asal bukan tempe. Kamu.. Sudah hafal emm.." Jawab Dina seraya membalik badannya. "Tunggu!" Dina membalik tubuhnya bersemangat. Seperti belum ingin berpisah jarak dengan tubuh yang barusan mendekapnya dengan nyaman.
Suhu di kamar Dina turun karena sensor mendeteksi pergulatan panas yang semakin menggelora. Elan masih menggenggam tangan istrinya, mencekalnya di dinding karena sempat mengelak tangannya untuk masuk ke paha. Ia kemudian menjilati selangka Dina sambil sesekali mencucupnya. Dina hanya memejamkan mata sembari menggigit bibir dalamnya, menarung alisnya merasa kenikmatan menjalar dari bagian yang dicucup oleh Elan. Ia baru bisa menikmati sentuhan Elan, setelah sebelumnya terlalu sibuk mempertahankan diri. Elan kembali mengalungkan kedua tangan Dina ke lehernya, lalu mengusap paha mulusnya naik turun. Gerakan yang sangat membangkitkan libido hingga Dina melenguh tanpa sadar. Jemari Elan semakin aktif, naik, mengusap perut Dina dari balik baju, naik, menyusup, kemudian.. Dina tersentak saat telunjuk Elan berhasil menyusup, memencet puncak bukitnya. Ada rasa geli yang mencekal. Ia tersadar, lalu segera membuang tangan Elan. "Cukup! Engh.." El
"Apa, yang kamu, lakukan, semalam?" Dada Dina naik turun karena kesal. "Tidak ada.. Selain.." Elan sengaja menyetop penuturannya. "Selain apa?? Katakan selain apa??" Dina marah. Elan mengekeh, puas sekali melihat wajah Dina yang sebal. Sukses mengerjai istrinya hingga geregetan. Ia segera mendekatinya di ranjang. "Hanya mengusap sedikit Bocah.." Dina kesal lalu memukuli Elan dengan bantal. Membabi buta saking muaknya. Ia merasa dibodohi lelaki itu. Seenaknya menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya tanpa permisi. "Brengsek! Brengsek! Apa yang kamu usap hah?? Brengsek!" "Hey.. Hey.. Hanya mengusap lenganmu.." Dina mengendurkan gerakan dengan nafas memburu. Tanda bahwa emosi masih mendiami pikirannya. Ekspresinya menunjukkan kecurigaan bahwa Elan berbohong. "Juga mengecup bahumu sedikit." Wajah Dina memerah marah kembali. Tangannya meremas bantal bersiap menyerang. Elan semakin gema
Wajah Asya mengerut merasa bersalah. Ia menatap Raka takut, bingung pula apa yang harus dilakukannya. Bibirnya naik turun gundah. Mmuch! Raka mengecupnya gemas. "Adik kecil barusan lihat apa hayo?" Goda Raka agar Asya lebih tenang. "Iihh Kakak, aku maluu, tadi Kak Elan iihhh.." Asya menutup matanya dengan telapak tangan. Raka tersenyum lebar menyaksikan tingkah istrinya, yang sedang dipangku miring di sofa. Tubuhnya semakin berisi memasuki usia kandungan enam bulan, tapi sikap dan sifatnya semakin manja. "Kenapa mesti malu Sayang? Kan kita juga sering begituan.." "Tapi nanti aku harus bagaimana kalau bertemu mereka Kak? Aku ganggu mereka tadi kan.." Asya memainkan kancing Raka merasa bersalah. Raka mengusap perut istrinya. Membisikkan sesuatu agar didengar Asya. "Para junior Papa, Mama barusan nakal, lihat orangena-ena." Asya spontan melepas tangannya, memukuli dada Raka kesal. M
Dilema. Di satu sisi Dina bingung karena uang sakunya tinggal selembar pecahan lima puluh ribu. Di sisi lain ia tak mungkin meminta uang saku pada Elan sedangkan dua hari ini hubungan mereka belum ada perkembangan. Tak ada lagi kedekatan selain waktu makan malam. "Bry! Beri aku pinjaman ya,please.." Dina memelas. "Hmm.." "Kamu hmm hmm saja dari tadi, jawab iya dong Bry.." Dina mulai protes. "Hmm.." "Bilang hmm sekali lagi ku blokir kamu dari daftar sahabat." "Seperti punya sahabat lain saja, harap dipikir sebelum bicara." Bryan menang telak. Dina menghembuskan nafas berat, meletakkan kepalanya miring di meja kantin sekolah. Usahanya sedari tadi sama sekali tidak meluluhkan Bryan, sahabat semata wayangnya, yang sedari tadi fokus dengan layar ponselnya. "Tega kamu Bry.." wajah Dina murung. Bryan menutup layar ponselnya, meletakkannya di meja. Lalu memantengi sahabatnya yang terlihat kacau sedang men
"Bagimu, aku ini apa?" Tanya Dina serius. Elan menghentikan aktivitas mesumnya. Melepaskan ciumannya di leher Dina, mengendurkan kecepatannya dalam meremas. Ia tersenyum, menjatuhkan pandangan jauh ke pegunungan sebagaimana Dina. "Apa itu penting?" "Tentu saja.. Seorang gadis yang sudah diperlakukan sepertiku patut bertanya, kenapa seorang lelaki memperlakukannya demikian. Hanya nafsu? Atau pelampiasan?" "Aku sedang nafsu ingin menjilatmu tapi tidak bisa." Jawab Elan sambil terkekeh. "Itu bukan jawaban yang ku harapkan." Dina mengangguk kecewa. "Kamu mengalihkan pembicaraan dan.. Ah sudahlah.." Dina menekuk wajahnya, menelan kepahitan. Mungkin ia terlalu berharap. Tidak pernah ada yang spesial di mata Elan tentang siapa dirinya. Ia menyingkirkan kedua tangan Elan dari dadanya. Memasukkan kembali dua bola dadanya ke dalam. Mengancing seragamnya cepat, lalu melepas jas Elan dari bagian depan tubuhnya. "Aku ke toilet dulu,
"Kak Elan.." Suara Dina serak sarat gairah. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Elan merasa selangkangannya sangat ketat, tapi gerakan mata Dina yang ragu menyadarkannya akan sesuatu. Ia menarik diri dari tubuh istrinya. Rebah di ranjang mengatur nafas. "Kita baca dongeng saja.." Elan terkekeh sok tenang. Dina menemukan area sensitif Elan menggembung, pertanda lelaki itu sedang sangat menginginkannya. Ia tidak siap, tidak mau, lebih tepatnya belum yakin. Meskipun semenit lalu ia sempat pasrah jika Elan berniat menggaulinya. Dina duduk, mengatur nafasnya pula. Ia tak bisa terus-terusan begini. Berada di sisi Elan akan membuat lelaki itu tersiksa oleh nafsunya yang tidak tuntas. Ia tak mau menyiksa suaminya sementara sudah berkali-kali Elan memuaskannya. "Aku akan tidur di kamar lain.." Dina beringsut. Gadis itu segera menarik diri dari sisi Elan, tak mau keadaan kembali panas. Ia tak ingin Elan merasa diberi harapan palsu. Namun seke
Sayang. Elan memanggilnya dengan sebutan yang baru. Biasa memang bagi pasangan lain, tapi bagi Dina, sepanjang usia pernikahan drama mereka yang belum genap dua bulan, panggilan itu tak ubahnya oase. Sebuah kesegaran yang menyejukkan. "Kenapa? Tidak suka ku panggil begitu?" Dina perlahan mengembangkan senyumnya. Ia tak mau terlihat begitu girang. Cukup seperlunya agar tidak memalukan. Ini membahagiakan tapi tak untuk dirayakan. "Kenapa harus tidak suka, hanya sebuah panggilan.." Jawab Dina santai. Elan membelai rambut Dina yang kini rebah di atas dadanya. Ia bisa merasakan dada kenyal Dina tergencet tubuhnya. Hangat mengundang jamahan. "Sayang.. Turun ya.. Takut ada yang bangun." Pinta Elan terdengar menahan sesuatu. Dina mendongak, tersenyum jahil. Ini saatnya menjajal kemampuan dan hasrat yang terpendam. Jika Arya pernah menerimanya, mengapa Elan tidak? Ia mendongak untuk memastikan wajah Elan, dengan seringai mengundang mena
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa