Home / CEO / Harta Tahta Kesayangan Duda / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Harta Tahta Kesayangan Duda: Chapter 1 - Chapter 10

57 Chapters

1. Positif Telat

Pagi hari merupakan awal yang baik untuk memulai aktivitas. Di tengah pasar, Era berdecak saat sayur yang ia beli tak kunjung dihitung. Dia melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan sisa waktu yang ada. Era harus bergerak cepat atau kesialan akan ia dapat."Ah elah, Bang! Lama bener, saya mau berangkat sekolah nih, ada upacara," ucap Era kesal."Sabar, Neng. Tangan abang cuma dua.""Kalo delapan ya laba-laba namanya," gumamnya pelan."Nih, belanjaannya, Neng. Total 60 ribu."Era mengeluarkan gulungan uang dari sakunya dan memberikannya pada penjual sayur, "Pas ya, Bang. Ini saya ambil kangkung lagi dua iket.""Eh, 5000 itu, Neng."Era berdecak, "Cuma 5000, Bang. Anggap aja sedekah sama anak yatim."Era dengan cepat bergegas untuk keluar pasar. Jika bukan karena langganan, tentu dia tidak akan berani seperti ini. Di tempat parkir, sudah ada tukang parkir yang duduk di atas motornya."Eh, Neng Era. Udah selesai belan
Read more

2. Si Lucu Bian

Tidak ada hal yang lebih menyedihkan dan menyakitkan selain melihat ibumu menangis. Itu yang Aksa rasakan sekarang. Sudah beberapa hari ini dia meminta ibunya yang masih berduka untuk tinggal di rumahnya. Kematian ayahnya yang diakibatkan penyakit jantung membuat ibunya sangat terpukul, begitu juga dirinya. Tanggung jawab Aksa menjadi lebih besar sekarang."Ma?" panggil Aksa masuk ke dalam kamar setelah beberapa menit mengintip ibunya yang tengah menangis."Ya, Nak?" Bu Ratna berpaling dan membersihkan wajahnya dari air mata."Sarapan dulu. Udah ditunggu Bian di meja makan. Dia kangen disuapin Neneknya."Bu Ratna tersenyum mendengar itu. Dia memang sedih, tapi sebisa mungkin ia tidak akan terlalu larut dalam kesedihannya. Bu Ratna akan menyembunyikan kesedihannya, tanpa tahu jika Aksa sudah mengetahui semuanya."Ayo kita sarapan."Aksa dan ibunya berlalu menuju meja makan. Di sana sudah ada Bian yang tampak lucu dengan seragam TK-nya. Bocah
Read more

3. Kesabaran Aksa

Bian bermain di depan panti sambil menunggu ayahnya yang akan datang menjemput. Ini pertama kalinya Era bertemu dengan ayah Bian karena selama ini mereka memang tidak pernah bertatap muka. Era bersyukur karena akhirnya Bian bisa kembali berkumpul bersama ayahnya. Jujur saja, anak itu tampak kesepian dan selalu berhasil membohongi semua orang dengan keceriaannya."Nek, Papa lama banget sih?" Bian tampak jenuh dengan permainannya. Dia sudah menunggu kedatangan ayahnya selama satu jam dan pria itu belum muncul juga. Era yang melihat itu juga ikut kesal dengan tingkah ayah Bian."Kayanya Papa kamu kena macet. Sabar dulu ya," ucap Bu Ratna dari teras rumah.
Read more

4. Ternyata Oh Ternyata

Bu Asih berdiri di teras panti dengan khawatir. Hari sudah mulai gelap tapi Era belum juga kembali ke rumah. Bukan obat Rafi yang ia pikirkan saat ini, tapi keberadaan Era. Menelepon pun percuma karena Era meninggalkan ponselnya di rumah. Kadang kecerobohan gadis itu membuatnya mengelus dada. Saat akan masuk, sebuah motor mulai memasuki halaman. Mata Bu Asih menyipit saat melihat Era yang sudah datang. Wanita itu menghela napas lega, tapi itu tidak berlangsung lama saat Era turun dari motor dengan tertatih."Era? Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Asih khawatir.Era menatap Bu Asih dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan dia mendekat dengan kantung plastik yang berisikan obat Rafi. Meskipun tubuhnya
Read more

5. Mimpi Aneh

Aksa membuka matanya saat merasakan elusan lembut di pipinya. Matanya terbuka dan bertemu dengan mata bulat yang begitu indah. Anehnya, hanya mata itu yang bisa ia lihat, selebihnya hanya ada kegelapan yang mengelilinginya. Aksa terpaku dengan tatapan lembut dan polos itu. Perlahan perasaan gusar yang ia rasakan sedari tadi mulai menghilang tergantikan dengan rasa nyaman. Siapa anak kecil yang ada di depannya saat ini?"Kakak jangan nangis. Kata Mama kalo udah gede nggak boleh nangis." Suara anak itu terdengar menggema.Aksa mencoba meraih wajah ayu itu tapi tangannya tertahan, mata bulat itu seolah menghipnotisnya. Bahkan untuk berbicara saja Aksa tidak bisa, seolah ada beban berat yang menahan tubuhnya untuk bergerak."Kalo kakak sedih, makan es krim aja. Aku biasanya gitu kalo dimarahi Mama, tapi jangan banyak-banyak nanti giginya ompong kayak aku."Lagi-lagi ucapan anak kecil itu terdengar. Kali ini disertai dengan tawanya yang merdu. Namun suara itu
Read more

6. Salam Damai

Bel tanda istirahat berdering. Dengan cepat Era dan teman-temannya bergegas ke kantin untuk menyerbu makanan. Era tidak sempat sarapan tadi karena takut jika akan terlambat upacara. Dia masih trauma dengan hukuman yang diberikan Aksa sampai membuatnya tidak bisa tidur semalaman.Belum sempat memesan makanan, Lala datang dan menepuk bahunya pelan, "Jangan makan dulu. Lo dipanggil sama Pak Herman.""Pak Herman?" tanya Era bingung, "Ngapain? Kan gue nggak telat hari ini?""Nggak tau, cepet sana udah ditunggu."
Read more

7. Sebuah Fakta

Keadaan dapur panti saat ini terlihat seperti kapal pecah. Banyak bahan makanan yang akan diolah. Era dan Bu Asih tampak bekerja keras memasak untuk acara malam ini. Mereka harus selesai sebelum keluarga Kusuma datang."Aldi! Jangan main di deket kompor. Sana main di depan!" Era melotot dengan pisau di tangannya.Sepulang sekolah seharusnya Era bisa bersantai sambil menikmati air dingin yang mengguyur tubuhnya. Namun kali ini dia tidak bisa melakukannya karena mendadak Bu Ratna ingin acara makan malam bulanan dilakukan hari ini. Di sini lah Era sekarang, membantu Bu Asih untuk memasak di dapur."Buk, ini kurang gurih," ucap Era saat mencicipi kuah bakso."Kamu ambil bubuk kaldu, masukkan sedikit-sedikit sambil rasain." Era mengangguk dan melaksanakan perintah Bu Asih tanpa membantah.Memang hanya mereka berdua yang memasak di dapur ini. Setidaknya Era dan Bu Asih harus menyiapkan minimal lima jenis makanan yang akan dihidangkan. Bukan ingin mengham
Read more

8. Sisi Lain Era

Aksa menutup matanya sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Langit yang gelap seharusnya bisa membuat penglihatannya terbatas, tapi tidak untuk sekarang. Entah kenapa ombak laut terlihat begitu jelas di matanya. Aksa mengeratkan pelukannya pada wanita di hadapannya dan mulai tersadar. Dia tidak tahu siapa wanita yang ia peluk saat ini. Aksa ingin melepaskan diri, tapi tidak bisa. Tangannya seolah menempel erat pada pinggang wanita itu."Makasih ya, Kak. Ini indah banget." Aksa mendengar suara wanita itu menggema.Perlahan tubuh wanita itu berbalik dan membuat Aksa terkejut, "Era?" ucap Aksa tidak percaya.Era tampak anggun dengan gaun putih yang dipakainya. Rambut panjang yang terurai tampak beterbangan ditiup angin. Di bawah cahaya bulan, Era terlihat cantik dan berbeda dari pandangannya selama ini. Dia tidak melihat Era yang ceroboh dan minim akhlak seperti biasanya. Aksa masih terpaku sampai perlahan wajah Era mulai mendekat. Dia ingin menghinda
Read more

9. Kejahilan Aksa

Aksa menghentikan kegiatannya dan melirik ponselnya yang kembali berdering. Lagi-lagi Renata menghubunginya. Bukannya tidak ingin menjawab, tapi Aksa terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan wanita itu sekarang. Ponsel kembali berdering membuat Aksa mendengkus. Dengan segera dia mengangkat panggilan dari Renata."Ada apa?" tanya Aksa."Kenapa lama angkatnya?" tanya Renata kesal."Aku sibuk," jawab Aksa jujur."Gimana keadaan Bian?"Aksa menghela napas lelah. Mereka memang masih berhubungan karena ada Bian. Biar bagaimanapun Bian masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan orang tuanya."Bian baik.""Aku kangen sama Bian," ucap Renata."Aku nggak ngelarang kamu buat telepon Bian. Kamu bisa hubungi lewat Mama."Renata terkekeh, "Aku udah telepon Tante Ratna tadi. Udah ngobrol juga sama Bian."Alis Aksa terangkat, "Terus kenapa kamu telepon aku?"
Read more

10. Harta Si Duda

Di hari sabtu, Aksa memutuskan untuk bekerja di rumah. Biasanya dia bekerja di kantor setengah hari, tapi tidak untuk kali ini. Tidak ada yang menjaga Bian sekarang. Ibunya tengah pergi bersama teman-temannya untuk menjernihkan pikiran. Aksa membiarkannya, dia senang jika ibunya kembali beraktivitas seperti biasa.Sebuah tarikan pada celananya membuat Aksa menoleh. Dia terkejut melihat Bian yang duduk di lantai dengan bibir yang maju. Melihat itu, Aksa menggendong anaknya dan mendudukkannya di pangkuannya."Kenapa, hm?""Bian bosen, Pa. Mau main di luar," ucapnya kesal.Sejak pagi Bian memang sudah berada di ruang kerja Aksa. Dia sudah bosan dengan lego yang ia mainkan sendiri. Bian ingin keluar dan berlarian ke sana-ke mari."Bian main di sini dulu ya. Papa nggak bisa awasi kalau main di luar."Aksa sadar jika menjadi orang tua tunggal tidaklah mudah. Selama ini dia terbiasa hidup sendiri di luar kota dan orang tuanya yang menjaga Bian. Saa
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status