Aksa membuka matanya saat merasakan elusan lembut di pipinya. Matanya terbuka dan bertemu dengan mata bulat yang begitu indah. Anehnya, hanya mata itu yang bisa ia lihat, selebihnya hanya ada kegelapan yang mengelilinginya. Aksa terpaku dengan tatapan lembut dan polos itu. Perlahan perasaan gusar yang ia rasakan sedari tadi mulai menghilang tergantikan dengan rasa nyaman. Siapa anak kecil yang ada di depannya saat ini?
"Kakak jangan nangis. Kata Mama kalo udah gede nggak boleh nangis." Suara anak itu terdengar menggema.
Aksa mencoba meraih wajah ayu itu tapi tangannya tertahan, mata bulat itu seolah menghipnotisnya. Bahkan untuk berbicara saja Aksa tidak bisa, seolah ada beban berat yang menahan tubuhnya untuk bergerak.
"Kalo kakak sedih, makan es krim aja. Aku biasanya gitu kalo dimarahi Mama, tapi jangan banyak-banyak nanti giginya ompong kayak aku."
Lagi-lagi ucapan anak kecil itu terdengar. Kali ini disertai dengan tawanya yang merdu. Namun suara itu perlahan menghilang dan membuatnya merasa kehilangan. Aksa berusaha untuk berteriak. Dia memaksa kakinya untuk berlari, tapi lagi-lagi usahanya tidak membuahkan hasil sampai akhirnya dia merasakan tepukan keras pada pipinya. Detik itu juga Aksa membuka matanya lebar dan tersadar jika semua yang dilihatnya hanyalah mimpi.
"Nek, Papa udah bangun!" Bian melompat di atas kasur membuat Aksa berdecak dan menarik anaknya untuk masuk ke dalam pelukannya.
"Ya udah, kalau gitu Nenek bantu Bibi bikin sarapan. Kalian berdua cepet mandi! Katanya mau ke pantai."
Perintah dari kanjeng ratu tidak membuat Aksa dan Bian bergerak. Justru mata mereka kembali terpejam sambil berpelukan. Bian yang awalnya sudah semangat untuk berangkat ke pantai harus kembali mengantuk saat berada di pelukan ayahnya yang hangat.
Hari minggu harusnya bisa menjadi waktu istirahat untuk Aksa. Namun dia sudah berjanji pada Bian untuk mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Aksa ingin menebus kesibukannya akhir-akhir ini. Bahkan semalam dia pulang larut karena harus menyelesaikan pekerjaannya agar bisa berlibur dengan tenang.
"Tadi Papa mimpi?" tanya Bian dengan mata yang terpejam, "Tadi Papa juga nangis," ucapnya lagi yang membuat Aksa membuka matanya lebar.
Dengan cepat dia bangkit dan melihat bayangan dirinya di depan cermin. Mata yang memerah dan basah seolah menjadi jawaban jika ucapan Bian memang benar adanya. Dengan lemas, Aksa berbalik untuk duduk di atas ranjang. Tangannya bergerak mengusap wajahnya yang sembab. Ini bukan kali pertama Aksa menangis dalam mimpinya. Entah kenapa selama seminggu ini dia sering dihantui oleh mimpi yang sama. Meskipun dengan jalan cerita yang berbeda, tapi ada satu hal yang sama, yaitu mata bulat yang begitu menggemaskan. Aksa tidak tahu siapa pemilik mata itu, tapi yang pasti dia merasa kehilangan saat pemilik mata indah itu pergi menjauh.
***
Bian bertepuk tangan senang saat lobster yang ia tangkap sudah tersedia di hadapannya dalam bentuk makanan. Terlihat sangat lezat dengan makanan laut lainnya yang Aksa pesan. Ekspresi yang Bian keluarkan berbanding terbalik dengan neneknya.
Bu Ratna meringis melihat makanan laut di depannya, "Badan Mama ngilu liat ini, Sa. Kenapa pesen banyak?"
"Bian yang minta tadi," jawab Aksa santai. Tangannya mulai meraih udang dan mengupas kulitnya untuk Bian.
"Siapa yang habisin? Mama takut kolesterol."
Aksa terkekeh, "Kalau nggak habis ya bawa pulang, Ma. Bisa dimakan lagi nanti."
"Nek, liat! Bian punya capit!" Bian tampak bahagia bermain dengan kepiting di tangannya. Hal itu membuat Aksa dan ibunya kompak tersenyum. Bian adalah sumber kebahagiaan mereka, tanpa ada anak kecil itu, hidup mereka akan sepi.
"Mama juga bisa masak lobster kan, Pa?" tanya Bian tiba-tiba.
Aksa mengangguk pelan. Dia melirik ibunya yang juga menatapnya khawatir. Aksa mengangguk untuk memberitahu ibunya bahwa ia baik-baik saja.
"Nanti kalau Mama pulang, Bian mau minta dimasakin yang banyak." Bian merentangkan kedua tangannya dengan mulut yang penuh. Lagi-lagi Aksa hanya bisa tersenyum tanpa menjawab.
Bian masih kecil, belum saatnya Aksa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya berkata jika orang tuanya tidak bisa lagi tinggal bersama dan Bian tampak bisa mengerti itu. Tentu saja dengan berbagai alasan dan kebohongan. Aksa tidak tega untuk mengungkapkan kebenaran yang ada bahwa dia sudah berpisah dengan Renata, ibu Bian. Aksa memilih untuk membiarkan Bian mengetahuinya sendiri seiring anaknya tumbuh besar.
"Ayo, makan yang banyak lobster-nya, biar bisa hidup seperti lary." Bu Ratna tampak mencairkan suasana. Bian semakin bersemangat untuk makan saat diingatkan dengan kartun favorit-nya.
"Aku ke kamar mandi dulu, Ma. Titip Bian sebentar."
Kamar mandi adalah tujuan Aksa. Tidak, dia tidak ingin buang air. Dia hanya ingin menyendiri setelah mendengar pertanyaan anaknya. Aksa pikir Bian sudah lupa akan ibunya, tapi ternyata tidak. Biar bagaimanapun juga Aksa sadar jika Bian sangat merindukan ibunya. Aksa berdiri di depan wastafel dengan mata yang menatap pantulan dirinya di cermin. Pinggiran mata yang begitu gelap menandakan jika dia kurang tidur akhir-akhir ini. Tidak heran ibunya memintanya untuk lebih merawat diri. Saat merasa sudah cukup, Aksa keluar dari toilet dengan menunduk. Langkahnya terhenti saat menabrak tubuh seseorang dengan keras. Aksa terkejut melihat siapa yang ia tabrak. Perlahan tangannya terulur untuk membantu gadis di depannya berdiri.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Aksa dengan dahi yang berkerut.
Era mendengkus dan mengusap pantatnya yang terasa sakit. Rasa linu yang ia dapat saat kecelakaan dulu masih terasa dan sekarang dia mendapatkan serangan lagi, dan itu dilakukan oleh orang yang sama.
"Pak Aksa bisa nggak sih munculnya pas lagi enak gitu?" tanya Era tanpa sadar.
"Apa kamu bilang?"
Era dengan cepat menggeleng. Perlahan senyum menghiasi bibirnya, "Siang, Pak Aksa."
"Kamu ngapain di sini?" tanya Aksa lagi.
Era kembali berdecak saat mengingat tujuannya datang ke pantai ini, "Saya baru selesai ambil data, Pak," ucap Era mengangkat buku catatan yang ia bawa.
"Data?" tanya Aksa bingung.
"Seinget saya ada yang majuin deadline hukuman karya tulis ilmiah, Pak. Makanya saya ke sini buru-buru."
Aksa tersenyum tipis mendengar sindiran Era. Gadis di depannya benar-benar luar biasa dengan sifat bebal dan beraninya.
"Kamu ambil topik pantai? Bukannya lebih enak kalau cari yang gampang mengingat deadline yang saya kasih udah besok?"
Era mengangkat bahunya tak acuh dan berbicara, "Saya suka pantai."
Aksa mengangguk mengerti. Dia tidak bisa melarang jika itu yang Era inginkan. Toh dia tidak ingin membatasi ide dan kreativitas anak didiknya.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Aksa melihat tubuh Era yang sudah terbebas dari perban.
"Udah mendingan kok, Pak. Tapi pantat saya linu lagi gara-gara tadi." Lagi-lagi ucapan frontal Era membuat Aksa terkejut.
"Maaf."
Era menggeleng dan tersenyum, "Nggak papa kok, Pak. Lagian saya yang harusnya minta maaf karena udah kurang ajar sama Pak Aksa."
Alis Aksa terangkat mendengar itu, "Kenapa kamu baru sadar sekarang?"
"Soalnya saya baru tau kalo Pak Aksa anaknya Pak Wijaya," jawab Era jujur.
"Kamu kenal Papa saya?"
"Kenal dong, Pak. Saya kan murid kesayangannya." Era menepuk dadanya bangga.
"Bisa-bisanya Papa saya suka sama murid nakal kayak kamu?" Aksa berucap sengit dan berlalu pergi dari hadapan Era.
"Bisa-bisanya Papa saya suka sana murid nakal kayak kamu." Era mencibir sambil meniru ucapan Aksa dengan bibir yang maju, "Nakal-nakal gini juga punya piala, Pak. Lagian situ juga, ganteng-ganteng kok suka bikin naik darah."
Pak Aksa beneran butuh di-rukyah.
***
Bel tanda istirahat berdering. Dengan cepat Era dan teman-temannya bergegas ke kantin untuk menyerbu makanan. Era tidak sempat sarapan tadi karena takut jika akan terlambat upacara. Dia masih trauma dengan hukuman yang diberikan Aksa sampai membuatnya tidak bisa tidur semalaman.Belum sempat memesan makanan, Lala datang dan menepuk bahunya pelan, "Jangan makan dulu. Lo dipanggil sama Pak Herman.""Pak Herman?" tanya Era bingung, "Ngapain? Kan gue nggak telat hari ini?""Nggak tau, cepet sana udah ditunggu."
Keadaan dapur panti saat ini terlihat seperti kapal pecah. Banyak bahan makanan yang akan diolah. Era dan Bu Asih tampak bekerja keras memasak untuk acara malam ini. Mereka harus selesai sebelum keluarga Kusuma datang."Aldi! Jangan main di deket kompor. Sana main di depan!" Era melotot dengan pisau di tangannya.Sepulang sekolah seharusnya Era bisa bersantai sambil menikmati air dingin yang mengguyur tubuhnya. Namun kali ini dia tidak bisa melakukannya karena mendadak Bu Ratna ingin acara makan malam bulanan dilakukan hari ini. Di sini lah Era sekarang, membantu Bu Asih untuk memasak di dapur."Buk, ini kurang gurih," ucap Era saat mencicipi kuah bakso."Kamu ambil bubuk kaldu, masukkan sedikit-sedikit sambil rasain." Era mengangguk dan melaksanakan perintah Bu Asih tanpa membantah.Memang hanya mereka berdua yang memasak di dapur ini. Setidaknya Era dan Bu Asih harus menyiapkan minimal lima jenis makanan yang akan dihidangkan. Bukan ingin mengham
Aksa menutup matanya sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Langit yang gelap seharusnya bisa membuat penglihatannya terbatas, tapi tidak untuk sekarang. Entah kenapa ombak laut terlihat begitu jelas di matanya. Aksa mengeratkan pelukannya pada wanita di hadapannya dan mulai tersadar. Dia tidak tahu siapa wanita yang ia peluk saat ini. Aksa ingin melepaskan diri, tapi tidak bisa. Tangannya seolah menempel erat pada pinggang wanita itu."Makasih ya, Kak. Ini indah banget." Aksa mendengar suara wanita itu menggema.Perlahan tubuh wanita itu berbalik dan membuat Aksa terkejut, "Era?" ucap Aksa tidak percaya.Era tampak anggun dengan gaun putih yang dipakainya. Rambut panjang yang terurai tampak beterbangan ditiup angin. Di bawah cahaya bulan, Era terlihat cantik dan berbeda dari pandangannya selama ini. Dia tidak melihat Era yang ceroboh dan minim akhlak seperti biasanya. Aksa masih terpaku sampai perlahan wajah Era mulai mendekat. Dia ingin menghinda
Aksa menghentikan kegiatannya dan melirik ponselnya yang kembali berdering. Lagi-lagi Renata menghubunginya. Bukannya tidak ingin menjawab, tapi Aksa terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan wanita itu sekarang. Ponsel kembali berdering membuat Aksa mendengkus. Dengan segera dia mengangkat panggilan dari Renata."Ada apa?" tanya Aksa."Kenapa lama angkatnya?"tanya Renata kesal."Aku sibuk," jawab Aksa jujur."Gimana keadaan Bian?"Aksa menghela napas lelah. Mereka memang masih berhubungan karena ada Bian. Biar bagaimanapun Bian masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan orang tuanya."Bian baik.""Aku kangen sama Bian,"ucap Renata."Aku nggak ngelarang kamu buat telepon Bian. Kamu bisa hubungi lewat Mama."Renata terkekeh,"Aku udah teleponTante Ratnatadi. Udah ngobrol juga sama Bian."Alis Aksa terangkat, "Terus kenapa kamu telepon aku?"
Di hari sabtu, Aksa memutuskan untuk bekerja di rumah. Biasanya dia bekerja di kantor setengah hari, tapi tidak untuk kali ini. Tidak ada yang menjaga Bian sekarang. Ibunya tengah pergi bersama teman-temannya untuk menjernihkan pikiran. Aksa membiarkannya, dia senang jika ibunya kembali beraktivitas seperti biasa.Sebuah tarikan pada celananya membuat Aksa menoleh. Dia terkejut melihat Bian yang duduk di lantai dengan bibir yang maju. Melihat itu, Aksa menggendong anaknya dan mendudukkannya di pangkuannya."Kenapa, hm?""Bian bosen, Pa. Mau main di luar," ucapnya kesal.Sejak pagi Bian memang sudah berada di ruang kerja Aksa. Dia sudah bosan dengan lego yang ia mainkan sendiri. Bian ingin keluar dan berlarian ke sana-ke mari."Bian main di sini dulu ya. Papa nggak bisa awasi kalau main di luar."Aksa sadar jika menjadi orang tua tunggal tidaklah mudah. Selama ini dia terbiasa hidup sendiri di luar kota dan orang tuanya yang menjaga Bian. Saa
Di ruang tengah, Era dan Bian tampak menghitung jumlah kapal yang mereka buat. Kapal yang beraneka warna itu membuat Bian tersenyum senang. Dia tidak sabar untuk segera bermain di kolam renang bersama kapal-kapalnya."Empat belas.. lima belas!Yes!" Bian langsung berdiri dan membawa keranjang kapalnya ke halaman belakang.Era yang melihat itu langsung bergegas mengikuti Bian. Dia tidak mau jika anak itu bermain di kolam renang tanpa pengawasan. Bisa-bisa Aksa membunuhnya jika terjadi apa-apa dengan Bian."Bian jangan lari!" Era tampak kesulitan berlari dengan rok seragamnya.
Era berdiri di depan sebuah foto dengan alis yang bertaut. Suara tawa Bian dan Aksa dari kamar mandi tidak mengganggu konsentrasinya sedikitpun. Matanya masih tertuju pada pigura berukuran besar yang terpajang di dinding kamar Aksa. Setelah menjadi korban kejahilan bapak dan anak, Era terpaksa harus mandi di rumah ini. Pria itu meminta Era mandi terlebih dahulu agar tidak kedinginan dan selanjutnya giliran Aksa dan Bian yang tampak bersenang-senang di kamar mandi.Tatapan Era beralih pada foto kecil di atas nakas. Kamar Aksa terlihat sepi dengan sedikit perabotan, tapi juga ada banyak foto sebagai kenangan. Mengabaikan rambut basahnya yang menetes, Era menghampiri sebuah foto yang menarik perhatiannya. Alisnya bertaut saat merasa tidak asing dengan potret pria muda di dalam foto itu.
Sentuhan lembut di dahinya membuat Aksa membuka matanya lebar. Hanya bermodalkan cahaya yang masuk dari jendela, Aksa bisa melihat siluet wanita yang duduk di ranjangnya. Dia terkejut dan ingin bangkit, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu."Bangun, Kak." Suara lembut itu membuat Aksa merinding. Dia ingin berbicara, tapi mulutnya seolah terkunci dengan rapat.Apa yang terjadi?Wanita yang mengelus dahi Aksa itu mulai berdiri dan membuka tirai jendela. Bayangan yang awalnya hanya siluet dari seorang wanita perlahan mulai terlihat dengan jelas. Wanita itu adalah Era. Dengan mengenakan piyama kimono berwarna putih, Era tidak terlihat seperti bocah. Gadis itu berubah menjadi wanita yang cantik dan anggun. Melihat itu, Aksa merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya. Dia merasa ada desiran aneh pada salah satu bagian tubuhnya."Era," gumam Aksa. Kali ini dia sudah bisa berbicara, tapi hanya nama itu yang bisa ia ucapkan."Selamat pagi," ucap Era sam