Bel tanda istirahat berdering. Dengan cepat Era dan teman-temannya bergegas ke kantin untuk menyerbu makanan. Era tidak sempat sarapan tadi karena takut jika akan terlambat upacara. Dia masih trauma dengan hukuman yang diberikan Aksa sampai membuatnya tidak bisa tidur semalaman.
Belum sempat memesan makanan, Lala datang dan menepuk bahunya pelan, "Jangan makan dulu. Lo dipanggil sama Pak Herman."
"Pak Herman?" tanya Era bingung, "Ngapain? Kan gue nggak telat hari ini?"
"Nggak tau, cepet sana udah ditunggu."
Dengan kesal, Era berbalik untuk menuju ruang konseling. Bibirnya menggerutu dengan kesal. Kenapa tidak saat pelajaran saja Pak Herman memanggilnya? Seharusnya di waktu istirahat ini Era bisa menikmati makanannya dengan nyaman.
"Siang, Pak." Era mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam ruangan. Saat sudah berada di dalam, Era paham kenapa Pak Herman memanggilnya.
"Siang," sapa Aksa tersenyum melihat kedatangan Era. Namun Era tahu jika senyum itu adalah senyum mengejek. Tidak ada Pak Herman di ruangan itu, hanya ada Aksa yang duduk santai dengan tangan yang terlipat di dada.
"Mana tugas kamu? Sudah selesai belum?"
Bener kan? Pasti tagih tugas, batin Era.
"Kok sekarang sih, Pak? Saya kan mau makan," ucap Era kesal.
Aksa melirik jam tangannya sebentar, "Saya cuma ada waktu sampai jam istirahat selesai."
"Tapi saya laper." Era masih berusaha untuk bernegosiasi demi kesejahteraan perutnya.
Senyum Aksa menghilang, "Makanya, bawa tugas kamu ke sini biar cepet selesai!"
Era mengerucutkan bibirnya dan berlalu untuk mengambil tugasnya. Lagi-lagi dia mengumpat karena tingkah Aksa yang menyebalkan. Kenapa pria itu selalu membuatnya naik darah? Sebenarnya apa salahnya? Tak ingin berlama-lama, Era segera kembali ke ruangan konseling. Di sana Aksa masih sendiri dan terlihat sibuk dengan ponselnya.
"Ini tugas saya, Pak." Era meletakkan tugasnya di atas meja.
Aksa mengambil tugas Era dan melihat judulnya sebentar. Setelah itu dia membacanya cepat. Hal itu membuat Era sedikit was-was, takut jika Aksa kembali mencari kesalahannya.
"Gimana?" tanya Aksa tanpa mengalihkan pandangannya dari tugas Era.
"Gimana apanya, Pak?"
"Udah kapok belum?" Aksa mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis.
"Kapok banget, Pak! Nggak lagi-lagi saya berurusan sama Pak Aksa." Era berucap jujur. Dia memang jera, tugas yang diberikan Aksa cukup menguras pikiran dan waktunya.
"Saya lakuin ini bukan karena iseng, tapi biar kamu disiplin sama peraturan yang ada."
"Saya paham kok, Pak. Tapi saya beneran nggak ada niatan buat telat atau melanggar aturan. Kalo ditanya, saya juga punya alasan kok, Pak. Buktinya Pak Wijaya paham sama kondisi saya."
"Buat saya paham kalau gitu.”
Era mengangkat kepalanya dan menatap Aksa terkejut. Dia hanya asal bicara tadi agar mendapat simpati Aksa, tapi ternyata pria itu berbeda dengan Pak Wijaya, "Saya harus jaga dan urus adik-adik saya, Pak. Kalo bisa, saya lebih duluin kepentingan mereka dari pada saya sendiri. Pak Wijaya juga minta saya buat jagain adik-adik, itu pesan terakhir beliau buat saya."
"Buat apa Papa saya kasih pesan itu ke kamu?" tanya Aksa bingung.
Era terkekeh pelan. Sepertinya Aksa belum tahu jika Era adalah salah satu anak penghuni panti. Gadis itu tidak berniat memberi tahu Aksa, toh tidak ada untungnya juga. Aksa bukan Pak Wijaya dan Era tidak memiliki kedudukan istimewa lagi.
"Kenapa, Ra?" tanya Aksa penasaran.
"Udah dibilang Pak Wijaya sayang sama saya, Pak."
Aksa berdecak, "Saya serius, Era. Atau jangan-jangan kamu ada apa-apa sama Papa saya?”
"Astagfirullah! Pak Aksa mulutnya asal banget. Gini-gini saya masih doyan yang krispi, Pak!"
Aksa menghela napas lelah dan kembali bersandar pada kursi. Percuma dia mengorek informasi dari Era. Gadis itu tidak akan mau berbicara dan menjelaskan semuanya. Aksa sudah paham dengan sifat aneh Era.
"Pak Aksa laper nggak?" tanya Era tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Aksa sedikit kesal.
"Makan yuk, Pak. Saya laper."
Alis Aksa terangkat mendengar itu. Lagi-lagi keberanian Era membuatnya tercengang. Bisa-bisanya ada gadis aneh seperti Era yang mengesampingkan tata krama dan kesopanan. Tidak, Aksa tidak gila hormat. Dia hanya merasa aneh dengan sikap Era yang tidak pernah merasa sungkan padanya.
"Kamu makan aja sendiri. Saya harus ke kantor."
"Jangan dulu. Saya mau traktir Pak Aksa nasi gorengnya Bu Rahmi. Itung-itung buat tanda minta maaf saya ke Pak Aksa. Enak tau, Pak. Sebentar ya, saya pesenin dulu di kantin. Pak Aksa jangan ke mana-mana."
Tanpa menunggu Aksa menjawab, Era dengan cepat keluar ruangan dan berlari menuju kantin. Sebenarnya Aksa juga lapar dan dia masih ada sedikit waktu sebelum kembali ke kantor. Namun dia terlalu malas berlama-lama dengan Era. Gadis itu selalu bertingkah sesuka hati. Aksa harus ekstra sabar menghadapi tingkah bar-bar Era.
Sepuluh menit menunggu, pintu ruangan terbuka dengan keras. Era masuk dan tampak kesulitan dengan dua piring dan dua air mineral di pelukannya. Melihat itu, Aksa berdiri dan membantu Era meletakkan makanan di atas meja.
"Cepet kan, Pak? Tadi saya minta diduluin, istimewa buat Pak Aksa." Era berucap sambil tertawa.
"Oh, jadi kamu sengaja pake nama saya biar nggak antri?"
Era terbatuk saat baru memakan satu sendok nasi gorengnya. Dia menatap Aksa dengan dahi yang berkerut, "Pak Aksa jahat banget sih. Kita memang sering ribut kalo ketemu, tapi bukan berarti saya nggak bisa baik. Anggap aja traktiran ini salam damai dari saya."
Aksa tidak akan tertipu dengan nada memelas yang Era gunakan, "Jadi kamu nggak manfaatin nama saya?" tanya Aksa sekali lagi sambil meraih piringnya.
"Dikit sih, Pak. Udah laper soalnya." Era tertawa dan mulai memakan makanannya.
Aksa hanya menggeleng pasrah. Terlalu sering berdebat dengan Era membuatnya kebal. Itu memang sudah karakter gadis itu, akan sulit mengubahnya. Setidaknya dengan hukuman yang ia berikan, Era mulai jera untuk tidak melanggar peraturan.
***
Kesibukan Aksa membuatnya lembur lagi hari ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam malam, dan dia masih berada di kantor dengan komputer yang menyala. Aksa menghentikan kegiatannya saat merasakan ponselnya bergetar. Saat melihat nama ibunya, dengan cepat Aksa mengangkat panggilan itu.
"Ya, Ma?"
"Kamu di mana, Sa? Kok belum pulang?"
"Masih di kantor, lembur kayanya. Kenapa, Ma?"
"Jangan lembur dulu malem ini. Ayo anter Mama ke panti."
Aksa mengusap wajahnya lelah, "Mau ngapain ke panti malem-malem, Ma?"
"Mau anter bahan makanan, Sa. Sekalian makan malem sama anak-anak. Kegiatan rutin tiap bulan."
"Nggak bisa Mama aja yang dateng?" tanya Aksa sambil memejamkan matanya. Dia terlalu lelah dan malas untuk beranjak dari kursi.
"Ayo, ikut. Bian juga mau ikut nih. Sekali-kali kamu harus liat anak-anak di sana."
Aksa kembali membuka matanya dan mengangguk, "Oke, aku pulang sekarang."
Begitu telepon terputus, Aksa berdiri dan merenggangkan punggungnya yang terasa kaku. Benar kata ibunya, sesekali dia harus melihat keadaan anak-anak. Panti adalah tempat kesukaan ayahnya selain sekolah, tentu Aksa harus mengurusnya dengan baik.
***
Keadaan dapur panti saat ini terlihat seperti kapal pecah. Banyak bahan makanan yang akan diolah. Era dan Bu Asih tampak bekerja keras memasak untuk acara malam ini. Mereka harus selesai sebelum keluarga Kusuma datang."Aldi! Jangan main di deket kompor. Sana main di depan!" Era melotot dengan pisau di tangannya.Sepulang sekolah seharusnya Era bisa bersantai sambil menikmati air dingin yang mengguyur tubuhnya. Namun kali ini dia tidak bisa melakukannya karena mendadak Bu Ratna ingin acara makan malam bulanan dilakukan hari ini. Di sini lah Era sekarang, membantu Bu Asih untuk memasak di dapur."Buk, ini kurang gurih," ucap Era saat mencicipi kuah bakso."Kamu ambil bubuk kaldu, masukkan sedikit-sedikit sambil rasain." Era mengangguk dan melaksanakan perintah Bu Asih tanpa membantah.Memang hanya mereka berdua yang memasak di dapur ini. Setidaknya Era dan Bu Asih harus menyiapkan minimal lima jenis makanan yang akan dihidangkan. Bukan ingin mengham
Aksa menutup matanya sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Langit yang gelap seharusnya bisa membuat penglihatannya terbatas, tapi tidak untuk sekarang. Entah kenapa ombak laut terlihat begitu jelas di matanya. Aksa mengeratkan pelukannya pada wanita di hadapannya dan mulai tersadar. Dia tidak tahu siapa wanita yang ia peluk saat ini. Aksa ingin melepaskan diri, tapi tidak bisa. Tangannya seolah menempel erat pada pinggang wanita itu."Makasih ya, Kak. Ini indah banget." Aksa mendengar suara wanita itu menggema.Perlahan tubuh wanita itu berbalik dan membuat Aksa terkejut, "Era?" ucap Aksa tidak percaya.Era tampak anggun dengan gaun putih yang dipakainya. Rambut panjang yang terurai tampak beterbangan ditiup angin. Di bawah cahaya bulan, Era terlihat cantik dan berbeda dari pandangannya selama ini. Dia tidak melihat Era yang ceroboh dan minim akhlak seperti biasanya. Aksa masih terpaku sampai perlahan wajah Era mulai mendekat. Dia ingin menghinda
Aksa menghentikan kegiatannya dan melirik ponselnya yang kembali berdering. Lagi-lagi Renata menghubunginya. Bukannya tidak ingin menjawab, tapi Aksa terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan wanita itu sekarang. Ponsel kembali berdering membuat Aksa mendengkus. Dengan segera dia mengangkat panggilan dari Renata."Ada apa?" tanya Aksa."Kenapa lama angkatnya?"tanya Renata kesal."Aku sibuk," jawab Aksa jujur."Gimana keadaan Bian?"Aksa menghela napas lelah. Mereka memang masih berhubungan karena ada Bian. Biar bagaimanapun Bian masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan orang tuanya."Bian baik.""Aku kangen sama Bian,"ucap Renata."Aku nggak ngelarang kamu buat telepon Bian. Kamu bisa hubungi lewat Mama."Renata terkekeh,"Aku udah teleponTante Ratnatadi. Udah ngobrol juga sama Bian."Alis Aksa terangkat, "Terus kenapa kamu telepon aku?"
Di hari sabtu, Aksa memutuskan untuk bekerja di rumah. Biasanya dia bekerja di kantor setengah hari, tapi tidak untuk kali ini. Tidak ada yang menjaga Bian sekarang. Ibunya tengah pergi bersama teman-temannya untuk menjernihkan pikiran. Aksa membiarkannya, dia senang jika ibunya kembali beraktivitas seperti biasa.Sebuah tarikan pada celananya membuat Aksa menoleh. Dia terkejut melihat Bian yang duduk di lantai dengan bibir yang maju. Melihat itu, Aksa menggendong anaknya dan mendudukkannya di pangkuannya."Kenapa, hm?""Bian bosen, Pa. Mau main di luar," ucapnya kesal.Sejak pagi Bian memang sudah berada di ruang kerja Aksa. Dia sudah bosan dengan lego yang ia mainkan sendiri. Bian ingin keluar dan berlarian ke sana-ke mari."Bian main di sini dulu ya. Papa nggak bisa awasi kalau main di luar."Aksa sadar jika menjadi orang tua tunggal tidaklah mudah. Selama ini dia terbiasa hidup sendiri di luar kota dan orang tuanya yang menjaga Bian. Saa
Di ruang tengah, Era dan Bian tampak menghitung jumlah kapal yang mereka buat. Kapal yang beraneka warna itu membuat Bian tersenyum senang. Dia tidak sabar untuk segera bermain di kolam renang bersama kapal-kapalnya."Empat belas.. lima belas!Yes!" Bian langsung berdiri dan membawa keranjang kapalnya ke halaman belakang.Era yang melihat itu langsung bergegas mengikuti Bian. Dia tidak mau jika anak itu bermain di kolam renang tanpa pengawasan. Bisa-bisa Aksa membunuhnya jika terjadi apa-apa dengan Bian."Bian jangan lari!" Era tampak kesulitan berlari dengan rok seragamnya.
Era berdiri di depan sebuah foto dengan alis yang bertaut. Suara tawa Bian dan Aksa dari kamar mandi tidak mengganggu konsentrasinya sedikitpun. Matanya masih tertuju pada pigura berukuran besar yang terpajang di dinding kamar Aksa. Setelah menjadi korban kejahilan bapak dan anak, Era terpaksa harus mandi di rumah ini. Pria itu meminta Era mandi terlebih dahulu agar tidak kedinginan dan selanjutnya giliran Aksa dan Bian yang tampak bersenang-senang di kamar mandi.Tatapan Era beralih pada foto kecil di atas nakas. Kamar Aksa terlihat sepi dengan sedikit perabotan, tapi juga ada banyak foto sebagai kenangan. Mengabaikan rambut basahnya yang menetes, Era menghampiri sebuah foto yang menarik perhatiannya. Alisnya bertaut saat merasa tidak asing dengan potret pria muda di dalam foto itu.
Sentuhan lembut di dahinya membuat Aksa membuka matanya lebar. Hanya bermodalkan cahaya yang masuk dari jendela, Aksa bisa melihat siluet wanita yang duduk di ranjangnya. Dia terkejut dan ingin bangkit, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu."Bangun, Kak." Suara lembut itu membuat Aksa merinding. Dia ingin berbicara, tapi mulutnya seolah terkunci dengan rapat.Apa yang terjadi?Wanita yang mengelus dahi Aksa itu mulai berdiri dan membuka tirai jendela. Bayangan yang awalnya hanya siluet dari seorang wanita perlahan mulai terlihat dengan jelas. Wanita itu adalah Era. Dengan mengenakan piyama kimono berwarna putih, Era tidak terlihat seperti bocah. Gadis itu berubah menjadi wanita yang cantik dan anggun. Melihat itu, Aksa merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya. Dia merasa ada desiran aneh pada salah satu bagian tubuhnya."Era," gumam Aksa. Kali ini dia sudah bisa berbicara, tapi hanya nama itu yang bisa ia ucapkan."Selamat pagi," ucap Era sam
Hari ini adalah jadwal Aksa untuk ke sekolah. Seperti biasa, dia akan mengikuti rapat mingguan. Namun ada yang berbeda hari ini, entah kenapa Aksa merasa semangat. Padahal hari sebelumnya dia selalu malas untuk ke sekolah. Jika tidak lupa akan kewajibannya, tentu ia akan minta diwakilkan.Sekolah masih sepi saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Tentu saja para murid sedang belajar di kelas masing-masing sekarang. Rapat akan dilaksanakan pukul 10 dan Aksa sengaja datang lebih awal untuk berbicara dengan kepala sekolah mengenai olimpiade yang akan diikuti para murid. Aksa masuk ke ruang kepala sekolah dan melihat Pak Roni sudah siap dengan laptop dan kertas-kertas di tangannya. Mereka memulai pembicaraan singkat dan ringan mengenai olimpiade. Sekolah tidak main-main untuk mengikuti ajang ini, ada sekitar 120 siswa yang akan diikutkan. Tidak hanya olimpiade tapi juga lomba lainnya, seperti basket, sepak bola, bulu tangkis, tari, fotografi, lukis, film pendek, dan masih banya
Aksa membuka matanya saat cahaya matahari mulai menyilaukan mata. Setelah berhasil membuka mata dengan sempurna, Aksa melihat siluet tubuh istrinya yang berdiri didepanjendela, tampak menikmati udara pagi Belanda yang sejuk."Jam berapa?" tanya Aksa dengan suara serak. Tangannya meraih selimut untuk menutupi tubuhtelanjangnya."Jam tujuh." Era berjalan mendekat dengan senyum manisnya. Era tampak cantik dengan baju tidur putihnya. Seketika Aksa mengalamiDejavu. Dia seperti pernah merasakan hal ini sebelumnya, tapi dia lupa kapan dan di mana. Kening Aksa berkerut mencoba untuk berpikir. Dia masih menatap Era yang berdiri di depannya denganpenasaran. Benar saja! Seketika Aksa teringat dengan mimpi-mimpinya dulu. Dia pernah bermimpi seperti ini sebelumnya. Persis dengan Era yang membangunkannya di pagi hari. Apa mimpi itu adalah gambaran tentang masa depannya? Jika iya, maka Aksa sangat takjub dengan takdir Tuhan."A
Seperti yang sudah Aksa dan era duga sebelumnya. Sepulang dari bulan madu, sudah banyak kegiatan yang menanti mereka. Liburan yang dijadwalkan hanya berlangsung selama dua minggu mundur menjadi tiga minggu. Terima kasih pada Aksa yang sudah mengabulkan permintaan Era untuk melihat Napoli. Bulan madu mereka meninggalkan kesan yang membahagiakan untuk Era.Untuk pertama kalinya dia dapat berlibur berdua dengan orang yang ia cintai. Sudah bertahun-tahun Era menunggu momen ini. Bukan hanya dirinya,tapijuga Aksa."UdahSiap?" tanya Aksa masuk ke dalam kamar. Pria itu terlihat tampan dengan jas abu-abu yang dipakainya.Era mengangguk dan mulai mengambil tasnya. Hari ini adalah hari yang penting untuknya. Untuk pertama kalinya Era akan membuka toko interior danfurnituremiliknyasendiri. Terima kasih pada ayahnya yang sangat bekerja keras untuk membantu mewujudkan mimpinya itu."Papa sama Mama udah ada di sana. Kita sedikit t
Denganmengenakankaca mata hitamnya, Era dan Aksa mulai keluar dari bandara. Di sana, sudah ada seseorang yang Aksapekerjakanuntuk menjadi supir mereka di Italia selama dua minggu. Ya, akhirnya Italia menjadi tujuan bulan madu mereka. Semua keputusan ada di tangan Aksa dan Era hanya menurut. Era memang tidak memiliki keinginan untuk mengunjungi suatu tempat. Baginya, selama ada Aksa, dia tidak masalah."Kalau Kak Aksa capek bisa tidur dulu." Era memberikan bahunya.Aksa terkekeh mendengar itu. Lihat, Era sangat berbeda. Biasanya pria yang akan mengatakannya tapi itu tidak berlaku untuk Era. Wanita itu jauh lebih dewasa sekarang, meski sifatkekanakannyamasih ada."Kamu aja yang tidur." Aksa menarikkepalaEra untuk bersandar di bahunya."Sebentar," ucap Era. Meskipun menolak tapi dia tetap bersandar di bahu Aksa dengan nyaman. Tidak tidur, mata Era malah masih tertuju padaponselnya."Kamu cari
Era keluar dari mobil bersamaBian. Matanya menatap halaman rumah Aksa dengan tatapan tenang. Mulai hari ini, Era akan tinggal di rumah ini, rumah yang dia pikir hanya akan menjadi markas sementara saja. Namun siapa sangka jika dia akan tinggal di rumah ini selamanya?Aksa membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper Era. Melihat itu,Era membantu denganmembawatas-tas kecil yang berisi beberapa kebutuhannya."Ayo, masuk," ajak Aksa.Era masuk dengan menggandeng tanganBian. Saat akan membuka pintu utama, Aksa dikejutkan dengan ibunya yang lebih dulu membuka pintu dari dalam. Wanita paruh baya itu tersenyum senang danmerentangkankedua tangannya,"Selamat datang!" teriaknya.Era terkekeh melihat tingkah ibu mertuanya. Sampai saat ini Era masih belum percaya jika Bu Ratna akan menjadi ibu mertuanya. Tidak ada yang berbeda, karena selama ini Bu Ratna sudah menganggap Era sebagai anaknya."Ayo, masuk." Bu Ratna m
Tepat pukul delapan pagi, di sebuah masjid yang cukup ternama, rombongan dari dua keluarga sudah memenuhi ruangan yang telah disediakan. Hanya ada keluarga dan saudara yang datang di acara akad nikah ini. Semua mata tertuju pada Aksa sekarang. Pria itu terlihat tampan dengan pakaian putihnya, senada dengan pakaian Era. Namun bukan pakaian yang menjadi fokus utama, melainkan tangan Aksa yang mulai menjabat tangan ayah Era.Dengan penuh keyakinan, Aksa mulai mengucapkan kalimat sakral yang akan menjadi gerbang menuju hubungan yang lebih resmi. Semua orang tampak menahan napas saat Aksa melakukannya. takut jika pria itu akan melakukan kesalahan. Meskipun bukan kali pertama, bukan berarti Aksa mahir dalam hal ini bukan?"Sah!" ucap para saksi yang membuat semua orang mulai bernapas lega, termasuk Era.Mata Era yang sedari tadi terpejam mulai terbuka. Perlahan matanya memanas, dia tersenyum saat Aksa melakukannya dengan sangat lancar. Sedari tadi jantung Era ti
Di sore yang cerah, Era memutuskan untuk berkunjung ke rumah Aksa. Bersyukur hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak disibukkan dengan pekerjaannya. Era memang sengaja tidak mengabari Aksa, lagi pula dia memang ingin bertemu dengan Bian. Motor Era berhenti di garasi rumah Aksa. Meskipun sudah memiliki banyak uang, tapi Era masih tetap menggunakan motor lamanya. Bukannya apa, tapi motor itu adalah saksi mata atas perjalanan hidupnya yang menakjubkan.Dengan membawa beberapa kotak donat dan es krim, Era mulai mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Bibi yang tersenyum melihatnya."Mbak Era, ayo masuk, Mbak. Kebetulan Dek Bian lagi main di belakang.""Makasih, Bi. Ini tolong es krim-nya dimasukin kulkas ya.""Iya, Mbak."Era mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Saat di ruang tengah, dia meletakkan donat yang dia bawa di atas meja. Pandangannya mengedar ke segala arah. Perlahan senyum bahagia menghiasi wajahnya. Era masih ingat s
Di sebuah kafe, terlihat seorang pria tengah kebingungan melihat pasangan di depannya yang tengah berdebat. Dia hanya bisa diam dan menunggu keputusan final yang akan disampaikan. "Lebih bagusoutdoor, Kak." Era masih berusaha untuk membujuk Aksa. "Indoorlebih enak, Ra. Kamu nggak takut hujan apa?" Era mendengkus, "Panggil pawang hujan." "Pawang hujan bisa kalah sama takdir Tuhan." Ucapan Aksa membuat Era menutup mulutnya rapat. Dia kesal dengan Aksa yang meminta pernikahan mereka dilaksanakan di dalam ruangan. Sejak kecil, Era memiliki impian untuk menikah di taman bunga. Apa salahnya jika dia menginginkan itu sekarang? Pernikahan hanya akan terjadi satu kalibukan? "Jadi gimanaPak..Bu?" tanya Ardi, pria muda yang sedari tadi duduk di depan mereka, menunggu Aksa dan Era selesai berdebat. "Indoor." "Outdoor." Mereka menjawab secara bersamaan. Era berdecak dan menatap pria di sampingny
Langit yang cerah seolah mendukung suasana yang ada. Taman belakang rumah Era telah disulap sedemikian rupa menjadi tempat acara yang luar biasa. Sama seperti langit, wajah semua tamu juga samacerahnya. Terutama dua bintang utama hari ini, Era dan Aksa.Dengan mengenakan batik, Aksa terlihat tampan hari ini. Dia tidak ragu untuk menunjukkan senyumnya. Senyuman yang mampu membuat semua orang terpesona. Begitu juga Era, dia tampak cantik dengan kebaya modern yang senada. Sama seperti Aksa, Era tidak bisa menyembunyikankabahagiaannya.Acara pertunangan dibuat privat dengan mengundang keluarga, orang-orang terdekat,danawak media yang terpilih. Tentu saja wartawan ikut hadirkarenaAksa adalah salah satu pengusaha yang cukup berpengaruh. Mereka yakin jika berita inimuncul di pemberitaannanti,akanbanyak wanita yang patah hati karena Aksa Kusumaakan segera menikah."Sini,Bian!" panggil Era pada&n
Di pagi hari, Era sudah duduk di meja kerjanya sambil berkutat dengan komputernya. Meskipun dia bekerja untuk kekasihnya tapi bukan berarti dia bisa bermalas-malasan. Niat Era bekerja di sini tak hanya ingin dekat dengan Aksa, tapi dia juga ingin belajar. Meskipun Aksa dan Era adalah sepasang kekasih, tapisaatjam sudah menunjukkan waktu bekerja maka mereka akan berubah profesional. Bahkan Era menggunakan bahasa baku jika berbicara dengan Aksa. Bukannya apa, tapi memang harus seperti itu bukan?Telepon di meja Era berdering. Dengan segera dia mengangkatnya, "Ya, Pak?" sapa Era."Saya minta data pengeluaran bulan lalu, Ra.""Baik, Pak."Seperti itulah interaksi Era dan Aksa saat bekerja. Apa ini kemauan Aksa? Tentu saja tidak. Era yang memberikan ide ini. Setidaknya sebelum mereka sah, Era tidak ingin ada pemberitaan negatif tentang dirinya. Dia tidak mau para karyawan beranggapan jika dia adalah anak emas Aksa. Meskipun itu benar, tapi Era tida