Bel tanda istirahat berdering. Dengan cepat Era dan teman-temannya bergegas ke kantin untuk menyerbu makanan. Era tidak sempat sarapan tadi karena takut jika akan terlambat upacara. Dia masih trauma dengan hukuman yang diberikan Aksa sampai membuatnya tidak bisa tidur semalaman.
Belum sempat memesan makanan, Lala datang dan menepuk bahunya pelan, "Jangan makan dulu. Lo dipanggil sama Pak Herman."
"Pak Herman?" tanya Era bingung, "Ngapain? Kan gue nggak telat hari ini?"
"Nggak tau, cepet sana udah ditunggu."
Dengan kesal, Era berbalik untuk menuju ruang konseling. Bibirnya menggerutu dengan kesal. Kenapa tidak saat pelajaran saja Pak Herman memanggilnya? Seharusnya di waktu istirahat ini Era bisa menikmati makanannya dengan nyaman.
"Siang, Pak." Era mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam ruangan. Saat sudah berada di dalam, Era paham kenapa Pak Herman memanggilnya.
"Siang," sapa Aksa tersenyum melihat kedatangan Era. Namun Era tahu jika senyum itu adalah senyum mengejek. Tidak ada Pak Herman di ruangan itu, hanya ada Aksa yang duduk santai dengan tangan yang terlipat di dada.
"Mana tugas kamu? Sudah selesai belum?"
Bener kan? Pasti tagih tugas, batin Era.
"Kok sekarang sih, Pak? Saya kan mau makan," ucap Era kesal.
Aksa melirik jam tangannya sebentar, "Saya cuma ada waktu sampai jam istirahat selesai."
"Tapi saya laper." Era masih berusaha untuk bernegosiasi demi kesejahteraan perutnya.
Senyum Aksa menghilang, "Makanya, bawa tugas kamu ke sini biar cepet selesai!"
Era mengerucutkan bibirnya dan berlalu untuk mengambil tugasnya. Lagi-lagi dia mengumpat karena tingkah Aksa yang menyebalkan. Kenapa pria itu selalu membuatnya naik darah? Sebenarnya apa salahnya? Tak ingin berlama-lama, Era segera kembali ke ruangan konseling. Di sana Aksa masih sendiri dan terlihat sibuk dengan ponselnya.
"Ini tugas saya, Pak." Era meletakkan tugasnya di atas meja.
Aksa mengambil tugas Era dan melihat judulnya sebentar. Setelah itu dia membacanya cepat. Hal itu membuat Era sedikit was-was, takut jika Aksa kembali mencari kesalahannya.
"Gimana?" tanya Aksa tanpa mengalihkan pandangannya dari tugas Era.
"Gimana apanya, Pak?"
"Udah kapok belum?" Aksa mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis.
"Kapok banget, Pak! Nggak lagi-lagi saya berurusan sama Pak Aksa." Era berucap jujur. Dia memang jera, tugas yang diberikan Aksa cukup menguras pikiran dan waktunya.
"Saya lakuin ini bukan karena iseng, tapi biar kamu disiplin sama peraturan yang ada."
"Saya paham kok, Pak. Tapi saya beneran nggak ada niatan buat telat atau melanggar aturan. Kalo ditanya, saya juga punya alasan kok, Pak. Buktinya Pak Wijaya paham sama kondisi saya."
"Buat saya paham kalau gitu.”
Era mengangkat kepalanya dan menatap Aksa terkejut. Dia hanya asal bicara tadi agar mendapat simpati Aksa, tapi ternyata pria itu berbeda dengan Pak Wijaya, "Saya harus jaga dan urus adik-adik saya, Pak. Kalo bisa, saya lebih duluin kepentingan mereka dari pada saya sendiri. Pak Wijaya juga minta saya buat jagain adik-adik, itu pesan terakhir beliau buat saya."
"Buat apa Papa saya kasih pesan itu ke kamu?" tanya Aksa bingung.
Era terkekeh pelan. Sepertinya Aksa belum tahu jika Era adalah salah satu anak penghuni panti. Gadis itu tidak berniat memberi tahu Aksa, toh tidak ada untungnya juga. Aksa bukan Pak Wijaya dan Era tidak memiliki kedudukan istimewa lagi.
"Kenapa, Ra?" tanya Aksa penasaran.
"Udah dibilang Pak Wijaya sayang sama saya, Pak."
Aksa berdecak, "Saya serius, Era. Atau jangan-jangan kamu ada apa-apa sama Papa saya?”
"Astagfirullah! Pak Aksa mulutnya asal banget. Gini-gini saya masih doyan yang krispi, Pak!"
Aksa menghela napas lelah dan kembali bersandar pada kursi. Percuma dia mengorek informasi dari Era. Gadis itu tidak akan mau berbicara dan menjelaskan semuanya. Aksa sudah paham dengan sifat aneh Era.
"Pak Aksa laper nggak?" tanya Era tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Aksa sedikit kesal.
"Makan yuk, Pak. Saya laper."
Alis Aksa terangkat mendengar itu. Lagi-lagi keberanian Era membuatnya tercengang. Bisa-bisanya ada gadis aneh seperti Era yang mengesampingkan tata krama dan kesopanan. Tidak, Aksa tidak gila hormat. Dia hanya merasa aneh dengan sikap Era yang tidak pernah merasa sungkan padanya.
"Kamu makan aja sendiri. Saya harus ke kantor."
"Jangan dulu. Saya mau traktir Pak Aksa nasi gorengnya Bu Rahmi. Itung-itung buat tanda minta maaf saya ke Pak Aksa. Enak tau, Pak. Sebentar ya, saya pesenin dulu di kantin. Pak Aksa jangan ke mana-mana."
Tanpa menunggu Aksa menjawab, Era dengan cepat keluar ruangan dan berlari menuju kantin. Sebenarnya Aksa juga lapar dan dia masih ada sedikit waktu sebelum kembali ke kantor. Namun dia terlalu malas berlama-lama dengan Era. Gadis itu selalu bertingkah sesuka hati. Aksa harus ekstra sabar menghadapi tingkah bar-bar Era.
Sepuluh menit menunggu, pintu ruangan terbuka dengan keras. Era masuk dan tampak kesulitan dengan dua piring dan dua air mineral di pelukannya. Melihat itu, Aksa berdiri dan membantu Era meletakkan makanan di atas meja.
"Cepet kan, Pak? Tadi saya minta diduluin, istimewa buat Pak Aksa." Era berucap sambil tertawa.
"Oh, jadi kamu sengaja pake nama saya biar nggak antri?"
Era terbatuk saat baru memakan satu sendok nasi gorengnya. Dia menatap Aksa dengan dahi yang berkerut, "Pak Aksa jahat banget sih. Kita memang sering ribut kalo ketemu, tapi bukan berarti saya nggak bisa baik. Anggap aja traktiran ini salam damai dari saya."
Aksa tidak akan tertipu dengan nada memelas yang Era gunakan, "Jadi kamu nggak manfaatin nama saya?" tanya Aksa sekali lagi sambil meraih piringnya.
"Dikit sih, Pak. Udah laper soalnya." Era tertawa dan mulai memakan makanannya.
Aksa hanya menggeleng pasrah. Terlalu sering berdebat dengan Era membuatnya kebal. Itu memang sudah karakter gadis itu, akan sulit mengubahnya. Setidaknya dengan hukuman yang ia berikan, Era mulai jera untuk tidak melanggar peraturan.
***
Kesibukan Aksa membuatnya lembur lagi hari ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam malam, dan dia masih berada di kantor dengan komputer yang menyala. Aksa menghentikan kegiatannya saat merasakan ponselnya bergetar. Saat melihat nama ibunya, dengan cepat Aksa mengangkat panggilan itu.
"Ya, Ma?"
"Kamu di mana, Sa? Kok belum pulang?"
"Masih di kantor, lembur kayanya. Kenapa, Ma?"
"Jangan lembur dulu malem ini. Ayo anter Mama ke panti."
Aksa mengusap wajahnya lelah, "Mau ngapain ke panti malem-malem, Ma?"
"Mau anter bahan makanan, Sa. Sekalian makan malem sama anak-anak. Kegiatan rutin tiap bulan."
"Nggak bisa Mama aja yang dateng?" tanya Aksa sambil memejamkan matanya. Dia terlalu lelah dan malas untuk beranjak dari kursi.
"Ayo, ikut. Bian juga mau ikut nih. Sekali-kali kamu harus liat anak-anak di sana."
Aksa kembali membuka matanya dan mengangguk, "Oke, aku pulang sekarang."
Begitu telepon terputus, Aksa berdiri dan merenggangkan punggungnya yang terasa kaku. Benar kata ibunya, sesekali dia harus melihat keadaan anak-anak. Panti adalah tempat kesukaan ayahnya selain sekolah, tentu Aksa harus mengurusnya dengan baik.
***
Keadaan dapur panti saat ini terlihat seperti kapal pecah. Banyak bahan makanan yang akan diolah. Era dan Bu Asih tampak bekerja keras memasak untuk acara malam ini. Mereka harus selesai sebelum keluarga Kusuma datang."Aldi! Jangan main di deket kompor. Sana main di depan!" Era melotot dengan pisau di tangannya.Sepulang sekolah seharusnya Era bisa bersantai sambil menikmati air dingin yang mengguyur tubuhnya. Namun kali ini dia tidak bisa melakukannya karena mendadak Bu Ratna ingin acara makan malam bulanan dilakukan hari ini. Di sini lah Era sekarang, membantu Bu Asih untuk memasak di dapur."Buk, ini kurang gurih," ucap Era saat mencicipi kuah bakso."Kamu ambil bubuk kaldu, masukkan sedikit-sedikit sambil rasain." Era mengangguk dan melaksanakan perintah Bu Asih tanpa membantah.Memang hanya mereka berdua yang memasak di dapur ini. Setidaknya Era dan Bu Asih harus menyiapkan minimal lima jenis makanan yang akan dihidangkan. Bukan ingin mengham
Aksa menutup matanya sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Langit yang gelap seharusnya bisa membuat penglihatannya terbatas, tapi tidak untuk sekarang. Entah kenapa ombak laut terlihat begitu jelas di matanya. Aksa mengeratkan pelukannya pada wanita di hadapannya dan mulai tersadar. Dia tidak tahu siapa wanita yang ia peluk saat ini. Aksa ingin melepaskan diri, tapi tidak bisa. Tangannya seolah menempel erat pada pinggang wanita itu."Makasih ya, Kak. Ini indah banget." Aksa mendengar suara wanita itu menggema.Perlahan tubuh wanita itu berbalik dan membuat Aksa terkejut, "Era?" ucap Aksa tidak percaya.Era tampak anggun dengan gaun putih yang dipakainya. Rambut panjang yang terurai tampak beterbangan ditiup angin. Di bawah cahaya bulan, Era terlihat cantik dan berbeda dari pandangannya selama ini. Dia tidak melihat Era yang ceroboh dan minim akhlak seperti biasanya. Aksa masih terpaku sampai perlahan wajah Era mulai mendekat. Dia ingin menghinda
Aksa menghentikan kegiatannya dan melirik ponselnya yang kembali berdering. Lagi-lagi Renata menghubunginya. Bukannya tidak ingin menjawab, tapi Aksa terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan wanita itu sekarang. Ponsel kembali berdering membuat Aksa mendengkus. Dengan segera dia mengangkat panggilan dari Renata."Ada apa?" tanya Aksa."Kenapa lama angkatnya?"tanya Renata kesal."Aku sibuk," jawab Aksa jujur."Gimana keadaan Bian?"Aksa menghela napas lelah. Mereka memang masih berhubungan karena ada Bian. Biar bagaimanapun Bian masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan orang tuanya."Bian baik.""Aku kangen sama Bian,"ucap Renata."Aku nggak ngelarang kamu buat telepon Bian. Kamu bisa hubungi lewat Mama."Renata terkekeh,"Aku udah teleponTante Ratnatadi. Udah ngobrol juga sama Bian."Alis Aksa terangkat, "Terus kenapa kamu telepon aku?"
Di hari sabtu, Aksa memutuskan untuk bekerja di rumah. Biasanya dia bekerja di kantor setengah hari, tapi tidak untuk kali ini. Tidak ada yang menjaga Bian sekarang. Ibunya tengah pergi bersama teman-temannya untuk menjernihkan pikiran. Aksa membiarkannya, dia senang jika ibunya kembali beraktivitas seperti biasa.Sebuah tarikan pada celananya membuat Aksa menoleh. Dia terkejut melihat Bian yang duduk di lantai dengan bibir yang maju. Melihat itu, Aksa menggendong anaknya dan mendudukkannya di pangkuannya."Kenapa, hm?""Bian bosen, Pa. Mau main di luar," ucapnya kesal.Sejak pagi Bian memang sudah berada di ruang kerja Aksa. Dia sudah bosan dengan lego yang ia mainkan sendiri. Bian ingin keluar dan berlarian ke sana-ke mari."Bian main di sini dulu ya. Papa nggak bisa awasi kalau main di luar."Aksa sadar jika menjadi orang tua tunggal tidaklah mudah. Selama ini dia terbiasa hidup sendiri di luar kota dan orang tuanya yang menjaga Bian. Saa
Di ruang tengah, Era dan Bian tampak menghitung jumlah kapal yang mereka buat. Kapal yang beraneka warna itu membuat Bian tersenyum senang. Dia tidak sabar untuk segera bermain di kolam renang bersama kapal-kapalnya."Empat belas.. lima belas!Yes!" Bian langsung berdiri dan membawa keranjang kapalnya ke halaman belakang.Era yang melihat itu langsung bergegas mengikuti Bian. Dia tidak mau jika anak itu bermain di kolam renang tanpa pengawasan. Bisa-bisa Aksa membunuhnya jika terjadi apa-apa dengan Bian."Bian jangan lari!" Era tampak kesulitan berlari dengan rok seragamnya.
Era berdiri di depan sebuah foto dengan alis yang bertaut. Suara tawa Bian dan Aksa dari kamar mandi tidak mengganggu konsentrasinya sedikitpun. Matanya masih tertuju pada pigura berukuran besar yang terpajang di dinding kamar Aksa. Setelah menjadi korban kejahilan bapak dan anak, Era terpaksa harus mandi di rumah ini. Pria itu meminta Era mandi terlebih dahulu agar tidak kedinginan dan selanjutnya giliran Aksa dan Bian yang tampak bersenang-senang di kamar mandi.Tatapan Era beralih pada foto kecil di atas nakas. Kamar Aksa terlihat sepi dengan sedikit perabotan, tapi juga ada banyak foto sebagai kenangan. Mengabaikan rambut basahnya yang menetes, Era menghampiri sebuah foto yang menarik perhatiannya. Alisnya bertaut saat merasa tidak asing dengan potret pria muda di dalam foto itu.
Sentuhan lembut di dahinya membuat Aksa membuka matanya lebar. Hanya bermodalkan cahaya yang masuk dari jendela, Aksa bisa melihat siluet wanita yang duduk di ranjangnya. Dia terkejut dan ingin bangkit, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu."Bangun, Kak." Suara lembut itu membuat Aksa merinding. Dia ingin berbicara, tapi mulutnya seolah terkunci dengan rapat.Apa yang terjadi?Wanita yang mengelus dahi Aksa itu mulai berdiri dan membuka tirai jendela. Bayangan yang awalnya hanya siluet dari seorang wanita perlahan mulai terlihat dengan jelas. Wanita itu adalah Era. Dengan mengenakan piyama kimono berwarna putih, Era tidak terlihat seperti bocah. Gadis itu berubah menjadi wanita yang cantik dan anggun. Melihat itu, Aksa merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya. Dia merasa ada desiran aneh pada salah satu bagian tubuhnya."Era," gumam Aksa. Kali ini dia sudah bisa berbicara, tapi hanya nama itu yang bisa ia ucapkan."Selamat pagi," ucap Era sam
Hari ini adalah jadwal Aksa untuk ke sekolah. Seperti biasa, dia akan mengikuti rapat mingguan. Namun ada yang berbeda hari ini, entah kenapa Aksa merasa semangat. Padahal hari sebelumnya dia selalu malas untuk ke sekolah. Jika tidak lupa akan kewajibannya, tentu ia akan minta diwakilkan.Sekolah masih sepi saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Tentu saja para murid sedang belajar di kelas masing-masing sekarang. Rapat akan dilaksanakan pukul 10 dan Aksa sengaja datang lebih awal untuk berbicara dengan kepala sekolah mengenai olimpiade yang akan diikuti para murid. Aksa masuk ke ruang kepala sekolah dan melihat Pak Roni sudah siap dengan laptop dan kertas-kertas di tangannya. Mereka memulai pembicaraan singkat dan ringan mengenai olimpiade. Sekolah tidak main-main untuk mengikuti ajang ini, ada sekitar 120 siswa yang akan diikutkan. Tidak hanya olimpiade tapi juga lomba lainnya, seperti basket, sepak bola, bulu tangkis, tari, fotografi, lukis, film pendek, dan masih banya