Keadaan dapur panti saat ini terlihat seperti kapal pecah. Banyak bahan makanan yang akan diolah. Era dan Bu Asih tampak bekerja keras memasak untuk acara malam ini. Mereka harus selesai sebelum keluarga Kusuma datang.
"Aldi! Jangan main di deket kompor. Sana main di depan!" Era melotot dengan pisau di tangannya.
Sepulang sekolah seharusnya Era bisa bersantai sambil menikmati air dingin yang mengguyur tubuhnya. Namun kali ini dia tidak bisa melakukannya karena mendadak Bu Ratna ingin acara makan malam bulanan dilakukan hari ini. Di sini lah Era sekarang, membantu Bu Asih untuk memasak di dapur.
"Buk, ini kurang gurih," ucap Era saat mencicipi kuah bakso.
"Kamu ambil bubuk kaldu, masukkan sedikit-sedikit sambil rasain." Era mengangguk dan melaksanakan perintah Bu Asih tanpa membantah.
Memang hanya mereka berdua yang memasak di dapur ini. Setidaknya Era dan Bu Asih harus menyiapkan minimal lima jenis makanan yang akan dihidangkan. Bukan ingin menghambur-hamburkan makanan, toh mereka yakin semua makanan akan habis, karena bukan hanya mereka sendiri yang menikmati, tapi juga orang-orang yang kurang beruntung di jalan.
"Udah jam lima, masakan udah beres semua. Kamu langsung mandi, Ra. Biar Ibu yang potong bolu sama puding-nya."
Era mengangguk dan bergegas masuk ke dalam kamar. Dia harus membersihkan diri karena bau asap yang menempel di tubuhnya. Akhir-akhir ini Era melakukan banyak kegiatan yang menguras tenaga. Ditambah dengan tugas dari Aksa yang membuatnya harus terjaga semalaman. Tubuhnya benar-benar lelah. Seharusnya Era bisa menikmati waktu sorenya dengan tidur tapi dia tidak ingin mengecewakan Bu Ratna.
***
Semua anak-anak, termasuk Era dan Bu Asih sudah berdiri di depan panti untuk menyambut Bu Ratna yang baru saja datang. Mendadak Era merasakan sesak di dada. Biasanya ada Pak Wijaya yang menemani Bu Ratna, tapi sekarang wanita itu hanya datang sendiri bersama Bian.
"Bu Ratna kuat banget ya, Buk?" Era berbisik di telinga Bu Asih.
"Bu Ratna itu wanita hebat."
Era mengangguk membenarkan. Ajaran Bu Ratna juga yang membuatnya menjadi seperti ini. Meskipun tubuhnya tidak mendukung, tapi Era tetap berusaha sebisa mungkin untuk berdiri tegak. Dia tidak bisa menunjukkan rasa lelahnya di depan adik-adiknya.
"Anak-anakku." Bu Ratna tampak bahagia melihat anak-anak panti yang terlihat rapi dengan baju yang sama. Mereka tampak senang dengan kedatangan Bu Ratna dan Bian. Anak kecil itu juga tampak lucu dengan baju kodok yang dipakainya.
"Kak Era!" Seperti biasa, jika Bian datang yang pertama kali ia hampiri adalah Era.
"Bian lucu banget sih. Gemes, pingin gigit!" Era serius dengan ucapannya. Dia tidak lagi ingin, melainkan sudah menggigit pipi Bian.
"Sakit, Kak!" Era tertawa melihat wajah cemberut Bian.
"Maaf, saya terlambat." Semua kompak melihat siapa yang baru saja datang.
Mata Era membulat saat melihat Aksa sudah berdiri di depan mereka dengan senyum manisnya. Iya manis, Era mengakuinya. Namun itu tidak berlaku saat Aksa sudah berbicara, yang ada hanya hujatan yang keluar dari bibirnya.
"Papa!" Bian menghampiri Aksa dan memeluknya erat.
Era menunduk dan memejamkan matanya erat, berharap jika Aksa tidak melihatnya tapi tidak mungkin jika pria itu tidak melihatnya karena mereka berdiri berhadapan.
"Era," sapa Aksa yang membuat semua orang menatapnya bingung.
Era hanya bisa tersenyum dan menunduk. Takut jika Aksa menceritakan segala tingkah bodohnya pada Bu Ratna.
"Dia murid kesayangan papa, Ma," ucap Aksa menjelaskan.
Era menatap Aksa kesal. Terlihat sekali jika pria itu mengejeknya. Lihat senyuman itu, ingin rasanya Era memukul wajah Aksa detik ini juga.
"Iya, bener. Era ini anak kesayangan Papa kamu." Bu Ratna tertawa, tidak menyadari suasana mencengkam yang ada di diri Era dan Aksa.
"Kak Era kenal Papa?" tanya Bian bingung.
"Kenal dong, Bian. Papa kamu kan sering kasih Kak Era pelajaran."
Iya, pelajaran hidup alias hukuman.
"Ya udah, ngobrolnya lanjut di dalem. Era, kamu bantu Aksa turunin bahan makanan di mobil ya," ucap Bu Asih.
Dengan malas Era mengangguk, "Iya, Buk."
Saat semua orang sudah masuk ke dalam panti, tinggal lah Era dan Aksa. Mereka bertatapan dengan pandangan yang berbeda. Aksa tampak tersenyum puas dan Era yang terlihat memelas.
"Pak Aksa," panggil Era pelan. Wajahnya sudah pias takut jika Aksa akan melaporkan semua kelakuannya pada Bu Ratna.
"Pak Aksa!" ucap Era lebih keras saat pria itu meninggalkannya menuju mobil untuk mengambil bahan makanan yang dibeli ibunya tadi.
Era menyusul Aksa dan berdiri di sampingnya. Dia mulai was-was saat Aksa tidak menjawab panggilannya, "Pak," bisik Era meraih lengan Aksa, mencoba menarik perhatian pria itu.
"Apa, Era?" Nada mengejek yang Aksa gunakan membuat Era kesal.
"Pak Aksa, ih! Saya serius, Pak."
"Ada apa, hm?" Kali ini Aksa sepenuhnya menatap Era.
"Kan kemarin kita udah damai, Pak. Jadi saya mohon jangan kasih tau Bu Ratna tentang masalah kita ya?"
Alis Aksa terangkat mendengar itu, "Kenapa?"
"Ya pokoknya jangan aja. Image saya selama ini anak baik, Pak."
Aksa melipat kedua tangannya di dada dan menatap Era dalam, "Sebelum bahas itu, saya mau tanya sesuatu. Jadi kamu tinggal di sini?"
Era terkekeh, "Iya, Pak. Makanya saya bilang kalo saya ini murid kesayangannya Pak Wijaya."
"Kenapa kamu nggak bilang?"
"Kenapa saya harus bilang?"
"Biar saya paham kalau alasan kamu suka telat dan bolos itu karena jagain adik-adik kamu."
Era tersenyum malu mendengar itu, "Saya nggak sebaik itu kok, Pak."
"Saya nggak lagi muji kamu." Ucapan Aksa membuat senyum Era luntur.
"Udah lah, Pak. Pokoknya jangan kasih tau Bu Ratna tentang masalah kita ya?"
"Nggak janji." Aksa menahan senyumnya dan berlalu masuk dengan banyak kantung di tangannya.
"Pak Aksa!" Era berdecak dan menghentakkan kakinya kesal. Dia berlari menyusul Aksa dan berjalan di sampingnya, "Saya cuma nggak mau Bu Ratna kecewa, Pak."
Aksa berhenti melangkah saat sudah berada di dapur, "Udah berapa lama kamu tinggal di sini?"
Era tampak berpikir, "Nggak tau, lupa. Dari kecil saya udah di sini."
Aksa terdiam mendengar itu. Dia menatap Era lekat, seperti ada sesuatu yang ia pikirkan, "Kamu yang paling besar di sini?"
Era mengangguk membenarkan. Seketika Aksa teringat dengan masa lalu yang menghantui mimpinya selama seminggu ini. Dia ingin menanyakan isi pikirannya pada Era agar semuanya terjawab, tapi dia memilih untuk menahannya.
"Kamu mau saya nggak kasih tau Mama saya?" tanya Aksa pada akhirnya.
Era mengangguk sebagai jawaban. Dia menatap Aksa penuh harap, berharap jika pria itu mau bekerja sama kali ini.
"Kalau gitu kamu harus lakuin pesan almarhum Papa saya dengan baik."
"Pesan?" tanya Era bingung.
Aksa mengangguk, "Pesan untuk jaga adik-adik kamu."
Mendengar itu Era tersenyum lebar, "Saya janji, Pak. Saya janji akan jaga adik-adik dengan baik!"
Aksa tersenyum dan mengacak pelan rambut Era. Setelah itu dia berlalu pergi untuk mengambil sisa belanjaan yang belum ia bawa. Aksa terdiam selama perjalanan. Pikirannya masih tertuju pada fakta tentang Era yang seolah menjawab semuanya.
Era adalah murid kesayangan ayahnya. Era juga anak asuh yang paling besar di panti ini dan itu berarti Era adalah penghuni pertama. Jadi gadis itu yang menjadi alasan kenapa ayahnya membuka panti asuhan? Bukan hanya itu, sekarang Aksa juga sadar jika Era adalah gadis kecil yang selalu muncul di mimpinya.
***
Aksa menutup matanya sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Langit yang gelap seharusnya bisa membuat penglihatannya terbatas, tapi tidak untuk sekarang. Entah kenapa ombak laut terlihat begitu jelas di matanya. Aksa mengeratkan pelukannya pada wanita di hadapannya dan mulai tersadar. Dia tidak tahu siapa wanita yang ia peluk saat ini. Aksa ingin melepaskan diri, tapi tidak bisa. Tangannya seolah menempel erat pada pinggang wanita itu."Makasih ya, Kak. Ini indah banget." Aksa mendengar suara wanita itu menggema.Perlahan tubuh wanita itu berbalik dan membuat Aksa terkejut, "Era?" ucap Aksa tidak percaya.Era tampak anggun dengan gaun putih yang dipakainya. Rambut panjang yang terurai tampak beterbangan ditiup angin. Di bawah cahaya bulan, Era terlihat cantik dan berbeda dari pandangannya selama ini. Dia tidak melihat Era yang ceroboh dan minim akhlak seperti biasanya. Aksa masih terpaku sampai perlahan wajah Era mulai mendekat. Dia ingin menghinda
Aksa menghentikan kegiatannya dan melirik ponselnya yang kembali berdering. Lagi-lagi Renata menghubunginya. Bukannya tidak ingin menjawab, tapi Aksa terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan wanita itu sekarang. Ponsel kembali berdering membuat Aksa mendengkus. Dengan segera dia mengangkat panggilan dari Renata."Ada apa?" tanya Aksa."Kenapa lama angkatnya?"tanya Renata kesal."Aku sibuk," jawab Aksa jujur."Gimana keadaan Bian?"Aksa menghela napas lelah. Mereka memang masih berhubungan karena ada Bian. Biar bagaimanapun Bian masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan orang tuanya."Bian baik.""Aku kangen sama Bian,"ucap Renata."Aku nggak ngelarang kamu buat telepon Bian. Kamu bisa hubungi lewat Mama."Renata terkekeh,"Aku udah teleponTante Ratnatadi. Udah ngobrol juga sama Bian."Alis Aksa terangkat, "Terus kenapa kamu telepon aku?"
Di hari sabtu, Aksa memutuskan untuk bekerja di rumah. Biasanya dia bekerja di kantor setengah hari, tapi tidak untuk kali ini. Tidak ada yang menjaga Bian sekarang. Ibunya tengah pergi bersama teman-temannya untuk menjernihkan pikiran. Aksa membiarkannya, dia senang jika ibunya kembali beraktivitas seperti biasa.Sebuah tarikan pada celananya membuat Aksa menoleh. Dia terkejut melihat Bian yang duduk di lantai dengan bibir yang maju. Melihat itu, Aksa menggendong anaknya dan mendudukkannya di pangkuannya."Kenapa, hm?""Bian bosen, Pa. Mau main di luar," ucapnya kesal.Sejak pagi Bian memang sudah berada di ruang kerja Aksa. Dia sudah bosan dengan lego yang ia mainkan sendiri. Bian ingin keluar dan berlarian ke sana-ke mari."Bian main di sini dulu ya. Papa nggak bisa awasi kalau main di luar."Aksa sadar jika menjadi orang tua tunggal tidaklah mudah. Selama ini dia terbiasa hidup sendiri di luar kota dan orang tuanya yang menjaga Bian. Saa
Di ruang tengah, Era dan Bian tampak menghitung jumlah kapal yang mereka buat. Kapal yang beraneka warna itu membuat Bian tersenyum senang. Dia tidak sabar untuk segera bermain di kolam renang bersama kapal-kapalnya."Empat belas.. lima belas!Yes!" Bian langsung berdiri dan membawa keranjang kapalnya ke halaman belakang.Era yang melihat itu langsung bergegas mengikuti Bian. Dia tidak mau jika anak itu bermain di kolam renang tanpa pengawasan. Bisa-bisa Aksa membunuhnya jika terjadi apa-apa dengan Bian."Bian jangan lari!" Era tampak kesulitan berlari dengan rok seragamnya.
Era berdiri di depan sebuah foto dengan alis yang bertaut. Suara tawa Bian dan Aksa dari kamar mandi tidak mengganggu konsentrasinya sedikitpun. Matanya masih tertuju pada pigura berukuran besar yang terpajang di dinding kamar Aksa. Setelah menjadi korban kejahilan bapak dan anak, Era terpaksa harus mandi di rumah ini. Pria itu meminta Era mandi terlebih dahulu agar tidak kedinginan dan selanjutnya giliran Aksa dan Bian yang tampak bersenang-senang di kamar mandi.Tatapan Era beralih pada foto kecil di atas nakas. Kamar Aksa terlihat sepi dengan sedikit perabotan, tapi juga ada banyak foto sebagai kenangan. Mengabaikan rambut basahnya yang menetes, Era menghampiri sebuah foto yang menarik perhatiannya. Alisnya bertaut saat merasa tidak asing dengan potret pria muda di dalam foto itu.
Sentuhan lembut di dahinya membuat Aksa membuka matanya lebar. Hanya bermodalkan cahaya yang masuk dari jendela, Aksa bisa melihat siluet wanita yang duduk di ranjangnya. Dia terkejut dan ingin bangkit, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu."Bangun, Kak." Suara lembut itu membuat Aksa merinding. Dia ingin berbicara, tapi mulutnya seolah terkunci dengan rapat.Apa yang terjadi?Wanita yang mengelus dahi Aksa itu mulai berdiri dan membuka tirai jendela. Bayangan yang awalnya hanya siluet dari seorang wanita perlahan mulai terlihat dengan jelas. Wanita itu adalah Era. Dengan mengenakan piyama kimono berwarna putih, Era tidak terlihat seperti bocah. Gadis itu berubah menjadi wanita yang cantik dan anggun. Melihat itu, Aksa merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya. Dia merasa ada desiran aneh pada salah satu bagian tubuhnya."Era," gumam Aksa. Kali ini dia sudah bisa berbicara, tapi hanya nama itu yang bisa ia ucapkan."Selamat pagi," ucap Era sam
Hari ini adalah jadwal Aksa untuk ke sekolah. Seperti biasa, dia akan mengikuti rapat mingguan. Namun ada yang berbeda hari ini, entah kenapa Aksa merasa semangat. Padahal hari sebelumnya dia selalu malas untuk ke sekolah. Jika tidak lupa akan kewajibannya, tentu ia akan minta diwakilkan.Sekolah masih sepi saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Tentu saja para murid sedang belajar di kelas masing-masing sekarang. Rapat akan dilaksanakan pukul 10 dan Aksa sengaja datang lebih awal untuk berbicara dengan kepala sekolah mengenai olimpiade yang akan diikuti para murid. Aksa masuk ke ruang kepala sekolah dan melihat Pak Roni sudah siap dengan laptop dan kertas-kertas di tangannya. Mereka memulai pembicaraan singkat dan ringan mengenai olimpiade. Sekolah tidak main-main untuk mengikuti ajang ini, ada sekitar 120 siswa yang akan diikutkan. Tidak hanya olimpiade tapi juga lomba lainnya, seperti basket, sepak bola, bulu tangkis, tari, fotografi, lukis, film pendek, dan masih banya
Sepulang sekolah, Era dikejutkan dengan Bian yang sudah ada di panti. Anak itu tampak bermain dengan anak-anak lainnya di halaman. Perlahan Era mendekat dan melihat ke sekitar, dia tidak melihat ada mobil Bu Ratna di sini. "Bian?" panggil Era. "Kak Era!" Bian yang asik bermain langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat. "Kamu ngapain di sini?" tanya Era bingung. "Main lah, Kak." Tunjuk Bian pada teman-temannya. "Nenek mana?" tanya Era bingung. Tidak mungkin jika Bian ditinggal sendiri di sini. "Bu Ratna ada arisan, Ra. Niatnya mau bawa Bian, tapi dia nggak mau jadi dianter ke sini," jelas Bu Asih yang datang dengan banyak gelas yang berisi jus, "Ayo, udah dulu mainnya." Era kembali menatap Bian yang masih memeluknya. Tangannya bergerak mengelus kepala anak itu dengan sayang, "Kenapa Bian nggak ikut Nenek?" "Bian nggak suka, Kak." Bibir Bian tampak maju. "Kenapa nggak suka? Kan enak ada banyak es krim