Pagi hari merupakan awal yang baik untuk memulai aktivitas. Di tengah pasar, Era berdecak saat sayur yang ia beli tak kunjung dihitung. Dia melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan sisa waktu yang ada. Era harus bergerak cepat atau kesialan akan ia dapat.
"Ah elah, Bang! Lama bener, saya mau berangkat sekolah nih, ada upacara," ucap Era kesal.
"Sabar, Neng. Tangan abang cuma dua."
"Kalo delapan ya laba-laba namanya," gumamnya pelan.
"Nih, belanjaannya, Neng. Total 60 ribu."
Era mengeluarkan gulungan uang dari sakunya dan memberikannya pada penjual sayur, "Pas ya, Bang. Ini saya ambil kangkung lagi dua iket."
"Eh, 5000 itu, Neng."
Era berdecak, "Cuma 5000, Bang. Anggap aja sedekah sama anak yatim."
Era dengan cepat bergegas untuk keluar pasar. Jika bukan karena langganan, tentu dia tidak akan berani seperti ini. Di tempat parkir, sudah ada tukang parkir yang duduk di atas motornya.
"Eh, Neng Era. Udah selesai belanjanya?"
"Udah, Bang. Minggir dulu, saya harus cepet. Udah telat sekolah nih."
Melihat Era yang tergesa, tukang parkir segera beranjak untuk berdiri. Tanpa membayar, Era segera melajukan motornya untuk kembali ke panti. Dari kejauhan, tukang parkir hanya bisa menggeleng pelan. Dia sudah terbiasa dengan tingkah Era yang sesuka hati. Jarak antara pasar dan panti sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya lima menit menggunakan motor, tapi tetap saja Era akan terlambat sekarang. Salahkan tukang sayur keliling yang mendadak tidak lewat. Mungkin takut akan ibu-ibu yang kembali berhutang. Mau tidak mau, Era harus ke pasar untuk membeli bahan makanan. Ini sudah kewajibannya untuk mengurus adik-adik kecilnya.
"Buk! Sayurnya aku taruh di teras ya. Aku berangkat dulu!" teriak Era meraih tas sekolahnya dan memasang helm. Jika tidak ada upacara, tentu dia tidak akan sepanik ini. Setiap hari Senin, jam masuk sekolah memang dibuat lebih pagi untuk tidak mengubah jadwal pelajaran yang sudah ada.
Di lampu merah, Era kembali melihat jam tangannya. Tinggal lima menit lagi pagar sekolah akan ditutup dan dia masih terjebak di kemacetan lampu merah.
"Ini kan senin, Ra. Ya pantes jalanan rame banget. Udah kaya mau demo."
Setelah banyak mengumpat selama perjalanan, akhirnya Era sampai di sekolah. Namun nasib tidak berpihak padanya kali ini. Pagar sekolah sudah ditutup dan banyak siswa yang juga terlambat sepertinya berdiri di depan gerbang.
"Nyet! Telat juga lo?" Aldo, teman sekelas Era tertawa melihat kedatangannya.
"Diem lo, landak!" Era berdecak dan menjambak rambut Aldo yang tajam-tajam seperti landak.
Era segera memarkirkan motornya dan ikut berdiri di depan pagar. Meskipun terlambat, bukan berarti dia tidak bisa mengikuti upacara. Ada dua satpam yang siap siaga untuk memantau para siswa yang terlambat agar tetap mengikuti upacara dari balik gerbang.
Eravina Arruna, gadis berusia 18 tahun yang sudah menginjak tahun terakhir di bangku SMA. Sikapnya yang ceria dan urakan membuatnya dikenal oleh banyak orang. Namun siapa sangka jika di balik keanehannya, Era adalah salah satu siswa penerima beasiswa di sekolahnya. Era bersyukur jika bakat melukisnya bisa membawanya sekolah di sekolah swasta ternama dengan jalur prestasi dan bisa sedikit meringankan beban Bu Asih, pengurus yayasan panti asuhan yang ia tinggali sejak kecil.
Ya, Era merupakan salah satu dari sekian anak yang kurang beruntung itu. Sejak kecil dia sudah berada di panti asuhan. Menyedihkan memang, tapi Era tidak menyesalinya. Setidaknya masih ada Bu Asih yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri selama ini.
***
Di atas podium, terlihat seorang pria dengan pakaian formalnya tengah memberikan beberapa kalimat motivasi untuk para siswa. Ini pertama kalinya Aksa datang ke sekolah yang berada di bawah kepengurusan perusahaannya. Sejak ayahnya meninggal satu minggu yang lalu, mau tidak mau Aksa yang harus menggantikan semuanya.
"Setiap orang memiliki sesuatu yang membanggakan pada dirinya sendiri, tidak selalu akademik. Saya yakin pemilik bakat non akademik juga bisa bersaing di luar sana. Oleh karena itu, sekolah ini memberikan banyak fasilitas, baik akademik maupun non akademik untuk membantu mengembangkan minat dan bakat para siswa. Saya harap fasilitas yang diberikan dapat dimanfaatkan dengan baik. Asah keunggulan kalian dengan serius. Saya yakin usaha dan kerja keras kalian nanti akan sangat bermanfaat di masa depan."
Suara tepuk tangan dari para siswa membuat Aksa tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih dan kembali ke tempatnya. Upacara berlanjut dengan Aksa yang masih berdiri di barisan para guru. Meskipun pemilik sekolah, tapi dia tidak ingin terlihat angkuh dengan meninggalkan lapangan sebelum upacara selesai. Jika mau, Aksa bisa saja melakukannya mengingat dia juga harus bekerja di kantor. Jadwalnya cukup padat akhir-akhir ini, tapi dia harus bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Aksa sudah ditunjuk ayahnya untuk mengurus semuanya.
***
Aksa berjalan menuju tempat parkir setelah selesai berbincang dengan kepala sekolah. Matanya menyipit saat melihat ada beberapa siswa yang tampak berpanas-panasan di lapangan. Dengan penasaran, Aksa berjalan mendekat membuat para siswa itu menatapnya bingung.
"Kalian kenapa di sini? Nggak masuk kelas?"
"Lagi dihukum, Pak." Aldo menyahut dengan mata yang menyipit, mencoba menghalau sinar matahari yang menyilaukan matanya.
"Kenapa dihukum?" tanya Aksa lagi.
Belum sempat menjawab, salah satu guru konseling datang dengan tergesa. Dia tersenyum pada Aksa, "Anak-anak ini telat, Pak. Makanya saya kasih hukuman."
Aksa mengangguk paham, "Kalau dihukum seperti ini nggak bakal jera, Pak. Sekali-kali minta mereka buat karya tulis ilmiah."
"Loh, Bapak siapa? Kok ngatur?" Kali ini Era yang bertanya tidak suka. Dia yang selalu datang terlambat mulai khawatir dengan permintaan Aksa.
Pak Herman, guru konseling berdesis mendengar celetukan Era. Tentu saja mereka tidak mengenal Aksa karena belum sempat melihat pria itu saat upacara tadi. Hanya ada suaranya yang Era dengar dari luar.
"Yang sopan kamu. Dia itu Pak Aksa, pengganti Pak Wijaya."
Era menutup mulutnya rapat mendengar itu. Dia melirik pria di hadapannya dengan takut. Jika benar dia pengganti Pak Wijaya berarti dia juga yang akan mengurus yayasan panti yang ia tinggali?
"Baik, Pak. Mungkin saran Pak Aksa bisa kita masukkan ke pembahasan rapat nanti."
"Kapan rapat diadakan?" tanya Aksa.
"Kita setiap seminggu sekali ada rapat umum, Pak."
Aksa mengangguk dan tersenyum, "Ajak saya setiap rapat. Saya mau lihat berkembangan sekolah setiap minggunya."
"Kalian denger? Pak Aksa mau ikut turun tangan langsung, jadi kalian jangan macem-macem," ucap Pak Herman pada para siswa dan siswi di hadapannya, "Lagian kenapa sih kalian hobi banget telat?" lanjutnya.
"Tahun terakhir, Pak. Sayang kalo nggak dibikin asik." Mendengar ucapan Era, Pak Herman kembali menggeram kesal.
Era sudah menjadi langganan konseling selama hampir 3 tahun. Meskipun begitu, banyak guru yang tidak terlalu menganggap serius tingkah Era. Gadis itu sangat pintar di bidang non akademik. Era juga berhasil menyumbangkan beberapa piala untuk sekolah saat menjuarai kompetisi lukis tingkat remaja.
Aksa menatap gadis di depannya dengan lekat. Meskipun terlihat takut padanya, tapi gadis itu tidak takut pada gurunya. Aksa semakin bertanya-tanya, kenapa murid jaman sekarang mulai berani untuk membantah?
"Siapa nama kamu?" tanya Aksa mendekat.
"Era, Pak."
"Oke, Era." Aksa mengangguk dan tersenyum manis, "Saya mau kamu buat karya tulis ilmiah, tema bebas. Waktu kamu cuma seminggu. Kamu bisa kumpulkan tugas kamu saat saya datang minggu depan untuk rapat mingguan."
Era menatap Aksa tidak percaya, "Saya, Pak? Cuma saya aja?"
"Iya, cuma kamu. Tadi kamu bilang mau menikmati tahun terakhir di SMA kan? Kalau gitu silahkan menikmati." Aksa menepuk pelan kepala Era dan beralih pada Pak Herman, "Saya permisi ya, Pak. Mohon bimbing Era untuk menyelesaikan tugasnya."
"Siap, Pak!" Pak Herman tertawa mendengar hukuman yang diberikan Aksa. Jika seperti ini, dia yakin tidak akan ada lagi murid yang suka melanggar peraturan.
Era berdecak dan menatap kepergian Aksa dengan tangan yang terkepal. Bisa-bisanya Pak Wijaya menjadikan pria itu sebagai penggantinya. Era berani melanggar aturan seperti ini juga bukan tanpa alasan. Dia sudah mengenal Pak Wijaya sejak kecil. Pria paruh baya itu tahu kenapa Era sering datang terlambat saat berangkat sekolah. Hal itu terjadi karena dia harus membantu Bu Asih untuk mengurus adik-adiknya terlebih dahulu.
"Mampus lo! Sok jago sih." Aldo tertawa.
"Ketawa terus lo! Dasar iblis," gumam Era dan berlalu pergi.
"Heh, mau ke mana? Hukuman belum beres!"
"Minum, Nyet! Dehidrasi gue!" teriak Era berjalan menuju kantin.
Dia membutuhkan air dingin sekarang. Selain untuk meredakan tenggorokannya, Era juga harus meredakan emosinya. Dia tidak menyangka jika Aksa akan menjadi musuhnya di hari pertama mereka bertatap muka.
***
Tidak ada hal yang lebih menyedihkan dan menyakitkan selain melihat ibumu menangis. Itu yang Aksa rasakan sekarang. Sudah beberapa hari ini dia meminta ibunya yang masih berduka untuk tinggal di rumahnya. Kematian ayahnya yang diakibatkan penyakit jantung membuat ibunya sangat terpukul, begitu juga dirinya. Tanggung jawab Aksa menjadi lebih besar sekarang."Ma?" panggil Aksa masuk ke dalam kamar setelah beberapa menit mengintip ibunya yang tengah menangis."Ya, Nak?" Bu Ratna berpaling dan membersihkan wajahnya dari air mata."Sarapan dulu. Udah ditunggu Bian di meja makan. Dia kangen disuapin Neneknya."Bu Ratna tersenyum mendengar itu. Dia memang sedih, tapi sebisa mungkin ia tidak akan terlalu larut dalam kesedihannya. Bu Ratna akan menyembunyikan kesedihannya, tanpa tahu jika Aksa sudah mengetahui semuanya."Ayo kita sarapan."Aksa dan ibunya berlalu menuju meja makan. Di sana sudah ada Bian yang tampak lucu dengan seragam TK-nya. Bocah
Bian bermain di depan panti sambil menunggu ayahnya yang akan datang menjemput. Ini pertama kalinya Era bertemu dengan ayah Bian karena selama ini mereka memang tidak pernah bertatap muka. Era bersyukur karena akhirnya Bian bisa kembali berkumpul bersama ayahnya. Jujur saja, anak itu tampak kesepian dan selalu berhasil membohongi semua orang dengan keceriaannya."Nek, Papa lama banget sih?" Bian tampak jenuh dengan permainannya. Dia sudah menunggu kedatangan ayahnya selama satu jam dan pria itu belum muncul juga. Era yang melihat itu juga ikut kesal dengan tingkah ayah Bian."Kayanya Papa kamu kena macet. Sabar dulu ya," ucap Bu Ratna dari teras rumah.
Bu Asih berdiri di teras panti dengan khawatir. Hari sudah mulai gelap tapi Era belum juga kembali ke rumah. Bukan obat Rafi yang ia pikirkan saat ini, tapi keberadaan Era. Menelepon pun percuma karena Era meninggalkan ponselnya di rumah. Kadang kecerobohan gadis itu membuatnya mengelus dada. Saat akan masuk, sebuah motor mulai memasuki halaman. Mata Bu Asih menyipit saat melihat Era yang sudah datang. Wanita itu menghela napas lega, tapi itu tidak berlangsung lama saat Era turun dari motor dengan tertatih."Era? Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Asih khawatir.Era menatap Bu Asih dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan dia mendekat dengan kantung plastik yang berisikan obat Rafi. Meskipun tubuhnya
Aksa membuka matanya saat merasakan elusan lembut di pipinya. Matanya terbuka dan bertemu dengan mata bulat yang begitu indah. Anehnya, hanya mata itu yang bisa ia lihat, selebihnya hanya ada kegelapan yang mengelilinginya. Aksa terpaku dengan tatapan lembut dan polos itu. Perlahan perasaan gusar yang ia rasakan sedari tadi mulai menghilang tergantikan dengan rasa nyaman. Siapa anak kecil yang ada di depannya saat ini?"Kakak jangan nangis. Kata Mama kalo udah gede nggak boleh nangis." Suara anak itu terdengar menggema.Aksa mencoba meraih wajah ayu itu tapi tangannya tertahan, mata bulat itu seolah menghipnotisnya. Bahkan untuk berbicara saja Aksa tidak bisa, seolah ada beban berat yang menahan tubuhnya untuk bergerak."Kalo kakak sedih, makan es krim aja. Aku biasanya gitu kalo dimarahi Mama, tapi jangan banyak-banyak nanti giginya ompong kayak aku."Lagi-lagi ucapan anak kecil itu terdengar. Kali ini disertai dengan tawanya yang merdu. Namun suara itu
Bel tanda istirahat berdering. Dengan cepat Era dan teman-temannya bergegas ke kantin untuk menyerbu makanan. Era tidak sempat sarapan tadi karena takut jika akan terlambat upacara. Dia masih trauma dengan hukuman yang diberikan Aksa sampai membuatnya tidak bisa tidur semalaman.Belum sempat memesan makanan, Lala datang dan menepuk bahunya pelan, "Jangan makan dulu. Lo dipanggil sama Pak Herman.""Pak Herman?" tanya Era bingung, "Ngapain? Kan gue nggak telat hari ini?""Nggak tau, cepet sana udah ditunggu."
Keadaan dapur panti saat ini terlihat seperti kapal pecah. Banyak bahan makanan yang akan diolah. Era dan Bu Asih tampak bekerja keras memasak untuk acara malam ini. Mereka harus selesai sebelum keluarga Kusuma datang."Aldi! Jangan main di deket kompor. Sana main di depan!" Era melotot dengan pisau di tangannya.Sepulang sekolah seharusnya Era bisa bersantai sambil menikmati air dingin yang mengguyur tubuhnya. Namun kali ini dia tidak bisa melakukannya karena mendadak Bu Ratna ingin acara makan malam bulanan dilakukan hari ini. Di sini lah Era sekarang, membantu Bu Asih untuk memasak di dapur."Buk, ini kurang gurih," ucap Era saat mencicipi kuah bakso."Kamu ambil bubuk kaldu, masukkan sedikit-sedikit sambil rasain." Era mengangguk dan melaksanakan perintah Bu Asih tanpa membantah.Memang hanya mereka berdua yang memasak di dapur ini. Setidaknya Era dan Bu Asih harus menyiapkan minimal lima jenis makanan yang akan dihidangkan. Bukan ingin mengham
Aksa menutup matanya sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Langit yang gelap seharusnya bisa membuat penglihatannya terbatas, tapi tidak untuk sekarang. Entah kenapa ombak laut terlihat begitu jelas di matanya. Aksa mengeratkan pelukannya pada wanita di hadapannya dan mulai tersadar. Dia tidak tahu siapa wanita yang ia peluk saat ini. Aksa ingin melepaskan diri, tapi tidak bisa. Tangannya seolah menempel erat pada pinggang wanita itu."Makasih ya, Kak. Ini indah banget." Aksa mendengar suara wanita itu menggema.Perlahan tubuh wanita itu berbalik dan membuat Aksa terkejut, "Era?" ucap Aksa tidak percaya.Era tampak anggun dengan gaun putih yang dipakainya. Rambut panjang yang terurai tampak beterbangan ditiup angin. Di bawah cahaya bulan, Era terlihat cantik dan berbeda dari pandangannya selama ini. Dia tidak melihat Era yang ceroboh dan minim akhlak seperti biasanya. Aksa masih terpaku sampai perlahan wajah Era mulai mendekat. Dia ingin menghinda
Aksa menghentikan kegiatannya dan melirik ponselnya yang kembali berdering. Lagi-lagi Renata menghubunginya. Bukannya tidak ingin menjawab, tapi Aksa terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan wanita itu sekarang. Ponsel kembali berdering membuat Aksa mendengkus. Dengan segera dia mengangkat panggilan dari Renata."Ada apa?" tanya Aksa."Kenapa lama angkatnya?"tanya Renata kesal."Aku sibuk," jawab Aksa jujur."Gimana keadaan Bian?"Aksa menghela napas lelah. Mereka memang masih berhubungan karena ada Bian. Biar bagaimanapun Bian masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan orang tuanya."Bian baik.""Aku kangen sama Bian,"ucap Renata."Aku nggak ngelarang kamu buat telepon Bian. Kamu bisa hubungi lewat Mama."Renata terkekeh,"Aku udah teleponTante Ratnatadi. Udah ngobrol juga sama Bian."Alis Aksa terangkat, "Terus kenapa kamu telepon aku?"