Tidak ada hal yang lebih menyedihkan dan menyakitkan selain melihat ibumu menangis. Itu yang Aksa rasakan sekarang. Sudah beberapa hari ini dia meminta ibunya yang masih berduka untuk tinggal di rumahnya. Kematian ayahnya yang diakibatkan penyakit jantung membuat ibunya sangat terpukul, begitu juga dirinya. Tanggung jawab Aksa menjadi lebih besar sekarang.
"Ma?" panggil Aksa masuk ke dalam kamar setelah beberapa menit mengintip ibunya yang tengah menangis.
"Ya, Nak?" Bu Ratna berpaling dan membersihkan wajahnya dari air mata.
"Sarapan dulu. Udah ditunggu Bian di meja makan. Dia kangen disuapin Neneknya."
Bu Ratna tersenyum mendengar itu. Dia memang sedih, tapi sebisa mungkin ia tidak akan terlalu larut dalam kesedihannya. Bu Ratna akan menyembunyikan kesedihannya, tanpa tahu jika Aksa sudah mengetahui semuanya.
"Ayo kita sarapan."
Aksa dan ibunya berlalu menuju meja makan. Di sana sudah ada Bian yang tampak lucu dengan seragam TK-nya. Bocah itu tampak menggemaskan dengan mulut yang maju beberapa senti. Saat melihat kedatangan neneknya, Bian berdiri di kursi dan melompat bahagia.
"Akhirnya Nenek bangun pagi!" Bian masih melompat membuat Aksa meringis dan menghampiri anaknya cepat.
"Duduk, Bian."
"Nenek bangun pagi terus kok. Siapa yang bilang Nenek bangun siang?" tanya Bu Ratna sambil mencium pipi gembul Bian.
"Papa yang bilang. Bian percaya soalnya nggak pernah liat Nenek sarapan lagi."
Bu Ratna menatap Aksa yang hanya mengedikkan bahu tak acuh. Dia tahu anaknya terpaksa berbohong demi kebaikan Bian. Tidak mungkin Aksa berkata jika dirinya masih bersedih karena ditinggal suaminya.
"Ya udah, kita sarapan. Bian mau makan apa?"
"Sayur asem, Nek. Sama telur." Bian menunjuk makanan yang ia sukai.
Interaksi Bian dan ibunya membuat Aksa tersenyum. Dia bernapas lega melihat ibunya yang kembali ceria. Untung saja ada Bian, jika tidak, Aksa tidak tahu lagi harus berbuat apa.
"Kamu langsung ke kantor, Sa?" tanya Bu Ratna yang masih sibuk menyuapi Bian.
"Iya. Udah mulai aktif ngantor."
"Udah ke sekolah?" tanya wanita itu lagi.
Aksa mengangguk, "Kemarin habis dari sana."
"Papa kamu seneng kalau disuruh ke sekolah. Katanya auranya positif kalau liat anak-anak muda."
Aksa tersenyum kecut, "Sangking positifnya sampai langgar aturan."
"Maklum lah, Sa. Namanya juga masih muda. Kayak kamu nggak pernah bandel aja."
"Papa pernah bandel, Nek?" tanya Bian tiba-tiba.
"Pernah dong, Sayang. Papa kamu itu dulu pernah ngerokok di kamar mandi sekolah." Cerita Bu Ratna pada Bian.
"Ma," tegur Aksa, "Bian masih kecil."
"Ya nggak papa lah. Biar Bian bisa belajar dan nggak niru tingkah Papanya."
Bian menatap nenek dan ayahnya bergantian. Matanya yang bulat terlihat menggemaskan dengan pipi yang penuh dengan nasi. Bukan rahasia lagi jika Bian cukup pintar untuk anak seusianya, meski dia juga sedikit manja karena hanya ada ayah serta kakek-neneknya yang mengurusnya sejak kecil.
"Papa kan nggak ngerokok, Nek." Bian masih bingung dengan percakapan dua orang dewasa di hadapannya.
"Papa kamu cuma coba waktu itu. Penasaran katanya, tapi dia kapok. Ternyata rokok nggak enak." Bu Ratna menjulurkan lidahnya untuk berakting muntah.
"Rokok kan bukan makanan, Nek. Ya nggak enak lah."
"Makanya jangan dicoba." Aksa berdiri dan meraih tasnya. Dia mencium kepala Bian sebentar dan berpamitan, "Aku berangkat dulu, Ma. Jemputan Bian habis ini dateng."
"Oh iya, Sa. Kamu udah ke panti belum?"
Langkah Aksa terhenti. Dia menepuk keningnya pelan, "Lupa, Ma. Nanti deh liat jadwal dulu."
"Kalau sibuk, biar Mama aja yang ke panti sekalian jemput Bian nanti."
Aksa mengangguk setuju. Jadwalnya memang cukup padat dan dia mulai bingung karena harus membagi waktu. Namun dia bersyukur jika ibunya bersedia membantu dan kembali aktif dengan kegiatannya.
Perusahaan Kusuma adalah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi. Banyak anak perusahaan yang tersebar di beberapa kota besar. Selain itu, perusahaan Kusuma juga peduli akan lingkungan dan pendidikan. Oleh karena itu Wijaya Kusuma, selaku pendiri pertama yang juga merupakan ayah Aksa membuat sekolah dan panti asuhan yang diurus langsung oleh dirinya. Beliau memang menyukai anak-anak karena memiliki aura yang positif dan membahagiakan.
***
Sebuah mobil berhenti tepat di depan yayasan panti. Bian membuka mobil dan berlari keluar, meninggalkan neneknya yang tersenyum melihat cucunya yang semangat.
"Kak Era!" teriak Bian saat melihat Era yang tengah menyiram tanaman.
Era mengalihkan pandangannya dan terkejut melihat Bian yang berlari ke arahnya. "Jangan lari, Bian. Ini belum agustusan," ujarnya saat Bian berhasil memeluk kakinya.
"Kangen. Udah lama Bian nggak main ke sini."
"Iya nih, Kak Era juga kangen. Bian bawa es krim nggak?"
Bian melepaskan pelukannya dan menatap neneknya bingung, "Nek, Bian lupa bawa es krim."
"Yah, gimana dong? Nenek juga lupa. Minta maaf dulu sama Kak Era."
Bian kembali menatap Era dengan wajah yang memelas. "Bian minta maaf ya, Kak. Bian lupa bawa es krim."
Era tersenyum dan menyamakan tingginya dengan Bian. Tangannya mengacak pelan rambut halus itu dan mencubit pipinya gemas. "Nggak papa. Biar hari ini Kak Era yang traktir es krim."
"Beneran, Kak?!" tanya Bian kembali senang.
"Iya dong, sana masuk dulu. Bu Asih udah goreng sosis banyak tadi," ucap Era sambil merentangkan kedua tangannya.
Melihat Bian yang sudah masuk ke dalam panti, Era beralih pada Bu Ratna dan mencium tangannya sopan, "Akhirnya kanjeng ratu dateng juga."
Bu Ratna tertawa mendengar ucapan Era. Setelah seminggu tidak bertemu, gadis itu masih sama saja. Malah terlihat semakin tengil.
"Kamu nggak kangen sama kanjeng ratu?" tanya Bu Ratna berakting sedih.
"Kalo bawa es krim niatnya kangen sih, tapi ternyata nggak bawa apa-apa."
Bu Ratna berdecak, "Kamu itu ya, makanan mulu yang dipikirin. Lagian kenapa kamu di rumah? Nggak sekolah?"
Era meringis mendengar itu. Perlahan dia memeluk bahu Bu Ratna dan mengajaknya masuk ke dalam panti. "Rafi lagi sakit, Buk. Makanya aku yang jagain dia hari ini."
"Rafi sakit apa? Udah berobat?"
Era menggeleng, "Demam. Udah minum obat kok. Udah mendingan juga demamnya."
"Ya syukur kalau udah mendingan." Bu Ratna merasa lega mendengar itu.
"Ibuk udah makan belum?" tanya Era saat mereka sudah berada di dalam panti.
"Belum, Bu Asih masak apa?"
"Kebetulan. Ibuk masak sayur nangka muda,” ujar Era.
"Ah mantap!"
***
"Warna biru kalo dicampur wana kuning jadi apa?" tanya Era pada Bian yang duduk di depannya. Di tengah mereka terdapat meja kecil dengan buku gambar dan krayon di atasnya.
Sudah menjadi rutinitas Era saat Bian datang berkunjung. Selain membawa banyak makanan, Bian juga membawa banyak PR-nya. Kadang Era bertanya-tanya, kenapa tugas anak TK tak kalah banyak dengannya yang duduk di bangku SMA? Meskipun tugas Bian begitu mudah, tapi tetap saja menurut Era tugas itu tidak sepatutnya ada.
Bikin pusing.
"Ungu?" jawab Bian dengan takut.
Mendengar itu, Era memejamkan matanya erat, "Warna biru sama kuning, Bian. Coba ayo gambar di sini terus kasih tau jadinya warna apa?"
Bian mengangguk dan mulai meraih krayon. Tangannya dengan lincah menggambar dengan bibir yang maju beberapa senti, tampak serius dengan apa yang dia lakukan. Era merasa gemas melihat itu. Tanpa bisa dicegah Era meraih pipi Bian dan menciumnya berulang kali.
"Kak Era! Pipiku basah, ihh!" gerutu Bian mencoba menghindar.
"Bian lucu banget sih! Anaknya siapa ini?!" geram Era menggigit pipi Bian gemas.
"Nenek! Pipiku dimakan Kak Era!" teriak Bian mencoba melarikan diri.
Mendengar teriakan cucunya, Bu Ratna muncul dengan tas Bian di tangannya. Wanita itu tersenyum melihat cucunya yang tertawa di pelukan Era dengan ciumannya yang membabi buta.
"Udah dulu mainnya. Ayo, Bian siap-siap, habis ini Papa jemput."
Era melepaskan Bian saat napas keduanya mulai terengah. Dia membantu Bian untuk memasukkan buku gambarnya ke dalam tas.
"Bukannya Papa kamu di Jogja ya?" tanya Era pada Bian.
"Sekarang Papa udah di Jakarta, Kak. Jadi Papa nggak bolak-balik lagi kalau mau ketemu Bian."
Era melirik Bian dan menyenggol bahunya pelan, "Seneng dong akhirnya Bian nggak jauhan lagi sama Papa?"
"Seneng dong, Kak. Bian juga bisa minta es krim langsung nanti."
"Kak Era juga mau es krim-nya dong?" tanya Era jahil.
"Minta aja langsung ke Papa." Setelah mengatakan itu, Bian berlari dan tertawa.
"Ya kali minta langsung. Dasar bocah."
Era tersenyum melihat tingkah Bian. Dia yakin jika sudah besar nanti, anak itu akan menjadi pria yang pintar dan bijaksana. Bahkan sejak dini, Bian sudah bisa berpikir lebih dewasa dari teman-temannya. Tak jarang Bian juga menasehati Era yang suka menjahili Bu Asih.
Sungguh anak ajaib.
***
Bian bermain di depan panti sambil menunggu ayahnya yang akan datang menjemput. Ini pertama kalinya Era bertemu dengan ayah Bian karena selama ini mereka memang tidak pernah bertatap muka. Era bersyukur karena akhirnya Bian bisa kembali berkumpul bersama ayahnya. Jujur saja, anak itu tampak kesepian dan selalu berhasil membohongi semua orang dengan keceriaannya."Nek, Papa lama banget sih?" Bian tampak jenuh dengan permainannya. Dia sudah menunggu kedatangan ayahnya selama satu jam dan pria itu belum muncul juga. Era yang melihat itu juga ikut kesal dengan tingkah ayah Bian."Kayanya Papa kamu kena macet. Sabar dulu ya," ucap Bu Ratna dari teras rumah.
Bu Asih berdiri di teras panti dengan khawatir. Hari sudah mulai gelap tapi Era belum juga kembali ke rumah. Bukan obat Rafi yang ia pikirkan saat ini, tapi keberadaan Era. Menelepon pun percuma karena Era meninggalkan ponselnya di rumah. Kadang kecerobohan gadis itu membuatnya mengelus dada. Saat akan masuk, sebuah motor mulai memasuki halaman. Mata Bu Asih menyipit saat melihat Era yang sudah datang. Wanita itu menghela napas lega, tapi itu tidak berlangsung lama saat Era turun dari motor dengan tertatih."Era? Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Asih khawatir.Era menatap Bu Asih dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan dia mendekat dengan kantung plastik yang berisikan obat Rafi. Meskipun tubuhnya
Aksa membuka matanya saat merasakan elusan lembut di pipinya. Matanya terbuka dan bertemu dengan mata bulat yang begitu indah. Anehnya, hanya mata itu yang bisa ia lihat, selebihnya hanya ada kegelapan yang mengelilinginya. Aksa terpaku dengan tatapan lembut dan polos itu. Perlahan perasaan gusar yang ia rasakan sedari tadi mulai menghilang tergantikan dengan rasa nyaman. Siapa anak kecil yang ada di depannya saat ini?"Kakak jangan nangis. Kata Mama kalo udah gede nggak boleh nangis." Suara anak itu terdengar menggema.Aksa mencoba meraih wajah ayu itu tapi tangannya tertahan, mata bulat itu seolah menghipnotisnya. Bahkan untuk berbicara saja Aksa tidak bisa, seolah ada beban berat yang menahan tubuhnya untuk bergerak."Kalo kakak sedih, makan es krim aja. Aku biasanya gitu kalo dimarahi Mama, tapi jangan banyak-banyak nanti giginya ompong kayak aku."Lagi-lagi ucapan anak kecil itu terdengar. Kali ini disertai dengan tawanya yang merdu. Namun suara itu
Bel tanda istirahat berdering. Dengan cepat Era dan teman-temannya bergegas ke kantin untuk menyerbu makanan. Era tidak sempat sarapan tadi karena takut jika akan terlambat upacara. Dia masih trauma dengan hukuman yang diberikan Aksa sampai membuatnya tidak bisa tidur semalaman.Belum sempat memesan makanan, Lala datang dan menepuk bahunya pelan, "Jangan makan dulu. Lo dipanggil sama Pak Herman.""Pak Herman?" tanya Era bingung, "Ngapain? Kan gue nggak telat hari ini?""Nggak tau, cepet sana udah ditunggu."
Keadaan dapur panti saat ini terlihat seperti kapal pecah. Banyak bahan makanan yang akan diolah. Era dan Bu Asih tampak bekerja keras memasak untuk acara malam ini. Mereka harus selesai sebelum keluarga Kusuma datang."Aldi! Jangan main di deket kompor. Sana main di depan!" Era melotot dengan pisau di tangannya.Sepulang sekolah seharusnya Era bisa bersantai sambil menikmati air dingin yang mengguyur tubuhnya. Namun kali ini dia tidak bisa melakukannya karena mendadak Bu Ratna ingin acara makan malam bulanan dilakukan hari ini. Di sini lah Era sekarang, membantu Bu Asih untuk memasak di dapur."Buk, ini kurang gurih," ucap Era saat mencicipi kuah bakso."Kamu ambil bubuk kaldu, masukkan sedikit-sedikit sambil rasain." Era mengangguk dan melaksanakan perintah Bu Asih tanpa membantah.Memang hanya mereka berdua yang memasak di dapur ini. Setidaknya Era dan Bu Asih harus menyiapkan minimal lima jenis makanan yang akan dihidangkan. Bukan ingin mengham
Aksa menutup matanya sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Langit yang gelap seharusnya bisa membuat penglihatannya terbatas, tapi tidak untuk sekarang. Entah kenapa ombak laut terlihat begitu jelas di matanya. Aksa mengeratkan pelukannya pada wanita di hadapannya dan mulai tersadar. Dia tidak tahu siapa wanita yang ia peluk saat ini. Aksa ingin melepaskan diri, tapi tidak bisa. Tangannya seolah menempel erat pada pinggang wanita itu."Makasih ya, Kak. Ini indah banget." Aksa mendengar suara wanita itu menggema.Perlahan tubuh wanita itu berbalik dan membuat Aksa terkejut, "Era?" ucap Aksa tidak percaya.Era tampak anggun dengan gaun putih yang dipakainya. Rambut panjang yang terurai tampak beterbangan ditiup angin. Di bawah cahaya bulan, Era terlihat cantik dan berbeda dari pandangannya selama ini. Dia tidak melihat Era yang ceroboh dan minim akhlak seperti biasanya. Aksa masih terpaku sampai perlahan wajah Era mulai mendekat. Dia ingin menghinda
Aksa menghentikan kegiatannya dan melirik ponselnya yang kembali berdering. Lagi-lagi Renata menghubunginya. Bukannya tidak ingin menjawab, tapi Aksa terlalu sibuk untuk berkomunikasi dengan wanita itu sekarang. Ponsel kembali berdering membuat Aksa mendengkus. Dengan segera dia mengangkat panggilan dari Renata."Ada apa?" tanya Aksa."Kenapa lama angkatnya?"tanya Renata kesal."Aku sibuk," jawab Aksa jujur."Gimana keadaan Bian?"Aksa menghela napas lelah. Mereka memang masih berhubungan karena ada Bian. Biar bagaimanapun Bian masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan orang tuanya."Bian baik.""Aku kangen sama Bian,"ucap Renata."Aku nggak ngelarang kamu buat telepon Bian. Kamu bisa hubungi lewat Mama."Renata terkekeh,"Aku udah teleponTante Ratnatadi. Udah ngobrol juga sama Bian."Alis Aksa terangkat, "Terus kenapa kamu telepon aku?"
Di hari sabtu, Aksa memutuskan untuk bekerja di rumah. Biasanya dia bekerja di kantor setengah hari, tapi tidak untuk kali ini. Tidak ada yang menjaga Bian sekarang. Ibunya tengah pergi bersama teman-temannya untuk menjernihkan pikiran. Aksa membiarkannya, dia senang jika ibunya kembali beraktivitas seperti biasa.Sebuah tarikan pada celananya membuat Aksa menoleh. Dia terkejut melihat Bian yang duduk di lantai dengan bibir yang maju. Melihat itu, Aksa menggendong anaknya dan mendudukkannya di pangkuannya."Kenapa, hm?""Bian bosen, Pa. Mau main di luar," ucapnya kesal.Sejak pagi Bian memang sudah berada di ruang kerja Aksa. Dia sudah bosan dengan lego yang ia mainkan sendiri. Bian ingin keluar dan berlarian ke sana-ke mari."Bian main di sini dulu ya. Papa nggak bisa awasi kalau main di luar."Aksa sadar jika menjadi orang tua tunggal tidaklah mudah. Selama ini dia terbiasa hidup sendiri di luar kota dan orang tuanya yang menjaga Bian. Saa