/ Romansa / Runaway Bridesmaids / 챕터 61 - 챕터 70

Runaway Bridesmaids의 모든 챕터: 챕터 61 - 챕터 70

87 챕터

Kepingan Terkecil

Aku menggeliat. Rasanya tubuh ini sakit semua. Eh, kenapa ada tangan Bram melingkar di perutku. Aku ketiduran, ya?"Kamu udah bangun, Babe?" "Ini di mana?" Aku berusaha bangun, tetapi Bram menahan tubuh ini."Hotel Larissy.""Aku mimpi buruk tadi. Nadhira ... hamil anak kamu." Air mataku menetes. Gegas aku menghapusnya. "Aneh, ya? Untung cuma mimpi." Bram hanya diam. Biasanya dia pasti marah kalau membahas tentang gadis itu, kali ini justru semakin mengetatkan pelukan. "Kamu kenapa sih? Lepasin, dong. Aku mau mandi. Badanku … kok rasanya capek banget, ya?”Bram menggeleng. "Biarin kayak gini, Babe. Aku mau peluk kamu." Ih, aneh, Bram kenapa? Kok mendadak posesif begini? "Udah. Lepasin. Aku mau ke toilet." Eh, kenapa aku jadi ketus begini ke dia?Bram mengalah. Aku turun dari ranjang menuju kamar mandi. Entah kenapa ada dorongan untuk me
더 보기

Mengundurkan Diri

Papi memintaku untuk tinggal di apartemen yang baru dibeli. Sayangnya, aku tidak mau pulang ke mana pun. Tidak ke rumah orang tua atau apartemen Bram. Cairan infus yang menetes satu-satu adalah objek pandangan kali ini. Keheningan juga menjadi teman. Bram belum kembali setelah diminta keluar oleh Papi. Tak banyak yang diucapkan oleh Papi padaku. Beliau hanya meminta untuk tetap bertahan seburuk apa pun keadaan. Bisakah? Apa mungkin aku bisa menjalani hari sebagai istrinya Bram, sedangkan di Bali sana Nadhira cemas menanti kepastian?Pintu ruangan rawat terbuka. Zanna datang bersama Arkana. "Sissy. Gimana kondisi kamu?"Aku tersenyum. "Hanya kecapekan, Nya. Jangan cemas." "Bayi kamu gimana?" celetuk Arkana. Aku menggeleng. Bukan saat yang tepat membicarakan tentang anak saat ini. Tangisku luruh lagi.Zanna langsung memelukku erat. Lidahku kelu, tak sanggup untuk berbasa-basi. "Maaf," ucap Arkan
더 보기

Yogyakarta, sendiri

"Kamu gak perlu mengundurkan diri, Aline. Biar Aunty yang back up selama kamu butuh waktu. Jangan sungkan untuk menghubungi Aunty. Ya?" Mata Aunty Lia berkaca-kaca saat mengelus pipiku."Makasih banyak, Aunty. Aline sayang Aunty." Aku memeluk erat tubuh Aunty Lia tersayang."Have a safe flight, Aline. Kabari kalo udah sampai." "Aye aye, Capten." Lalu aku berbalik seraya menyeret koper berisi beberapa potong pakaian baru yang dibelikan oleh Aunty Lia. Selamat tinggal, Jakarta. Izinkan aku menepi untuk menyembuhkan luka. Jika memang takdir menuliskan kisah yang berbeda, bisa saja aku tak akan kembali lagi ke kota ini. Kali ini, aku melarikan diri dari segala impian yang pernah dirajut dengan indah karena kenyataan begitu pahit seperti menelan empedu.Aku memakai sunglasses untuk menutupi mata yang bengkak karena semalaman menangis. Aku merasa bersalah karena meninggalkan Bram sendiri menghadapi masalah ini. Namun, bertahan di bersamanya j
더 보기

Rasa yang Mengkristal

Aku bangun pagi sekali atau lebih tepatnya tidak bisa tidur nyenyak. Baru saja mencoba untuk memejamkan mata, aku malah bermimpi, dikejar bayi yang berteriak memanggil Papa. Ketika tersentak bangun, hatiku nyeri sekali. Apa Nadhira sedang menyampaikan sesuatu pada Tuhan dan meminta keadilan?  Aku menyeret langkah menuju kamar mandi lalu menangis di bawah kucuran air kran shower. Ini hanya awal, 'kan? Setelah semua terbukti, aku mungkin sudah terbiasa akan kesendirian juga luka. Biarkan aku mengemas kenangan yang berbalut luka dengan jalan pilihan ini. Sebelum badanku menggigil, lebih baik acara mandi sembari menangis ini disudahi saja. Aku sendirian di sini, akan sangat merepotkan jika kondisi badan drop lagi. Aku membuka resleting koper, mencari pakaian yang sesuai.  Hanya ada jeans ukuran tiga per empat dan baju bahan rajut lengan panjang. Stok pakaian hanya cukup untuk beberapa hari ke depan, artinya aku memang harus belanja. Jika melihat
더 보기

Menghadapi Luka

"Aline, ini Mami. Pulang! Kondisi perusahaan sedang di ujung tanduk. Papi dan Bunda sakit." Suara ketus di seberang pembicaraan menyentakku bangun dari ranjang.Hari ini, tepat dua bulan aku bersembunyi. Bertingkah seperti orang normal, menjalani tiap detik waktu dengan lubang di hati yang semakin menganga. Hanya ada satu orang yang mengetahui nomor baru ini. Jadi dengan mata terpejam aku mengangkat ponsel. Apakah Aunty Lia akhirnya membuka mulut karena kondisi di sana berimbas karena pelarianku?"Aline, kamu dengar Mami, 'kan? Pulang! Apa kamu mau Papi ... terpuruk karena keegoisan kamu?" Ada getar yang kentara di suara Mami.Apa Mami takut kehilangan Papi? Apa pelarian ini akhirnya mampu mencairkan gunung es di hati Mami?"Iya, Mi. Aline pulang." "Mami tunggu. Aline ...," panggil Mami."Ya, Mi." "Maaf." Lalu pembicaraan terputus.Maaf? Seorang Mami mengucapkan maaf untuk aku? Bukannya selama ini aku h
더 보기

Jangan Paksa Aku

Aku memijat pelipis. Permintaan Bunda tadi membuatku disergap kebingungan. Bagaimana bisa menjadi anaknya Bunda, jika ada perempuan lain yang sedang hamil dan menunggu kepastian? Untung saja Bunda tidak mendesak jawaban dariku. Bram juga hanya diam memandangi kami. Ketika akhirnya Ayah datang, aku langsung menyalami dan meminta maaf. Satu ketakutan sirna, tidak ada satu pun yang membenci kelakuanku kabur dari Bram."Bram, bawa Aline pulang. Biar gantian Ayah yang jaga Bunda. Kalian bahas masalah yang belum selesai, ya," ujar Ayah.Aku tak mungkin mendebat Ayah. Lebih baik nanti saja menolak keinginan Bram di parkiran. "Aline pamit. Bunda cepat sembuh, ya. Aline janji gak akan kabur lagi." Aku mencium pipi Bunda.Setelah pintu kamar Bunda tertutup, aku kembali melangkah ke ruang rawat Papi. "Papi, Mami, Aline pulang dulu, ya. Ada yang mau diomongin sama Bram." Aku mencium pipi Papi lalu beralih ke Mami.Bram ikut berp
더 보기

Kehilangan Hak

Aku terbangun dan mendapati Bram sedang tidur dengan posisi mendekap erat dari belakang. Perlahan-lahan aku bergeser, mencoba melepas tangannya lalu berbalik badan, wajah tampan itu tampak lelah, cambang yang tak tercukur rapi dan ada kumis tipis tumbuh berantakan.Dahulu, aku paling suka duduk di pangkuannya untuk membantu bercukur. Setelah itu dia akan menghujaniku dengan kecupan. "Morning, My Pretty Sleeping Beauty," sapa Bram, serak, dengan mata masih terpejam.Aku terkejut. Ternyata dia sudah bangun dan menyadari kalau aku sedang memandangi. "Aku ... mau mandi. Mau siap-siap pergi kerja." Aku melepaskan diri lalu bergegas menuju kamar mandi.Namun, Bram malah mengejarku. Dia mendorong tubuhku merapat ke dinding. "Bram!" tolakku.Bram mengurungku dengan kedua tangannya. "Aku rindu." Lalu dia mendekat dan mulai memagut, pelan.Namun, tak lama kemudian, dia menaikkan tempo. Turun perlahan menjelajahi ceruk l
더 보기

Pesan Berisi Teror

"Kamu tau jawabannya, Al. Jangan meragukan kesungguhan hati aku." Arkana tersenyum. "Kita balik, ya. Aku antar kamu, ke mana pun itu."  Ketika akhirnya Arkana meninggalkan aku sendiri di hotel, kalimatnya masih saja menggema di kepala. Mumet. Aku mengaktifkan ponsel. Pesan masuk beruntun, panggilan tak terjawab, semua dari Bram.  [Kamu di mana, Baby? Pulang, please. Maafin aku.] [Jangan pergi lagi, Sayang. Aku gak bisa tanpa kamu.] [Aku salah. Aku terlalu cemburu. Aku percaya kamu seutuhnya. Pulang, ya. Aku siap dihukum sama kamu.] [Baby, maaf.] [Babe, kangen.] Beragam pesan masuk lainnya. Aku scroll sampai ke bawah. Satu pengirim pesan menarik perhatianku. Tanpa nama dan aku pun tak mengenal kontaknya.  Ketika aku membuka pesan masuk itu, hati seperti sedang dicabik-cabik. Foto candid Bram bersama Nadhira, candle light dinner. Mereka berdua tampak mesra dan tersenyum bahagia. Aneka foto c
더 보기

Arkana dan Zanna

Arkana datang lagi. Membawa bubur ayam dan air jahe hangat. Aku menolak untuk makan. Namun dengan telaten lelaki ini menyuapiku. "Kamu tidur aja. Aku jagain." Tanpa berucap sepatah kata pun, aku benar-benar melakukannya. Tidur memunggungi Arkana yang duduk di kursi samping ranjang. Ponsel Arkana berdering. Terdengar suara kursi digeser dan langkah yang menjauh. Mungkin telepon penting dan tidak ingin menganggu aku. ==Runaway_Bridesmaids==Aku tidak mungkin menemui Bunda dalam kondisi sekacau ini. Saat terbangun pagi tadi, aku memang merasa tubuh sudah lebih bertenaga. Kuputuskan untuk mandi, mengganti pakaian, memakai lipstik dan bedak. Arkana masuk setelah aku selesai mengeringkan rambut memakai hair dryer milik hotel. "Sarapan, Al." Arkana meletakkan box makanan di meja, lalu berbalik badan menatapku lembut. "Hm, aku suka kamu yang hari ini. Jauh lebih segar dan cantik." "Aku gak bole
더 보기

Masih Belum Terbiasa

Ketika aku dan Zanna melangkah masuk ke apartemen, Bibi ada di dalam.“Non, sehat? Mau Bibi masakin sesuatu?”“Saya sehat. Udah makan juga, Bi. Oh iya, kenalin, ini Anya, kembaran saya.”Zanna mengulurkan tangan seraya tersenyum ramah.“Dua-duanya cantik. Bibi tinggal ya, Non. Mau nyuci pakaian.”Jika dalam kondisi normal, aku pasti menyembunyikan satu atau dua kemeja bekas pakai Bram untuk menemani tidur. Namun kali ini tidak akan aku lakukan karena harus mengenyahkan semua kenangan tentang dia.“Sis, aku nunggu di sofa aja.”Aku mengangguk lalu berjalan ke kamar. Begitu pintu dibuka, aroma kamar yang aku rindukan langsung menyergap. Kenangan indah penuh cinta membuat hatiku bergetar. Menjauh dari segala tempat yang memiliki arti khusus memang harus aku lakukan. Jika tidak, aku akan semakin sakit karena terombang-ambing berkubang cinta yang belum bisa padam.Aku menuju walking cl
더 보기
이전
1
...
456789
DMCA.com Protection Status