Papi memintaku untuk tinggal di apartemen yang baru dibeli. Sayangnya, aku tidak mau pulang ke mana pun. Tidak ke rumah orang tua atau apartemen Bram.
Cairan infus yang menetes satu-satu adalah objek pandangan kali ini. Keheningan juga menjadi teman. Bram belum kembali setelah diminta keluar oleh Papi.
Tak banyak yang diucapkan oleh Papi padaku. Beliau hanya meminta untuk tetap bertahan seburuk apa pun keadaan. Bisakah? Apa mungkin aku bisa menjalani hari sebagai istrinya Bram, sedangkan di Bali sana Nadhira cemas menanti kepastian?
Pintu ruangan rawat terbuka. Zanna datang bersama Arkana. "Sissy. Gimana kondisi kamu?"
Aku tersenyum. "Hanya kecapekan, Nya. Jangan cemas."
"Bayi kamu gimana?" celetuk Arkana.
Aku menggeleng. Bukan saat yang tepat membicarakan tentang anak saat ini. Tangisku luruh lagi.
Zanna langsung memelukku erat. Lidahku kelu, tak sanggup untuk berbasa-basi.
"Maaf," ucap Arkan
"Kamu gak perlu mengundurkan diri, Aline. Biar Aunty yang back up selama kamu butuh waktu. Jangan sungkan untuk menghubungi Aunty. Ya?" Mata Aunty Lia berkaca-kaca saat mengelus pipiku."Makasih banyak, Aunty. Aline sayang Aunty." Aku memeluk erat tubuh Aunty Lia tersayang."Have a safe flight, Aline. Kabari kalo udah sampai.""Aye aye, Capten." Lalu aku berbalik seraya menyeret koper berisi beberapa potong pakaian baru yang dibelikan oleh Aunty Lia.Selamat tinggal, Jakarta. Izinkan aku menepi untuk menyembuhkan luka. Jika memang takdir menuliskan kisah yang berbeda, bisa saja aku tak akan kembali lagi ke kota ini. Kali ini, aku melarikan diri dari segala impian yang pernah dirajut dengan indah karena kenyataan begitu pahit seperti menelan empedu.Aku memakai sunglasses untuk menutupi mata yang bengkak karena semalaman menangis. Aku merasa bersalah karena meninggalkan Bram sendiri menghadapi masalah ini. Namun, bertahan di bersamanya j
Aku bangun pagi sekali atau lebih tepatnya tidak bisa tidur nyenyak. Baru saja mencoba untuk memejamkan mata, aku malah bermimpi, dikejar bayi yang berteriak memanggil Papa. Ketika tersentak bangun, hatiku nyeri sekali. Apa Nadhira sedang menyampaikan sesuatu pada Tuhan dan meminta keadilan? Aku menyeret langkah menuju kamar mandi lalu menangis di bawah kucuran air kran shower. Ini hanya awal, 'kan? Setelah semua terbukti, aku mungkin sudah terbiasa akan kesendirian juga luka. Biarkan aku mengemas kenangan yang berbalut luka dengan jalan pilihan ini. Sebelum badanku menggigil, lebih baik acara mandi sembari menangis ini disudahi saja. Aku sendirian di sini, akan sangat merepotkan jika kondisi badan drop lagi. Aku membuka resleting koper, mencari pakaian yang sesuai. Hanya ada jeans ukuran tiga per empat dan baju bahan rajut lengan panjang. Stok pakaian hanya cukup untuk beberapa hari ke depan, artinya aku memang harus belanja. Jika melihat
"Aline, ini Mami. Pulang! Kondisi perusahaan sedang di ujung tanduk. Papi dan Bunda sakit." Suara ketus di seberang pembicaraan menyentakku bangun dari ranjang.Hari ini, tepat dua bulan aku bersembunyi. Bertingkah seperti orang normal, menjalani tiap detik waktu dengan lubang di hati yang semakin menganga.Hanya ada satu orang yang mengetahui nomor baru ini. Jadi dengan mata terpejam aku mengangkat ponsel. Apakah Aunty Lia akhirnya membuka mulut karena kondisi di sana berimbas karena pelarianku?"Aline, kamu dengar Mami, 'kan? Pulang! Apa kamu mau Papi ... terpuruk karena keegoisan kamu?" Ada getar yang kentara di suara Mami.Apa Mami takut kehilangan Papi? Apa pelarian ini akhirnya mampu mencairkan gunung es di hati Mami?"Iya, Mi. Aline pulang.""Mami tunggu. Aline ...," panggil Mami."Ya, Mi.""Maaf." Lalu pembicaraan terputus.Maaf? Seorang Mami mengucapkan maaf untuk aku? Bukannya selama ini aku h
Aku memijat pelipis. Permintaan Bunda tadi membuatku disergap kebingungan. Bagaimana bisa menjadi anaknya Bunda, jika ada perempuan lain yang sedang hamil dan menunggu kepastian?Untung saja Bunda tidak mendesak jawaban dariku. Bram juga hanya diam memandangi kami. Ketika akhirnya Ayah datang, aku langsung menyalami dan meminta maaf. Satu ketakutan sirna, tidak ada satu pun yang membenci kelakuanku kabur dari Bram."Bram, bawa Aline pulang. Biar gantian Ayah yang jaga Bunda. Kalian bahas masalah yang belum selesai, ya," ujar Ayah.Aku tak mungkin mendebat Ayah. Lebih baik nanti saja menolak keinginan Bram di parkiran."Aline pamit. Bunda cepat sembuh, ya. Aline janji gak akan kabur lagi." Aku mencium pipi Bunda.Setelah pintu kamar Bunda tertutup, aku kembali melangkah ke ruang rawat Papi."Papi, Mami, Aline pulang dulu, ya. Ada yang mau diomongin sama Bram." Aku mencium pipi Papi lalu beralih ke Mami.Bram ikut berp
Aku terbangun dan mendapati Bram sedang tidur dengan posisi mendekap erat dari belakang. Perlahan-lahan aku bergeser, mencoba melepas tangannya lalu berbalik badan, wajah tampan itu tampak lelah, cambang yang tak tercukur rapi dan ada kumis tipis tumbuh berantakan.Dahulu, aku paling suka duduk di pangkuannya untuk membantu bercukur. Setelah itu dia akan menghujaniku dengan kecupan."Morning, My Pretty Sleeping Beauty," sapa Bram, serak, dengan mata masih terpejam.Aku terkejut. Ternyata dia sudah bangun dan menyadari kalau aku sedang memandangi."Aku ... mau mandi. Mau siap-siap pergi kerja." Aku melepaskan diri lalu bergegas menuju kamar mandi.Namun, Bram malah mengejarku. Dia mendorong tubuhku merapat ke dinding."Bram!" tolakku.Bram mengurungku dengan kedua tangannya. "Aku rindu." Lalu dia mendekat dan mulai memagut, pelan.Namun, tak lama kemudian, dia menaikkan tempo. Turun perlahan menjelajahi ceruk l
"Kamu tau jawabannya, Al. Jangan meragukan kesungguhan hati aku." Arkana tersenyum. "Kita balik, ya. Aku antar kamu, ke mana pun itu." Ketika akhirnya Arkana meninggalkan aku sendiri di hotel, kalimatnya masih saja menggema di kepala. Mumet. Aku mengaktifkan ponsel. Pesan masuk beruntun, panggilan tak terjawab, semua dari Bram. [Kamu di mana, Baby? Pulang, please. Maafin aku.] [Jangan pergi lagi, Sayang. Aku gak bisa tanpa kamu.] [Aku salah. Aku terlalu cemburu. Aku percaya kamu seutuhnya. Pulang, ya. Aku siap dihukum sama kamu.] [Baby, maaf.] [Babe, kangen.] Beragam pesan masuk lainnya. Aku scroll sampai ke bawah. Satu pengirim pesan menarik perhatianku. Tanpa nama dan aku pun tak mengenal kontaknya. Ketika aku membuka pesan masuk itu, hati seperti sedang dicabik-cabik. Foto candid Bram bersama Nadhira, candle light dinner. Mereka berdua tampak mesra dan tersenyum bahagia. Aneka foto c
Arkana datang lagi. Membawa bubur ayam dan air jahe hangat. Aku menolak untuk makan. Namun dengan telaten lelaki ini menyuapiku."Kamu tidur aja. Aku jagain."Tanpa berucap sepatah kata pun, aku benar-benar melakukannya. Tidur memunggungi Arkana yang duduk di kursi samping ranjang.Ponsel Arkana berdering. Terdengar suara kursi digeser dan langkah yang menjauh. Mungkin telepon penting dan tidak ingin menganggu aku.==Runaway_Bridesmaids==Aku tidak mungkin menemui Bunda dalam kondisi sekacau ini. Saat terbangun pagi tadi, aku memang merasa tubuh sudah lebih bertenaga. Kuputuskan untuk mandi, mengganti pakaian, memakai lipstik dan bedak.Arkana masuk setelah aku selesai mengeringkan rambut memakai hair dryer milik hotel."Sarapan, Al." Arkana meletakkan box makanan di meja, lalu berbalik badan menatapku lembut. "Hm, aku suka kamu yang hari ini. Jauh lebih segar dan cantik.""Aku gak bole
Ketika aku dan Zanna melangkah masuk ke apartemen, Bibi ada di dalam.“Non, sehat? Mau Bibi masakin sesuatu?”“Saya sehat. Udah makan juga, Bi. Oh iya, kenalin, ini Anya, kembaran saya.”Zanna mengulurkan tangan seraya tersenyum ramah.“Dua-duanya cantik. Bibi tinggal ya, Non. Mau nyuci pakaian.”Jika dalam kondisi normal, aku pasti menyembunyikan satu atau dua kemeja bekas pakai Bram untuk menemani tidur. Namun kali ini tidak akan aku lakukan karena harus mengenyahkan semua kenangan tentang dia.“Sis, aku nunggu di sofa aja.”Aku mengangguk lalu berjalan ke kamar. Begitu pintu dibuka, aroma kamar yang aku rindukan langsung menyergap. Kenangan indah penuh cinta membuat hatiku bergetar. Menjauh dari segala tempat yang memiliki arti khusus memang harus aku lakukan. Jika tidak, aku akan semakin sakit karena terombang-ambing berkubang cinta yang belum bisa padam.Aku menuju walking cl
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi