Aku memijat pelipis. Permintaan Bunda tadi membuatku disergap kebingungan. Bagaimana bisa menjadi anaknya Bunda, jika ada perempuan lain yang sedang hamil dan menunggu kepastian?
Untung saja Bunda tidak mendesak jawaban dariku. Bram juga hanya diam memandangi kami. Ketika akhirnya Ayah datang, aku langsung menyalami dan meminta maaf. Satu ketakutan sirna, tidak ada satu pun yang membenci kelakuanku kabur dari Bram.
"Bram, bawa Aline pulang. Biar gantian Ayah yang jaga Bunda. Kalian bahas masalah yang belum selesai, ya," ujar Ayah.
Aku tak mungkin mendebat Ayah. Lebih baik nanti saja menolak keinginan Bram di parkiran.
"Aline pamit. Bunda cepat sembuh, ya. Aline janji gak akan kabur lagi." Aku mencium pipi Bunda.
Setelah pintu kamar Bunda tertutup, aku kembali melangkah ke ruang rawat Papi.
"Papi, Mami, Aline pulang dulu, ya. Ada yang mau diomongin sama Bram." Aku mencium pipi Papi lalu beralih ke Mami.
Bram ikut berp
Aku terbangun dan mendapati Bram sedang tidur dengan posisi mendekap erat dari belakang. Perlahan-lahan aku bergeser, mencoba melepas tangannya lalu berbalik badan, wajah tampan itu tampak lelah, cambang yang tak tercukur rapi dan ada kumis tipis tumbuh berantakan.Dahulu, aku paling suka duduk di pangkuannya untuk membantu bercukur. Setelah itu dia akan menghujaniku dengan kecupan."Morning, My Pretty Sleeping Beauty," sapa Bram, serak, dengan mata masih terpejam.Aku terkejut. Ternyata dia sudah bangun dan menyadari kalau aku sedang memandangi."Aku ... mau mandi. Mau siap-siap pergi kerja." Aku melepaskan diri lalu bergegas menuju kamar mandi.Namun, Bram malah mengejarku. Dia mendorong tubuhku merapat ke dinding."Bram!" tolakku.Bram mengurungku dengan kedua tangannya. "Aku rindu." Lalu dia mendekat dan mulai memagut, pelan.Namun, tak lama kemudian, dia menaikkan tempo. Turun perlahan menjelajahi ceruk l
"Kamu tau jawabannya, Al. Jangan meragukan kesungguhan hati aku." Arkana tersenyum. "Kita balik, ya. Aku antar kamu, ke mana pun itu." Ketika akhirnya Arkana meninggalkan aku sendiri di hotel, kalimatnya masih saja menggema di kepala. Mumet. Aku mengaktifkan ponsel. Pesan masuk beruntun, panggilan tak terjawab, semua dari Bram. [Kamu di mana, Baby? Pulang, please. Maafin aku.] [Jangan pergi lagi, Sayang. Aku gak bisa tanpa kamu.] [Aku salah. Aku terlalu cemburu. Aku percaya kamu seutuhnya. Pulang, ya. Aku siap dihukum sama kamu.] [Baby, maaf.] [Babe, kangen.] Beragam pesan masuk lainnya. Aku scroll sampai ke bawah. Satu pengirim pesan menarik perhatianku. Tanpa nama dan aku pun tak mengenal kontaknya. Ketika aku membuka pesan masuk itu, hati seperti sedang dicabik-cabik. Foto candid Bram bersama Nadhira, candle light dinner. Mereka berdua tampak mesra dan tersenyum bahagia. Aneka foto c
Arkana datang lagi. Membawa bubur ayam dan air jahe hangat. Aku menolak untuk makan. Namun dengan telaten lelaki ini menyuapiku."Kamu tidur aja. Aku jagain."Tanpa berucap sepatah kata pun, aku benar-benar melakukannya. Tidur memunggungi Arkana yang duduk di kursi samping ranjang.Ponsel Arkana berdering. Terdengar suara kursi digeser dan langkah yang menjauh. Mungkin telepon penting dan tidak ingin menganggu aku.==Runaway_Bridesmaids==Aku tidak mungkin menemui Bunda dalam kondisi sekacau ini. Saat terbangun pagi tadi, aku memang merasa tubuh sudah lebih bertenaga. Kuputuskan untuk mandi, mengganti pakaian, memakai lipstik dan bedak.Arkana masuk setelah aku selesai mengeringkan rambut memakai hair dryer milik hotel."Sarapan, Al." Arkana meletakkan box makanan di meja, lalu berbalik badan menatapku lembut. "Hm, aku suka kamu yang hari ini. Jauh lebih segar dan cantik.""Aku gak bole
Ketika aku dan Zanna melangkah masuk ke apartemen, Bibi ada di dalam.“Non, sehat? Mau Bibi masakin sesuatu?”“Saya sehat. Udah makan juga, Bi. Oh iya, kenalin, ini Anya, kembaran saya.”Zanna mengulurkan tangan seraya tersenyum ramah.“Dua-duanya cantik. Bibi tinggal ya, Non. Mau nyuci pakaian.”Jika dalam kondisi normal, aku pasti menyembunyikan satu atau dua kemeja bekas pakai Bram untuk menemani tidur. Namun kali ini tidak akan aku lakukan karena harus mengenyahkan semua kenangan tentang dia.“Sis, aku nunggu di sofa aja.”Aku mengangguk lalu berjalan ke kamar. Begitu pintu dibuka, aroma kamar yang aku rindukan langsung menyergap. Kenangan indah penuh cinta membuat hatiku bergetar. Menjauh dari segala tempat yang memiliki arti khusus memang harus aku lakukan. Jika tidak, aku akan semakin sakit karena terombang-ambing berkubang cinta yang belum bisa padam.Aku menuju walking cl
Aku menggeleng cepat. "Gak, Aline. Jangan bodoh! Kamu berhak bahagia. Lanjutkan hidup dengan kepala tegak!"Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Semua ini pasti akan berlalu. Sakit ini juga bakalan hilang seiring berjalannya waktu."Aku bangkit lalu masuk ke kamar. Ingin berbicara dengan Papi.Ketika mengaktifkan ponsel, tidak ada pesan masuk dari Bram. Astaga, sadar Aline! Jangan norak! Dia di sana pasti sedang sibuk mengurus perempuan itu.Justru ada pesan masuk dari nomor tak dikenal lain. Aku membukanya lalu berteriak. Potongan gambar janin yang digugurkan, penuh dengan genangan darah.Ponsel berdering. Nomor tak dikenal lagi. Ini teror seperti apa? Aku salah apa?"Kamu mau apa? Bukannya aku sudah ikhlasin Bram untuk gadis itu? Apa lagi, sih?""Balas dendam. Kamu harus bertanggung jawab.""Tanggung jawab apa? Aku tidak kenal kamu. Berhenti ganggu aku!"Suara ta
“Kamu … kok ada di sini?”“Aku ke sini untuk jemput perempuan yang masih berstatus istri. Dan ternyata istri aku malah diantar sama mantan tunangannya. Di titik ini, boleh aku cemburu, Zeline?” Bram bersedekap.“Jangan salah paham, Bro. Aku tidak melanggar batasan,” timpal Arkana. Kehadiran Bram membuatnya tidak jadi pergi ke kantor.“I’m not talking with you. Just go!” Bram mengusir.“Hei, santai. Aku hanya meluruskan keadaan. Kalau kamu terus-terusan egois kayak gini, yang ada Aline malah lari. Apa kamu gak liat kondisi dia? Dia lagi down banget.” Arkana tak mau kalah.“Zeline istri aku. Aku yang berhak penuh. Kamu tau apa tentang kami? Sana, menjauh! Urus saja istri kamu!”Tangan Arkana mengepal. Beberapa pegawai Mami melintas dan menaruh perhatian atas pertengkaran ini.“Stop! Kalian berdua, berhenti! Ini lingkungan kerja. Aku gak mau kalian
"Berapa hari lagi kamu mau nginap di sini?" Bram mengekori langkahku masuk kamar hotel."Aku gak tau.""Baby, please. Nada bicaranya tolong agak lembut, bisa? Sakit banget rasanya tiap kamu ngomong selalu ketus. Aku kangen Zeline yang manja.""Zeline yang itu udah gak ada. Kamu yang buat aku kayak gini. Aku ketus aja kamu masih ngotot ngejar. Malesin tau, gak!" Aku mengomel tanpa berbalik badan, tetap melangkah ke arah balkon.Tiba-tiba Bram memeluk dari belakang. Menyusupkan wajahnya di geraian rambutku, menopangkan dagu di bahu. Aku tahu apa yang dia inginkan."Kenapa aku tetap ngejar kamu? Karena aku cinta mati sama kamu. Walau posisiku sekarang tidak menguntungkan, tapi aku tau tak lama lagi kebenaran akan terkuak."Aku tahu Bram ini negosiator ulung. Terbiasa memenangkan tender. Memiliki daya pikat untuk menaklukkan lawan. Juga tak segan menyingkirkan lawan tanpa harus mengotori tangannya. Selama gemrincing uang
Aku mengenakan gaun berwarna hitam yang berpotongan sederhana untuk ajakan makan malam kali ini. Tak ingin terlambat membuatku sudah sampai terlebih dahulu. Tak kutemukan mobil Arkana di parkiran. Aku memutuskan untuk masuk terlebih dahulu dan menunggu Arkana di restoran saja. Tak biasanya Arkana datang terlambat. Ketika ingin menghubunginya, pandanganku mengarah ke pintu masuk restoran. Aku tak mampu menyembunyikan rasa terkejut ketika melihat sosok yang datang mendekat. "Anya," panggilku lirih. Bukannya tadi yang mengirim pesan itu Arkana? Kenapa yang datang malah Zanna? Ini ... jebakan? "Hai, Kak. Lama kita tak berkabar, ya." Kak? Sejak kapan ia memanggilku dengan sebutan itu? "Aku to the point aja, ya. Maaf, aku yang diam-diam mengirim pesan ke nomor baru kamu. Menyamar sebagai Arkana." Aku menyesap minuman untuk menutupi rasa gugup yang mendadak hadir. Kenapa rasanya seperti kepergok sedang menggo