“Kamu … kok ada di sini?”
“Aku ke sini untuk jemput perempuan yang masih berstatus istri. Dan ternyata istri aku malah diantar sama mantan tunangannya. Di titik ini, boleh aku cemburu, Zeline?” Bram bersedekap.
“Jangan salah paham, Bro. Aku tidak melanggar batasan,” timpal Arkana. Kehadiran Bram membuatnya tidak jadi pergi ke kantor.
“I’m not talking with you. Just go!” Bram mengusir.
“Hei, santai. Aku hanya meluruskan keadaan. Kalau kamu terus-terusan egois kayak gini, yang ada Aline malah lari. Apa kamu gak liat kondisi dia? Dia lagi down banget.” Arkana tak mau kalah.
“Zeline istri aku. Aku yang berhak penuh. Kamu tau apa tentang kami? Sana, menjauh! Urus saja istri kamu!”
Tangan Arkana mengepal. Beberapa pegawai Mami melintas dan menaruh perhatian atas pertengkaran ini.
“Stop! Kalian berdua, berhenti! Ini lingkungan kerja. Aku gak mau kalian
"Berapa hari lagi kamu mau nginap di sini?" Bram mengekori langkahku masuk kamar hotel."Aku gak tau.""Baby, please. Nada bicaranya tolong agak lembut, bisa? Sakit banget rasanya tiap kamu ngomong selalu ketus. Aku kangen Zeline yang manja.""Zeline yang itu udah gak ada. Kamu yang buat aku kayak gini. Aku ketus aja kamu masih ngotot ngejar. Malesin tau, gak!" Aku mengomel tanpa berbalik badan, tetap melangkah ke arah balkon.Tiba-tiba Bram memeluk dari belakang. Menyusupkan wajahnya di geraian rambutku, menopangkan dagu di bahu. Aku tahu apa yang dia inginkan."Kenapa aku tetap ngejar kamu? Karena aku cinta mati sama kamu. Walau posisiku sekarang tidak menguntungkan, tapi aku tau tak lama lagi kebenaran akan terkuak."Aku tahu Bram ini negosiator ulung. Terbiasa memenangkan tender. Memiliki daya pikat untuk menaklukkan lawan. Juga tak segan menyingkirkan lawan tanpa harus mengotori tangannya. Selama gemrincing uang
Aku mengenakan gaun berwarna hitam yang berpotongan sederhana untuk ajakan makan malam kali ini. Tak ingin terlambat membuatku sudah sampai terlebih dahulu. Tak kutemukan mobil Arkana di parkiran. Aku memutuskan untuk masuk terlebih dahulu dan menunggu Arkana di restoran saja. Tak biasanya Arkana datang terlambat. Ketika ingin menghubunginya, pandanganku mengarah ke pintu masuk restoran. Aku tak mampu menyembunyikan rasa terkejut ketika melihat sosok yang datang mendekat. "Anya," panggilku lirih. Bukannya tadi yang mengirim pesan itu Arkana? Kenapa yang datang malah Zanna? Ini ... jebakan? "Hai, Kak. Lama kita tak berkabar, ya." Kak? Sejak kapan ia memanggilku dengan sebutan itu? "Aku to the point aja, ya. Maaf, aku yang diam-diam mengirim pesan ke nomor baru kamu. Menyamar sebagai Arkana." Aku menyesap minuman untuk menutupi rasa gugup yang mendadak hadir. Kenapa rasanya seperti kepergok sedang menggo
Melihat Zanna terbaring lemah di ranjang rawat, aku seperti dilempar ke masa lalu. Saat di mana aku terpuruk dalam penyesalan. Langkahku gemetar. Ketika hampir mendekat, kaki nyaris kehilangan keseimbangan, aku mencengkeram pinggir ranjang.Arkana sigap mengeser kursi untuk aku duduk. "Kamu gak apa-apa, Al?""Aku takut, Kan. Aku trauma liat Anya kayak gini. Ini gara-gara aku marah sama Anya tadi malam. Salah aku." Tangisku tumpah."Gak, Al. Aku yang salah. Tadi aku gak jadi ke kantor. Aku malah pulang dan marah-marah sama Anya karena udah lancang bajak HP aku."Ini andil kami berdua! Zanna pasti merasa terguncang dua kali. Kami berdua memiliki arti yang sangat penting baginya. Kebodohan apa lagi ini?Aku meremas tangan Zanna. "Maaf, Nya. Aku gak akan pernah bisa melihat kamu kayak gini."Arkana duduk dengan wajah gelisah. Aku mengernyit. Lelaki ini mencemaskan keadaan Zanna atau hanya peduli pada nasib darah dagingnya saja?
“Laurence? You here?” Aku risi melihat perempuan menor yang menempel seperti lintah di badannya.Pakaian yang dikenakan juga terbuka di mana-mana. Belum lagi jejak beberapa kissmark yang kentara di bagian dada. Menandakan gempuran Laurence di tiap inchi lekuk tubuh jalang ini. Entah kenapa otakku langsung durjana. Melihat gelagatnya, perempuan ini pasti tipe beringas dan sangat berisik di ranjang. Cih!“Aku baru mau balik. I’m done with her.” Laurence memberi isyarat dengan lirikan mata.“Oke. Bye.” Aku melanjutkan langkah menuju lift.Aku ingat pernah bertanya kepada Bram, kenapa Laurence masih saja betah melajang. Jika dilihat dari segi penampilan, wajah, penghasilan dan otaknya di atas rata-rata. Jangankan perempuan jalang tadi, gadis baik-baik pun pasti mudah larut dalam pesona lelaki blasteran itu. Makanya aku pernah mencemaskan keadaan Nadhira ketika meninggalkannya berdua dengan Laurence di villa.En
"Saya akan memberikan semua yang Anda butuhkan. Temani saya makan. Bisa?""Sepertinya Anda tipe perempuan yang sangat ambisius, ya!" sindir Bram.Aku tetap melanjutkan makan dengan gaya seanggun mungkin. Sampai akhirnya aku menghabiskan satu porsi steak tenderloin, rekan yang ditunggu oleh Bram tak kunjung datang."So? Apa kita harus menunggu rekan Anda atau bisa langsung dimulai saja?""Sorry. Saya kehilangan semangat untuk membahas bisnis. Kita reschedule aja." Bram hendak beranjak."Wait. Tolong sebutkan nomor ponsel dan alamat Anda. Mungkin kerja sama kita bisa berlanjut." Aku tertawa menggoda.Rasanya Zeline seperti punya kepribadian ganda malam ini! Hanya saja aku benar-benar penasaran. Masa Bram tidak bisa mengenali sama sekali? Dia ini lugu atau bego?Bram kembali duduk lalu merogoh saku celana. "Mention your number." Jemarinya standby di keypad.Aku menyebutkan nomor ponsel baru, sembari menyunggingkan senyuman terbaik
Aku terbangun dengan posisi tubuh dipeluk dari belakang. Lengan kokoh Bram melingkari perutku, posesif. Aku juga tak mengerti mengapa semua rasa sakit menguap ketika melihatnya termenung sendirian di lokasi proyek semalam. Rasanya seperti menemukan kembali cinta yang sempat dirampas paksa. “Honey.” Aku melepaskan diri dari dekapan Bram. Namun, Bram hanya melenguh pelan, masih enggan membuka mata. Mungkin lelah karena mengarungi malam panjang yang manis bersamaku. Aku menyentuhkan jari telunjuk menelusuri alis, mata, hidung dan bibirnya. Tiba-tiba perutku terasa seperti diaduk-aduk. Sedikit tergesa aku turun dari ranjang, lalu menyambar jubah tidur satin. Belum sempat mengikatkan talinya, rasa mual menyerang, membuatku tergesa menuju kamar mandi. Tak hanya muntah, kepala pun terasa nyeri mendadak. Apa aku salah makan atau masuk angin karena bergadang bersama Bram? “Baby, are you oke?” Bram ikut masuk dan berjongkok di sebelahku. “Aku mual bange
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi