Share

Bab 2

Tanpa sadar, air mata menetes dan riasan matanya pun ikut luntur.

Matanya tertuju pada cincin berlian di jari manis kirinya.

Fiona merasakan ada firasat buruk. Wanita yang tiba-tiba muncul itu akan mengancam kebahagiaan yang sudah lama dirinya dambakan.

Dirinya tidak bisa hanya menunggu di sini, dia harus mencari tahu siapa wanita itu.

Setelah menenangkan diri sejenak, Fiona melangkah kembali ke hotel.

Pesawat dari Negara Moro mendarat di Negara Hagoi.

Di Rumah Sakit Broswal.

Fiona berdiri di depan pintu ruang rawat, melipat kedua tangan di depan dada dan mencoba melihat ke dalam melalui jendela pintu.

Diko Saputra, sahabat Jack yang juga kepala rumah sakit sedang melakukan pemeriksaan bersama dokter terhadap seorang wanita yang gelisah terbaring di ranjang.

Wanita itu ditahan oleh dua perawat wanita.

Di pesawat, wajah wanita tersebut telah dibersihkan dan dipakaikan pakaian bersih.

“Cintya Fion? Bukannya dia … “ sudah menghilang tanpa jejak selama empat tahun?

Ujar Diko terkejut. Dari mana Jack menemukan Cintya?

Keluarga Kusanda sudah mengerahkan segala koneksi mereka untuk mencarinya selama empat tahun dan akhirnya menyerah. Namun sekarang dia malah muncul begitu saja?

Usai memeriksanya, dokter dan perawat meninggalkan ruangan.

Di dalam kamar, suasana senyap.

Beberapa saat kemudian, suara Jack terdengar dan memandangi wanita di ranjang yang sudah tertidur pulas setelah diberikan suntikan penenang, “Bagaimana kondisinya?”

“Dia kekurangan gizi, trauma dan mengalami depresi ringan, tapi nggak ada masalah serius lainnya. Cukup istirahat beberapa waktu, dia akan pulih.”

Jack berdiri di samping ranjang, tampak berniat untuk menjaga wanita itu.

Diko ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya menelan kata-katanya kembali dan keluar dari ruangan.

Saat membuka pintu, dia melihat Fiona berdiri di luar.

Diko merasa canggung.

Mendorong bingkai kacamatanya, dia menyapa dengan senyuman hangat, “Halo Fiona.”

Fiona mengangguk menjawabnya.

“Dokter Diko, siapa nama wanita itu? Apa hubungannya dengan Jack?” tanya Fiona terus terang, dia sangat ingin tahu siapa wanita itu.

Diko tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Haruskah dia mengatakan bahwa Cintya adalah mantan kekasih terindah Jack?

Bagaimanapun juga, ini adalah urusan sahabatnya sendiri dan dirinya tidak berhak bicara banyak.

Saat dirinya ragu untuk menjawab, Jack membuka pintu dan melihat mereka berdua berdiri di depan ruangan. Dahinya mengernyit dan wajahnya terlihat kesal.

“Bukankah aku sudah menyuruhmu pulang dulu? Kenapa kamu masih di sini?” ujar Jack dengan nada tak peduli dan jengkel.

Fiona menatapnya tanpa rasa takut sama sekali. Dirinya harus mendapatkan kejelasan.

“Pria yang melamarku 16 jam yang lalu di Moro, malah menggendong wanita lain dan mengabaikanku. Sekarang bahkan nggak mau pulang ke rumah?”

“Dan bermalam di luar?”

“Jangan berlebihan. Pergi sekarang juga,” ujar Jack dengan tegas dan dingin, memandangnya seperti melihat anak buah yang tak patuh.

Diko melihat ekspresi Jack yang dingin, khawatir mereka akan bertengkar dan itu akan merugikan Fiona.

Jika Jack benar-benar marah, Fiona tak akan mendapatkan keuntungan apa-apa.

“Waktu juga sudah larut, biar aku carikan taksi untuk mengantar Fiona pulang,” kata Diko mencoba mencairkan suasana.

Fiona menolak niat baik Diko.

“Aku berlebihan? Aku ini tunanganmu! Kamu meninggalkanku di tepi jalan negara asing dan menggendong wanita lain! Pernahkah kamu memikirkan perasaanku?”

“Aku bisa pergi, tapi kamu harus ikut denganku pergi dari rumah sakit. Akan ada dokter dan perawat yang merawat wanita itu. Pulang denganku sekarang juga.”

Saking kesalnya, Fiona mencoba menarik lengan Jack.

Belum sempat menyentuhnya, tangannya malah ditahan.

Ditahan oleh Wendi, pengawal pribadi Jack.

Fiona terdiam dan tidak percaya, hatinya sangat sakit seakan terkoyak.

Padahal Jack begitu menyayanginya dan memanjakannya. Selama dirinya ingin menghubunginya, bahkan saat rapat atau perjalanan dinas sekalipun, Jack akan mengangkat teleponnya.

Selama dirinya membutuhkannya, Jack akan langsung berada di sisinya. Jika ponselnya mati dan tak bisa dihubungi, Jack akan panik dan mencarinya dimana-mana.

Namun sekarang, dengan munculnya wanita di dalam ruangan itu, dirinya bahkan tidak bisa menyentuhnya lagi?

“Apa maksudmu?” tanya Fiona dengan suara bergetar, hatinya juga ikut gemetaran.

Jack tidak menjawab, hanya menatapnya dengan dingin, seperti sedang melihat orang asing, bukan tunangan yang baru saja dia lamar.

Waktu seolah berhenti dan seolah hanya satu detik berlalu.

“Jangan terlalu kekanak-kanakan,” katanya begitu dingin dan tanpa perasaan.

Kekanak-kanakan?

Dulu, Jack sangat menyukai ketergantungannya, sangat menyukai dirinya yang begitu membutuhkannya. Tetapi sekarang, dia malah menyebutnya kekanak-kanakan?

“Baiklah, kamu bisa menemaninya di sini, tapi bagaimana dengan pernikahan kita? Kamu baru saja melamarku hari ini!” ucap Fiona dengan perasaan yang sangat menusuk.

Dia tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk menuntut penjelasan, tetapi dia tidak bisa menerima calon suaminya menemani wanita lain di rumah sakit.

Diko yang disampingnya tercengang. Pernikahan? Jack melamar Fiona? Lalu bagaimana dengan Cintya yang di dalam ruangan?

Jack melirik ke dalam ruangan untuk memastikan wanita itu tertidur dan tidak terbangun.

Fiona bisa melihat kekhawatiran di tatapan matanya. Tatapannya yang sama saat dirinya terluka, tapi kini tatapan itu untuk wanita lain.

Jack kemudian berbalik, suaranya masih terdengar dingin, “Kalau kamu nggak mau menikah, kita bisa membatalkannya saja. Ini bukan tempatmu bertingkah sesuka hati. Wendi, perintahkan sopir mengantarnya pulang.”

Jack tidak suka diancam, terutama soal pernikahan.

Usai bicara, dia membuka pintu dan masuk kembali ke ruang rawat, tak ingin melihat Fiona lagi.

Wendi membungkuk sedikit, tetap dengan sopan dia berkata, “Bu Fiona, tolong jangan menyulitkanku, sebaiknya kamu pulang sekarang."

Melihat Fiona yang begitu menyedihkan, Diko mencoba menasihatinya, “Fiona, ini sudah terlalu malam. Apapun itu, bisa dibicarakan baik-baik dengan Jack nanti.”

Namun setelah kejadian ini, masih bisakah mereka membicarakannya dengan baik?

Demi wanita lain, tunangannya malah terang-terangan mengabaikannya dan bahkan tak memedulikan harga dirinya.

Fiona merasa cahaya di lorong rumah sakit begitu menyilaukan mata, hingga pandangannya terasa kabur.

Dia sadar, jika tetap tinggal di sini, dirinya hanya akan menjadi bahan tertawaan.

Meremas tas di tangannya, Fiona berbalik untuk pergi.

Baru saja melangkah ingin pergi, tubuhnya terhuyung dan hampir terjatuh.

Diko dan Wendi segera menahannya, membantunya di kedua sisi dengan sopan.

“Aku mengantarmu ke mobil,” kata Diko.

Fiona menyandarkan diri di dinding, menarik napas dan menolak bantuannya, “Aku baik-baik saja, bisa pergi sendiri.”

Dia meninggalkan lorong itu dengan langkah tertatih, berjalan keluar dari pandangan mereka.

Setelah kembali ke ruang rawat, Jack melihat Cintya yang pucat dan kurus terbaring lemah. Hatinya terasa sesak dan aroma disinfektan alkohol di udara semakin membuatnya merasa tidak nyaman.

Dia menarik kerah kemeja, melonggarkan dua kancing teratas, tetapi tetap merasa sesak dan sulit bernapas.

Dia membuka pintu lagi, hanya melihat Diko dan Wendi di luar, tidak ada Fiona.

“Dia sudah pergi?” tanyanya, merasa sedikit lega.

Tidak ada lagi yang mengganggu Cintya sekarang.

“Iya, dia sudah pergi,” jawab Diko dengan kedua tangannya di dalam saku jas dokter dan mengangguk.

Melihat keduanya, Jack tidak bertanya lagi soal bagaimana Fiona pergi.

“Aku mau merokok di luar dulu,” ujarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status