Share

Bab 6

Fiona mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Jack.

[Pulanglah ke rumah kalau ada waktu, selesaikan urusan kita. Setelah itu, kamu bisa pergi menemani kekasihmu.]

Usai mengirimnya, Fiona pun bersiap meninggalkan rumah sakit.

“Fiona, boleh kita bicara sebentar?” Entah bagaimana caranya, Cintya muncul di sebelah Fiona dengan kursi rodanya, tanpa ada bayangan Jack di sekitarnya.

“Sepertinya kita nggak kenal.”

“Fiona, aku hanya nggak berada di sisi Jack selama tiga tahun. Aku hanya mau tahu dari kamu, bagaimana kehidupan Jack selama tiga tahun ini? Apa dia baik-baik saja? Apa dia mungkin kesulitan makan dan tidur karena nggak bisa menemukanku?”

Cintya yang kurus tampak sangat mengkhawatirkan Jack, tetapi ada nada sombong dalam ucapannya.

“Kalau mau tahu, bisa langsung tanyakan pada Jack.”

“Dia nggak akan jawab, karena takut aku khawatir.”

Fiona tidak merasa ada yang perlu dibicarakan dengan Cintya. Status mereka sangat canggung, jadi dia berbalik untuk pergi.

Dari belakang, tiba-tiba Cintya berteriak dengan emosi dan menangis. Suaranya memilukan, “Nggak! Kak Jack bilang dia sendirian selama tiga tahun ini, nggak ada wanita yang menemaninya.”

“Kamu pasti bohong, agar aku meninggalkan Kak Jack, ‘kan?!”

Fiona terkejut dan menghentikan langkahnya. Sejak kapan dirinya menyuruh Cintya untuk menjauhi Jack?

“Kak Jack, apa kehadiranku tiba-tiba mengganggu kehidupanmu dengan Fiona? Kalau iya, aku minta maaf, aku yang bersalah. Tolong jangan marahi aku, aku bisa pergi sendiri.”

“Aku akan pergi menjauh dan nggak akan muncul lagi di kehidupan kalian.”

Tangisan Cintya terdengar begitu menyedihkan hingga membuat para pasien lain yang sedang berjalan santai menoleh ke arah mereka.

Tiba-tiba Jack muncul, berdiri di belakang Cintya dan menuduh Fiona, “Fiona, sejak kapan kamu jadi orang yang begitu cemburuan? Kamu sudah tahu kondisi mental Cintya nggak stabil sekarang, kenapa malah datang ke rumah sakit dan memancing emosinya?”

Cemburuan? Jack menyebutnya cemburuan?

“Jack, dia yang datang menghampiriku dan mengatakannya sendiri. Jangan asal tuduh tanpa bukti, hanya karena dia menangis, kamu langsung menyalahkanku!” Fiona merasa kesal karena dituduh tanpa alasan.

Cintya gemetaran, tampak ketakutan dan bersembunyi di belakang Jack.

“Cintya sedang di rawat di rumah sakit, dia bahkan nggak punya kontakmu. Bagaimana bisa dia yang menghubungimu untuk datang ke sini?”

“Aku datang mengambil hasil pemeriksaan kesehatan.”

Melihat tangan Fiona yang kosong, Jack tampak tak percaya.

“Aku sudah membacanya dan baru saja kubuang ke tempat sampah,” jelas Fiona buru-buru. Dia tidak ingin terlibat dalam drama ini, tapi juga tak ingin dituduh begitu saja.

“Bohong, bohong saja terus. Fiona, aku nggak pernah sadar kamu begitu pandai berbohong.”

“Fiona, jangan mainkan trik seperti ini padaku, kamu tahu aku paling nggak suka itu.”

Cintya meletakkan tangannya di dada Jack, mengusap lembut untuk menenangkannya, “Jangan marah Kak Jack. Mungkin Fiona hanya terlalu blak-blakan, nggak bermaksud jahat. Aku baik-baik saja, tolong jangan marahi dia lagi.”

Cintya tampak berusaha menghentikan air matanya, napasnya tampak terengah-engah, menahan sedih dengan ekspresi yang menyiratkan ketegaran.

Fiona hanya merasa lelah. Dia tahu Jack tidak akan percaya padanya. Bagaimanapun dirinya membuktikannya, Jack tak akan percaya padanya. Karena Jack sudah menentukan jawabannya sendiri.

Entah itu hasil pemeriksaan kesehatan ataupun rekaman CCTV taman, semuanya bisa membuktikan kebenarannya.

Namun, Jack tidak berniat untuk memeriksanya. Cukup dengan tangisan Cintya, dia langsung menuduh Fiona sebagai wanita jahat yang cemburuan.

Saat Jack mendorong kursi roda meninggalkan taman, dari sisi yang tak terlihat oleh Jack, Cintya menajamkan sudut bibir kemenangan ke arah Fiona.

Para pasien mulai menonton dan membicarakannya.

Padahal matahari cerah bersinar, tetapi Fiona merasa dingin bagai berada di dalam gua es.

Gelombang kesedihan muncul di hati, tetapi Fiona langsung menekannya.

Tiga tahun bersama Jack, Jack mengenal siapa dirinya dan tahu dirinya tak mungkin mengatakan itu.

Tak peduli benar atau salah, Jack memang tipe orang yang membela orang terdekatnya. Pastinya dia akan melindungi kekasihnya.

Namun, kata-kata itu bukan keluar dari mulutnya, tentu saja Fiona tidak akan membiarkan dirinya dituduh begitu saja.

Fiona mengabaikan tatapan aneh orang-orang, menegakkan tubuh dan berjalan kembali ke gedung rumah sakit.

Diko muncul sambil mencatat di buku medis, berjalan beriringan dengan Jack di lorong. Dengan nada datar, dia berkomentar, “Nggak ada masalah serius pada Cintya, hanya kondisi mentalnya saja yang sedikit terganggu.”

“Aku dengar kejadian di taman belakang. Fiona sempat ke ruang CCTV untuk memeriksa rekaman, memang bukan salahnya. Cintya yang tiba-tiba saja kumat sendiri,” ujar Diko sambil tertawa kecil. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jas putihnya, terlihat berbeda dari sosok dokter yang biasanya tenang. Ada aura santai seolah menikmati drama.

Jack meliriknya, lalu berkata dengan acuh, “Kamu cukup peduli padanya.”

Diko mendorong kacamatanya sambil menambahkan, “Bukan pacarku, untuk apa aku peduli?”

“Hanya kasihan saja melihat wajahnya yang begitu sedih, seolah sangat terpuruk.”

Diko memang sengaja mengatakan itu. Saat Fiona memintanya akses ke ruang CCTV, auranya seperti sebilah pedang yang siap membunuh.

Diko mengira ada petugas rumah sakit yang membuatnya kesal, ternyata di rekaman itu adalah Jack dan Cintya.

Tontotan drama gratis, kenapa tidak?

Sedih? Kasihan? Terpuruk?

Jack mendengus.

Wanita yang melawan dengan begitu tegas di taman, tampak sedih dan terpuruk?

Dia tak percaya.

Ponselnya bergetar di saku celana. Jack melangkah ke sudut lorong, membuka layar ponsel dengan sekali usap.

Pesan dari Fiona berisi video rekaman CCTV dan foto hasil pemeriksaan kesehatan, membuktikan bahwa dirinya tidak berbohong atau menggunakan cara licik untuk memancing emosi.

Selain itu, tidak ada kata lain yang dikirim. Seolah berbicara padanya saja sudah membuang waktu.

Di atas dua pesan itu ada satu kalimat.

Menyuruhnya kembali ke rumah dan menyelesaikan hubungan mereka.

Jack mematikan layar ponsel. Amarah tersirat di matanya, tak jelas apakah itu karena Fiona telah membongkar permainan kecil Cintya atau karena dia berani mengungkit soal hubungan mereka.

Di bawah sinar rembulan.

Pintu vila terdengar berderit pelan, Jack masuk dengan mengenakan mantel hitam dan membawa map coklat. Hawa dingin malam musim semi masih menempel di tubuhnya.

Setelah menutup pintu, Fiona muncul dari dapur dengan mengenakan handuk pengering rambut dan membawa segelas smoothie.

Pandangan mereka bertemu, tetapi tak ada yang menyapa. Orang yang dulu begitu dekat, kini menjadi musuh.

Dengan kompak, mereka berjalan beriringan ke ruang kerja.

Jack duduk di kursi utama, sedangkan Fiona duduk di depannya.

Mereka berdua sudah tahu, malam ini adalah waktunya menyelesaikan kontrak mereka.

Jack mendorong map cokelat itu ke arah Fiona.

Fiona mengira itu adalah surat pemutusan kontrak, tetapi begitu melihat isinya, dia malah tertawa marah.

Ternyata itu perpanjangan kontrak selama tiga tahun, isinya mengharuskannya tetap menjadi kekasih gelap dan melarangnya muncul di depan Cintya.

Apa maksudnya?

Melarangnya muncul di depan Cintya, dirinya juga harus menghindar dan bersembunyi begitu ada Cintya?

Apa salahnya hingga pantas mendapat penghinaan seperti ini?
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Roslina Purba
sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status