Share

Bab 4

Fiona mencari remote untuk menyalakan lampu dan mencari alat untuk memadamkan lilin satu per satu.

Mencari baju tidur di lemari dan kemudian mandi.

Ketika masuk ke kamar mandi, dia secara tidak sengaja menyadari bahwa dirinya masih mengenakan cincin di jari kirinya. Dia melepasnya dan melemparkannya ke sudut lemari perhiasan.

Setelah keluar dari kamar mandi, dia mengguncang semua kelopak bunga di ranjang hingga jatuh ke lantai. Menyelimuti dirinya dengan selimut hingga menutupi kepala dan tidur.

Dia terbiasa tidur di sisi kiri, di mana Jack selalu memeluknya erat saat tidur. Jack selalu perlahan-lahan menggulungnya ke kiri, meninggalkan area kosong di tengah ranjang.

Melihat bagian kanan yang kosong dan mengganggu, dia memindahkan tubuhnya ke tengah, melempar bantal yang berlebih ke bawah ranjang, sehingga terasa lebih nyaman.

Mematikan lampu dan tidur.

Selama dua hari berturut-turut, dia tidak menerima kabar dari Jack. Seharusnya dia sedang menemani Cintya di rumah sakit atau mungkin di kantor.

Fiona tak peduli dan tidak mengirimi pesan untuk menanyakan kabar, memilih untuk memutuskan komunikasi.

Pagi hari, sinar matahari sangat cerah, angin musim semi bertiup, Fiona berbaring santai di kursi goyang halaman vila, sambil bermaskeran.

Di dalam pikirannya, dia merenungkan banyak hal. Dalam dua hari terakhir, dia menemukan dokumen kontrak kekasih yang ditandatangani tiga tahun lalu. Saat itu, ditulis bahwa kontraknya akan otomatis berakhir setelah tiga tahun.

Masih tersisa empat bulan hingga batas waktu kontrak tiga tahun. Setelah berakhir, dirinya bisa mendapatkan kompensasi sebesar dua triliun.

Ditambah dengan uang saku dan THR yang diberikan Jack selama bertahun-tahun, jumlahnya sekitar enam puluh miliar. Dirinya bahkan belum sempat menghabiskannya, jadi semuanya ditabung.

Sepertinya dirinya juga bisa dijuluki gadis kaya raya. Setelah pergi, dia bisa mencari pekerjaan baru, sehingga hidupnya tidak akan terlalu sulit.

Soal rumah, dia bisa membeli yang tidak terlalu besar, lalu menyuruh Susan untuk tinggal bersamanya.

Hanya saja, dia merasa bersalah tidak bisa membawa Bibi Siti pergi juga. Seandainya bisa, itu akan sempurna.

Ponsel di meja berdering, mengganggu khayalannya. Fiona mengambil ponsel, membuka kunci sidik jari dan muncul pesan baru di bagian atas layar. Fiona mengklik untuk membacanya.

Ternyata pesan dari sahabatnya, Susan Molit.

Mereka bertemu setahun yang lalu saat berbelanja di mal. Setelah melihatnya sekali, Susan bersikeras ingin berteman dengannya.

Karena Fiona amnesia dan tak punya ingatan, dia tak punya banyak teman. Dia pun merasa cocok berbicara dengan Susan. Lambat laun, mereka menjadi teman dekat.

[Bagaimana jalan-jalan dengan pacar di Moro? Kapan pulang?]

Disertai dengan stiker wajah nakal.

[Sudah pulang.]

[Sudah pulang? Cepat sekali?]

[Kelihatannya Jack cukup kuat … kenapa begitu cepat? Sungguh lemah!]

[Bukan hanya lemah, tapi nggak tegang sama sekali.]

Fiona memanfaatkan kesempatan untuk mengutuk Jack.

Di sisi lain, Susan mengangkat alisnya, tampaknya Jack membuat teman baiknya marah.

Dia tidak terlalu memedulikannya, karena mereka juga pernah berkelahi sebelumnya. Namanya juga pasangan, bertengkar dan berdamai di atas ranjang.

[Baguslah kalau sudah pulang, aku mau belanja ke Grand Mal, mau menambah koleksi bajuku. Setelah itu, kita bisa makan barbekyu. Siap-siap ikut denganku.]

[Kalau begitu, kita langsung bertemu di mal saja.]

Fiona langsung menyetujuinya. Beberapa hari ini, dia sudah menyingkirkan baju-baju bergaya manis yang dia tidak suka. Lemarinya juga sudah kosong. Jadi, ini saat yang tepat untuk berbelanja.

Dia meletakkan ponsel dan mencuci masker di wajahnya.

Melihat isi lemari yang tersisa sedikit, dia memilih pakaian olahraga yang kasual untuk dipakai. Merias wajah dengan riasan sederhana, terlihat bersih dan rapi. Lalu bersiap-siap untuk keluar.

“Bi Siti, aku ada janji dengan teman untuk belanja, aku sekalian makan siang di luar saja.”

Fiona mengambil tasnya dan bersiap untuk pergi.

“Baiklah, kamu pulang untuk makan malam nanti?” tanya Bibi Siti yang sedang mengarahkan pelayan untuk membersihkan rumah.

Fiona yang sedang membungkuk untuk mengganti sepatu, teringat sifat Susan yang labil dan mereka juga sudah beberapa hari tidak bertemu, jadi belum tentu akan kembali untuk makan malam ini. Jadi dia menjawab, “Nggak tentu, nanti aku mengabarimu sebelum pulang.”

“Baiklah.”

Saat membuka pintu, Jimmy, asistennya Jack sedang berdiri di luar dan hendak mengetuk pintu.

“Pak Jimmy,” sapa Fiona dengan datar, berencana melewatinya untuk keluar.

“Bu Fiona, Pak Jack harus pergi untuk urusan pekerjaan di luar kota, penerbangan siang ini. Bisakah kamu membantu merapikan pakaiannya sebelum berangkat?” ujar Jimmy dengan sopan.

Fiona tidak bergerak dari tempatnya dan memerintahkan, “Bi Siti, Jack mau pergi dinas nanti. Tolong siapkan koper bawaannya.”

“Bu Fiona, kamu?” Jimmy tampak bingung.

“Kenapa? Sebelum mengenalku, apa nggak ada yang merapikan barang-barang Jack?” jawab Fiona dengan wajah datar tanpa ekspresi.

“Benar yang dikatakan Bu Fiona,” jawab Jimmy sambil berkeringat dingin, takut menyinggung kedua belak pihak.

Biasanya, selalu Fiona yang menyiapkan koper bawaan Jack. Karena sering melakukannya, Fiona sudah berpengalaman dalam mencocokkan pakaian untuk berbagai acara.

Namun sekarang, dia tidak ingin melakukannya lagi. Dirinya hanya dijadikan pengganti selama ini. Setiap kali melihatnya merapikan kopernya, Jack pasti merasa dirinya sangat bodoh dan konyol.

Mengingat kembali tiga tahun ini, tingkah laku dan tatapan Jack cukup aneh. Bisa-bisanya dirinya tidak menduga ataupun curiga, sungguh bodoh sekali.

Dirinya tidak akan bertindak bodoh lagi ke depannya.

Fiona ingin pergi, tetapi Jimmy sengaja menghalangi pintu sehingga dia tidak bisa keluar. Dirinya hanya bisa mendesak Bibi Siti untuk lebih cepat.

Bibi Siti buru-buru mengemas koper bawaan, menyerahkan kepada Jimmy yang menunggu di ruang tamu. “Pak Jimmy, sudah siap.”

Koper muncul di hadapannya, Jimmy melirik jam tangan, baru sepuluh menit, cepat sekali.

“Sudah semuanya, Bi Siti? Perlukah diperiksa kembali apa ada yang tertinggal?” tanya Jimmy dengan hati-hati.

Dengan wajah datar, Fiona menjawab, “Bukannya penerbangannya siang ini? Bisa terlambat kalau kamu terus menunda. Kalau masih ada yang diperlukan, bisa dibeli di sana saja, ‘kan?”

Fiona melihat jam dan merasa sedikit terburu-buru.

Jika terus menunggu, Susan pasti akan kesal. Begitu sampai di mal, mereka pasti tidak sempat belanja dan makan siang dulu. Perutnya akan buncit setelah makan, tidak enak untuk mencoba baju lagi.

“Benar yang Bu Fiona bilang, aku akan segera pergi menjemput bos,” pamit Jimmy sambil tersenyum.

Fiona mengangguk, lalu berjalan ke arah yang berlawanan menuju parkiran bawah tanah, memilih BMW putih yang tidak mencolok untuk pergi.

Jimmy membawa koper menuju mobil hitam Maybach yang menunggu di tepi jalan, meletakkan koper di bagasi belakang, lalu naik ke kursi penumpang depan.

Yang mengemudi adalah Wendi, pengawal pribadi Jack.

Mobil tidak melaju ke bandara, melainkan ke Rumah Sakit Broswal.

“Berapa lama lagi kontrak Fiona yang tersisa?” terdengar suara Jack yang tenang tanpa sedikitpun nada emosional. Seolah-olah sedang menangani kontrak rutin perusahaan.

Jimmy paham dengan pertanyaan bosnya. Dia kemudian mengingat kembali tanggal kontrak, lalu menjawab, “Kurang dari empat bulan lagi.”

“Siapkan perjanjian baru dan kirimkan padanya saat waktunya tiba,” perintah Jack. Baginya, Fiona sudah menemaninya selama tiga tahun, bukanlah masalah memberikan sedikit biaya untuk memeliharanya. Namun, dia tidak akan lagi menyentuhnya ataupun kembali ke Vila Cemara Asri.

Mengingat kembali insiden di lorong rumah sakit dua malam sebelumnya, dia berkata tanpa berpikir panjang, “Tambahkan dalam perjanjian itu bahwa dia nggak diperbolehkan muncul di depan Cintya.”

Jimmy terkejut, tetapi profesionalitas membuatnya segera kembali tenang dan menjawab, “Baik, aku akan menambahkannya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status