Ada yang kurang pas di pikiran Malik ketika dia ingat bahwa ada gosip mengenai rencana pernikahannya. Padahal dia sendiri bahkan tidak ada rencana menikah dalam waktu dekat. Jangankan menikah, teman dekat saja Malik tak punya.“Tadi ketemu sama Isha, Mal?” tanya Aminah ketika mereka dalam perjalanan dari pasar.Malik mengangguk.“Kalian saling menyapa?” tanya Aminah lagi.“Iya. Saling sapa biasa, kayak dulu,” jawab Malik lagi dengan nada datar karena pikirannya sedang dipenuhi gosip rencana pernikahannya.“Berarti kalian sudah baikan?” tanya Aminah penasaran.“Bukannya selama ini kami sudah baikan, Bu? Hanya saja tak pernah berbincang kayak dulu lagi, ya, karena kami memang nggak pernah ketemu, Bu.” Malik menjawab netral.“Syukurlah kalau kalian sudah saling berbaikan.” Aminah menjawab bijak.Malik tersenyum lembut. Selama perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi ucapan Isha tadi. Tentu saja ini sedikit mengganggu karena dia tidak seperti gosip yang beredar.“Bu, boleh saya tanya?” tany
Merasa tak mendengar jawaban dari Malik, Rosiana kembali mengucap sapaan salamnya. Rosiana mengintip dari kaca jendela ruang tamu ini dan melihat Malik yang terduduk bengong di lorong menuju dapur. Rosiana terkejut sekaligus panik melihat kondisi Malik yang sepertinya tidak baik-baik saja itu. Maka dia kembali menggedor pintu rumah kontrakan Malik ini.“Mal? Hei, Mal? Kamu dengar aku, kan?” panggil Rosiana.Di luar jam sekolah memang Rosiana selalu memanggil Malik dengan sebutan Malik saja karena mereka memang memiliki usia yang sama. Namun ketika berada di sekolah, Rosiana jelas memanggil Malik dengan embel-embel ‘pak’ untuk menghormati profesinya sebagai pendidik.Karena Malik hanya terbengong, seolah tak mendengar panggilan Rosiana, perempuan itu nekat membuka pintu rumah ini dan merangsek masuk.“Mal? Hei, Mal? Kamu baik-baik saja?” tanya Rosiana saat dia duduk sejajar dengan Malik, mengguncang tubuh yang bagai patung itu.Laki-laki itu menghela napas berat, kemudian menggeleng.“
Tentu saja Malik terkejut mendengar pernyataan Rosiana yang terdengar begitu jujur itu. Meski kadang Malik menyadari ada sikap tak biasa yang dilakukan Rosiana terhadapnya, akan tetapi Malik tidak pernah menyangka bahwa itu adalah sebuah cinta. Sebagaimana yang Rosiana ungkapkan beberapa detik lalu.“Apakah kalimatku tidak cukup gamblang, Mal? Aku merasakan sakit yang sama sebagaimana yang kamu rasakan. Kamu sakit mencintai Isha sendirian. Dan aku juga sakit karena mengharapkan cintamu, mencintaimu, sendirian,” jawab Rosiana dengan suara bergetar.Mata Malik menatap Rosiana yang juga menatapnya dengan mata nanar itu.“Tapi, Ros? Kita hanya berteman, kan? Tidak baik mengotorinya dengan rasa selain teman, kan?” tanya Malik.“Lalu bagaimana dengan kamu? Kamu juga mencintai Isha padahal kalian juga berteman, kan? Tidak bolehkan aku mencintai kamu, sebagaimana kamu mencintai Isha?” tanya Rosiana menuntut jawaban.Malik bingung. Ini jelas jauh dari apa yang ada di dalam pikirannya, sehingga
“Assalamualaikum,” ulang Isha di seberang karena Malik tidak menjawab salamnya.“Waalaikumsalam, Isha. Apa kabar?” tanya Malik dengan nada lembut namun jelas gugup, menyembunyikan suasana hatinya yang sedang riuh bergemuruh.“Saya baik, alhamdulillah.” Isha menjawab singkat di seberang.“Abang dengar kamu mau menikah?” tanya Malik dengan suara yang lirih.Terdiam beberapa saat, tak ada jawaban. Namun, helaan napas Isha terdengar jelas di telinga Malik.“Benar begitu, Sha?” tanya Malik karena Isha tak menjawab pertanyaannya.“Ya. Saya akan menikah akhir bulan ini,” jawab Isha di seberang.Meskipun Malik tahu jawaban apa yang akan didengarnya, namun tetap saja Malik belum siap hati untuk mendengarnya.“Tapi mengapa, Sha?” tanya Malik dengan pertanyaan yang jelas menunjukkan keputusasaan.Terdengar Isha tersenyum aneh mendengar pertanyaan Malik.“Mengapa saya menikah? Saya sudah dewasa, Bang. Sudah saatnya menikah karena saya tak mau hanya mencintai laki-laki tanpa ujung pangkal. Kebetul
Malik terkejut mendengar pertanyaan Mita. Bagaimana dia bisa tahu aku menghubungi Isha? Sejak kapan sebenarnya gadis ini mendengar percakapannya dengan Isha tadi? Namun, Malik jelas tak ingin membuat keadaan menjadi abu-abu. Sebagai laki-laki, dia harus bersikap tegas, sebagaimana dia menegaskan hal yang sama terhadap Rosiana.“Mita, kalau kamu bertanya soal perempuan bernama Isha, maka jawabannya adalah iya. Saya tak bisa menerima cinta dari siapapun karena saya sudah memiliki seorang perempuan yang saya cintai.” Malik menjawab dengan hati-hati.“Meskipun perempuan itu tidak mencintai Bapak?” Mita menatap tajam mata Malik, berharap laki-laki itu akan mempertimbangkan dirinya. Dari sambungan telepon yang didengarnya, Mita jelas mengambil kesimpulan bahwa siapapun yang ditelepon Malik adalah orang yang sudah akan menikah.Sesungguhnya Malik ingin marah ketika gadis di depannya itu seakan turut campur dalam kehidupannya. Akan tetapi Malik jelas tak akan melakukan hal itu.“Ya. Meskipun
Dan disinilah Malik kini, tidur di lantai kamar Isha beralaskan karpet yang meskipun empuk namun jelas lebih empuk dan nyaman kasur yang dipakai Isha di atas ranjang. Sejak merebahkan dirinya di atas karpet, Malik tak bisa memejamkan matanya sama sekali. Berulang kali dia membalikkan posisi tidurnya untuk mencari posisi paling nyaman, nyatanya dia tak berhasil. Matanya masihMenyedihkan memang. Malam pernikahannya dengan Isha —perempuan yang tanpa sadar sudah dicintainya sejak masih kecil itu— harus berakhir seperti ini. Namun, Malik tidak bisa menyalahkan Isha sepenuhnya jika akhirnya mereka belum juga akur meski mereka sudah menikah siang tadi. Karena semua ini jelas bukan sesuai rencana Isha.Tak bisa memejamkan matanya untuk tidur, Malik memilih bangun. Tapi kali ini bukan untuk menyusul Isha tidur meskipun di lantai begitu dingin. Melainkan karena Malik ingin sholat malam. Dia butuh ketenangan hati.Bangun dari tidurnya, Malik berdiri di samping ranjang Isha. Menatap perempuan ca
“Jadi kamu akan langsung kembali ke tempat kerja kamu, Mal?” tanya Pak Ridwan ketika pagi ini, usai sarapan lelaki itu mengajak menantu barunya berbincang di teras belakang rumah.“Iya, Pak. Karena semua terjadi tanpa persiapan, jadi saya memang tidak mengambil cuti. Apalagi sekarang sedang persiapan ujian. Anak-anak banyak yang les di rumah,” jawab Malik dengan santun.Ridwan mengangguk mengerti.“Aku mengerti, Mal. Tetapi kamu bisa mengajukan cuti kalau memang ingin cuti, kan? Apa kamu tidak ingin liburan untuk bulan madu kecil-kecilan? Bapak bisa memberikan fasilitas kalau kalian memang mau pergi berbulan madu.” Ridwan menawarkan.Mendengar tawaran itu, Malik tersenyum canggung. Dia kemudian merasa berdosa karena telah membohongi mertuanya itu dengan mandi keramas pagi ini. Padahal tidak terjadi apapun semalam.“Mungkin nanti kalau liburan kenaikan kelas saya bisa main sekalian bulan madu, Pak.” Malik berhasil mengelak.“Baiklah kalau begitu. Tetapi, Mal. Ada yang ingin aku kataka
Kembali berada di tengah-tengah keluarga Malik setelah bertahun-tahun tak menginjakkan kakinya di rumah itu lagi, membuat Isha sedikit gamang. Meski memang Malik tidak memaksanya untuk membantunya berkemas karena dia mau pulang ke kontrakannya, tetapi Isha setidaknya masih punya hati untuk menyetujui permintaan Malik.Sejenak, Isha berhenti di depan pintu masuk rumah ini. Malik ikut menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Isha yang terlalu pendek untuknya.“Mengapa berhenti? Tak mau masuk?” tanya Malik dengan suara rendah penuh kesabaran.Isha menggeleng.“Jadi kenapa berhenti?” Malik kembali bertanya. Nada suara dan intonasinya bahkan masih sama, tak berubah oleh emosi sedikitpun.Isha masih terdiam menunduk. Malik menghela napas, mencoba memulai untuk mengerti. Meski sebenarnya dia juga sudah mengerti siapa dan bagaimana Isha.“Baiklah kalau kamu tidak ingin masuk. Kamu bisa menungguku di atas motor. Aku akan berkemas karena besok pagi aku harus berangkat cepat. Hari senin ada u