Dan disinilah Malik kini, tidur di lantai kamar Isha beralaskan karpet yang meskipun empuk namun jelas lebih empuk dan nyaman kasur yang dipakai Isha di atas ranjang. Sejak merebahkan dirinya di atas karpet, Malik tak bisa memejamkan matanya sama sekali. Berulang kali dia membalikkan posisi tidurnya untuk mencari posisi paling nyaman, nyatanya dia tak berhasil. Matanya masihMenyedihkan memang. Malam pernikahannya dengan Isha —perempuan yang tanpa sadar sudah dicintainya sejak masih kecil itu— harus berakhir seperti ini. Namun, Malik tidak bisa menyalahkan Isha sepenuhnya jika akhirnya mereka belum juga akur meski mereka sudah menikah siang tadi. Karena semua ini jelas bukan sesuai rencana Isha.Tak bisa memejamkan matanya untuk tidur, Malik memilih bangun. Tapi kali ini bukan untuk menyusul Isha tidur meskipun di lantai begitu dingin. Melainkan karena Malik ingin sholat malam. Dia butuh ketenangan hati.Bangun dari tidurnya, Malik berdiri di samping ranjang Isha. Menatap perempuan ca
“Jadi kamu akan langsung kembali ke tempat kerja kamu, Mal?” tanya Pak Ridwan ketika pagi ini, usai sarapan lelaki itu mengajak menantu barunya berbincang di teras belakang rumah.“Iya, Pak. Karena semua terjadi tanpa persiapan, jadi saya memang tidak mengambil cuti. Apalagi sekarang sedang persiapan ujian. Anak-anak banyak yang les di rumah,” jawab Malik dengan santun.Ridwan mengangguk mengerti.“Aku mengerti, Mal. Tetapi kamu bisa mengajukan cuti kalau memang ingin cuti, kan? Apa kamu tidak ingin liburan untuk bulan madu kecil-kecilan? Bapak bisa memberikan fasilitas kalau kalian memang mau pergi berbulan madu.” Ridwan menawarkan.Mendengar tawaran itu, Malik tersenyum canggung. Dia kemudian merasa berdosa karena telah membohongi mertuanya itu dengan mandi keramas pagi ini. Padahal tidak terjadi apapun semalam.“Mungkin nanti kalau liburan kenaikan kelas saya bisa main sekalian bulan madu, Pak.” Malik berhasil mengelak.“Baiklah kalau begitu. Tetapi, Mal. Ada yang ingin aku kataka
Kembali berada di tengah-tengah keluarga Malik setelah bertahun-tahun tak menginjakkan kakinya di rumah itu lagi, membuat Isha sedikit gamang. Meski memang Malik tidak memaksanya untuk membantunya berkemas karena dia mau pulang ke kontrakannya, tetapi Isha setidaknya masih punya hati untuk menyetujui permintaan Malik.Sejenak, Isha berhenti di depan pintu masuk rumah ini. Malik ikut menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Isha yang terlalu pendek untuknya.“Mengapa berhenti? Tak mau masuk?” tanya Malik dengan suara rendah penuh kesabaran.Isha menggeleng.“Jadi kenapa berhenti?” Malik kembali bertanya. Nada suara dan intonasinya bahkan masih sama, tak berubah oleh emosi sedikitpun.Isha masih terdiam menunduk. Malik menghela napas, mencoba memulai untuk mengerti. Meski sebenarnya dia juga sudah mengerti siapa dan bagaimana Isha.“Baiklah kalau kamu tidak ingin masuk. Kamu bisa menungguku di atas motor. Aku akan berkemas karena besok pagi aku harus berangkat cepat. Hari senin ada u
Mereka berdua duduk di kamar Malik, setelah tadi dengan susah payah Malik membujuk ibunya agar tidak memaksa Isha untuk tinggal. Biasanya, memang menantu perempuan tinggal di rumah mertuanya. Namun, Malik berusaha membujuk ibunya dan meminta pengertian bahwa Isha masih ingin tinggal di rumah ibunya.Isha duduk menunduk dengan raut wajah memerah hendak menangis karena tak berani mengelak dari permintaan Aminah, padahal dia tak ingin menginap.“Maafkan Ibu kalau memaksa kamu tinggal. Tapi kamu tak perlu khawatir. Ibu tidak akan memaksa kamu tinggal di sini lagi. Aku sudah bilang tadi,” ujar Malik dengan sabar sambil mengemasi beberapa potong pakaian yang akan dibawanya kembali ke kontrakan.Isha hanya mengangguk.“Aku juga tidak akan memaksa kamu untuk menginap malam ini. Kita akan pulang ke rumahmu jika memang kamu ingin tidur di sana.” Lagi-lagi Malik memberikan kelonggaran demi Isha tetap nyaman.Isha hanya diam, mencoba berkompromi dengan hatinya yang sering kali bertolak belakang.
Tak ingin melihat Isha terus menangis sedih, mau tak mau Malik merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Memberinya ruang untuk menangis. Membuat Isha mengerti bahwa dia bisa kapan saja berkeluh kesah, bisa menangis jika memang tak bisa menyandang semua kesedihannya sendiri. Malik benar-benar ingin menjadi pria yang penuh manfaat untuk Isha. Sebagaimana janjinya pada Pak Ridwan.“Menangislah,” bisik Malik sambil mengusap lembut perempuan yang ada di dalam pelukannya itu. Sesekali tanpa dia sadari, bibirnya mengecup lembut kening Isha, memberikan bukti betapa dia sangat menyayangi perempuan itu.Hanya sebuah kecupan memang, tapi berhasil mengalirkan kesejukan dalam hati Isha, membuat perempuan itu merasa bahwa dia tidak akan sendiri lagi merasakan sakit hati dan kesedihannya karena Murad. Membuat Isha benar-benar merasa bahwa dia kini nyaman, sebagaimana dulu ketika dia masih berteman dengan Malik.Apakah dia mulai kehilangan rasa bencinya pada Malik? Dan mulai merasa nyaman dengan
Sungguh, Malik tak tahu keajaiban macam mana yang sedang Tuhan suguhkan padanya kali ini ketika tiba-tiba Isha mengajak menginap. Padahal jelas-jelas tadi gadis itu bilang ingin pulang saja, tidak menginap. Tapi mengapa hanya dalam hitungan jam sudah berubah begini? Oke, ini memang tak bisa dilogika karena Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia.“Menginap?” Malik sampai mengulang apa yang dikatakan oleh Isha hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah dengar.“Iya. Apakah tidak boleh?” tanya Isha dengan sinar matanya yang bulat dan lebar itu.“Eh, siapa bilang tidak boleh? Tentu saja boleh. Kalau dia tidak mau menginap, biar kamu tidur sama Ibu saja,” ujar Aminah menyela pembicaraan mereka.Malik terkejut mendengar kalimat ibunya.“Eh, Ibu kan sudah ada Bapak? Memangnya Bapak mau disuruh tidur sama siapa?” Malik segera mencari alasan.“Kalian bisa tidur berdua, kan?” Aminah menjawab dengan kocak, sengaja menggoda Malik.Isha sebenarnya ingin tertawa melihat Malik yang pani
Isha menajamkan telinganya meskipun dia memunggungi Malik. Nama Rosi yang disapa dengan santun oleh Malik membuat Isha ingat dengan kata-kata Aminah, bahwa Rosi yang dulu sering membantu Malik membereskan kontrakannya.“Mal? Aku dengar kabar dari Siti katanya kamu sudah menikah?” tanya Rosi di seberang.“Iya, benar, Ros?” Malik mengiyakan pertanyaan Rosi.“Dengan siapa? Dengan Isha?” tanya Rosi lagi dengan nada tak sabar.“Ya. Aku menikah dengan Isha.” Terdengar suara Malik menjawab dengan datar.Sepertinya ada sesuatu yang tak nyaman di telinga Isha saat mendengar hal ini. Maka dengan cepat Isha membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah Malik yang sedang menerima panggilan telepon. Mata mereka beradu pandang. Malik tersenyum lembut pada Isha, sementara gadis itu melemparkan tatapan kesal pada Malik sehingga pria itu tertegun.“Dengan Isha? Kamu nggak salah menikahi perempuan, kan, Mal? Bukannya beberapa waktu lalu kamu bilang bahwa dia akan menikah dengan orang lain?” Rosi protes.Isha
Jantung Isha ikut berdegup kencang melihat Malik yang sepertinya gugup untuk memberitahu siapa perempuan yang menghubunginya tadi. Sejujurnya Isha sudah bisa menduga siapa perempuan itu. Namun kali ini dia ingin mendengar langsung dari mulut Malik, agar Isha bisa menentukan langkah yang akan ditempuhnya dalam beberapa bulan ke depan. Tetap bersama Malik, atau meminta cerai jika memang pria itu sudah memiliki kekasih sebelum menikahinya.“Kalau nggak mau jawab juga nggak masalah. Aku cuman nanya. Kalau Abang nggak berkenan menjawab juga itu hak Abang,” kata Isha untuk menetralkan kecanggungan Malik atas pertanyaannya.Duh.Sungguh, Malik merasa bingung mau menjelaskannya dari mana. Kalau dia terus terang mengenai Rosi, Malik khawatir akan muncul prasangka yang tidak-tidak pada diri Isha. Namun, jika dia sampai berbohong, Malik khawatir itu akan jadi induk kebohongan yang akan melahirkan kebohongan berikutnya.Melihat Malik bimbang, Isha menghela napas berat. Kemudian bergerak hendak me