Tak ingin melihat Isha terus menangis sedih, mau tak mau Malik merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Memberinya ruang untuk menangis. Membuat Isha mengerti bahwa dia bisa kapan saja berkeluh kesah, bisa menangis jika memang tak bisa menyandang semua kesedihannya sendiri. Malik benar-benar ingin menjadi pria yang penuh manfaat untuk Isha. Sebagaimana janjinya pada Pak Ridwan.“Menangislah,” bisik Malik sambil mengusap lembut perempuan yang ada di dalam pelukannya itu. Sesekali tanpa dia sadari, bibirnya mengecup lembut kening Isha, memberikan bukti betapa dia sangat menyayangi perempuan itu.Hanya sebuah kecupan memang, tapi berhasil mengalirkan kesejukan dalam hati Isha, membuat perempuan itu merasa bahwa dia tidak akan sendiri lagi merasakan sakit hati dan kesedihannya karena Murad. Membuat Isha benar-benar merasa bahwa dia kini nyaman, sebagaimana dulu ketika dia masih berteman dengan Malik.Apakah dia mulai kehilangan rasa bencinya pada Malik? Dan mulai merasa nyaman dengan
Sungguh, Malik tak tahu keajaiban macam mana yang sedang Tuhan suguhkan padanya kali ini ketika tiba-tiba Isha mengajak menginap. Padahal jelas-jelas tadi gadis itu bilang ingin pulang saja, tidak menginap. Tapi mengapa hanya dalam hitungan jam sudah berubah begini? Oke, ini memang tak bisa dilogika karena Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia.“Menginap?” Malik sampai mengulang apa yang dikatakan oleh Isha hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah dengar.“Iya. Apakah tidak boleh?” tanya Isha dengan sinar matanya yang bulat dan lebar itu.“Eh, siapa bilang tidak boleh? Tentu saja boleh. Kalau dia tidak mau menginap, biar kamu tidur sama Ibu saja,” ujar Aminah menyela pembicaraan mereka.Malik terkejut mendengar kalimat ibunya.“Eh, Ibu kan sudah ada Bapak? Memangnya Bapak mau disuruh tidur sama siapa?” Malik segera mencari alasan.“Kalian bisa tidur berdua, kan?” Aminah menjawab dengan kocak, sengaja menggoda Malik.Isha sebenarnya ingin tertawa melihat Malik yang pani
Isha menajamkan telinganya meskipun dia memunggungi Malik. Nama Rosi yang disapa dengan santun oleh Malik membuat Isha ingat dengan kata-kata Aminah, bahwa Rosi yang dulu sering membantu Malik membereskan kontrakannya.“Mal? Aku dengar kabar dari Siti katanya kamu sudah menikah?” tanya Rosi di seberang.“Iya, benar, Ros?” Malik mengiyakan pertanyaan Rosi.“Dengan siapa? Dengan Isha?” tanya Rosi lagi dengan nada tak sabar.“Ya. Aku menikah dengan Isha.” Terdengar suara Malik menjawab dengan datar.Sepertinya ada sesuatu yang tak nyaman di telinga Isha saat mendengar hal ini. Maka dengan cepat Isha membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah Malik yang sedang menerima panggilan telepon. Mata mereka beradu pandang. Malik tersenyum lembut pada Isha, sementara gadis itu melemparkan tatapan kesal pada Malik sehingga pria itu tertegun.“Dengan Isha? Kamu nggak salah menikahi perempuan, kan, Mal? Bukannya beberapa waktu lalu kamu bilang bahwa dia akan menikah dengan orang lain?” Rosi protes.Isha
Jantung Isha ikut berdegup kencang melihat Malik yang sepertinya gugup untuk memberitahu siapa perempuan yang menghubunginya tadi. Sejujurnya Isha sudah bisa menduga siapa perempuan itu. Namun kali ini dia ingin mendengar langsung dari mulut Malik, agar Isha bisa menentukan langkah yang akan ditempuhnya dalam beberapa bulan ke depan. Tetap bersama Malik, atau meminta cerai jika memang pria itu sudah memiliki kekasih sebelum menikahinya.“Kalau nggak mau jawab juga nggak masalah. Aku cuman nanya. Kalau Abang nggak berkenan menjawab juga itu hak Abang,” kata Isha untuk menetralkan kecanggungan Malik atas pertanyaannya.Duh.Sungguh, Malik merasa bingung mau menjelaskannya dari mana. Kalau dia terus terang mengenai Rosi, Malik khawatir akan muncul prasangka yang tidak-tidak pada diri Isha. Namun, jika dia sampai berbohong, Malik khawatir itu akan jadi induk kebohongan yang akan melahirkan kebohongan berikutnya.Melihat Malik bimbang, Isha menghela napas berat. Kemudian bergerak hendak me
Mendengar suara Malik yang sedikit keras, Isha spontan membuka matanya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh?” tanya Isha spontan.“Eh? Siapa bilang tak boleh?” tanya Malik cepat.“Lha itu mengapa Abang terkejut?” Isha mulai ketus.“Ya … terkejut karena kamu bilangnya nggak mau ikut Abang ke kontrakan, Sha.” Malik menjawab dengan salah tingkah.Sungguh, Isha benar-benar labil. Beberapa kali berubah pendirian membuat Malik bagai shock terapi.“Kalau nggak boleh juga aku nggak maksa. Lagian takut ganggu nanti kalau aku ikut ke kontrakan,” ujar Isha dengan cemberut kemudian melengos dan bergerak memunggungi Malik.Spontan Malik bingung harus berbuat apa. Dia tentu senang kalau Isha ikut ke kontrakan mengingat status mereka sekarang sudah suami istri. Tapi Malik juga tak bisa menahan rasa terkejutnya karena keputusan Isha yang mendadak itu.Karena gemas, Malik menyingkirkan guling yang memisahkan dirinya dengan Isha. Kemudian dengan sigap, memeluk Isha dari belakang, membuat perempuan itu terpe
Selama dalam perjalanan, Isha lebih banyak diam ketimbang bicara. Kali ini, dia naik mobil diantar oleh Ridwan dan Rosminah karena Rosminah memaksanya membawa beberapa barang yang mungkin akan diperlukan di kontrakan. Sementara itu, Malik sudah berangkat terlebih dahulu mengendarai sepeda motornya karena kalau dia naik mobil maka dia akan kepayahan tak ada kendaraan. Apalagi hari ini ada jam mengajar pagi sehingga Malik berangkat lebih awal.Yang sedari tadi menggelayuti pikiran Isha adalah prasangka ibunya ketika tadi pagi dia bilang akan ikut Malik ke kontrakan dengan alasan agar tidak merepotkan teman Malik untuk mengurus rumah.Cemburu? Ibu bilang aku cemburu? Isha masih saja berkutat dengan pikirannya sendiri, memikirkan dugaan ibunya. Bagaimana mungkin dia cemburu? Bukannya dia nggak mencintai Malik? Kalau tak cinta, bagaimana bisa muncul cemburu?“Sha, kita sudah mau sampai. Cek coba dimana rumahnya,” tanya Rosminah menoleh ke belakang, dimana Isha sedang melamun.“Sebentar, Bu
Deg! Datang ke rumah? Pikiran Malik mendadak tak nyaman dengan kalimat Rosi yang ingin datang ke rumah. Oke, mungkin niatnya baik untuk silaturahmi. Namun, bagaimana jika nanti Isha malah berprasangka buruk? Apalagi ketika tanpa sadar Malik menatap ke arah Pak Agus yang juga menatapnya dengan sinis.Malik tersenyum canggung. Apa sebenarnya kesalahannya pada guru olahraga itu? Mengapa dia begitu kesal dan membencinya sedemikian rupa? Malik terus bertanya dalam hati.“Sudah waktunya masuk kelas, Pak Malik. Jangan sampai status sebagai pengantin baru membuat Anda ingin cepat pulang,” ejek bu Ida yang guru bahasa Indonesia, mengingatkan Malik untuk segera masuk kelas karena ternyata bel masuk sudah berdentang sejak beberapa menit lalu.“Eh, iya, Bu Ida. Sebentar lagi saya masuk kelas,” jawab Malik dengan sedikit gugup kemudian mengambil beberapa buku paket dan bergegas ke kelas.Masih sempat diliriknya Pak Agus yang menatapnya kesal. Terlebih ketika dia keluar dari ruang guru dan Rosi men
Tiba di rumah, suasana rumahnya sedikit ada kesibukan karena Pak Ridwan dan Rosminah masih ada di sana. Usai memarkir sepeda motornya, Malik masuk setelah mengucap salam dan menyalami kedua mertuanya itu. Tak lupa, dia juga menyalami Isha dengan mengusap puncak kepala perempuan itu yang seketika membuat Isha memerah mukanya.“Baru pulang, Mal?” tanya Ridwan setelah Malik berganti pakaian.“Iya, Pak. Maaf sudah merepotkan Bapak sama Ibu karena harus mengantar Isha,” ujar Malik ketika mereka duduk di ruang tamu minimalis itu.“Kebetulan aku memang tidak ada pekerjaan di toko, Mal. Sekalian biar tahu rumah kalian.” Ridwan tersenyum, hal yang tak mudah dilakukannya pada setiap orang.“Sudahlah, Pak. Ngobrolnya nanti lagi. Sekarang kita makan siang dulu. Kasihan Malik capek baru pulang,” Rosminah menengahi untuk mengajak makan siang.“Abang nggak sholat dulu?” tanya Isha basa-basi.“Ah, ya. Kamu benar. Bapak sama Ibu kalau mau makan dulu silakan. Saya sholat sebentar,” ujar Malik.“Tidak m
Meskipun Malik menjauh, namun dia tidak membiarkan Isha dan Murad berinteraksi tanpa pengawasan. Malik tetap memantau mereka. Bahkan, ketika Malik melihat Isha terlihat menangis dan emosi, ingin rasanya Malik segera mendekat dan menenangkan Isha. Namun sepertinya pembicaraan mereka belum selesai, sehingga Malik memilih diam dan menunggu.Tiba-tiba ponsel Malik berdering. Laki-laki itu segera menerima panggilan yang ternyata dari Bu Rosminah.“Assalamu alaikum, Ibu?” sapa Malik santun.“Mal? Dimana kalian? Bapak sudah sadar. Beliau akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bisakah kalian ke sini sekarang? Kita harus mengantar Bapak ke ruang rawat inap.” Bu Rosminah meminta Malik datang.“Oh, bisa, Bu. Sekarang kami kesana,” jawab Malik dengan cepat.Tanpa banyak pertimbangan, Malik segera bergegas menemui Isha yang sedang bicara dengan Murad.“Maaf, Murad. Aku harus mengajak Isha menemui Bapak. Mungkin nanti bisa diteruskan kembali jika memang kalian belum selesai bicara,” ujar Malik sambi
Dan disinilah mereka bertiga kini. Di tempat dimana tadi Malik menemui Murad dan bicara empat mata. Namun, kini menjadi enam mata karena Isha akhirnya bersedia menemui Murad, lelaki yang dulu dicintainya tetapi sekarang dibencinya setengah mati. Tetapi tak bijak rasanya jika dia membenci tanpa memberi kesempatan pada Murad untuk menceritakan semuanya.Meskipun mereka sadari bahwa penjelasan apapun yang nanti akan Murad katakan, sama sekali tak berpengaruh pada hubungan mereka yang terlanjur berantakan.“Silahkan bicara. Perselisihan kalian harus segera diakhiri,” ujar Malik pada Isha dan Murad, kemudian hendak pergi.Namun, tangan Isha memegang tangan Malik, mencegah suaminya itu menjauh.“Abang mau kemana?” tanya Isha canggung.Malik tersenyum, kemudian mengusap kepala Isha dengan senyumnya yang menyejukkan hati.“Aku harus memberi waktu pada kalian untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.“Mengapa Abang nggak di sini saja?” pinta Isha.Malik tersenyum dan menggeleng.“Nanti kalian ti
Bertemu dengan Isha?Malik spontan menoleh ke arah Murad dengan ekspresi aneh, seperti tak suka dan tidak setuju dengan permintaan Murad kali ini. Memangnya siapa dia sampai minta bertemu? Melihat perubahan ekspresi Malik yang shock itu, Murad buru-buru membenahi kalimatnya.“Aku hanya ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin minta maaf, untuk yang terakhir kalinya. Jadi tolong jangan berpikir bahwa aku akan memintanya kembali padaku, karena aku tahu itu tak akan mungkin terkabul,” ujar Murad dengan cepat.Sungguh, dia nyeri ketika mengatakan bahwa dia tak akan meminta Isha kembali padanya, padahal jujur saja dia masih sangat mencintai Isha. Hanya saja mungkin cintanya sudah tidak berlaku lagi.“Dan aku tak akan membiarkanmu memintanya kembali jika kamu melakukannya,” ujar Malik dengan tegas penuh nada posesif.Murad tersenyum. Diam-diam dia salut dengan sikap yang diambil oleh Malik atas pernikahan dan cintanya. Laki-laki ini tegas menentukan sikap ketika ada bah
Malik sengaja mengajak Murad untuk sedikit menjauh dari posisi Isha dan Bu Rosminah yang menunggu Pak Ridwan keluar dari ruang ICU rumah sakit ini. Ketika tiba di koridor yang sedikit lengang, Malik menghentikan langkahnya.“Kita bicara di sini saja,” pinta Malik sambil mengajak Murad duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.Murad hanya mengangguk. Keduanya lantas duduk berjajar berdampingan dalam jarak yang tidak terlalu dekat.“Mungkin kamu sudah tahu siapa aku,” ujar Malik mengawali percakapannya dengan Murad.Terdengar Murad menghela napas panjang dan berat.“Ya. Aku mendengarnya dari Rendra, bahwa kamu adalah suami Isha.” Murad menjawab dengan nada murung yang tak bisa disembunyikan.Malik tersenyum masam mendengar jawaban Murad.“Ya. Suami pengganti kehadiranmu yang mangkir ketika itu,” tandas Malik seolah menegaskan kesalahan terbesar Murad pada Isha.Murad tersenyum getir.“Ya. Aku memang bodoh ketika itu. Memilih takut pada ancaman selingkuhanku daripada menikahi Isha.
Pak Ridwan dan Bu Rosminah benar-benar terkejut melihat kedatangan Murad, laki-laki yang sudah mempermalukan keluarganya karena tidak datang pada hari pernikahannya dengan Isha.“Murad? Masih punya nyali dia untuk datang ke sini,” gumam Pak Ridwan dengan geram dan wajah yang sangar.“Tenang, Pak. Jangan terbawa emosi. Kita lihat dulu apa maksudnya datang kali ini,” jawab Bu Rosminah masih dengan suara rendah.“Hm.” Hanya itu jawab Pak Ridwan, menunjukkan betapa geramnya dia pada sosok Murad yang kini datang tanpa rasa bersalah itu.Sementara itu, Murad yang turun dari mobilnya sejenak bimbang. Apalagi ketika melihat reaksi kedua orang yang kebetulan sedang ada di teras itu. Tapi Murad tidak mungkin kabur begitu saja. Kemarin dia sudah bersikap pengecut, dan sekarang dia tak ingin menjadi pengecut untuk kedua kalinya di mata keluarga ini.“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa Murad dengan kikuk namun tetap menjaga kesantunannya.Bu Rosminah tersenyum canggung, sementara Pak Ridwan yang sejak m
Pagi ini, sesuai dengan tekadnya kemarin, bahwa dia akan tetap menemui Isha, apapun penerimaan perempuan itu. Ketika sarapan, Rendra kembali mengingatkan mengenai keinginan Murad itu.“Kamu yakin untuk tetap datang ke rumah Isha?” tanya Rendra.Murad menatap Rendra tanpa keraguan. Tekadnya sudah sangat bulat. Dia tak mau hidup dalam bayang-bayang dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Dia ingin mendapatkan maaf dari Isha, menjelaskan semua mengapa dia tidak hadir di hari pernikahan mereka.“Ya. Aku yakin.” Murad menjawab mantap.Rendra tersenyum miris mendengar jawaban Murad.“Baiklah. Semoga kamu berhasil,” ujar Rendra mendoakan Murad.Namun, Rendra tak tahu doa ini sebuah ketulusan atau sebuah ejekan. Nyatanya dia berharap Murad akan dicaci maki oleh Isha, terlebih orang tuanya. Meskipun begitu, Rendra salut dengan tekad dan semangat Murad untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya, tidak seperti dirinya yang menjadi pengecut dengan menghindari Isha. Padahal hatinya be
Jujur, Malik kali ini memang merasa sangat cemburu dengan laki-laki yang ada di kamar rawat inap Rendra tadi sore. Malik sama sekali tak menduga bahwa yang membuat Isha demikian kolap dan marah serta sedih ternyata adalah Murad, bukannya Rendra.“Murad? Pacarmu di masa lalu itu?” tanya Malik ragu.Namun, anggukan Isha berhasil mengikis keraguan Malik. Kecemburuan Malik semakin menjadi kini.“Ada apa dengan Murad? Apakah dia menghubungi kamu? Mencarimu?” tanya Malik dengan bodohnya.“Tidak. Tapi dia ada di kota ini sekarang,” jawab Isha murung.“Ada di kota ini? Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak menghubungimu?” Malik masih juga tak mengerti.“Karena aku melihatnya, Bang.”Malik semakin terpana mendengar jawaban Isha kali ini.“Melihatnya? Dimana?” Malik tersenyum, mencoba menganggap bahwa jawaban Isha hanya omong kosong belaka.“Di rumah sakit, di ruang rawat inap Rendra tadi sore.”Jleb!Jawaban Isha spontan membuat Malik semakin terkejut.“Di kamar Rendra? Apakah … apakah dia laki-
Isha sudah tidur sejak lepas isya tadi ketika Malik keluar dari kamar untuk ngobrol dengan Ridwan. Sepertinya sudah agak lama mereka tidak berbincang karena belakangan memang Malik dan Isha jarang pulang.“Tumben pulang bukan hari libur, Mal?” tanya Pak Ridwan yang sedang menikmati secangkir kopi hitam ditemani Rosminah.Malik tersenyum.“Iya, Pak. Belakangan Isha sering malas kalau diajak pulang. Katanya belum rindu sama rumah,” jawab Malik dengan senyum kecil.“Memang anak itu, ya?” gerutu Aminah membuat Pak Ridwan tersenyum.“Eh, Mal. Ibu lihat tadi dia sepertinya murung? Ada sesuatu, Mal? Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Rosminah ketika tadi dia melihat wajah Isha sedikit murung ketika mereka tiba.Malik terkejut mendengar pertanyaan itu. Ya, memang diakui bahwa Isha sedikit murung karena memang tadi menangis di rumah sakit. Setahu Malik, karena dia melihat Rendra yang mungkin menimbulkan rasa marah dalam hatinya. Tapi tak mungkin Malik mengatakan hal ini karena ini menyangkut
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.