Mendengar suara Malik yang sedikit keras, Isha spontan membuka matanya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh?” tanya Isha spontan.“Eh? Siapa bilang tak boleh?” tanya Malik cepat.“Lha itu mengapa Abang terkejut?” Isha mulai ketus.“Ya … terkejut karena kamu bilangnya nggak mau ikut Abang ke kontrakan, Sha.” Malik menjawab dengan salah tingkah.Sungguh, Isha benar-benar labil. Beberapa kali berubah pendirian membuat Malik bagai shock terapi.“Kalau nggak boleh juga aku nggak maksa. Lagian takut ganggu nanti kalau aku ikut ke kontrakan,” ujar Isha dengan cemberut kemudian melengos dan bergerak memunggungi Malik.Spontan Malik bingung harus berbuat apa. Dia tentu senang kalau Isha ikut ke kontrakan mengingat status mereka sekarang sudah suami istri. Tapi Malik juga tak bisa menahan rasa terkejutnya karena keputusan Isha yang mendadak itu.Karena gemas, Malik menyingkirkan guling yang memisahkan dirinya dengan Isha. Kemudian dengan sigap, memeluk Isha dari belakang, membuat perempuan itu terpe
Selama dalam perjalanan, Isha lebih banyak diam ketimbang bicara. Kali ini, dia naik mobil diantar oleh Ridwan dan Rosminah karena Rosminah memaksanya membawa beberapa barang yang mungkin akan diperlukan di kontrakan. Sementara itu, Malik sudah berangkat terlebih dahulu mengendarai sepeda motornya karena kalau dia naik mobil maka dia akan kepayahan tak ada kendaraan. Apalagi hari ini ada jam mengajar pagi sehingga Malik berangkat lebih awal.Yang sedari tadi menggelayuti pikiran Isha adalah prasangka ibunya ketika tadi pagi dia bilang akan ikut Malik ke kontrakan dengan alasan agar tidak merepotkan teman Malik untuk mengurus rumah.Cemburu? Ibu bilang aku cemburu? Isha masih saja berkutat dengan pikirannya sendiri, memikirkan dugaan ibunya. Bagaimana mungkin dia cemburu? Bukannya dia nggak mencintai Malik? Kalau tak cinta, bagaimana bisa muncul cemburu?“Sha, kita sudah mau sampai. Cek coba dimana rumahnya,” tanya Rosminah menoleh ke belakang, dimana Isha sedang melamun.“Sebentar, Bu
Deg! Datang ke rumah? Pikiran Malik mendadak tak nyaman dengan kalimat Rosi yang ingin datang ke rumah. Oke, mungkin niatnya baik untuk silaturahmi. Namun, bagaimana jika nanti Isha malah berprasangka buruk? Apalagi ketika tanpa sadar Malik menatap ke arah Pak Agus yang juga menatapnya dengan sinis.Malik tersenyum canggung. Apa sebenarnya kesalahannya pada guru olahraga itu? Mengapa dia begitu kesal dan membencinya sedemikian rupa? Malik terus bertanya dalam hati.“Sudah waktunya masuk kelas, Pak Malik. Jangan sampai status sebagai pengantin baru membuat Anda ingin cepat pulang,” ejek bu Ida yang guru bahasa Indonesia, mengingatkan Malik untuk segera masuk kelas karena ternyata bel masuk sudah berdentang sejak beberapa menit lalu.“Eh, iya, Bu Ida. Sebentar lagi saya masuk kelas,” jawab Malik dengan sedikit gugup kemudian mengambil beberapa buku paket dan bergegas ke kelas.Masih sempat diliriknya Pak Agus yang menatapnya kesal. Terlebih ketika dia keluar dari ruang guru dan Rosi men
Tiba di rumah, suasana rumahnya sedikit ada kesibukan karena Pak Ridwan dan Rosminah masih ada di sana. Usai memarkir sepeda motornya, Malik masuk setelah mengucap salam dan menyalami kedua mertuanya itu. Tak lupa, dia juga menyalami Isha dengan mengusap puncak kepala perempuan itu yang seketika membuat Isha memerah mukanya.“Baru pulang, Mal?” tanya Ridwan setelah Malik berganti pakaian.“Iya, Pak. Maaf sudah merepotkan Bapak sama Ibu karena harus mengantar Isha,” ujar Malik ketika mereka duduk di ruang tamu minimalis itu.“Kebetulan aku memang tidak ada pekerjaan di toko, Mal. Sekalian biar tahu rumah kalian.” Ridwan tersenyum, hal yang tak mudah dilakukannya pada setiap orang.“Sudahlah, Pak. Ngobrolnya nanti lagi. Sekarang kita makan siang dulu. Kasihan Malik capek baru pulang,” Rosminah menengahi untuk mengajak makan siang.“Abang nggak sholat dulu?” tanya Isha basa-basi.“Ah, ya. Kamu benar. Bapak sama Ibu kalau mau makan dulu silakan. Saya sholat sebentar,” ujar Malik.“Tidak m
Seorang gadis muda berdiri di depan pintu rumah kontrakan Malik dengan mata yang digenangi air mata tipis. Dia tak menyangka bahwa laki-laki yang selama ini dia sukai setengah mati, ternyata sudah menikah.“Ternyata ini alasan Pak Malik menolak cinta saya?” Mita, gadis muda yang juga murid Malik itu berkata dengan suara bergetar.Tentu saja suara yang tiba-tiba itu mengejutkan Malik dan juga Isha. Mereka menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan dengan rona penuh keterkejutan. Spontan, Isha mencoba melepaskan pelukan Malik yang melingkupinya sejak tadi, namun Malik mencegah. Dia tetap memeluk Isha dengan erat. Malik sengaja melakukannya untuk membuka mata hati Mita bahwa mereka bukan orang dengan kapasitas yang sama.“Mita, silakan masuk. Saya bisa memberimu pengertian lagi kalau yang kemarin belum juga kamu mengerti,” pinta Malik pada Mita.Gadis cantik itu masuk ke ruang tamu sederhana itu dengan kasar. Kemudian duduk dengan tak kalah kasar.“Bang? Siapa dia?” tanya Isha lirih,
“Mita?” tanya Malik dengan senyum tertahan.Entah mengapa, meskipun pertanyaan yang Isha ungkapkan ini bernada kesal dan seharusnya menakutkan, tetapi Malik berbeda dalam merasakannya. Malik merasa bahwa istri cantiknya itu sedang cemburu dengan kehadiran Mita tadi sore.“Iya. Mita yang tadi sore datang.” Isha menatap kesal ke arah Malik.Sungguh, sorot mata kesal milik Isha ini justru sangat menggemaskan bagi Malik. Ingin rasanya dia menjitak kepala Isha kalau saja dia masih kecil seperti dulu. Sayangnya, Isha kini sudah menjadi perempuan cantik yang tak mungkin dijitaknya, meskipun kadang juteknya berlebihan.“Dia itu salah satu siswiku di sekolah. Kebetulan juga dia lemah di bidang matematika, jadi ikut les juga sama aku.” Malik menjawab dengan suara rendah, tanpa emosi sama sekali.“Abang pacaran sama dia?” tanya Isha masih penasaran.“Hah? Pacaran? Isha … Isha. Mana mungkin aku pacaran sama dia? Aku bukan paedofil yang suka sama anak muda seperti itu.” Malik mengambil air putih d
Selama beberapa bulan ini, pernikahan Malik dan Isha berjalan penuh kompromi. Sebagaimana yang sudah mereka sepakati bersama bahwa Isha dan Malik tidur terpisah. Malik sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, karena bagi Malik melihat Isha bisa menjalani pernikahan mereka dengan kompromi saja sudah lebih dari cukup. Malik tidak pernah menuntut lebih.Dia jelas berjanji tidak akan menuntut lebih dari yang bisa Isha beri dan lakukan. Bahkan , untuk pekerjaan rumah saja Malik tidak pernah membiarkan Isha melakukanya sendiri. Dia selalu membantu, apapun bentuknya.Hubungan mereka sebenarnya nyaris seperti hubungan kakak dan adik, sebagaimana dulu mereka berteman.“Abang mau bawa bekal?” tanya Isha yang tahu bahwa hari ini Malik ada jadwal les.“Tidak usah.” Malik mengambil tas yang biasa dibawa ke sekolah.“Makan siangnya?” tanya Isha.Pria tampan itu tersenyum lembut menatap Isha. “Ada waktu jeda satu jam setengah sebelum jam les. Aku bisa pulang untuk sholat sekalian makan siang deng
Spontan Malik menatap Rosi dengan tatapan tajam. Sakit asmara? Dan itu karena dirinya? Ayolah, mengapa dia yang harus disalahkan? Bukankah setiap sesuatu itu memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri?“Jadi menurutmu aku harus bertanggung jawab atas hal yang tidak pernah kulakukan?” tanya Malik pada Rosi.Entah mengapa Malik merasa bahwa Rosi sedang mengambil kesempatan kali ini, karena dia tahu bahwa Rosi dan Mita sama-sama menyukainya. Dan sayangnya Malik tidak pernah menyukai kedua perempuan ini. Salahkah?“Setidaknya kamu punya rasa empati padanya, bahwa dia menyukaimu dengan serius.” Rosi mencoba mengalihkan pembicaraan.Malik tersenyum hambar. “Oke. Ini hanya seorang siswa. Hanya satu perempuan. Lalu bagaimana jika nanti, kelak, entah kapan, aku menemukan perempuan yang sama, yang tiba-tiba menyukaiku tanpa alasan dan tak mau tahu bahwa aku sudah punya istri? Apakah aku juga harus berempati dengan mereka?” tandas Malik mulai kesal dengan provokasi tak masuk akal Rosi kali ini.“Ha