Selama beberapa bulan ini, pernikahan Malik dan Isha berjalan penuh kompromi. Sebagaimana yang sudah mereka sepakati bersama bahwa Isha dan Malik tidur terpisah. Malik sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, karena bagi Malik melihat Isha bisa menjalani pernikahan mereka dengan kompromi saja sudah lebih dari cukup. Malik tidak pernah menuntut lebih.Dia jelas berjanji tidak akan menuntut lebih dari yang bisa Isha beri dan lakukan. Bahkan , untuk pekerjaan rumah saja Malik tidak pernah membiarkan Isha melakukanya sendiri. Dia selalu membantu, apapun bentuknya.Hubungan mereka sebenarnya nyaris seperti hubungan kakak dan adik, sebagaimana dulu mereka berteman.“Abang mau bawa bekal?” tanya Isha yang tahu bahwa hari ini Malik ada jadwal les.“Tidak usah.” Malik mengambil tas yang biasa dibawa ke sekolah.“Makan siangnya?” tanya Isha.Pria tampan itu tersenyum lembut menatap Isha. “Ada waktu jeda satu jam setengah sebelum jam les. Aku bisa pulang untuk sholat sekalian makan siang deng
Spontan Malik menatap Rosi dengan tatapan tajam. Sakit asmara? Dan itu karena dirinya? Ayolah, mengapa dia yang harus disalahkan? Bukankah setiap sesuatu itu memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri?“Jadi menurutmu aku harus bertanggung jawab atas hal yang tidak pernah kulakukan?” tanya Malik pada Rosi.Entah mengapa Malik merasa bahwa Rosi sedang mengambil kesempatan kali ini, karena dia tahu bahwa Rosi dan Mita sama-sama menyukainya. Dan sayangnya Malik tidak pernah menyukai kedua perempuan ini. Salahkah?“Setidaknya kamu punya rasa empati padanya, bahwa dia menyukaimu dengan serius.” Rosi mencoba mengalihkan pembicaraan.Malik tersenyum hambar. “Oke. Ini hanya seorang siswa. Hanya satu perempuan. Lalu bagaimana jika nanti, kelak, entah kapan, aku menemukan perempuan yang sama, yang tiba-tiba menyukaiku tanpa alasan dan tak mau tahu bahwa aku sudah punya istri? Apakah aku juga harus berempati dengan mereka?” tandas Malik mulai kesal dengan provokasi tak masuk akal Rosi kali ini.“Ha
Selama beberapa bulan ini, pernikahan Malik dan Isha berjalan penuh kompromi. Sebagaimana yang sudah mereka sepakati bersama bahwa Isha dan Malik tidur terpisah. Malik sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, karena bagi Malik melihat Isha bisa menjalani pernikahan mereka dengan kompromi saja sudah lebih dari cukup. Malik tidak pernah menuntut lebih.Dia jelas berjanji tidak akan menuntut lebih dari yang bisa Isha beri dan lakukan. Bahkan , untuk pekerjaan rumah saja Malik tidak pernah membiarkan Isha melakukanya sendiri. Dia selalu membantu, apapun bentuknya.Hubungan mereka sebenarnya nyaris seperti hubungan kakak dan adik, sebagaimana dulu mereka berteman.“Abang mau bawa bekal?” tanya Isha yang tahu bahwa hari ini Malik ada jadwal les.“Tidak usah.” Malik mengambil tas yang biasa dibawa ke sekolah.“Makan siangnya?” tanya Isha.Pria tampan itu tersenyum lembut menatap Isha. “Ada waktu jeda satu jam setengah sebelum jam les. Aku bisa pulang untuk sholat sekalian makan siang deng
Spontan Malik menatap Rosi dengan tatapan tajam. Sakit asmara? Dan itu karena dirinya? Ayolah, mengapa dia yang harus disalahkan? Bukankah setiap sesuatu itu memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri?“Jadi menurutmu aku harus bertanggung jawab atas hal yang tidak pernah kulakukan?” tanya Malik pada Rosi.Entah mengapa Malik merasa bahwa Rosi sedang mengambil kesempatan kali ini, karena dia tahu bahwa Rosi dan Mita sama-sama menyukainya. Dan sayangnya Malik tidak pernah menyukai kedua perempuan ini. Salahkah?“Setidaknya kamu punya rasa empati padanya, bahwa dia menyukaimu dengan serius.” Rosi mencoba mengalihkan pembicaraan.Malik tersenyum hambar. “Oke. Ini hanya seorang siswa. Hanya satu perempuan. Lalu bagaimana jika nanti, kelak, entah kapan, aku menemukan perempuan yang sama, yang tiba-tiba menyukaiku tanpa alasan dan tak mau tahu bahwa aku sudah punya istri? Apakah aku juga harus berempati dengan mereka?” tandas Malik mulai kesal dengan provokasi tak masuk akal Rosi kali ini.“Ha
Mendengar perempuan yang mengaku ibunya Mita ini akan membicarakan Mita dan Malik. Hati Isha seketika menjadi tak nyaman. Berbagai dugaan dan pikiran kotor menghambur di pikirannya, membuat Bu Reni tersenyum penuh kemenangan.“Ini … ini maksudnya apa, Bu Reni? Bisakah … bisakah Anda menjelaskannya dengan gamblang agar saya tidak menduga-duga?” tanya Isha dengan gugup.“Oh, jadi Pak Malik tidak pernah bercerita apapun mengenai Mita?” tanya Bu Reni sengaja berteka-teki, membuat Isha spontan menggeleng dan semakin ketar-ketir.“Tidak. Abang tidak pernah menceritakan hal apapun yang tidak saya tanyakan,” jawab Isha dengan suara yang nyaris gemetar.Bu Reni tersenyum senang melihat Isha gugup seperti itu.“Ya, saya paham mengapa Pak Malik tidak menceritakan hal ini. Mungkin saja karena ingin menjaga perasaan Anda sebagai istri beliau. Dan kedatangan saya ke sini bukannya tanpa tujuan, Mbak Isha.” Bu Reni berkata seperti itu kemudian mengubah settingan wajahnya menjadi sendu.Isha masih ter
Les hari ini ditunda karena jadwal les anak-anak yang bentrok dengan pelajaran lain. Dan Malik tidak mempermasalahkan hal ini karena mungkin saja guru lain ada kepentingan. Maka ketika jam pulang tiba, Malik segera berkemas untuk pulang ketika tiba-tiba Rosi kembali mendekat dan bertanya dengan suara rendah.“Jadi kau tetap tidak akan menjenguk Mita?” Rosi memastikan sikap Malik.Sesaat, Malik menatap Rosi yang demikian gigih. Padahal tidak sekali dua kali Malik menyatakan tidak untuk urusan Mita. Sudah jelas bahwa Mita bukan areanya lagi. Dan tidak akan pernah berada dalam areanya.“Kalaupun aku harus menjenguk, aku tidak akan berangkat sendiri. Aku harus membawa Isha bersamaku. Aku tak mau dia salah paham dengan sesuatu yang sama sekali tidak aku lakukan.” Malik menegaskan.Rosi menghela napas berat melihat keteguhan sikap Malik dalam menjaga pernikahan dan menjaga perasaan istrinya itu. Dalam hatinya yang sedang kesal, Rosi memuji betapa beruntungnya menjadi Isha, dimiliki oleh lel
Ditanya seperti itu, Isha tak memberikan jawaban sama sekali. Dia memilih diam. Mungkin nanti, ketika mereka sampai di rumah, Isha akan bertanya dengan sungguh-sungguh pada Malik mengenai Mita dan hubungan mereka sebelumnya.Setelah pukul tiga, mereka bersiap hendak berangkat pulang kampung. Malik heran melihat bekal pakaian yang Isha bawa agak banyak.“Sha? Nggak salah ini bawaan kamu?” tanya Malik mengerutkan keningnya.“Siapa tahu nanti aku ingin menginap lebih lama. Kangen sama rumah. Kangen sama kue bikinan Ibu Aminah juga,” jawab Isha beralasan.Malik hanya tersenyum dan mengangguk, meski dia masih saja merasa janggal. Apalagi selama dalam perjalanan, Isha memilih untuk lebih banyak diam. Padahal biasanya dia paling banyak bicara belakangan ini. Ya, setelah mereka sepakat untuk berteman lagi, Isha dan Malik berhubungan baik layaknya teman meski mereka suami istri. Di rumah kontrakan memang mereka tidur terpisah sebagaimana kesepakatan mereka. Namun, bila mereka pulang, tak bisa
Di kamar, mereka berdua memilih untuk saling diam. Pikiran mereka bercabang sendiri-sendiri. Jika Malik mungkin mengira bahwa Isha sedang memikirkan seloroh bapaknya, terbukti tadi wajahnya bersemu merah menahan malu.Namun, kenyataannya tidak demikian, Isha sedang berpikir bagaimana mengatakan mengenai kehadiran Bu Reni tadi siang. Namun Isha masih bingung harus memulainya dari mana. Perempuan itu gelisah sehingga Malik yang terbaring di sebelahnya menoleh.“Kenapa, Sha? Kamu sepertinya gelisah?” tanya Malik pelan.“Abang tadi bukannya disuruh telepon Rosi?” tanya Isha mendapatkan jalan.Malik hanya tersenyum. “Biarkan saja. Ini hari libur, kan? Aku nggak harus berurusan dengan pekerjaan. Aku punya keluarga, punya istri yang cantik, yang juga harus kuperhatikan,” jawab Malik santai.Seketika wajah Isha memerah dikatakan cantik. Memang semenjak menikah, Malik selalu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya, termasuk memuji kecantikan Isha. Melihat wajah Isha yang bersemu merah karena m