Spontan Malik menatap Rosi dengan tatapan tajam. Sakit asmara? Dan itu karena dirinya? Ayolah, mengapa dia yang harus disalahkan? Bukankah setiap sesuatu itu memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri?“Jadi menurutmu aku harus bertanggung jawab atas hal yang tidak pernah kulakukan?” tanya Malik pada Rosi.Entah mengapa Malik merasa bahwa Rosi sedang mengambil kesempatan kali ini, karena dia tahu bahwa Rosi dan Mita sama-sama menyukainya. Dan sayangnya Malik tidak pernah menyukai kedua perempuan ini. Salahkah?“Setidaknya kamu punya rasa empati padanya, bahwa dia menyukaimu dengan serius.” Rosi mencoba mengalihkan pembicaraan.Malik tersenyum hambar. “Oke. Ini hanya seorang siswa. Hanya satu perempuan. Lalu bagaimana jika nanti, kelak, entah kapan, aku menemukan perempuan yang sama, yang tiba-tiba menyukaiku tanpa alasan dan tak mau tahu bahwa aku sudah punya istri? Apakah aku juga harus berempati dengan mereka?” tandas Malik mulai kesal dengan provokasi tak masuk akal Rosi kali ini.“Ha
Mendengar perempuan yang mengaku ibunya Mita ini akan membicarakan Mita dan Malik. Hati Isha seketika menjadi tak nyaman. Berbagai dugaan dan pikiran kotor menghambur di pikirannya, membuat Bu Reni tersenyum penuh kemenangan.“Ini … ini maksudnya apa, Bu Reni? Bisakah … bisakah Anda menjelaskannya dengan gamblang agar saya tidak menduga-duga?” tanya Isha dengan gugup.“Oh, jadi Pak Malik tidak pernah bercerita apapun mengenai Mita?” tanya Bu Reni sengaja berteka-teki, membuat Isha spontan menggeleng dan semakin ketar-ketir.“Tidak. Abang tidak pernah menceritakan hal apapun yang tidak saya tanyakan,” jawab Isha dengan suara yang nyaris gemetar.Bu Reni tersenyum senang melihat Isha gugup seperti itu.“Ya, saya paham mengapa Pak Malik tidak menceritakan hal ini. Mungkin saja karena ingin menjaga perasaan Anda sebagai istri beliau. Dan kedatangan saya ke sini bukannya tanpa tujuan, Mbak Isha.” Bu Reni berkata seperti itu kemudian mengubah settingan wajahnya menjadi sendu.Isha masih ter
Les hari ini ditunda karena jadwal les anak-anak yang bentrok dengan pelajaran lain. Dan Malik tidak mempermasalahkan hal ini karena mungkin saja guru lain ada kepentingan. Maka ketika jam pulang tiba, Malik segera berkemas untuk pulang ketika tiba-tiba Rosi kembali mendekat dan bertanya dengan suara rendah.“Jadi kau tetap tidak akan menjenguk Mita?” Rosi memastikan sikap Malik.Sesaat, Malik menatap Rosi yang demikian gigih. Padahal tidak sekali dua kali Malik menyatakan tidak untuk urusan Mita. Sudah jelas bahwa Mita bukan areanya lagi. Dan tidak akan pernah berada dalam areanya.“Kalaupun aku harus menjenguk, aku tidak akan berangkat sendiri. Aku harus membawa Isha bersamaku. Aku tak mau dia salah paham dengan sesuatu yang sama sekali tidak aku lakukan.” Malik menegaskan.Rosi menghela napas berat melihat keteguhan sikap Malik dalam menjaga pernikahan dan menjaga perasaan istrinya itu. Dalam hatinya yang sedang kesal, Rosi memuji betapa beruntungnya menjadi Isha, dimiliki oleh lel
Ditanya seperti itu, Isha tak memberikan jawaban sama sekali. Dia memilih diam. Mungkin nanti, ketika mereka sampai di rumah, Isha akan bertanya dengan sungguh-sungguh pada Malik mengenai Mita dan hubungan mereka sebelumnya.Setelah pukul tiga, mereka bersiap hendak berangkat pulang kampung. Malik heran melihat bekal pakaian yang Isha bawa agak banyak.“Sha? Nggak salah ini bawaan kamu?” tanya Malik mengerutkan keningnya.“Siapa tahu nanti aku ingin menginap lebih lama. Kangen sama rumah. Kangen sama kue bikinan Ibu Aminah juga,” jawab Isha beralasan.Malik hanya tersenyum dan mengangguk, meski dia masih saja merasa janggal. Apalagi selama dalam perjalanan, Isha memilih untuk lebih banyak diam. Padahal biasanya dia paling banyak bicara belakangan ini. Ya, setelah mereka sepakat untuk berteman lagi, Isha dan Malik berhubungan baik layaknya teman meski mereka suami istri. Di rumah kontrakan memang mereka tidur terpisah sebagaimana kesepakatan mereka. Namun, bila mereka pulang, tak bisa
Di kamar, mereka berdua memilih untuk saling diam. Pikiran mereka bercabang sendiri-sendiri. Jika Malik mungkin mengira bahwa Isha sedang memikirkan seloroh bapaknya, terbukti tadi wajahnya bersemu merah menahan malu.Namun, kenyataannya tidak demikian, Isha sedang berpikir bagaimana mengatakan mengenai kehadiran Bu Reni tadi siang. Namun Isha masih bingung harus memulainya dari mana. Perempuan itu gelisah sehingga Malik yang terbaring di sebelahnya menoleh.“Kenapa, Sha? Kamu sepertinya gelisah?” tanya Malik pelan.“Abang tadi bukannya disuruh telepon Rosi?” tanya Isha mendapatkan jalan.Malik hanya tersenyum. “Biarkan saja. Ini hari libur, kan? Aku nggak harus berurusan dengan pekerjaan. Aku punya keluarga, punya istri yang cantik, yang juga harus kuperhatikan,” jawab Malik santai.Seketika wajah Isha memerah dikatakan cantik. Memang semenjak menikah, Malik selalu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya, termasuk memuji kecantikan Isha. Melihat wajah Isha yang bersemu merah karena m
“Jadi Abang tetap tidak akan menjenguk Mita?” Isha menoleh, menatap Malik yang terbaring di sebelahnya berbantalkan lengannya. Kacamata masih belum terlepas dari hidungnya, karena sepertinya memang Malik sudah terlalu bergantung pada kacamata itu.Malik tersenyum dan menoleh, menatap Isha juga. Malam ini, setelah pembicaraan terbuka tadi, mereka memang terasa semakin akur. Isha tak segan lagi tidur satu ranjang dengan Malik, meski kadang masih berbatas guling. Seperti malam ini.“Bukannya aku tak mau menjenguk, Isha. Aku hanya tak ingin jika aku menjenguk nanti akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Andai saja dia tidak memiliki perasaan berbeda, mungkin aku akan lebih ringan jika harus menjenguknya.” Malik menjawab datar. Matanya menatap lampu kamar yang masih belum dimatikan.“Bagaimana nanti jika rekan sesama guru bilang bahwa Abang nggak punya empati terhadap siswa yang sakit?” tanya Isha ragu dengan efek keputusan Malik.“Jika mereka berkomentar dengan ketidakhadiranku menjenguk
Pagi sebelum subuh, Malik dan Isha bangun. Mereka rebutan ke kamar mandi untuk mandi besar setelah semalam mereka berniat dengan hati yang tulus untuk mewujudkan keinginan Pak Ridwan dan Bu Rosminah akan hadirnya seorang cucu dalam keluarga mereka.Namun tentu saja Malik memilih mengalah dan membiarkan Isha mandi duluan. Untung saja kamar mandi ada di dalam kamar Isha, sehingga mereka tak harus berpapasan dengan Pak Ridwan maupun Rosminah. Sudah barang tentu Isha akan malu.Tak hanya berpapasan dengan bapak dan ibunya, bahkan ketika Isha keluar dari kamar mandi dan berpapasan dengan Malik dalam keadaan rambut yang basah dibalut handuk kecil, wajah Isha bersemu merah. Apalagi Malik melempar sebuah senyum penuh arti pada Isha, perempuan itu semakin malu dibuatnya.“Ish, kenapa malu? Bukannya aku suami kamu?” Malik memegang pergelangan tangan Isha, membuat perempuan itu semakin malu luar biasa.“Apaan, sih? Abang cepat mandi, deh. Ntar keburu waktu subuh lagi,” Isha menghindar, membuat M
Malik menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah yang cukup mewah untuk ukuran kota kecil ini. Isha mengamati rumah besar berpagar tembok tinggi itu. Kali ini Malik hanya memarkir mobilnya di pinggir jalan, di depan rumah itu. Tidak serta merta membawa masuk mobilnya ke halaman.“Abang yakin ini rumahnya?” tanya Isha ketika Malik mematikan mesin mobilnya.“Ya. Kenapa?” Malik menatap Isha yang sedikit ragu.Isha hanya menggeleng.“Yuk, turun! Kita harus menyelesaikan semuanya atau ini akan menjadi duri dalam pikiran kita dan juga guru-guru yang lain.” Malik mengajak Isha turun.Isha mengangguk kemudian mengikuti Malik untuk turun dari mobil. Malik mengulurkan tangan kirinya ke arah Isha untuk menggandeng istrinya itu. Sesaat Isha terkejut karena belum terlalu terbiasa, namun anggukan Malik membuat Isha tak ragu lagi dalam menerima uluran tangan suaminya itu.Bukankah mereka sudah halal dan sudah menjadi suami istri yang sebenarnya?Malik menggandeng tangan Isha dan mengajaknya m