Ditanya seperti itu, Isha tak memberikan jawaban sama sekali. Dia memilih diam. Mungkin nanti, ketika mereka sampai di rumah, Isha akan bertanya dengan sungguh-sungguh pada Malik mengenai Mita dan hubungan mereka sebelumnya.Setelah pukul tiga, mereka bersiap hendak berangkat pulang kampung. Malik heran melihat bekal pakaian yang Isha bawa agak banyak.“Sha? Nggak salah ini bawaan kamu?” tanya Malik mengerutkan keningnya.“Siapa tahu nanti aku ingin menginap lebih lama. Kangen sama rumah. Kangen sama kue bikinan Ibu Aminah juga,” jawab Isha beralasan.Malik hanya tersenyum dan mengangguk, meski dia masih saja merasa janggal. Apalagi selama dalam perjalanan, Isha memilih untuk lebih banyak diam. Padahal biasanya dia paling banyak bicara belakangan ini. Ya, setelah mereka sepakat untuk berteman lagi, Isha dan Malik berhubungan baik layaknya teman meski mereka suami istri. Di rumah kontrakan memang mereka tidur terpisah sebagaimana kesepakatan mereka. Namun, bila mereka pulang, tak bisa
Di kamar, mereka berdua memilih untuk saling diam. Pikiran mereka bercabang sendiri-sendiri. Jika Malik mungkin mengira bahwa Isha sedang memikirkan seloroh bapaknya, terbukti tadi wajahnya bersemu merah menahan malu.Namun, kenyataannya tidak demikian, Isha sedang berpikir bagaimana mengatakan mengenai kehadiran Bu Reni tadi siang. Namun Isha masih bingung harus memulainya dari mana. Perempuan itu gelisah sehingga Malik yang terbaring di sebelahnya menoleh.“Kenapa, Sha? Kamu sepertinya gelisah?” tanya Malik pelan.“Abang tadi bukannya disuruh telepon Rosi?” tanya Isha mendapatkan jalan.Malik hanya tersenyum. “Biarkan saja. Ini hari libur, kan? Aku nggak harus berurusan dengan pekerjaan. Aku punya keluarga, punya istri yang cantik, yang juga harus kuperhatikan,” jawab Malik santai.Seketika wajah Isha memerah dikatakan cantik. Memang semenjak menikah, Malik selalu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya, termasuk memuji kecantikan Isha. Melihat wajah Isha yang bersemu merah karena m
“Jadi Abang tetap tidak akan menjenguk Mita?” Isha menoleh, menatap Malik yang terbaring di sebelahnya berbantalkan lengannya. Kacamata masih belum terlepas dari hidungnya, karena sepertinya memang Malik sudah terlalu bergantung pada kacamata itu.Malik tersenyum dan menoleh, menatap Isha juga. Malam ini, setelah pembicaraan terbuka tadi, mereka memang terasa semakin akur. Isha tak segan lagi tidur satu ranjang dengan Malik, meski kadang masih berbatas guling. Seperti malam ini.“Bukannya aku tak mau menjenguk, Isha. Aku hanya tak ingin jika aku menjenguk nanti akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Andai saja dia tidak memiliki perasaan berbeda, mungkin aku akan lebih ringan jika harus menjenguknya.” Malik menjawab datar. Matanya menatap lampu kamar yang masih belum dimatikan.“Bagaimana nanti jika rekan sesama guru bilang bahwa Abang nggak punya empati terhadap siswa yang sakit?” tanya Isha ragu dengan efek keputusan Malik.“Jika mereka berkomentar dengan ketidakhadiranku menjenguk
Pagi sebelum subuh, Malik dan Isha bangun. Mereka rebutan ke kamar mandi untuk mandi besar setelah semalam mereka berniat dengan hati yang tulus untuk mewujudkan keinginan Pak Ridwan dan Bu Rosminah akan hadirnya seorang cucu dalam keluarga mereka.Namun tentu saja Malik memilih mengalah dan membiarkan Isha mandi duluan. Untung saja kamar mandi ada di dalam kamar Isha, sehingga mereka tak harus berpapasan dengan Pak Ridwan maupun Rosminah. Sudah barang tentu Isha akan malu.Tak hanya berpapasan dengan bapak dan ibunya, bahkan ketika Isha keluar dari kamar mandi dan berpapasan dengan Malik dalam keadaan rambut yang basah dibalut handuk kecil, wajah Isha bersemu merah. Apalagi Malik melempar sebuah senyum penuh arti pada Isha, perempuan itu semakin malu dibuatnya.“Ish, kenapa malu? Bukannya aku suami kamu?” Malik memegang pergelangan tangan Isha, membuat perempuan itu semakin malu luar biasa.“Apaan, sih? Abang cepat mandi, deh. Ntar keburu waktu subuh lagi,” Isha menghindar, membuat M
Malik menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah yang cukup mewah untuk ukuran kota kecil ini. Isha mengamati rumah besar berpagar tembok tinggi itu. Kali ini Malik hanya memarkir mobilnya di pinggir jalan, di depan rumah itu. Tidak serta merta membawa masuk mobilnya ke halaman.“Abang yakin ini rumahnya?” tanya Isha ketika Malik mematikan mesin mobilnya.“Ya. Kenapa?” Malik menatap Isha yang sedikit ragu.Isha hanya menggeleng.“Yuk, turun! Kita harus menyelesaikan semuanya atau ini akan menjadi duri dalam pikiran kita dan juga guru-guru yang lain.” Malik mengajak Isha turun.Isha mengangguk kemudian mengikuti Malik untuk turun dari mobil. Malik mengulurkan tangan kirinya ke arah Isha untuk menggandeng istrinya itu. Sesaat Isha terkejut karena belum terlalu terbiasa, namun anggukan Malik membuat Isha tak ragu lagi dalam menerima uluran tangan suaminya itu.Bukankah mereka sudah halal dan sudah menjadi suami istri yang sebenarnya?Malik menggandeng tangan Isha dan mengajaknya m
Usai berkata dengan tandas seperti itu, Malik meraih tangan Isha dan mengajaknya berdiri. Kemudian dengan langkah lebar mengajak Isha keluar dari sini, menghindari orang-orang yang tidak menghargai dirinya dan juga istrinya. Isha yang tak menyangka Malik akan bersikap sekeras ini hanya heran dan mengikuti langkah suaminya itu tanpa banyak bertanya.“Bang? Apa kita nggak dinilai tidak sopan nanti?” tanya Isha lirih ketika mereka tiba di halaman rumah besar itu.“Kita akan menghormati orang yang menghormati orang lain. Ketika Bu Reni sudah menginjak harga dirimu, harga diri kita, sekali-sekali kita butuh mempertahankan harga diri kita, kan?” tanya Malik dengan sabar ketika yang bertanya adalah Isha.“Tapi, Bang? Kita nggak sopan ini keluarnya?”Malik tersenyum. “Sudahlah. Kita tidak melakukan kesalahan. Kalau Bu Reni tidak tinggi hati, mungkin dia akan menelaah apa yang kita tunjukkan dan menasehati Mita agar tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, termasuk menipu.”Malik membuka pintu
Bu Reni menatap Mita yang malah merajuk karena ketahuan berbohong.“Bisa kasih Mama penjelasan mengapa kamu melakukan hal ini?” tanya Bu Reni dengan tatapan yang tajam.“Mama bisa nggak kasih aku penjelasan mengapa Mama tetap mau dinikahi Papa secara sembunyi padahal Mama tahu kalau Papa punya keluarga?” Mita malah membalikkan pertanyaan karena posisi mereka sama.Bu Reni terkejut karena akhirnya apa yang ditakutinya kini terjadi. Perempuan itu gelagapan mendapat pertanyaan seperti itu.“Kenapa, ma? Kenapa Mama nggak bisa jawab? Kalau Mama nggak bisa jawab pertanyaan Mita, mengapa Mita harus menjawab pertanyaan Mama? Mama toh sudah tahu jawabannya, kan?” Mita malah berani menjawab dengan kasar.“Kamu lama-lama kurang ajar, ya, Mita?” Bu Reni menghardik Mita karena kesal.“Mengapa Mama harus marah sama Mita? Mama, kan, yang ngasih contoh sama Mita? Mama harusnya sudah tahu, kan, mengapa Mita begitu tergila-gila dengan Pak Malik sampai harus melakukan kebohongan ini? Karena Mita cinta s
Senin pagi ini seperti biasa, Malik berangkat lebih pagi karena ada upacara rutin hari Senin. Namun, karena agak buru-buru, Pak Ridwan meminta Malik dan Isha untuk membawa mobil mereka itu. Karena ditinggal pun tak ada yang memakai mobil itu.“Bawa saja mobilnya, Mal. Bapak masih ada yang lainya.” Pak Ridwan meminta Malik membawa mobil itu ke kontrakan.“Tapi di sana belum ada tempatnya, Pak.” Malik mencoba mengelak dengan senyum masam.Sejujurnya malu karena diberi hadiah semewah itu, padahal dia tidak melakukan banyak hal untuk keluarga ini. Bisa menjadi suami Isha dan diterima dengan baik oleh keluarga ini saja sudah merupakan hal yang luar biasa baginya.Terlebih setelah pernikahannya dengan Isha berjalan dengan baik-baik saja, semakin bisa berkompromi satu sama lain dengan baik. Isha yang biasanya keras kepala, belakangan lebih sering mengalah, sebagaimana Malik yang selalu mengalah padanya. Apalagi ketika malam itu, keduanya lantas menyempurnakan pernikahan mereka setelah sekian
Meskipun Malik menjauh, namun dia tidak membiarkan Isha dan Murad berinteraksi tanpa pengawasan. Malik tetap memantau mereka. Bahkan, ketika Malik melihat Isha terlihat menangis dan emosi, ingin rasanya Malik segera mendekat dan menenangkan Isha. Namun sepertinya pembicaraan mereka belum selesai, sehingga Malik memilih diam dan menunggu.Tiba-tiba ponsel Malik berdering. Laki-laki itu segera menerima panggilan yang ternyata dari Bu Rosminah.“Assalamu alaikum, Ibu?” sapa Malik santun.“Mal? Dimana kalian? Bapak sudah sadar. Beliau akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bisakah kalian ke sini sekarang? Kita harus mengantar Bapak ke ruang rawat inap.” Bu Rosminah meminta Malik datang.“Oh, bisa, Bu. Sekarang kami kesana,” jawab Malik dengan cepat.Tanpa banyak pertimbangan, Malik segera bergegas menemui Isha yang sedang bicara dengan Murad.“Maaf, Murad. Aku harus mengajak Isha menemui Bapak. Mungkin nanti bisa diteruskan kembali jika memang kalian belum selesai bicara,” ujar Malik sambi
Dan disinilah mereka bertiga kini. Di tempat dimana tadi Malik menemui Murad dan bicara empat mata. Namun, kini menjadi enam mata karena Isha akhirnya bersedia menemui Murad, lelaki yang dulu dicintainya tetapi sekarang dibencinya setengah mati. Tetapi tak bijak rasanya jika dia membenci tanpa memberi kesempatan pada Murad untuk menceritakan semuanya.Meskipun mereka sadari bahwa penjelasan apapun yang nanti akan Murad katakan, sama sekali tak berpengaruh pada hubungan mereka yang terlanjur berantakan.“Silahkan bicara. Perselisihan kalian harus segera diakhiri,” ujar Malik pada Isha dan Murad, kemudian hendak pergi.Namun, tangan Isha memegang tangan Malik, mencegah suaminya itu menjauh.“Abang mau kemana?” tanya Isha canggung.Malik tersenyum, kemudian mengusap kepala Isha dengan senyumnya yang menyejukkan hati.“Aku harus memberi waktu pada kalian untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.“Mengapa Abang nggak di sini saja?” pinta Isha.Malik tersenyum dan menggeleng.“Nanti kalian ti
Bertemu dengan Isha?Malik spontan menoleh ke arah Murad dengan ekspresi aneh, seperti tak suka dan tidak setuju dengan permintaan Murad kali ini. Memangnya siapa dia sampai minta bertemu? Melihat perubahan ekspresi Malik yang shock itu, Murad buru-buru membenahi kalimatnya.“Aku hanya ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin minta maaf, untuk yang terakhir kalinya. Jadi tolong jangan berpikir bahwa aku akan memintanya kembali padaku, karena aku tahu itu tak akan mungkin terkabul,” ujar Murad dengan cepat.Sungguh, dia nyeri ketika mengatakan bahwa dia tak akan meminta Isha kembali padanya, padahal jujur saja dia masih sangat mencintai Isha. Hanya saja mungkin cintanya sudah tidak berlaku lagi.“Dan aku tak akan membiarkanmu memintanya kembali jika kamu melakukannya,” ujar Malik dengan tegas penuh nada posesif.Murad tersenyum. Diam-diam dia salut dengan sikap yang diambil oleh Malik atas pernikahan dan cintanya. Laki-laki ini tegas menentukan sikap ketika ada bah
Malik sengaja mengajak Murad untuk sedikit menjauh dari posisi Isha dan Bu Rosminah yang menunggu Pak Ridwan keluar dari ruang ICU rumah sakit ini. Ketika tiba di koridor yang sedikit lengang, Malik menghentikan langkahnya.“Kita bicara di sini saja,” pinta Malik sambil mengajak Murad duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.Murad hanya mengangguk. Keduanya lantas duduk berjajar berdampingan dalam jarak yang tidak terlalu dekat.“Mungkin kamu sudah tahu siapa aku,” ujar Malik mengawali percakapannya dengan Murad.Terdengar Murad menghela napas panjang dan berat.“Ya. Aku mendengarnya dari Rendra, bahwa kamu adalah suami Isha.” Murad menjawab dengan nada murung yang tak bisa disembunyikan.Malik tersenyum masam mendengar jawaban Murad.“Ya. Suami pengganti kehadiranmu yang mangkir ketika itu,” tandas Malik seolah menegaskan kesalahan terbesar Murad pada Isha.Murad tersenyum getir.“Ya. Aku memang bodoh ketika itu. Memilih takut pada ancaman selingkuhanku daripada menikahi Isha.
Pak Ridwan dan Bu Rosminah benar-benar terkejut melihat kedatangan Murad, laki-laki yang sudah mempermalukan keluarganya karena tidak datang pada hari pernikahannya dengan Isha.“Murad? Masih punya nyali dia untuk datang ke sini,” gumam Pak Ridwan dengan geram dan wajah yang sangar.“Tenang, Pak. Jangan terbawa emosi. Kita lihat dulu apa maksudnya datang kali ini,” jawab Bu Rosminah masih dengan suara rendah.“Hm.” Hanya itu jawab Pak Ridwan, menunjukkan betapa geramnya dia pada sosok Murad yang kini datang tanpa rasa bersalah itu.Sementara itu, Murad yang turun dari mobilnya sejenak bimbang. Apalagi ketika melihat reaksi kedua orang yang kebetulan sedang ada di teras itu. Tapi Murad tidak mungkin kabur begitu saja. Kemarin dia sudah bersikap pengecut, dan sekarang dia tak ingin menjadi pengecut untuk kedua kalinya di mata keluarga ini.“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa Murad dengan kikuk namun tetap menjaga kesantunannya.Bu Rosminah tersenyum canggung, sementara Pak Ridwan yang sejak m
Pagi ini, sesuai dengan tekadnya kemarin, bahwa dia akan tetap menemui Isha, apapun penerimaan perempuan itu. Ketika sarapan, Rendra kembali mengingatkan mengenai keinginan Murad itu.“Kamu yakin untuk tetap datang ke rumah Isha?” tanya Rendra.Murad menatap Rendra tanpa keraguan. Tekadnya sudah sangat bulat. Dia tak mau hidup dalam bayang-bayang dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Dia ingin mendapatkan maaf dari Isha, menjelaskan semua mengapa dia tidak hadir di hari pernikahan mereka.“Ya. Aku yakin.” Murad menjawab mantap.Rendra tersenyum miris mendengar jawaban Murad.“Baiklah. Semoga kamu berhasil,” ujar Rendra mendoakan Murad.Namun, Rendra tak tahu doa ini sebuah ketulusan atau sebuah ejekan. Nyatanya dia berharap Murad akan dicaci maki oleh Isha, terlebih orang tuanya. Meskipun begitu, Rendra salut dengan tekad dan semangat Murad untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya, tidak seperti dirinya yang menjadi pengecut dengan menghindari Isha. Padahal hatinya be
Jujur, Malik kali ini memang merasa sangat cemburu dengan laki-laki yang ada di kamar rawat inap Rendra tadi sore. Malik sama sekali tak menduga bahwa yang membuat Isha demikian kolap dan marah serta sedih ternyata adalah Murad, bukannya Rendra.“Murad? Pacarmu di masa lalu itu?” tanya Malik ragu.Namun, anggukan Isha berhasil mengikis keraguan Malik. Kecemburuan Malik semakin menjadi kini.“Ada apa dengan Murad? Apakah dia menghubungi kamu? Mencarimu?” tanya Malik dengan bodohnya.“Tidak. Tapi dia ada di kota ini sekarang,” jawab Isha murung.“Ada di kota ini? Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak menghubungimu?” Malik masih juga tak mengerti.“Karena aku melihatnya, Bang.”Malik semakin terpana mendengar jawaban Isha kali ini.“Melihatnya? Dimana?” Malik tersenyum, mencoba menganggap bahwa jawaban Isha hanya omong kosong belaka.“Di rumah sakit, di ruang rawat inap Rendra tadi sore.”Jleb!Jawaban Isha spontan membuat Malik semakin terkejut.“Di kamar Rendra? Apakah … apakah dia laki-
Isha sudah tidur sejak lepas isya tadi ketika Malik keluar dari kamar untuk ngobrol dengan Ridwan. Sepertinya sudah agak lama mereka tidak berbincang karena belakangan memang Malik dan Isha jarang pulang.“Tumben pulang bukan hari libur, Mal?” tanya Pak Ridwan yang sedang menikmati secangkir kopi hitam ditemani Rosminah.Malik tersenyum.“Iya, Pak. Belakangan Isha sering malas kalau diajak pulang. Katanya belum rindu sama rumah,” jawab Malik dengan senyum kecil.“Memang anak itu, ya?” gerutu Aminah membuat Pak Ridwan tersenyum.“Eh, Mal. Ibu lihat tadi dia sepertinya murung? Ada sesuatu, Mal? Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Rosminah ketika tadi dia melihat wajah Isha sedikit murung ketika mereka tiba.Malik terkejut mendengar pertanyaan itu. Ya, memang diakui bahwa Isha sedikit murung karena memang tadi menangis di rumah sakit. Setahu Malik, karena dia melihat Rendra yang mungkin menimbulkan rasa marah dalam hatinya. Tapi tak mungkin Malik mengatakan hal ini karena ini menyangkut
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.