Meski Rosi sudah tahu kemana arah pembicaraan Malik, namun dia masih mencoba mengalihkan pembicaraan.“Tentang … Mita? Eh, maksudnya kamu berubah pikiran dan akan menjenguknya? Baguslah. Artinya kamu masih memiliki rasa empati yang tinggi terhadap anak didikmu. Dan kurasa ini bisa dijadikan sebagai tauladan guru yang lain. Ya, kurasa begitu,” ujar Rosi dengan gugup.Malik tersenyum hambar.“Sayangnya bukan itu yang ingin aku bicarakan saat ini, Ros.” Malik masih menjawab datar.“Lalu … lalu mengenai hal apa yang ingin kamu bahas denganku?” Rosi semakin kikuk.Malik melihat ke sekeliling ruangan dan suasana yang mulai sepi membuatnya mencari tempat yang pantas dan terbuka untuk bicara tanpa menimbulkan kecurigaan siapapun.“Bisa kita bicara di tempat lain? Di area parkir, agar tidak menimbulkan fitnah,” ujar Malik menatap Rosi yang memucat.Meski sesungguhnya Rosi ingin segera pulang demi menghindari hal ini, namun sepertinya dia tidak bisa menghindar lagi. Maka dengan terpaksa dia men
Semenjak hari itu, hubungan Malik dan Rosiana sepertinya tidak berjalan dengan baik karena Rosiana merasa malu sendiri dengan apa yang dilakukannya. Padahal Malik tidak pernah mengatakan atau mengejek Rosi mengenai perselisihan di antara mereka berdua. Malik berusaha tetap saling menjaga. Bagaimanapun, persahabatan mereka baik sebelumnya. Jadi tak ada alasan bagi Malik untuk melakukan hal buruk. Meskipun sebenarnya Malik telah diperlakukan tidak adil hanya karena dia tidak bisa membalas cinta kedua perempuan beda generasi itu.Rumah tangga Malik dan Isha juga terhitung hangat karena sepertinya Isha mulai bisa menerima kehadiran Malik dalam hidupnya semenjak malam mereka menyempurnakan pernikahan mereka itu. Apalagi Malik yang selalu sabar, sebagaimana dia dulu yang juga selalu bersikap sabar pada Isha, membuat Isha lambat laun bisa melupakan Murad. Apalagi Malik memang tak pernah mengungkit apapun mengenai masa lalu Isha dengan Murad.“Bagaimana hubungan pertemanan Abang sama bu Rosi?
Malam minggu ini, Isha dan Malik tidak pulang ke rumah mereka. Belakangan memang mereka lebih sering menghabiskan waktu berdua. Berbincang atau berdiskusi mengenai banyak hal sehubungan dengan hobi dan kesukaan mereka. Tak jarang mereka hanya nongkrong di angkringan yang tak jauh dari kantor kecamatan, sekedar menghabiskan malam minggu.Tentu saja mereka kini tidak tidur terpisah lagi karena Isha sudah meminta Malik untuk tidur satu ranjang dengannya. Kebahagiaan mereka sepertinya benar-benar sempurna kini.“Kita ke mall, Sha? Mumpung malam minggu?” tanya Malik usai mereka makan malam.“Mau ngapain?” tanya Isha.“Jalan-jalan saja. Biar kamu nggak bosan. Kamu sudah terkurung di rumah setiap hari. Nggak ada salahnya kalau kita sekali-sekali ke kota, kan?” pinta Malik.Isha nampak terdiam menimbang.“Boleh,” ujar Isha yang akhirnya menyetujui ajakan Malik.Dan setengah jam kemudian mereka sudah berada dalam perjalanan menuju ke kota. Ada sebuah pusat perbelanjaan yang tidak begitu besar
Merasa ada yang memanggil namanya, Isha menoleh. Demikian juga dengan Malik. Mereka berdua menoleh bersamaan ke arah sumber suara kemudian saling pandang seakan mereka tak mengira bahwa akan bertemu dengan Rendra di tempat ini.Meskipun jelas ada sesuatu yang tak baik di antara mereka dulu, tetapi jelas Malik sudah melupakannya. Toh mereka sama-sama dewasa. Mana mungkin rebutan perempuan lagi. Maka dengan senyum lebar, Malik mengajak Isha menemui Rendra dan Doni.“Hei, Ren? Apa kabar? Nggak sangka ketemu kalian di sini?” sapa Malik mendekat kemudian mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Rendra.Pria itu menyambut masih dengan jantung berdebar dan senyum yang sedikit masam. Antara rasa tak percaya dan kecewa.“Kabar baik,” jawab Rendra jawab Rendra yang kemudian menjabat tangan Isha.Doni juga ikut berjabatan tangan dengan mereka.“Duduk, Mal, Isha. Sungguh sebuah kebetulan kita berjumpa lagi setelah bertahun-tahun,” ujar Rendra menawarkan.Malik tersenyum kemudian menoleh menatap I
Melihat Isha cemberut dan mengaduk mienya dengan kasar, Malik tersenyum. Dia berhenti mengaduk mienya sendiri dan mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Isha.“Hei, mengapa kesal? Aku hanya bertanya wajar, kan? Kalau kamu nggak cerita, aku juga nggak akan maksa. Kan sudah aku bilang, aku nggak mau tahu bagaimana masa lalumu. Aku tak peduli berapa banyak laki-laki yang pernah ada dalam kehidupanmu. Dan aku tak heran dengan semua itu, karena kamu cantik. Bodoh saja kalau ada laki-laki yang tidak tertarik sama kamu,” ujar Malik jujur penuh rayuan.“Habisnya Abang reaksinya kayak gitu, sih? Datar banget. Kayak yang nggak cinta sama istrinya.” Isha masih saja menggerutu kesal dengan reaksi Malik yang terlalu biasa.“Eh, siapa bilang aku nggak cinta sama istriku? Justru karena aku sangat mencintainya maka aku ingin dia selalu nyaman denganku, nyaman berada di sisiku.” Malik masih saja menjelaskan.“Abang nggak cemburu dengan kisahku sama Rendra di masa lalu?” tanya Isha dengan kesal.M
Malam ini, ketika Isha dan Malik sampai di rumah setelah kencan malam minggu mereka —tentu saja ini sebuah kencan yang halal karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah, yang tidak sempat pacaran— Malik menenteng tas berisi beberapa barang belanjaan Isha. Kebetulan memang Malik baru saja gajian, sehingga mereka sekalian membeli barang kebutuhan rumah tangga mereka.“Langsung di susun di kulkas?” tanya Malik ketika mereka masuk rumah.“Nanti saja biar aku sendiri yang susun,” jawab Isha sambil memasukkan sepatu flatnya ke dalam rak.“Mengapa nggak sekarang saja?” tanya Malik.“Nggak bisa asal masukin barang, Abang Sayang. Karena harus aku pisah-pisah sesuai wadahnya,” jawab Isha dengan nada panjang membuat Malik tersenyum.Siapa yang tidak tersenyum sendirian ketika istri yang dicintainya semenjak remaja itu kini juga membalas cintanya? Tentu bukan perjalanan yang selalu indah karena berbulan-bulan lamanya Malik harus rela tidur terpisah untuk memberikan rasa nyaman pada Isha.“
Mendengar penuturan jujur Isha, Malik menatap istrinya itu dengan sorot mata tak percaya. Bagaimana mungkin ternyata gadis dalam pelukannya ini sudah menyukainya sejak remaja juga? Bahkan bermimpi menjadi istrinya? Tidakkah ini sebuah skenario Tuhan yang sangat luar biasa?Tanpa sadar Malik mengeratkan pelukannya.“Tidakkah kamu menyadari bahwa Tuhan sudah mengabulkan impian-impian polos kita di masa lalu?” Malik bertanya puitis.“Ya. Tuhan selalu baik sama kita.” Isha menjawab lirih.“Apakah kamu tahu betapa bersyukurnya aku memiliki istri secantik kamu?” Malik kembali merayu, membuat Isha tersipu. “Jadi apakah kamu akan mengatakan bagaimana kamu bisa pernah dekat dengan Rendra?” tanya Malik.“Benar Abang mau tahu?” tanya Isha tak yakin.Malik mengangguk yakin. Dan Isha mulai berkisah. Jujur dan tak ada yang Isha sembunyikan sama sekali karena memang Isha sudah berkomitmen dalam hati bahwa dia akan ikut menjaga dan mempertahankan pernikahan ini. Tetap bersikap jujur dan terbuka, baik
Melihat Malik terdiam, Isha menyudahi pekerjaannya dan mendekati suaminya itu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya terdiam.“Ada apa, Bang?” tanya Isha memegang lengan Malik dengan lembut.Malik menatap Isha dengan berbagai perasaan yang tak bisa diungkapkan. Bagaimana mungkin yang ada di dalam ingatannya hanya Isha? Bukannya mereka hanya baru pada tahap pendekatan ketika itu?“Bang?” Isha memanggil ulang Malik yang tidak menjawab pertanyaannya dan malah melamun.“Eh, ya? Ada apa, Sayang?” Malik tergagap.“Aku nanya, ada apa dengan Rendra? Kok Abang jadi terdiam begini setelah telepon?” tanya Isha dengan pelan, seolah menuntun Malik agar kembali sadar dari lamunannya.“Ini, Doni barusan telepon. Katanya semalam Rendra kecelakaan,” jawab Malik.“Innalillahi. Lalu bagaimana keadaannya?” tanya Isha juga terkejut.“Secara keseluruhan dia tidak terlalu parah. Hanya saja otaknya sedikit bermasalah,” ujar Malik menatap Isha.Isha yang ditatap seperti itu ikut heran.“Otaknya Rendra yang bermas