Melihat Isha cemberut dan mengaduk mienya dengan kasar, Malik tersenyum. Dia berhenti mengaduk mienya sendiri dan mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Isha.“Hei, mengapa kesal? Aku hanya bertanya wajar, kan? Kalau kamu nggak cerita, aku juga nggak akan maksa. Kan sudah aku bilang, aku nggak mau tahu bagaimana masa lalumu. Aku tak peduli berapa banyak laki-laki yang pernah ada dalam kehidupanmu. Dan aku tak heran dengan semua itu, karena kamu cantik. Bodoh saja kalau ada laki-laki yang tidak tertarik sama kamu,” ujar Malik jujur penuh rayuan.“Habisnya Abang reaksinya kayak gitu, sih? Datar banget. Kayak yang nggak cinta sama istrinya.” Isha masih saja menggerutu kesal dengan reaksi Malik yang terlalu biasa.“Eh, siapa bilang aku nggak cinta sama istriku? Justru karena aku sangat mencintainya maka aku ingin dia selalu nyaman denganku, nyaman berada di sisiku.” Malik masih saja menjelaskan.“Abang nggak cemburu dengan kisahku sama Rendra di masa lalu?” tanya Isha dengan kesal.M
Malam ini, ketika Isha dan Malik sampai di rumah setelah kencan malam minggu mereka —tentu saja ini sebuah kencan yang halal karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah, yang tidak sempat pacaran— Malik menenteng tas berisi beberapa barang belanjaan Isha. Kebetulan memang Malik baru saja gajian, sehingga mereka sekalian membeli barang kebutuhan rumah tangga mereka.“Langsung di susun di kulkas?” tanya Malik ketika mereka masuk rumah.“Nanti saja biar aku sendiri yang susun,” jawab Isha sambil memasukkan sepatu flatnya ke dalam rak.“Mengapa nggak sekarang saja?” tanya Malik.“Nggak bisa asal masukin barang, Abang Sayang. Karena harus aku pisah-pisah sesuai wadahnya,” jawab Isha dengan nada panjang membuat Malik tersenyum.Siapa yang tidak tersenyum sendirian ketika istri yang dicintainya semenjak remaja itu kini juga membalas cintanya? Tentu bukan perjalanan yang selalu indah karena berbulan-bulan lamanya Malik harus rela tidur terpisah untuk memberikan rasa nyaman pada Isha.“
Mendengar penuturan jujur Isha, Malik menatap istrinya itu dengan sorot mata tak percaya. Bagaimana mungkin ternyata gadis dalam pelukannya ini sudah menyukainya sejak remaja juga? Bahkan bermimpi menjadi istrinya? Tidakkah ini sebuah skenario Tuhan yang sangat luar biasa?Tanpa sadar Malik mengeratkan pelukannya.“Tidakkah kamu menyadari bahwa Tuhan sudah mengabulkan impian-impian polos kita di masa lalu?” Malik bertanya puitis.“Ya. Tuhan selalu baik sama kita.” Isha menjawab lirih.“Apakah kamu tahu betapa bersyukurnya aku memiliki istri secantik kamu?” Malik kembali merayu, membuat Isha tersipu. “Jadi apakah kamu akan mengatakan bagaimana kamu bisa pernah dekat dengan Rendra?” tanya Malik.“Benar Abang mau tahu?” tanya Isha tak yakin.Malik mengangguk yakin. Dan Isha mulai berkisah. Jujur dan tak ada yang Isha sembunyikan sama sekali karena memang Isha sudah berkomitmen dalam hati bahwa dia akan ikut menjaga dan mempertahankan pernikahan ini. Tetap bersikap jujur dan terbuka, baik
Melihat Malik terdiam, Isha menyudahi pekerjaannya dan mendekati suaminya itu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya terdiam.“Ada apa, Bang?” tanya Isha memegang lengan Malik dengan lembut.Malik menatap Isha dengan berbagai perasaan yang tak bisa diungkapkan. Bagaimana mungkin yang ada di dalam ingatannya hanya Isha? Bukannya mereka hanya baru pada tahap pendekatan ketika itu?“Bang?” Isha memanggil ulang Malik yang tidak menjawab pertanyaannya dan malah melamun.“Eh, ya? Ada apa, Sayang?” Malik tergagap.“Aku nanya, ada apa dengan Rendra? Kok Abang jadi terdiam begini setelah telepon?” tanya Isha dengan pelan, seolah menuntun Malik agar kembali sadar dari lamunannya.“Ini, Doni barusan telepon. Katanya semalam Rendra kecelakaan,” jawab Malik.“Innalillahi. Lalu bagaimana keadaannya?” tanya Isha juga terkejut.“Secara keseluruhan dia tidak terlalu parah. Hanya saja otaknya sedikit bermasalah,” ujar Malik menatap Isha.Isha yang ditatap seperti itu ikut heran.“Otaknya Rendra yang bermas
Beberapa jam sebelumnya ….Pulang sekolah kali ini cuaca cukup panas. Malik kebetulan memang tidak ada jadwal les anak-anak. Namun panasnya cuaca menjadi tak terasa ketika Malik tiba di rumah dan disambut dengan senyum manis Isha.“Abang sudah pulang?” tanya Isha dengan manis.Malik mengangguk.“Iya. Kebetulan nggak ada les, kan?” Malik menjawab sambil meletakkan sepatunya di rak yang ada di teras.Isha mengambil tas yang digendong Malik dan membawanya ke dalam, mengekor langkah suaminya itu.“Abang mau makan sekarang apa sembahyang dulu?” tanya Isha setelah meletakkan tas itu di meja kerja Malik.“Aku sholat dulu. Mau jamaah?” tawar Malik.Isha menggeleng. “Aku sudah tadi.”Malik tersenyum kemudian mengacak kepala Isha dengan lembut. “Tetaplah seperti itu. Sembahyang tepat waktu,” ujar Malik dengan senyumnya yang lembut.Isha hanya mengangguk.Kehidupan mereka belakangan memang terlihat stabil tak ada riak yang berarti. Malik dan Isha sama-sama saling menghargai satu sama lain. Bahka
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.
Isha sudah tidur sejak lepas isya tadi ketika Malik keluar dari kamar untuk ngobrol dengan Ridwan. Sepertinya sudah agak lama mereka tidak berbincang karena belakangan memang Malik dan Isha jarang pulang.“Tumben pulang bukan hari libur, Mal?” tanya Pak Ridwan yang sedang menikmati secangkir kopi hitam ditemani Rosminah.Malik tersenyum.“Iya, Pak. Belakangan Isha sering malas kalau diajak pulang. Katanya belum rindu sama rumah,” jawab Malik dengan senyum kecil.“Memang anak itu, ya?” gerutu Aminah membuat Pak Ridwan tersenyum.“Eh, Mal. Ibu lihat tadi dia sepertinya murung? Ada sesuatu, Mal? Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Rosminah ketika tadi dia melihat wajah Isha sedikit murung ketika mereka tiba.Malik terkejut mendengar pertanyaan itu. Ya, memang diakui bahwa Isha sedikit murung karena memang tadi menangis di rumah sakit. Setahu Malik, karena dia melihat Rendra yang mungkin menimbulkan rasa marah dalam hatinya. Tapi tak mungkin Malik mengatakan hal ini karena ini menyangkut
Jujur, Malik kali ini memang merasa sangat cemburu dengan laki-laki yang ada di kamar rawat inap Rendra tadi sore. Malik sama sekali tak menduga bahwa yang membuat Isha demikian kolap dan marah serta sedih ternyata adalah Murad, bukannya Rendra.“Murad? Pacarmu di masa lalu itu?” tanya Malik ragu.Namun, anggukan Isha berhasil mengikis keraguan Malik. Kecemburuan Malik semakin menjadi kini.“Ada apa dengan Murad? Apakah dia menghubungi kamu? Mencarimu?” tanya Malik dengan bodohnya.“Tidak. Tapi dia ada di kota ini sekarang,” jawab Isha murung.“Ada di kota ini? Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak menghubungimu?” Malik masih juga tak mengerti.“Karena aku melihatnya, Bang.”Malik semakin terpana mendengar jawaban Isha kali ini.“Melihatnya? Dimana?” Malik tersenyum, mencoba menganggap bahwa jawaban Isha hanya omong kosong belaka.“Di rumah sakit, di ruang rawat inap Rendra tadi sore.”Jleb!Jawaban Isha spontan membuat Malik semakin terkejut.“Di kamar Rendra? Apakah … apakah dia laki-