Malam minggu ini, Isha dan Malik tidak pulang ke rumah mereka. Belakangan memang mereka lebih sering menghabiskan waktu berdua. Berbincang atau berdiskusi mengenai banyak hal sehubungan dengan hobi dan kesukaan mereka. Tak jarang mereka hanya nongkrong di angkringan yang tak jauh dari kantor kecamatan, sekedar menghabiskan malam minggu.Tentu saja mereka kini tidak tidur terpisah lagi karena Isha sudah meminta Malik untuk tidur satu ranjang dengannya. Kebahagiaan mereka sepertinya benar-benar sempurna kini.“Kita ke mall, Sha? Mumpung malam minggu?” tanya Malik usai mereka makan malam.“Mau ngapain?” tanya Isha.“Jalan-jalan saja. Biar kamu nggak bosan. Kamu sudah terkurung di rumah setiap hari. Nggak ada salahnya kalau kita sekali-sekali ke kota, kan?” pinta Malik.Isha nampak terdiam menimbang.“Boleh,” ujar Isha yang akhirnya menyetujui ajakan Malik.Dan setengah jam kemudian mereka sudah berada dalam perjalanan menuju ke kota. Ada sebuah pusat perbelanjaan yang tidak begitu besar
Merasa ada yang memanggil namanya, Isha menoleh. Demikian juga dengan Malik. Mereka berdua menoleh bersamaan ke arah sumber suara kemudian saling pandang seakan mereka tak mengira bahwa akan bertemu dengan Rendra di tempat ini.Meskipun jelas ada sesuatu yang tak baik di antara mereka dulu, tetapi jelas Malik sudah melupakannya. Toh mereka sama-sama dewasa. Mana mungkin rebutan perempuan lagi. Maka dengan senyum lebar, Malik mengajak Isha menemui Rendra dan Doni.“Hei, Ren? Apa kabar? Nggak sangka ketemu kalian di sini?” sapa Malik mendekat kemudian mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Rendra.Pria itu menyambut masih dengan jantung berdebar dan senyum yang sedikit masam. Antara rasa tak percaya dan kecewa.“Kabar baik,” jawab Rendra jawab Rendra yang kemudian menjabat tangan Isha.Doni juga ikut berjabatan tangan dengan mereka.“Duduk, Mal, Isha. Sungguh sebuah kebetulan kita berjumpa lagi setelah bertahun-tahun,” ujar Rendra menawarkan.Malik tersenyum kemudian menoleh menatap I
Melihat Isha cemberut dan mengaduk mienya dengan kasar, Malik tersenyum. Dia berhenti mengaduk mienya sendiri dan mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Isha.“Hei, mengapa kesal? Aku hanya bertanya wajar, kan? Kalau kamu nggak cerita, aku juga nggak akan maksa. Kan sudah aku bilang, aku nggak mau tahu bagaimana masa lalumu. Aku tak peduli berapa banyak laki-laki yang pernah ada dalam kehidupanmu. Dan aku tak heran dengan semua itu, karena kamu cantik. Bodoh saja kalau ada laki-laki yang tidak tertarik sama kamu,” ujar Malik jujur penuh rayuan.“Habisnya Abang reaksinya kayak gitu, sih? Datar banget. Kayak yang nggak cinta sama istrinya.” Isha masih saja menggerutu kesal dengan reaksi Malik yang terlalu biasa.“Eh, siapa bilang aku nggak cinta sama istriku? Justru karena aku sangat mencintainya maka aku ingin dia selalu nyaman denganku, nyaman berada di sisiku.” Malik masih saja menjelaskan.“Abang nggak cemburu dengan kisahku sama Rendra di masa lalu?” tanya Isha dengan kesal.M
Malam ini, ketika Isha dan Malik sampai di rumah setelah kencan malam minggu mereka —tentu saja ini sebuah kencan yang halal karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah, yang tidak sempat pacaran— Malik menenteng tas berisi beberapa barang belanjaan Isha. Kebetulan memang Malik baru saja gajian, sehingga mereka sekalian membeli barang kebutuhan rumah tangga mereka.“Langsung di susun di kulkas?” tanya Malik ketika mereka masuk rumah.“Nanti saja biar aku sendiri yang susun,” jawab Isha sambil memasukkan sepatu flatnya ke dalam rak.“Mengapa nggak sekarang saja?” tanya Malik.“Nggak bisa asal masukin barang, Abang Sayang. Karena harus aku pisah-pisah sesuai wadahnya,” jawab Isha dengan nada panjang membuat Malik tersenyum.Siapa yang tidak tersenyum sendirian ketika istri yang dicintainya semenjak remaja itu kini juga membalas cintanya? Tentu bukan perjalanan yang selalu indah karena berbulan-bulan lamanya Malik harus rela tidur terpisah untuk memberikan rasa nyaman pada Isha.“
Mendengar penuturan jujur Isha, Malik menatap istrinya itu dengan sorot mata tak percaya. Bagaimana mungkin ternyata gadis dalam pelukannya ini sudah menyukainya sejak remaja juga? Bahkan bermimpi menjadi istrinya? Tidakkah ini sebuah skenario Tuhan yang sangat luar biasa?Tanpa sadar Malik mengeratkan pelukannya.“Tidakkah kamu menyadari bahwa Tuhan sudah mengabulkan impian-impian polos kita di masa lalu?” Malik bertanya puitis.“Ya. Tuhan selalu baik sama kita.” Isha menjawab lirih.“Apakah kamu tahu betapa bersyukurnya aku memiliki istri secantik kamu?” Malik kembali merayu, membuat Isha tersipu. “Jadi apakah kamu akan mengatakan bagaimana kamu bisa pernah dekat dengan Rendra?” tanya Malik.“Benar Abang mau tahu?” tanya Isha tak yakin.Malik mengangguk yakin. Dan Isha mulai berkisah. Jujur dan tak ada yang Isha sembunyikan sama sekali karena memang Isha sudah berkomitmen dalam hati bahwa dia akan ikut menjaga dan mempertahankan pernikahan ini. Tetap bersikap jujur dan terbuka, baik
Melihat Malik terdiam, Isha menyudahi pekerjaannya dan mendekati suaminya itu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya terdiam.“Ada apa, Bang?” tanya Isha memegang lengan Malik dengan lembut.Malik menatap Isha dengan berbagai perasaan yang tak bisa diungkapkan. Bagaimana mungkin yang ada di dalam ingatannya hanya Isha? Bukannya mereka hanya baru pada tahap pendekatan ketika itu?“Bang?” Isha memanggil ulang Malik yang tidak menjawab pertanyaannya dan malah melamun.“Eh, ya? Ada apa, Sayang?” Malik tergagap.“Aku nanya, ada apa dengan Rendra? Kok Abang jadi terdiam begini setelah telepon?” tanya Isha dengan pelan, seolah menuntun Malik agar kembali sadar dari lamunannya.“Ini, Doni barusan telepon. Katanya semalam Rendra kecelakaan,” jawab Malik.“Innalillahi. Lalu bagaimana keadaannya?” tanya Isha juga terkejut.“Secara keseluruhan dia tidak terlalu parah. Hanya saja otaknya sedikit bermasalah,” ujar Malik menatap Isha.Isha yang ditatap seperti itu ikut heran.“Otaknya Rendra yang bermas
Beberapa jam sebelumnya ….Pulang sekolah kali ini cuaca cukup panas. Malik kebetulan memang tidak ada jadwal les anak-anak. Namun panasnya cuaca menjadi tak terasa ketika Malik tiba di rumah dan disambut dengan senyum manis Isha.“Abang sudah pulang?” tanya Isha dengan manis.Malik mengangguk.“Iya. Kebetulan nggak ada les, kan?” Malik menjawab sambil meletakkan sepatunya di rak yang ada di teras.Isha mengambil tas yang digendong Malik dan membawanya ke dalam, mengekor langkah suaminya itu.“Abang mau makan sekarang apa sembahyang dulu?” tanya Isha setelah meletakkan tas itu di meja kerja Malik.“Aku sholat dulu. Mau jamaah?” tawar Malik.Isha menggeleng. “Aku sudah tadi.”Malik tersenyum kemudian mengacak kepala Isha dengan lembut. “Tetaplah seperti itu. Sembahyang tepat waktu,” ujar Malik dengan senyumnya yang lembut.Isha hanya mengangguk.Kehidupan mereka belakangan memang terlihat stabil tak ada riak yang berarti. Malik dan Isha sama-sama saling menghargai satu sama lain. Bahka
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.