“Assalamualaikum,” ulang Isha di seberang karena Malik tidak menjawab salamnya.“Waalaikumsalam, Isha. Apa kabar?” tanya Malik dengan nada lembut namun jelas gugup, menyembunyikan suasana hatinya yang sedang riuh bergemuruh.“Saya baik, alhamdulillah.” Isha menjawab singkat di seberang.“Abang dengar kamu mau menikah?” tanya Malik dengan suara yang lirih.Terdiam beberapa saat, tak ada jawaban. Namun, helaan napas Isha terdengar jelas di telinga Malik.“Benar begitu, Sha?” tanya Malik karena Isha tak menjawab pertanyaannya.“Ya. Saya akan menikah akhir bulan ini,” jawab Isha di seberang.Meskipun Malik tahu jawaban apa yang akan didengarnya, namun tetap saja Malik belum siap hati untuk mendengarnya.“Tapi mengapa, Sha?” tanya Malik dengan pertanyaan yang jelas menunjukkan keputusasaan.Terdengar Isha tersenyum aneh mendengar pertanyaan Malik.“Mengapa saya menikah? Saya sudah dewasa, Bang. Sudah saatnya menikah karena saya tak mau hanya mencintai laki-laki tanpa ujung pangkal. Kebetul
Malik terkejut mendengar pertanyaan Mita. Bagaimana dia bisa tahu aku menghubungi Isha? Sejak kapan sebenarnya gadis ini mendengar percakapannya dengan Isha tadi? Namun, Malik jelas tak ingin membuat keadaan menjadi abu-abu. Sebagai laki-laki, dia harus bersikap tegas, sebagaimana dia menegaskan hal yang sama terhadap Rosiana.“Mita, kalau kamu bertanya soal perempuan bernama Isha, maka jawabannya adalah iya. Saya tak bisa menerima cinta dari siapapun karena saya sudah memiliki seorang perempuan yang saya cintai.” Malik menjawab dengan hati-hati.“Meskipun perempuan itu tidak mencintai Bapak?” Mita menatap tajam mata Malik, berharap laki-laki itu akan mempertimbangkan dirinya. Dari sambungan telepon yang didengarnya, Mita jelas mengambil kesimpulan bahwa siapapun yang ditelepon Malik adalah orang yang sudah akan menikah.Sesungguhnya Malik ingin marah ketika gadis di depannya itu seakan turut campur dalam kehidupannya. Akan tetapi Malik jelas tak akan melakukan hal itu.“Ya. Meskipun
Dan disinilah Malik kini, tidur di lantai kamar Isha beralaskan karpet yang meskipun empuk namun jelas lebih empuk dan nyaman kasur yang dipakai Isha di atas ranjang. Sejak merebahkan dirinya di atas karpet, Malik tak bisa memejamkan matanya sama sekali. Berulang kali dia membalikkan posisi tidurnya untuk mencari posisi paling nyaman, nyatanya dia tak berhasil. Matanya masihMenyedihkan memang. Malam pernikahannya dengan Isha —perempuan yang tanpa sadar sudah dicintainya sejak masih kecil itu— harus berakhir seperti ini. Namun, Malik tidak bisa menyalahkan Isha sepenuhnya jika akhirnya mereka belum juga akur meski mereka sudah menikah siang tadi. Karena semua ini jelas bukan sesuai rencana Isha.Tak bisa memejamkan matanya untuk tidur, Malik memilih bangun. Tapi kali ini bukan untuk menyusul Isha tidur meskipun di lantai begitu dingin. Melainkan karena Malik ingin sholat malam. Dia butuh ketenangan hati.Bangun dari tidurnya, Malik berdiri di samping ranjang Isha. Menatap perempuan ca
“Jadi kamu akan langsung kembali ke tempat kerja kamu, Mal?” tanya Pak Ridwan ketika pagi ini, usai sarapan lelaki itu mengajak menantu barunya berbincang di teras belakang rumah.“Iya, Pak. Karena semua terjadi tanpa persiapan, jadi saya memang tidak mengambil cuti. Apalagi sekarang sedang persiapan ujian. Anak-anak banyak yang les di rumah,” jawab Malik dengan santun.Ridwan mengangguk mengerti.“Aku mengerti, Mal. Tetapi kamu bisa mengajukan cuti kalau memang ingin cuti, kan? Apa kamu tidak ingin liburan untuk bulan madu kecil-kecilan? Bapak bisa memberikan fasilitas kalau kalian memang mau pergi berbulan madu.” Ridwan menawarkan.Mendengar tawaran itu, Malik tersenyum canggung. Dia kemudian merasa berdosa karena telah membohongi mertuanya itu dengan mandi keramas pagi ini. Padahal tidak terjadi apapun semalam.“Mungkin nanti kalau liburan kenaikan kelas saya bisa main sekalian bulan madu, Pak.” Malik berhasil mengelak.“Baiklah kalau begitu. Tetapi, Mal. Ada yang ingin aku kataka
Kembali berada di tengah-tengah keluarga Malik setelah bertahun-tahun tak menginjakkan kakinya di rumah itu lagi, membuat Isha sedikit gamang. Meski memang Malik tidak memaksanya untuk membantunya berkemas karena dia mau pulang ke kontrakannya, tetapi Isha setidaknya masih punya hati untuk menyetujui permintaan Malik.Sejenak, Isha berhenti di depan pintu masuk rumah ini. Malik ikut menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Isha yang terlalu pendek untuknya.“Mengapa berhenti? Tak mau masuk?” tanya Malik dengan suara rendah penuh kesabaran.Isha menggeleng.“Jadi kenapa berhenti?” Malik kembali bertanya. Nada suara dan intonasinya bahkan masih sama, tak berubah oleh emosi sedikitpun.Isha masih terdiam menunduk. Malik menghela napas, mencoba memulai untuk mengerti. Meski sebenarnya dia juga sudah mengerti siapa dan bagaimana Isha.“Baiklah kalau kamu tidak ingin masuk. Kamu bisa menungguku di atas motor. Aku akan berkemas karena besok pagi aku harus berangkat cepat. Hari senin ada u
Mereka berdua duduk di kamar Malik, setelah tadi dengan susah payah Malik membujuk ibunya agar tidak memaksa Isha untuk tinggal. Biasanya, memang menantu perempuan tinggal di rumah mertuanya. Namun, Malik berusaha membujuk ibunya dan meminta pengertian bahwa Isha masih ingin tinggal di rumah ibunya.Isha duduk menunduk dengan raut wajah memerah hendak menangis karena tak berani mengelak dari permintaan Aminah, padahal dia tak ingin menginap.“Maafkan Ibu kalau memaksa kamu tinggal. Tapi kamu tak perlu khawatir. Ibu tidak akan memaksa kamu tinggal di sini lagi. Aku sudah bilang tadi,” ujar Malik dengan sabar sambil mengemasi beberapa potong pakaian yang akan dibawanya kembali ke kontrakan.Isha hanya mengangguk.“Aku juga tidak akan memaksa kamu untuk menginap malam ini. Kita akan pulang ke rumahmu jika memang kamu ingin tidur di sana.” Lagi-lagi Malik memberikan kelonggaran demi Isha tetap nyaman.Isha hanya diam, mencoba berkompromi dengan hatinya yang sering kali bertolak belakang.
Tak ingin melihat Isha terus menangis sedih, mau tak mau Malik merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Memberinya ruang untuk menangis. Membuat Isha mengerti bahwa dia bisa kapan saja berkeluh kesah, bisa menangis jika memang tak bisa menyandang semua kesedihannya sendiri. Malik benar-benar ingin menjadi pria yang penuh manfaat untuk Isha. Sebagaimana janjinya pada Pak Ridwan.“Menangislah,” bisik Malik sambil mengusap lembut perempuan yang ada di dalam pelukannya itu. Sesekali tanpa dia sadari, bibirnya mengecup lembut kening Isha, memberikan bukti betapa dia sangat menyayangi perempuan itu.Hanya sebuah kecupan memang, tapi berhasil mengalirkan kesejukan dalam hati Isha, membuat perempuan itu merasa bahwa dia tidak akan sendiri lagi merasakan sakit hati dan kesedihannya karena Murad. Membuat Isha benar-benar merasa bahwa dia kini nyaman, sebagaimana dulu ketika dia masih berteman dengan Malik.Apakah dia mulai kehilangan rasa bencinya pada Malik? Dan mulai merasa nyaman dengan
Sungguh, Malik tak tahu keajaiban macam mana yang sedang Tuhan suguhkan padanya kali ini ketika tiba-tiba Isha mengajak menginap. Padahal jelas-jelas tadi gadis itu bilang ingin pulang saja, tidak menginap. Tapi mengapa hanya dalam hitungan jam sudah berubah begini? Oke, ini memang tak bisa dilogika karena Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia.“Menginap?” Malik sampai mengulang apa yang dikatakan oleh Isha hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah dengar.“Iya. Apakah tidak boleh?” tanya Isha dengan sinar matanya yang bulat dan lebar itu.“Eh, siapa bilang tidak boleh? Tentu saja boleh. Kalau dia tidak mau menginap, biar kamu tidur sama Ibu saja,” ujar Aminah menyela pembicaraan mereka.Malik terkejut mendengar kalimat ibunya.“Eh, Ibu kan sudah ada Bapak? Memangnya Bapak mau disuruh tidur sama siapa?” Malik segera mencari alasan.“Kalian bisa tidur berdua, kan?” Aminah menjawab dengan kocak, sengaja menggoda Malik.Isha sebenarnya ingin tertawa melihat Malik yang pani