“Satu juta dollar!”
Berada di antara kebisingan sebuah kelab malam bukanlah hal yang biasa bagi seorang Brianna Caroline. Dirinya terlampau nyaman dengan suasana tenang apartemen di mana hanya lagu favorit dari penyanyi kesayangan yang menemani kesendiriannya sepanjang malam.
Namun teruntuk malam ini, sebuah tawaran menggiurkan membawa Brianna berakhir duduk di deretan bangku meja bar. Beradu pandang pada sosok wanita paruh baya yang terlihat menyunggingkan senyum sinis. Kepulan asap tipis dari batang rokok yang menyala seakan mendramatisir bagaimana percakapan itu terjalin cukup serius di antara ke duanya.
“Ya dan seukuran model rendahan sepertimu, bukankah satu juta dollar merupakan sebuah nominal yang sangat fantastis?” ujar wanita itu dengan nada mengejek. Rambut ikal yang ditata mengembang membuat kesan angkuh itu tercetak jelas pada wajahnya.
”Aku sarankan kau untuk menerimanya, Bri. Lagipula tugasmu hanya merayunya, bukan. Jikalau dia tergoda, maka misimu selesai.”
“Ya, tapi jangan lupakan kalau dia adalah seorang gay.” Brianna mendengkus. “Apa kau pikir gampang merayu seseorang yang mempunyai kelainan orientasi seksual?”
Wanita itu tertawa lantas menghisap kembali batang rokoknya sebelum berkata, “Itu urusanmu, tidak ada pekerjaan yang mudah di dunia ini, Nona.”
Brianna terdiam tak menanggapi. Sorot matanya berpendar tak tentu arah, barangkali ia tengah merenung sembari mendengar bagaimana ego dan alter egonya berperang di dalam benak. Mencoba memengaruhi Brianna dalam mengambil sebuah keputusan yang mungkin saja bisa menentukan nasibnya kelak di masa depan.
Jika dilihat dari segi penampilan, seharusnya Brianna tidak perlu meragu akan pesona yang ia miliki. Sejak dulu ia memang telah dikenal sebagai sosok sempurna yang selalu menjadi idaman banyak pria.
Seorang model pakaian dalam wanita yang memiliki tubuh indah dengan bokong sintal serta ukuran dada yang pas dengan postur tubuh yang tinggi semampai. Belum lagi ditunjang oleh wajah cantik dengan bola mata madu dan bibir merah merekah. Dengan semua kelebihan itu, jelas Brianna bisa dengan mudah membuat para lelaki bertekuk lutut di hadapannya.
Namun sayangnya yang menjadi target Brianna kali ini adalah seorang gay. Tentu ia sadar betul kalau pria semacam itu tidak akan tertarik dengan bokong sintal ataupun dada besar yang tumpah-tumpah keluar.
Akan tetapi, bayangan taburan dollar membuat logika berpikirnya menjadi bercabang. Tentu saja! Memangnya orang waras mana yang tidak tergiur dengan uang sebanyak itu?
“Bagaimana, Bri?” Suara wanita yang ia ketahui bernama Madam Gi itu berhasil membuat Brianna sadar dari keterdiamannya.
“Tidak masalah jika kau menolaknya, aku bisa mencari orang lain yang—“
“Baiklah aku setuju,” potong Brianna cepat. Sudah pasti tidak akan membiarkan Madam Gi menyerahkan misi ini kepada orang lain. “Sekarang tolong katakan siapa pria itu?”
Madam Gi tersenyum puas mendengar keputusan Brianna. Sejak awal ia memang yakin jika Brianna pasti akan menerima tawarannya. Sebab ia tahu jika wanita yang wajahnya selalu terpampang di sampul majalah dewasa dengan pakaian minim itu terkenal akan si boros yang suka menghamburkan uang. Jelas Brianna tidak akan melewatkan kesempatan berharga ini.
Dalam hati diam-diam Madam Gi bersorak gembira, setidaknya komisi sebesar seratus ribu dollar sebentar lagi akan masuk ke dalam rekening pribadinya.
“Siapa pastinya, aku pun juga tidak tahu. Sebab pria itu memilih untuk merahasiakan identitasnya.” Sejenak Madam Gi nampak melihat keraguan dari wajah Brianna sebelum kembali melanjutkan perkataannya.
“Tapi aku bisa pastikan jika dia bukanlah sosok pria tua yang menunggu jemputan dari malaikat maut. Pria itu masih muda dan ku dengar dia merupakan pengusaha kaya yang berasal dari New York.”
“New York?”
“Benar, kabarnya untuk beberapa waktu ia akan menetap di Vancouver karena alasan bisnis,” terang Madam Gi yang sejujurnya tidak terlalu Brianna hiraukan.
Ia sudah cukup teralihkan oleh fakta jika pria itu berasal dari New York—kota dengan kenangan lama yang selalu coba Brianna lupakan.
Mungkin hampir delapan tahun lamanya sejak Brianna memutuskan untuk pergi dari tanah kelahirannya itu dan memulai hidup barunya di Vancouver. Sejak umurnya menginjak tujuh belas tahun, sampai kini umurnya menuju dua puluh lima tahun. Selama itu Brianna seakan menutup telinga dengan apapun yang menyangkut tentang New York.
Tapi sekarang, demi sebuah ambisi mendapatkan jutaan dollar, Brianna terpaksa harus berurusan kembali dengan orang yang berasal dari kota itu.
Sial! Entah kenapa, mendadak perasaan Brianna menjadi tidak menentu.
“Bagaimana? Infonya cukup meyakinkan, bukan?” Suara Madam Gi kembali terdengar, memaksa Brianna untuk tetap fokus pada tujuan awal kesepakatan mereka.
“Ya, ku rasa cukup,” jawabnya kemudian.
“Baiklah kalau begitu, sabtu malam jangan lupa untuk memberikan penampilan terbaikmu dan temui pria itu di Plaza Hotel, suite room nomor 1402. Semoga berhasil, Bri.”
Madam Gi menepuk punggung tangan Brianna sebelum kemudian bangkit dan pergi meninggalkan wanita itu dalam sebuah keterpakuan.
“Suite room nomor 1402?”
Brianna bergumam seraya terkekeh pelan. Untuk kesekian kalinya Brianna merasa takdir sedang mempermainkannya. Seperti sebuah labirin kehidupan telah semesta ciptakan untuk dirinya. Sekarang yang harus ia lakukan adalah memilih jalan yang tepat agar teka-teki ini segera terpecahkan, tentu dengan harapan sebuah akhir yang bahagia.
Berusaha mengenyahkan segala bentuk pikirannya yang berkelana ke mana-mana, Brianna melambaikan tangan pada pria bartender yang berdiri tidak jauh dari tempat duduknya. Rasanya memesan segelas wisky tidak akan membuat dirinya mabuk, bukan?
Setidaknya untuk malam ini, pertama kalinya Brianna mengijinkan alkohol mengambil alih sebagian kewarasannya. Tanpa menyadari jika sedari tadi sepasang mata elang tengah mengawasinya dalam sebuah keheningan.
Di lantai atas, di sebuah ruangan VIP dengan kaca gelap yang tidak tembus cahaya dari luar tapi bisa melihat bebas dari dalam, seorang pria tengah berdiri sembari tersenyum miring.
Tubuhnya yang gagah nampak begitu sempurna bahkan ketika hanya terbalut kemeja hitam yang ia gulung sampai siku. Satu tangannya terlihat santai bersembunyi di saku celana sementara tangan yang lain tampak termenung dengan gelas wine yang menggantung tepat di depan bibirnya.
“Apa ada sesuatu yang menarik perhatianmu, El?”
Suara dari arah belakang berhasil menginterupsi keterdiaman Ellecio, pria itu berbalik lalu menatap Jackson dengan tatapan penuh arti.
“Ya,” jawab Ellecio singkat.
“Benarkah?” Jackson bangkit dari duduknya lantas ikut berdiri di samping Ellecio seraya memerhatikan pengunjung kelab yang berada di lantai bawah.
“Memangnya apa yang ....“
Ucapan Jackson terhenti, mendadak raut wajahnya berubah tatkala netranya menangkap sosok wanita bergaun hitam yang tengah duduk di deretan bangku dekat meja bar.
Sedikit kikuk, Jackson melirik sekilas ke arah Ellecio sebelum kembali melempar pandangan ke arah sang wanita.
“Kau menemukannya?” tanya Jackson dengan nada suara setenang mungkin.
Ellecio mengangguk. “Ya, dan aku juga telah menyiapkan sebuah permainan yang menarik untuk wanita itu,” ujarnya seraya tersenyum dengan sudut bibir yang sedikit terangkat.
“Sebuah permainan?” Rahang Jackson mengerat, sedikit tidak bisa mengerti akan senyum misterius yang tercetak pada raut wajah sahabatnya itu.
"A-apa itu kalau aku boleh tahu?”
Lagi dan lagi Ellecio menyunggingkan senyum miring. Dalam hati ia mendecih, bukan tidak sadar jika ada sebuah ketakutan di setiap kata yang terlontar dari mulut Jackson. Membuat dirinya sadar jika masa lalu memang akan selalu menghantui setiap langkahnya.
“Lihat saja nanti, kau tidak perlu tahu apa itu.” Ellecio melirik ke arah Jackson, menelisik bagaimana perubahan raut wajah pria itu sembari menenggak habis cairan alkohol yang tersisa di gelasnya sebelum berkata,
“Dan untuk kali ini ku harap kau tidak akan melindunginya lagi. Seperti yang pernah kau lakuka waktu itu.
TBC
Sabtu malam, desiran hawa dingin terasa menusuk kulit seiring dengan tetesan hujan yang masih setia membasahi hampir seluruh wilayah Vancouver.Angin yang berhembus berhasil menghasilkan titik embun yang tersangkut pada bohlam lampu jalan. Sinar temaramnya seolah sekuat tenaga menerangi siluet seorang wanita yang setia berdiri di bawahnya.Berbekal payung hitam yang melindungi tubuh dari tetesan air hujan, Brianna terdiam memandangi megahnya bangunan Plaza Hotel dari seberang jalan.Termenung untuk sesaat, Brianna seakan baru menyadari jika kota yang telah ia tinggali selama kurang lebih delapan tahun ini memang benar-benar kota yang indah. Perpaduan budaya dari berbagai negara berhasil membuat penampilan kota Vancouver terlihat begitu beragam—terutama pada malam hari.Lampion merah yang tergantung di depan restoran Cina nampak cantik berpadu dengan gambar mural pizza pada dinding restoran italia yang berada di sampingnya. Belum lagi gemerlap cahaya
‘Dasar pembubuh! Pembawa sial!’‘Pergi ke neraka sana, pembunuh sepertimu tidak layak untuk hidup!’‘Kau menghancurkannya, kau membunuhnya! Aku benar-benar sangat membencimu!’Brianna tersengal, nafas memburu dengan keringat yang mengucur deras di sekujur tubuhnya. Mata yang tadi tertutup rapat dibuka paksa oleh mimpi buruk yang kerap menghantuinya belakangan ini.Sudah berlalu beberapa hari dari pertemuannya dengan Ellecio, akan tetapi teriakan mengerikan di mimpi-mimpi itu tidak pernah berhenti mengganggu tidur malamnya.Dengan tangan gemetar Brianna meraih segelas air yang letakkan di atas nakas, lantas meneguknya secara rakus hingga tak ada satu tetes pun yang tersisa. Berkali-kali menarik nafas guna menenangkan debaran jantungnya yang mulai berdetak tidak karauan.‘Tenangkan dirimu, Bri. Itu hanya mimpi, kau tidak perlu merasa takut.’Batin Brianna mencoba menenangkan
Tubuh Brianna menegang, berbalik dan mendapati Ellecio sudah berdiri di ambang pintu. Tersenyum licik sembari berjalan mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Ketukan sepatu mewahnya yang berbenturan dengan lantai terdengar seperti hymne kematian yang bersiap untuk menjemput Brianna menuju neraka.Brianna tidak tahu kenapa tubuhnya merespon kelewat impulsif, spontan menahan nafas saat aroma parfum Ellecio membelai indera penciumannya. Wajah tampan dengan mata elang itu seakan menyihir bagaimana dengan tegasnya Ellecio mendominasi permainan.“Aku adalah pimpinan baru dari Laurent, dan aku juga yang meminta Nicole untuk mengantimu dengan yang lain. Ada masalah dengan itu Nona Brianna?”Menarik nafas pelan, sejenak Brianna berdeham guna mengumpulkan keberaniannya yang mendadak terpecah. Lantas mendongak, menatap sinis wajah Ellecio.“Wow, tidak ku sangka jika Tuan Ellecio William yang terkenal dengan bisnis kapal pesiar mewahn
Suara pintu berdebum mengiringi langkah Brianna menapak pada luasan apartementnya. Tanpa perlu berpikir lebih lanjut, ia dengan sembarangan melempar beberapa barang-barang yang melekat di tubuhnya sebelum menghempaskan diri secara pasrah di atas kasur.Beberapa kali terdengar helaan nafas berat yang dilanjutkan dengan teriakan keputusasaan.“Arggh!! Brengsek! Berani-beraninya bedebah itu menciumku.”Brianna meraba bibirnya, kembali mengingat bagaimana Ellecio dengan lancang mendaratkan sebuah kecupan di sana. Ada rasa tidak terima sebab itu adalah ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya Brianna berikan pada pria yang benar-benar ia cintai. Tapi pria itu justru merebutnya tanpa ragu.“Dasar buaya mesum! Laki-laki sialan!”Seketika Brianna menyesal karena sudah menantang Ellecio. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Baru sehari saja pria itu sudah membuat hidupnya kacau, apalagi seterusnya?Bis
Biasan sinar senja secara perlahan mulai menyusup di antara dinding kaca. Menerpa sebagian wajah tampan Ellecio yang tengah menikmati waktu sorenya duduk di kursi kerja.Matanya sekilas memeta luasan ruangan kerjanya yang baru ia tempati beberapa hari belakangan ini. Memang tidak seluas dan semewah seperti ruangan kerja kantornya yang ada di New York, akan tetapi pemandangan yang disajikan dari lantai lima belas itu seolah mengubur segala kelemahannya.Lautan lepas yang memantulkan cahaya orange dari matahari yang terbenam, serta bentangan Santley Park yang terlihat menghijau di kejauhan sana seakan mampu memberikan ketenangan tersendiri bagi Ellecio.Mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, Ellecio termenung sembari mulutnya terus berhitung mundur. Entah ia sedang melakukan apa.“Lima, empat, tiga, dua ….”BRAK!!!Senyum kemenangan seketika terukir di bibir Ellecio tatkala mendapati Brianna datang dengan membanting
Malam semakin larut, namun suasana kelab malam itu semakin menyesakkan. Kepulan asap rokok mengepul ke udara. Merambat di antara lautan manusia yang tengah sibuk mencari kenikmatan sesaat. Ada yang sibuk menari di lantai dansa, ada pula yang sibuk dengan gelas alkohol dan wanita seksi di sampingnya.Namun untuk Brianna sendiri, ia lebih memilih untuk duduk berdiam diri di depan meja bar. Beberapa tegukan alkohol telah berhasil membuat kepalanya berputar-putar. Memberi afeksi pada tubuhnya yang mulai terasa memanas.“Tolong beri aku satu gelas lagi.” Brianna menjatuhkan kepalanya di atas meja. Mencoba untuk tetap mempertahankan kesadaran dengan berusaha untuk tidak menutup kedua kelopak matanya. “Apa kau sedang dalam masalah, Bri?” tanya Gary, seorang bartender yang kebetulan mengenal sosok wanita yang ada di hadapnnya.Brianna terkekeh. “Untuk apa kau bertanya seperti itu, Gary? Kau tahu bukan jika hidupku selalu dikel