Sabtu malam, desiran hawa dingin terasa menusuk kulit seiring dengan tetesan hujan yang masih setia membasahi hampir seluruh wilayah Vancouver.
Angin yang berhembus berhasil menghasilkan titik embun yang tersangkut pada bohlam lampu jalan. Sinar temaramnya seolah sekuat tenaga menerangi siluet seorang wanita yang setia berdiri di bawahnya.
Berbekal payung hitam yang melindungi tubuh dari tetesan air hujan, Brianna terdiam memandangi megahnya bangunan Plaza Hotel dari seberang jalan.
Termenung untuk sesaat, Brianna seakan baru menyadari jika kota yang telah ia tinggali selama kurang lebih delapan tahun ini memang benar-benar kota yang indah. Perpaduan budaya dari berbagai negara berhasil membuat penampilan kota Vancouver terlihat begitu beragam—terutama pada malam hari.
Lampion merah yang tergantung di depan restoran Cina nampak cantik berpadu dengan gambar mural pizza pada dinding restoran italia yang berada di sampingnya. Belum lagi gemerlap cahaya yang berasal dari gedung-gedung pecakar langit seolah menambah kesan metropolis dari kota yang terletak di sebelah pantai barat Kanada itu.
Namun terlepas dari semua itu, Brianna tidak begitu yakin jika keindahan yang baru saja ia saksikan bisa membantu meredakan rasa cemas yang menggelitik nalurinya.
Sebab, meski gaun merah yang membalut tubuhnya dan stiletto setinggi sepuluh senti meter itu mampu membuat penampilannya tampak menakjubkan seperti pemenang Miss Universe—Catriona Gray, akan tetapi Brianna masih saja merasa ragu akan pilihannya kali ini.
Entah karena apa, yang pasti ia merasa akan ada sesuatu yang terjadi kepadanya.
Namun sebisa mungkin Brianna dengan cepat mengenyahkan segala pikiran negatifnya. Ia berkali-kali terlihat menghempuskan nafas sebelum kemudian melangkahkan kaki jenjangnya memasuki pelataran gedung Plaza Hotel.
“Selamat datang nona Brianna,” sambut seorang pelayan hotel yang dibalas Brianna dengan sebuah lipatan samar di dahi. Sedikit terkejut sebab pelayan hotel itu bisa langsung tahu namanya tanpa perlu bertanya.
Apakah pria itu yang telah mengatur segalanya?
Brianna terdiam sejenak, akan tetapi itu tidak berlangsung lama sebab setelahnya pelayan hotel itu kembali berkata, “Silahkan lewat sini, Nona. Tuan sudah menunggu anda di atas.”
“Ya, terima kasih,” jawab Brianna kemudian.
Lantas tanpa perlawanan Brianna begitu saja mengekori langkah wanita muda itu yang menuntunnya menuju lift, meski dalam diam ia penasaran setengah mati akan sosok pria yang akan ia temui. Apakah dia adalah orang penting sampai-sampai pelayanannya sebaik ini?
“Ehm, bolehkah aku tahu pria seperti apa yang akan aku temui?” tanya Brianna ketika mereka baru saja masuk ke dalam lift.
Pelayan wanita itu tersenyum sembari menggeleng tipis. “Maaf Nona, saya tidak ada kewajiban untuk menjelaskannya kepada anda. Nanti juga nona akan tahu sendiri.”
Brianna memutar bola matanya malas sebab wanita itu sama sekali tidak menjawab rasa penasarannya. Selanjutnya ia memilih diam hingga mereka sampai di depan kamar dengan nomor 1402.
“Silahkan masuk, Nona.” Pelayan wanita itu membuka pintu dengan kartu akses yang dibawanya. Mempersilahkan Brianna untuk segera masuk ke dalam sana.
Sejenak Brianna nampak meragu, memandang bagaimana ukiran nomor berwarna kuning emas itu seakan memaksanya untuk mengingat kenangan masa lalu. Sebuah kombinasi angka yang sangat Brianna benci. Angka dari tanggal dan bulan kelahirannya.
Brianna ingat betul dulu ia sangat membenci hari ulang tahunnya, sebab di hari itulah segela kesialannya dimulai. Segala takdir yang terjadi dalam hidupnya dimulai dari kombinasi angka tersebut. Dalam hati Brianna berdoa, semoga saja kali ini ada nasib baik yang telah menantinya.
“Nona ….”
Untaian kata yang terlontar dari mulut wanita muda itu berhasil membuat Brianna kembali dari memori lama yang berusaha menariknya. Kemudian dengan sebuah anggukan tipis ia lantas mengikuti intruksi pelayan hotel itu untuk segera masuk ke dalam.
Hal pertama yang Brianna lihat setelah pintu kayu itu tertutup adalah sebuah ruangan luas dengan segala fasilitas kelas atasnya.
Didominasi warna putih dan emas, ruangan itu nampak megah dengan sebuah chandelier yang menggantung tepat di tengah. Juga terdapat ranjang ukuran king size yang berpadu dengan spray putih. Belum lagi mini bar yang terletak dekat dengan balkon kamar.
Namun bukan hal-hal itu yang menjadi fokus Brianna, sebab pria yang sedari tadi memunggunginya terlihat lebih menarik perhatiannya. Berdiri menghadap balkon dengan pencahayan remang yang menyulitkan Brianna untuk dapat melihat jelas bagaimana rupa pria gay yang harus ia rayu.
“Ehm,” Briana berdeham mencoba menyadarkan pria itu akan kedatangannya.
Akan tetapi pria misterius itu tetap tidak bergeming, masih tetap pada posisi memandangi pemandangan lampu kota di luar sana. “Tuan, saya Brianna yang—“
“Hai, Bri.”
Sebuah sapaan dari suara baritone itu spontan membuat Brianna membeku. Apalagi ketika pria itu membalikkan badannya, tersenyum sinis menatap Brianna yang nampak terkejut dengan sosok yang berada di hadapannya.
“Ellecio .…”
Brianna tidak bisa melanjutkan ucapannya. Lidahnya tercekat saat mengetahui jika pria gay yang dimaksud adalah Ellecio William. Pria yang membencinya setengah mati, pria yang menaruh dendam kesumat kepadanya.
“Lama tidak bertemu, tidak ku sangka jika kau masih mengingat namaku, Brianna Caroline.”
Ellecio perlahan mendekat, cukup puas melihat bagaimana Brianna tidak bisa berkutik di hadapannya. Mata elangnya menelisik penampilan wanita itu, nampak sangat glamor dengan gaun merah yang sangat pas melekat di tubuhnya. Jika saja dia bukanlah Brianna, sudah pasti tanpa pikir panjang Ellecio akan melempar wanita itu ke atas ranjang sekarang juga.
Namun karena itu adalah Brianna, jelas Ellecio ingin bermain terlebbih dahulu. Bermain sampai puas sebelum membuatnya hancur berkali-kali. Seperti apa yang dilakukan oleh wanita itu delapan tahun yang lalu.
“Terkejut?” tanya Ellecio tepat saat pria itu menghentikan langkah di depan Brianna.
Jemarinya terulur guna membelai wajah Brianna dengan punggung tangannya. Menyingkirkan beberapa helaian anak rambut yang melekat di pipi sang wanita lalu menjalar turun menuju bibir merah merekah itu.
Sejenak Brianna dapat merasakan bagaimana respon tubuhnya yang terasa memanas. Aroma musk yang membelai indera penciumannya nyaris membuat Brianna melayang sebelum kemudian secara perlahan kembali menyadarkan diri untuk tidak terbuai lebih jauh.
Sedikit mundur, Brianna lantas menarik sudut bibirnya, memasang wajah angkuh yang sangat tidak disukai oleh Ellecio.
“Oh, jadi kau seorang gay?” tanya Brianna dengan nada mengejek yang kentara. Memandang Ellecio begitu rendah.
“Wow, mengejutkan sekali, Setelah sekian lama tidak ku sangka jika kau tumbuh menjadi pria yang suka produk batangan.”
Ellecio mendengkus kesal, benci karena Brianna seakan tidak terpengaruh dengan dominasinya. Namun tentu Ellecio tidak akan kehabisan akal, dengan tangan kekarnya ia manarik tubuh ramping Brianna, melemparnya ke tempat tidur lalu mengurungnya dengan kedua tangan.
Matanya menatap lurus Brianna di bawah sana, mengisyaratkan ada sebuah luka lama yang ingin ia luapkan saat itu juga. tapi Ellecio memilih untuk memendamnya kembali dan justru memasang senyum miring dan tatapan yang sulit diartikan.
“Ya, dan aku begini itu semua karena dirimu, Bri. Jadi bertanggungjawablah dan biarkan aku mendesah di antara ke dua kakimu.”
Di bawah sana Brianna justru mendecih, balas menatap Ellecio dengan senyum miring yang tidak kalah memuakkan. Ia bertekad tidak akan membiarkan Ellecio mengintimidasinya.
“Memangnya kau bisa?” tanya Brianna terkesan mengejek.
Ellecio terkekeh tipis mendengar pertanyaan Brianna, dengan tampang tengilnya ia memainkan lidahnya di dalam mulut sebelum berujar,
“Kau meragukanku?”
Perkataan Ellecio tadi spontan berhasil melenyapkan senyum yang terukir di wajah Brianna. Ingin rasanya ia menyumpahi kebodohannya. Bagaimana ia bisa tertipu oleh si gremo sialan itu?
Jelas-jelas pria di atas tubuhnya ini bukanlah seorang gay.
“Brengsek! Kau menjebakku?” geramnya sembari mencoba melepaskan diri dari kungkungan Ellecio, mendorong tubuh kekar itu sebisa mungkin.
Akan tetapi kekuatannya jelas kalah dari Ellecio. Pria itu justru menahan dorongannya dan malah berguling hingga posisi mereka kini berbalik. Ellecio di bawah dan Brianna terkunci di atas dada sang pria.
“Aku tidak merasa menjebakmu, Bri. Kau sendiri yang membawa dirimu masuk. Jadi jangan berpikir untuk mencoba kabur lagi. Sampai mati aku tidak akan melepaskanmu.”
Brianna bergidik ngeri, kesungguhan di mata Ellecio membuat pertahanan jiwanya terancam. Bertahun-tahun ia mencoba menghindar dari pemuda itu, akan tetapi sekarang justru dirinya sendiri yang membiarkan kekuasaan Ellecio mengurungnya.
Sial!
“Kau pikir semudah itu?”
Berusaha mempertahan harga dirinya di hadapan Ellecio, Brianna sebisa mungkin tidak menunjukkan sikap lemahnya. Ia justru terlihat semakin menantang pria itu dengan memain pola abstrak di atas dada bidang sang pria.
“Jika kau bertekad tidak akan melepaskanku sampai mati, maka aku akan mati terlebih dulu untuk bisa terlepas dari bajingan sepertimu.”
Dengan sekali hentakkan Brianna akhirnya bisa meloloskan diri dari rangkulan Ellecio, sedikit merapikan penampilannya yang berantakan, ia memandang sekilas ke arah Ellecio yang masih terbaring di atas ranjang.
“Kau seharusnya berpikir dua kali jika ingin berurusan denganku, El. Apa kau tidak takut jika aku akan membunuhmu?” Sudut bibir Brianna terangkat, melihat bagaimana Ellecio menatapnya dengan setumpuk kebencian.
Tidak apa-apa. Setidaknya tatapan benci lebih baik daripada tatapan iba. Sebab Brianna benci bagaimana tatapan iba itu membuatnya terlihat begitu menyedihkan.
“Jika tidak ada yang ingin kau katakan lagi, lebih baik jika aku segera pergi dari hadapanmu. Bukankah kau muak setiap melihat wajahku?” lanjut Brianna ketika Ellecio masih memilih bungkam daripada menanggapi segala celotehnya.
“Selamat tinggal, El. Ku harap tidak ada hari esok untuk kita bertemu kembali.”
Tanpa menunggu Ellecio membuka mulutnya, Brianna sudah lebih dulu melangkahkan kakinya pergi. Perlahan berjalan menjauhi pria itu tanpa menoleh sedikit pun.
Berharap jika ini memang adalah pertemuan terakhirnya dengan Ellecio. Ia tidak mau memiliki hubungan apapun dengan pria itu. Tidak untuk membuat luka lama yang telah mengering kembali tergores oleh luka baru yang hanya akan menyakiti ke duanya.
“Pembunuh!”
Ucapan Ellecio sontak menghentikan gerakan tangan Brianna yang hendak memutar kenop pintu. Pegangannya mengerat, seakan mencari kekuatan agar dirinya tidak ambruk saat itu juga.
Pembunuh?
Entah kenapa kata itu seakan berhasil menancap tepat mengenai jantungnya. Rasanya seperti diremas dengan sangat kuat, rasa sesak itu perlahan memenuhi rongga dadanya.
“Sebagai seorang yang pernah membunuh seseorang, nyalimu cukup besar juga.” Entah sejak kapan Ellecio tiba-tiba sudah berada di belakang Brianna, berbisik tepat di telinga wanita itu.
“Tapi jangan berpikir jika aku akan melepaskanmu semudah itu, Bri. Kau harus membayar semuanya dan aku akan menghancurkan hidupmu sehancur-hancurnya.”
TBC
‘Dasar pembubuh! Pembawa sial!’‘Pergi ke neraka sana, pembunuh sepertimu tidak layak untuk hidup!’‘Kau menghancurkannya, kau membunuhnya! Aku benar-benar sangat membencimu!’Brianna tersengal, nafas memburu dengan keringat yang mengucur deras di sekujur tubuhnya. Mata yang tadi tertutup rapat dibuka paksa oleh mimpi buruk yang kerap menghantuinya belakangan ini.Sudah berlalu beberapa hari dari pertemuannya dengan Ellecio, akan tetapi teriakan mengerikan di mimpi-mimpi itu tidak pernah berhenti mengganggu tidur malamnya.Dengan tangan gemetar Brianna meraih segelas air yang letakkan di atas nakas, lantas meneguknya secara rakus hingga tak ada satu tetes pun yang tersisa. Berkali-kali menarik nafas guna menenangkan debaran jantungnya yang mulai berdetak tidak karauan.‘Tenangkan dirimu, Bri. Itu hanya mimpi, kau tidak perlu merasa takut.’Batin Brianna mencoba menenangkan
Tubuh Brianna menegang, berbalik dan mendapati Ellecio sudah berdiri di ambang pintu. Tersenyum licik sembari berjalan mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Ketukan sepatu mewahnya yang berbenturan dengan lantai terdengar seperti hymne kematian yang bersiap untuk menjemput Brianna menuju neraka.Brianna tidak tahu kenapa tubuhnya merespon kelewat impulsif, spontan menahan nafas saat aroma parfum Ellecio membelai indera penciumannya. Wajah tampan dengan mata elang itu seakan menyihir bagaimana dengan tegasnya Ellecio mendominasi permainan.“Aku adalah pimpinan baru dari Laurent, dan aku juga yang meminta Nicole untuk mengantimu dengan yang lain. Ada masalah dengan itu Nona Brianna?”Menarik nafas pelan, sejenak Brianna berdeham guna mengumpulkan keberaniannya yang mendadak terpecah. Lantas mendongak, menatap sinis wajah Ellecio.“Wow, tidak ku sangka jika Tuan Ellecio William yang terkenal dengan bisnis kapal pesiar mewahn
Suara pintu berdebum mengiringi langkah Brianna menapak pada luasan apartementnya. Tanpa perlu berpikir lebih lanjut, ia dengan sembarangan melempar beberapa barang-barang yang melekat di tubuhnya sebelum menghempaskan diri secara pasrah di atas kasur.Beberapa kali terdengar helaan nafas berat yang dilanjutkan dengan teriakan keputusasaan.“Arggh!! Brengsek! Berani-beraninya bedebah itu menciumku.”Brianna meraba bibirnya, kembali mengingat bagaimana Ellecio dengan lancang mendaratkan sebuah kecupan di sana. Ada rasa tidak terima sebab itu adalah ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya Brianna berikan pada pria yang benar-benar ia cintai. Tapi pria itu justru merebutnya tanpa ragu.“Dasar buaya mesum! Laki-laki sialan!”Seketika Brianna menyesal karena sudah menantang Ellecio. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Baru sehari saja pria itu sudah membuat hidupnya kacau, apalagi seterusnya?Bis
Biasan sinar senja secara perlahan mulai menyusup di antara dinding kaca. Menerpa sebagian wajah tampan Ellecio yang tengah menikmati waktu sorenya duduk di kursi kerja.Matanya sekilas memeta luasan ruangan kerjanya yang baru ia tempati beberapa hari belakangan ini. Memang tidak seluas dan semewah seperti ruangan kerja kantornya yang ada di New York, akan tetapi pemandangan yang disajikan dari lantai lima belas itu seolah mengubur segala kelemahannya.Lautan lepas yang memantulkan cahaya orange dari matahari yang terbenam, serta bentangan Santley Park yang terlihat menghijau di kejauhan sana seakan mampu memberikan ketenangan tersendiri bagi Ellecio.Mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, Ellecio termenung sembari mulutnya terus berhitung mundur. Entah ia sedang melakukan apa.“Lima, empat, tiga, dua ….”BRAK!!!Senyum kemenangan seketika terukir di bibir Ellecio tatkala mendapati Brianna datang dengan membanting
Malam semakin larut, namun suasana kelab malam itu semakin menyesakkan. Kepulan asap rokok mengepul ke udara. Merambat di antara lautan manusia yang tengah sibuk mencari kenikmatan sesaat. Ada yang sibuk menari di lantai dansa, ada pula yang sibuk dengan gelas alkohol dan wanita seksi di sampingnya.Namun untuk Brianna sendiri, ia lebih memilih untuk duduk berdiam diri di depan meja bar. Beberapa tegukan alkohol telah berhasil membuat kepalanya berputar-putar. Memberi afeksi pada tubuhnya yang mulai terasa memanas.“Tolong beri aku satu gelas lagi.” Brianna menjatuhkan kepalanya di atas meja. Mencoba untuk tetap mempertahankan kesadaran dengan berusaha untuk tidak menutup kedua kelopak matanya. “Apa kau sedang dalam masalah, Bri?” tanya Gary, seorang bartender yang kebetulan mengenal sosok wanita yang ada di hadapnnya.Brianna terkekeh. “Untuk apa kau bertanya seperti itu, Gary? Kau tahu bukan jika hidupku selalu dikel
“Satu juta dollar!”Berada di antara kebisingan sebuah kelab malam bukanlah hal yang biasa bagi seorang Brianna Caroline. Dirinya terlampau nyaman dengan suasana tenang apartemen di mana hanya lagu favorit dari penyanyi kesayangan yang menemani kesendiriannya sepanjang malam.Namun teruntuk malam ini, sebuah tawaran menggiurkan membawa Brianna berakhir duduk di deretan bangku meja bar. Beradu pandang pada sosok wanita paruh baya yang terlihat menyunggingkan senyum sinis. Kepulan asap tipis dari batang rokok yang menyala seakan mendramatisir bagaimana percakapan itu terjalin cukup serius di antara ke duanya.“Ya dan seukuran model rendahan sepertimu, bukankah satu juta dollar merupakan sebuah nominal yang sangat fantastis?” ujar wanita itu dengan nada mengejek. Rambut ikal yang ditata mengembang membuat kesan angkuh itu tercetak jelas pada wajahnya.”Aku sarankan kau untuk menerimanya, Bri. Lagipula tugasmu hanya merayunya, bu