‘Dasar pembubuh! Pembawa sial!’
‘Pergi ke neraka sana, pembunuh sepertimu tidak layak untuk hidup!’
‘Kau menghancurkannya, kau membunuhnya! Aku benar-benar sangat membencimu!’
Brianna tersengal, nafas memburu dengan keringat yang mengucur deras di sekujur tubuhnya. Mata yang tadi tertutup rapat dibuka paksa oleh mimpi buruk yang kerap menghantuinya belakangan ini.
Sudah berlalu beberapa hari dari pertemuannya dengan Ellecio, akan tetapi teriakan mengerikan di mimpi-mimpi itu tidak pernah berhenti mengganggu tidur malamnya.
Dengan tangan gemetar Brianna meraih segelas air yang letakkan di atas nakas, lantas meneguknya secara rakus hingga tak ada satu tetes pun yang tersisa. Berkali-kali menarik nafas guna menenangkan debaran jantungnya yang mulai berdetak tidak karauan.
‘Tenangkan dirimu, Bri. Itu hanya mimpi, kau tidak perlu merasa takut.’
Batin Brianna mencoba menenangkan respon tubuhnya yang bergetar hebat. Meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja.
Bertahun-tahun telah Brianna lewati dengan baik, dan sekarang ia hanya perlu mengulang ritme itu sekali lagi. Bertahan sampai batas kemampuannya berteriak menyerah.
Berusaha mengeyahkan segala pikiran buruknya, Brianna dengan lemas melihat bagaimana jam digital di layar ponselnya baru saja berganti angka yang menunjukkan pukul tiga lewat tujuh menit. Masih terlalu pagi untuk terjaga, tapi sialnya kedua mata dengan bulu lentik itu juga enggan terpejam.
Maka, dalam gelapnya malam yang setia menanti fajar, Brianna hanya bisa merengkuh tubuh mungilnya. Meratapi bagaimana ia benar-benar merasa sendirian di tengah kehidupan yang menyedihkan ini. Meringkuk di bawah selimut tebal sembari menanti misteri takdir yang menunggunya di hari esok.
Sementara di lain tepat namun di waktu yang sama, sosok lain juga tengah berperang dengan batinnya. Menenggak berbotol-botol alkohol yang sialnya sama sekali tidak membuat kesadarannya berkurang.
Prang!!
Dengan kasar Ellecio melempar gelas yang berada di tangannya. Menggeram lantang sebab tidak bisa mengenyahkan bayang Brianna di dalam benaknya.
“Wanita itu!” Ellecio mendecih.
“Kau pikir siapa dirimu berani melawanku, hah? Kau hanya lajang rendahan yang telah menghancurkan kehidupanku.”
Ia memandang figura photo yang terpajang di ruang tengah kediamannya. Meski samar, tapi Ellecio bisa dengan jelas melihat sosok lelaki di photo itu berpose tersenyum sembari merangkul bahu sosok lain yang tak lain adalah dirinya sendiri.
Wajahnya di sana masih begitu belia, remaja yang dulu memiliki senyum secerah matahari kini bertumbuh menjadi sosok hitam yang tak dikenali.
Semua itu terjadi karena ulah si pembawa sial Brianna Caroline. Wanita itu yang merusak kebahagiaannya, wanita itu yang telah menyerap senyum cerahnya.
“Tunggu sebentar lagi, Kak. Kau harus melihat bagaimana aku akan menghancurkan wanita sialan itu secara perlahan. Seperti ketika wanita itu menghancurkan kita berdua.”
Ellecio tersenyum penuh misteri, lantas mengambil ponsel dan menelepon seseorang.
“Kau sudah menyiapkan semuanya?” Ellecio menjeda ucapannya, menunggu orang di seberang sana untuk menjawab pertanyaannya terlebih dahulu.
“Bagus, mulai besok aku mau segalanya sudah berada dalam kendaliku.” Lantas memutuskan sambungan dan melempar ponselnya kembali ke atas meja.
Bibirnya menyunggingkan senyum kepuasan, bersiap untuk sebuah permainan yang akan ia mainkan esok hari.
“Jika kau memilih untuk mati agar bisa lepas dariku, maka yang berhak membunuhmu hanyalah aku, Bri.”
***
“Mulai sekarang kau bukan lagi brand ambassador Laurent dan semua produk yang kau bintangi akan digantikan oleh model lain.”
“APA!”
Brianna menganga tidak percaya. Terlalu mendadak ketika bahkan tadi malam ia tidak bisa tidur, dan paginya harus mendapati pekerjaannya hilang begitu saja. Brianna bahkan belum sempat sarapan, tetapi ia sudah mendapat serangan fajar yang begitu mematikan.
“Atas dasar apa kau menggantiku dengan model lain? Bukankah selama aku menjadi brand ambassador penjualannya tidak pernah mengalami penurunan? Justru mendapat predikat penjualan terbaik dalam beberapa bulan terakhir. Jadi tidak ada alasan untukmu menggantiku seperti ini.”
Nicole mendesah lemah, dirinya sudah pusing setengah mati karena perintah mendadak ini, ditambah lagi Brianna yang juga tidak henti-hentinya menuntut penjelasan.
“Bukan aku yang menggatimu, Bri. Tapi itu perintah langsung dari atasan.”
“Langsung dari atasan?” Alis Brianna menyatu seakan tidak mengerti akan situasinya.
“Ya,” jawab Nicole.
“Mereka ingin menggantimu karena kau dilihat sudah tidak cocok lagi untuk jadi model utama dari brand Laurent. Mereka ingin wajah baru yang lebih fresh untuk meningkatkan citra brand yang semakin besar.”
Brianna mengepalkan tangannya mendengar penjelasan Nicole. Sejak awal ia yang berperan besar dalam melejitkan Laurent dari brand kelas rendah kemudian menjelma menjadi brand yang bisa bersaing dengan para pendahulunya.
Tapi lihatlah, balasan apa yang didapat Brianna sekarang?
“Apa itu ulah Jeff?” tanya Brianna curiga.
Ia bersumpah akan merobek mulut pria itu jika semua ini adalah ulahnya. Jeff adalah pendiri sekaligus pimpinan tertinggi Laurent. Sejak awal merintis Jeff adalah orang pertama yang mengemis pada Brianna untuk membantu mempromosikan produk pakaian dalamnya.
Saat itu Brianna yang bernaung pada Brand lain sampai rela melepas impiannya di sana dan mengabulkan permintaan Jeff. Berpikir jika Laurent akan menjadi besar dan berhasil mengangkat namanya.
Tapi bagaimana ketika kini Laurent menjadi besar? Dia malah dibuang seperti sampah yang tidak berharga.
“Bukan dia.” Jawaban Nicole membuat Brianna terperangah. “Laurent sudah bukan milik Jeff lagi, perusahaan ini sudah diakuisisi oleh orang lain,” lanjut Nicole kemudian.
“Aku juga baru tahu tadi pagi, Bri. Maaf karena tidak bisa memberitahumu lebih cepat.”
“Katakan siapa orang itu?” tanya Brianna tidak sabaran. “Katakan, Nicole. Katakan siapa orang yang berani-beraninya melakukan ini padaku?”
Brianna mengerang frustasi. Ingin rasanya ia menyiram orang itu dengan kotoran sapi.
“Dia—“
“Aku orangnya.”
Sebuah suara berhasil menghentikan Nicole untuk berbicara lebih lanjut, wajahnya berubah pias tatkala melihat pimpinan baru itu datang ke ruangannya.
“T-Tuan Ellecio.”
TBC
Tubuh Brianna menegang, berbalik dan mendapati Ellecio sudah berdiri di ambang pintu. Tersenyum licik sembari berjalan mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Ketukan sepatu mewahnya yang berbenturan dengan lantai terdengar seperti hymne kematian yang bersiap untuk menjemput Brianna menuju neraka.Brianna tidak tahu kenapa tubuhnya merespon kelewat impulsif, spontan menahan nafas saat aroma parfum Ellecio membelai indera penciumannya. Wajah tampan dengan mata elang itu seakan menyihir bagaimana dengan tegasnya Ellecio mendominasi permainan.“Aku adalah pimpinan baru dari Laurent, dan aku juga yang meminta Nicole untuk mengantimu dengan yang lain. Ada masalah dengan itu Nona Brianna?”Menarik nafas pelan, sejenak Brianna berdeham guna mengumpulkan keberaniannya yang mendadak terpecah. Lantas mendongak, menatap sinis wajah Ellecio.“Wow, tidak ku sangka jika Tuan Ellecio William yang terkenal dengan bisnis kapal pesiar mewahn
Suara pintu berdebum mengiringi langkah Brianna menapak pada luasan apartementnya. Tanpa perlu berpikir lebih lanjut, ia dengan sembarangan melempar beberapa barang-barang yang melekat di tubuhnya sebelum menghempaskan diri secara pasrah di atas kasur.Beberapa kali terdengar helaan nafas berat yang dilanjutkan dengan teriakan keputusasaan.“Arggh!! Brengsek! Berani-beraninya bedebah itu menciumku.”Brianna meraba bibirnya, kembali mengingat bagaimana Ellecio dengan lancang mendaratkan sebuah kecupan di sana. Ada rasa tidak terima sebab itu adalah ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya Brianna berikan pada pria yang benar-benar ia cintai. Tapi pria itu justru merebutnya tanpa ragu.“Dasar buaya mesum! Laki-laki sialan!”Seketika Brianna menyesal karena sudah menantang Ellecio. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Baru sehari saja pria itu sudah membuat hidupnya kacau, apalagi seterusnya?Bis
Biasan sinar senja secara perlahan mulai menyusup di antara dinding kaca. Menerpa sebagian wajah tampan Ellecio yang tengah menikmati waktu sorenya duduk di kursi kerja.Matanya sekilas memeta luasan ruangan kerjanya yang baru ia tempati beberapa hari belakangan ini. Memang tidak seluas dan semewah seperti ruangan kerja kantornya yang ada di New York, akan tetapi pemandangan yang disajikan dari lantai lima belas itu seolah mengubur segala kelemahannya.Lautan lepas yang memantulkan cahaya orange dari matahari yang terbenam, serta bentangan Santley Park yang terlihat menghijau di kejauhan sana seakan mampu memberikan ketenangan tersendiri bagi Ellecio.Mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, Ellecio termenung sembari mulutnya terus berhitung mundur. Entah ia sedang melakukan apa.“Lima, empat, tiga, dua ….”BRAK!!!Senyum kemenangan seketika terukir di bibir Ellecio tatkala mendapati Brianna datang dengan membanting
Malam semakin larut, namun suasana kelab malam itu semakin menyesakkan. Kepulan asap rokok mengepul ke udara. Merambat di antara lautan manusia yang tengah sibuk mencari kenikmatan sesaat. Ada yang sibuk menari di lantai dansa, ada pula yang sibuk dengan gelas alkohol dan wanita seksi di sampingnya.Namun untuk Brianna sendiri, ia lebih memilih untuk duduk berdiam diri di depan meja bar. Beberapa tegukan alkohol telah berhasil membuat kepalanya berputar-putar. Memberi afeksi pada tubuhnya yang mulai terasa memanas.“Tolong beri aku satu gelas lagi.” Brianna menjatuhkan kepalanya di atas meja. Mencoba untuk tetap mempertahankan kesadaran dengan berusaha untuk tidak menutup kedua kelopak matanya. “Apa kau sedang dalam masalah, Bri?” tanya Gary, seorang bartender yang kebetulan mengenal sosok wanita yang ada di hadapnnya.Brianna terkekeh. “Untuk apa kau bertanya seperti itu, Gary? Kau tahu bukan jika hidupku selalu dikel
“Satu juta dollar!”Berada di antara kebisingan sebuah kelab malam bukanlah hal yang biasa bagi seorang Brianna Caroline. Dirinya terlampau nyaman dengan suasana tenang apartemen di mana hanya lagu favorit dari penyanyi kesayangan yang menemani kesendiriannya sepanjang malam.Namun teruntuk malam ini, sebuah tawaran menggiurkan membawa Brianna berakhir duduk di deretan bangku meja bar. Beradu pandang pada sosok wanita paruh baya yang terlihat menyunggingkan senyum sinis. Kepulan asap tipis dari batang rokok yang menyala seakan mendramatisir bagaimana percakapan itu terjalin cukup serius di antara ke duanya.“Ya dan seukuran model rendahan sepertimu, bukankah satu juta dollar merupakan sebuah nominal yang sangat fantastis?” ujar wanita itu dengan nada mengejek. Rambut ikal yang ditata mengembang membuat kesan angkuh itu tercetak jelas pada wajahnya.”Aku sarankan kau untuk menerimanya, Bri. Lagipula tugasmu hanya merayunya, bu
Sabtu malam, desiran hawa dingin terasa menusuk kulit seiring dengan tetesan hujan yang masih setia membasahi hampir seluruh wilayah Vancouver.Angin yang berhembus berhasil menghasilkan titik embun yang tersangkut pada bohlam lampu jalan. Sinar temaramnya seolah sekuat tenaga menerangi siluet seorang wanita yang setia berdiri di bawahnya.Berbekal payung hitam yang melindungi tubuh dari tetesan air hujan, Brianna terdiam memandangi megahnya bangunan Plaza Hotel dari seberang jalan.Termenung untuk sesaat, Brianna seakan baru menyadari jika kota yang telah ia tinggali selama kurang lebih delapan tahun ini memang benar-benar kota yang indah. Perpaduan budaya dari berbagai negara berhasil membuat penampilan kota Vancouver terlihat begitu beragam—terutama pada malam hari.Lampion merah yang tergantung di depan restoran Cina nampak cantik berpadu dengan gambar mural pizza pada dinding restoran italia yang berada di sampingnya. Belum lagi gemerlap cahaya